“Membumikan Etika Dalam Kelembagaan Keuangan Mikro di Indonesia”
Randy R. Wrihatnolo
I.
Sejarah Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia
Kesejahteraan masyarakat senantiasa
menjadi pangkal tolak dan cara pandang ketika para ahli dan praktisi
pembangunan mencoba mencermati konsep dan kebijakan pembangunan. Sebagai
pangkal tolak konsep pembangunan, kesejahteraan masyarakat selalu menjadi akar
historis buah-buah pemikiran pembangunan. Sebagai cara pandang konsep
pembangunan, kesejahteraan masyarakat selalu mendominasi substansi kebijakan
pembangunan dan terutama kebijakan pembangunan di Negara Berkembang. Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan salah satu pemikiran yang berangkat dari
histori kesejahteraan masyarakat ini.
Cara
pandang terhadap konsep BUMDes sebagai media intermediasi dana tunai cepat
dapat ditarik dari prinsip pegadaian yang sudah dikenal pada zaman Majapahit
(Muhammad Hatta, 1955). Prinsip pegadaian merupakan salah satu konsep
penyelenggaraan lembaga keuangan mikro paling kuno (Nasirin, 1985). Salah satu
fungsinya adalah sebagai lembaga jasa penyedia dana tunai bagi para pedagang
yang kebetulan membutuhkan dana tunai untuk berdagang kebutuhan pokok di
wilayah Ibukota Majapahit dengan menjaminkan sebagian nilai barang dagangannya
kepada pengampu uang. Meski tidak sangat populer di kalangan “kasta” pekerja,
kelembagaan keuangan mikro ini sangat dibutuhkan oleh kalangan “kasta”
pedagang. Sejalan dengan perkembangan kebutuhan, format kelembagaannya pun
mengalami modifikasi hingga menjadi beraneka-rupa peran dan bentuk namun
mempunyai fungsi identik, yaitu menyediakan dana segar. Peran ini selalu hampir
mirip hingga memasuki zaman Mataram. Bahkan pada zaman Mataram Islam, konsep
kelembagaan keuangan mikro meluas perannya, tidak saja sebagai penyedia dana
tetapi memberikan “cara” dalam membagi tanggung-jawab, sehingga cara kerjanya
telah menyerupai cara kerja lembaga jasa keuangan modern dalam melakukan
kerjasama antara pemilik aset dan pengelola aset dalam cara kerja yang disebut
sebagai prinsip bagi hasil (paron) dan prinsip tanggung-renteng (mrapat).
Sementara itu di kalangan “kasta” pekerja ketika ekonomi uang semakin membiasa
maka mulailah dikenal cara kerja pelepas uang bagi kebutuhan dana tunai harian
dalam jumlah kecil. Praktek rentenir lahir dari modifikasi cara kerja pelepas
uang ini terutama ketika peminjam terjebak pada kerentanan ekonomi.
Memasuki
zaman Kolonial, masyarakat Nusantara terutama yang berdomsili di Jawa mulai
berkenalan dengan prinsip simpan-pinjam yang dibumikan oleh cita-cita pendirian
Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren (Bank Bantuan dan
Simpanan Milik Kaum Priyayi yang berkebangsaan Indonesia Pribumi). Lembaga
keuangan ini didirikan Raden Aria Wirjaatmadja di Purwokerto pada 16 Desember
1895 dan kemudian menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI). Berangkat
dari pengalaman “Spaarbank” BRI ini ketika mengoperasionalkan unit-unit
simpan-pinjam hingga ke pelosok desa, maka bermunculanlah berbagai bentuk
lembaga keuangan gurem dengan prinsip simpan-pinjam hingga di masa kini dan
menjadi cikal bakal prinsip kerja dalam lembaga keuangan non-formal.
Saat
ini apabila kita mencermati kembali berbagai bentuk lembaga keuangan mikro
tersebut, maka dapat dikenali tiga kelompok besar, yaitu kelompok formal yang
biasa berbentuk bank baik yang tunduk pada perbankan umum dan perbankan
perkreditan rakyat, kelompok koperasi yang tunduk pada regulasi perkoperasian,
dan kelomopok non-formal yang belum tunduk pada regulasi resmi. Kelompok
non-formal banyak berkembang justru “diregulasi” kebiasaan yang sudah temurun
di tengah masyarakat mulai dari kelompok arisan hingga paguyuban desa. Kelompok
yang belum “diregulasi” ini jumlahnya ribuan, namun justru mempunyai peran
sangat besar dalam menggerakkan perekonomian tradisional ala teori Profesor
Boeke. Pada masa Republik baik di era Pemerintahan Presiden Soekarno dan
Pemerintahan Presiden Soeharto, kelompok non-formal justru mempunyai daya tahan
tinggi karena jumlah simpanan atau aktiva guremnya inilah yang menjadikan
mediasinya sangat digemari para pekerja dan pedagang kecil. Peran lembaga
keuangan yang bekerja non-formal ini sangat luas dan bermacam-macam, seperti
Lumbung Pitih nagari di Sumatera Barat, lembaga Marsipatua Hutanabe di Sumatera
Utara, Badan Kredit Desa di Jawa Tengah, Subak di Bali, dan sebagainya. Di sana
terdapat pengalaman yang berfokus pada kebersamaan dan gotong-royong yang sudah
seharusnya menjadi “soko guru” pengembangan lembaga keuangan mikro, termasuk
dalam mengembangkan BUMDes.
II.
Pengalaman Operasional Lembaga Keuangan Mikro
Pada
aspek substansi kebijakan, pengalaman menarik dapat dipelajari baik dari
pengalaman bangsa Nusantara ini maupun dari pengalaman di Negara Maju. Semua
pakar setuju bahwa sektor keuangan adalah kunci pembangunan di negara
berkembang. Financial markets memainkan peran penting untuk mengerakkan
kemajuan fungsi sektor riil secara efisien (Nissanke
dan Aryeetey, 1998). Sesungguhnya hubungan antara sektor
keuangan dan sektor keuangan sangat penting, karena rasionalnya, meraka
menjalankan tugas masing-masing sesuai keahlianya. Sektor keuangan menyediakan
pelayanan keuangan yang layak, dan sektor riil menyelenggarakan kegiatan
produksi yang efisien. Tidak campur aduk, atau tidak mungkin pelaku sektor riil
diberi kewenangan memiliki bank, atau bank menyalurkan dananya kepada anak
perusahaannya yang bekerja di sektor riil. Pasti akan terjadi konflik
kepentingan. Inilah awal dari kegagalan menciptakan sistem keuangan yang mapan,
sekaligus awal kehancuran dari bisnis di sektor riil, karena rule of conduct
dilanggar, pengawasan yang regang, dan hilangnya trust. Beberapa
peristiwa di tanah air kita seputar tumbuh layunya sektor keuangan –khususnya
sektor perbankan—menunjukkan kepada kita kenyataan itu. Selama dua dasawarsa
terakhir, banyak bank bertumbangan, ada pula beberapa lembaga keuangan bukan
bank yang juga failed. Aspeknya karena mereka lupa sejarah, dan
tragisnya lupa pada etika.
Pengalaman
sejumlah negara berpendapatan per-capita tinggi –yang hampir seluruhnya
menggunakan pendekatan Keynes—berfokus pada etika. Di Negara Maju, sektor
keuangan memainkan peran yang sangat penting. Perekonomian mereka digerakkan
oleh instrumen sistem keuangan yang sudah mapan. Kemapanannya terletak pada
hubungan yang sangat dekat antara kejelasan aturan main yang disebut sebagai rule
of conduct, dengan pengawasan dan penegakan peraturan secara ketat yang yang
dipahami sebagai consistency, serta dengan etika kejujuran yang dipegang
erat oleh para pelakunya yang kemudian dikenal dengan culture system (Bank
Dunia, 2002). Satu sama lain tidak bisa berdiri sendiri, bahkan menjadi sebuah
tradisi dari generasi ke generasi dan dari abad ke abad (Thomas O’Connor,
2002). Rule of conduct sendiri adalah seperangkat tata aturan formal
yang dihasilkan melalui lembaga publik sebagai koridor dalam penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan di sektor keuangan. Rule of conduct yang wise
tidak lahir dari kesepakatan sekali jadi, namun senantiasa diperbarui. Ia
memainkan peran mengatur fungsi-fungsi dari setiap elemen dalam sistem keuangan
secara jelas dan lugas. Misalnya, dalam hal ini mengambil contoh lembaga bank. Rule
of conduct memberikan pengaturan yang jelas dalam hal strata bank,
kepemilikan saham dalam bank, dan core business dari bank-bank yang
beroperasi. Bank-bank harus taat asas, tunduk pada aturan main, jika tidak maka
langsung masuk black list. Yang berat justru bukan dihakimi oleh institusi
publik, tetapi dihakimi langsung oleh para nasabah. Sebaliknya, rule of
conduct sangat melindungi kepentingan nasabah. Complain dari nasabah
sangat diperhatikan oleh pihak bank. Consistency merupakan norma yang diadopt
dan dilaksanakan serius dalam bisnis perbankan, karena bisnis perbankan sendiri
adalah bisnis kepercayaan (trust). Sekali suatu bank cidera janji atau
tidak konsisten dalam melaksanakan tugasnya, maka nasabah atau pelanggannya
pasti segera menarik diri dari hubungannya dengan pihak bank. Culture system
adalah sangat penting dalam hal hubungan antara penyedia pelayanan (service
provider) dan pemanfaat layanan (beneficiary) karena harus dibangun
sebagai sebuah kesadaran bahwa keamanan, kenyamanan, dan kemanfaatan adalah
harta paling berharga yang dimiliki oleh bank dan nasabahnya. Harta ini
merupakan milik bersama, jadi harus dijaga bersama. Kalau hilang maka semua
pihak akan menanggung kerugiannya. Kunci untuk menjaga harta itu adalah
kejujuran. Kejujuran yang berurat-akar dalam diri pelaku bank dan nasabahnya.
Lebih dari itu, bahkan telah menjadi karakter dari sebuah bangsa yang layak
disebut bangsa modern-maju. Krisis ekonomi dan kehancuran ekonomi sebuah negara
banyak bermula ketika etika telah luluh dan lantak.
III. Etika untuk
Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia
Sektor
keuangan mikro di Indonesia sesungguhnya mempunyai akar tradisi yang berbeda
dengan “kakak kelasnya”—yang lebih banyak bergelut di sektor keuangan formal.
Sektor keuangan mikro di Indonesia justru banyak berkembang sebagai sektor
non-formal (sepenuhnya berada di luar jalur formal) atau sektor on-formal
(baca: setengah formal setengah tidak), meskipun ada juga yang berada dalam
jalur formal meskipun sembunyi di balik peraturan yang bukan pakemnya, misalnya
di bawah lindungan payung “pura-pura bank” sebagai bank perkreditan rakyat atau
sebagai badan usaha koperasi simpan pinjam. Meskipun rule of conduct-nya
berserakan, namun hebatnya adalah, mereka mempunyai consistency dan culture
sistem yang bisa disejajarkan sebagai lembaga keuangan yang modern-maju.
Bahkan terbukti mereka lebih bisa lebih efisien ketimbang bank-bank besar
karena pasarnya sangat besar (giant financial market). Namun kelemahan
tunggalnya adalah, nasabahnya susah membentuk modal sendiri (capital
formulation) dalam waktu singkat, bahkan cenderung “hidup segan matipun
malu”.
Belajar
dari pengalaman banyak negara, sesungguhnya kita bisa mengawinkan tradisi
keuangan mikro yang sudah hadir di tengah-tengah masyarakat kita dengan apa
yang diajarkan oleh sektor keuangan di negara modern/maju. Hal ini nantinya,
menurut dugaan saya, merupakan prasyarat agar sistem keuangan mikro di
Indonesia menjadi lebih sukses.
Saya
menitikberatkan prasyarat itu pada tata nilai sistem keuangan mikro yang
memberikan fokus pada pembagian tugas yang jelas di antara para pelaku keuangan
mikro (role enforcement) dan memperkuat nilai kepercayaan (trust)
di antara antara para pelaku keuangan mikro. Pembudayaan peran dan etika
kepercayaan merupakan dasar bagi kode etik keuangan mikro Indonesia yang tumbuh
secara alami –karena memang tidak bisa tumbuh begitu saja-- sebagai kode etik
“resmi”. Kode etik itu bisa dibangun atas dasar nilai-nilai yang telah ada
selama ini, yaitu kejujuran dan local wisdom, sehingga semua pelaku menjadi
merasa saling memberikan rasa aman, saling mewujudkan kenyamanan, dan saling
membawa manfaat.
Kode
etik keuangan mikro Indonesia harus disepakati semua pihak dalam pengembangan
usaha mikro dan demi mencapai harapan yang berhampiran dengan Pembukaan UUD
1945, yaitu mampu memberikan dukungan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang
berakhlak mulia, cerdas, dan makmur. Kode etik ini merangkum dan “memformalkan”
kebiasaan-kebiasaan yang positif yang telah berkembang di antara para pelaku
keuangan mikro di Nusantara, sehingga ide-ide baru yang muncul dengan semangat
memajukan usaha mikro justru tidak melukai keberhasilan usaha mikro dan lembaga
keuangan mikro yang sudah ada di Indonesia.
Akhirnya, dalam lembaga keuangan mikro harus ingat pada jaitidiri bahwa mereka melakukan
pelayanan permodalan (finance service),
dan dalam pelayanan permodalan diperlukan lembaga keuangan (financial institution) yang ideal dalam
arti mempunyai ciri sosial dengan dasar kebersamaan, dan ciri ekonomi dengan
menerapkan prinsip ekonomi berupa prosedur dan kriteria perbankan. Kebersamaan
diawali dari saling mengenal, saling membantu, dan menerapkan perhitungan
ekonomi. Prinsip ekonomi mengandung empat unsur, yaitu unit kegiatannya
menguntungkan, pembukuannya sederhana tetapi dapat dengan mudah digunakan
sebagai pemeriksaan dan pengawasan, pembukuan kegiatannya terpisah dari
kegiatan lain, dan adanya otonomi dalam pengambilan keputusan.
Lembaga keuangan
mikro paling tidak harus memenuhi empat syarat
sebagai instrumen membumikan etika baik pengelola lembaga keuangan mikro dan
lembaga keuangan mikronya sendiri. Persyaratan tersebut meliputi: (1) lembaga
tersebut memenuhi syarat legal dan formal dalam mendeskripsikan etika organisasi;
(2) lembaga keuangan tersebut harus transparan, mudah diawasi dan dipantau oleh
masyarakat; (3) lembaga itu harus menguntungkan baik bagi masyarakat maupun
bagi kelangsungan lembaga keuangan itu sendiri; dan (4) lembaga itu harus dapat
memberikan pelayanan keuangan yang dapat menjangkau lapisan “gurem”.
Persyaratan penukilan: para pembaca diperbolehkan mengutip sebagian isi artikel ini dengan syarat menuliskan sumbernya dalam catatan kaki (footnote) atau catatan samping (sidenote).
Persyaratan penukilan: para pembaca diperbolehkan mengutip sebagian isi artikel ini dengan syarat menuliskan sumbernya dalam catatan kaki (footnote) atau catatan samping (sidenote).
---
oooOOOooo---
oooOOOooo---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar