23 September 2008

Memperkaya Orang Miskin

Memperkaya Orang Miskin
Oleh: Mustofa Liem
Mustofa Liem PhD , WNI Muslim asal Jatim -Bekerja di Singapura, Dewan Penasihat Tionghoa untuk Kesetaraan

Kita masih berduka atas tewasnya 21 orang, rata-rata janda berusia 50-70 tahun, akibat terinjak-injak saat berdesakan mengantre pembagian zakat dari seorang dermawan di Pasuruan, Senin 15 September lalu (Jawa Pos, 16 September 2008). Itulah potret kemiskinan di negeri ini.

Terkait peristiwa itu, sebagian koran menulis dengan judul besar Tragedi Zakat Maut, seolah yang salah adalah zakatnya. Padahal, zakat termasuk rukun keempat dari lima rukun Islam yang mengandung pesan abadi untuk kemanusiaan. Terlebih di negeri dengan 40 juta orang miskin ini, ajaran Islam tentang zakat menemukan relevansi dan aktualitasnya.

Pasalnya, Islam yang diproklamasikan Nabi Muhammad SAW lima belas abad silam begitu memedulikan orang-orang miskin. Kata "kemiskinan" dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab, yakni "miskin".

Dalam kitab suci agama Islam (Alquran), kata miskin disebutkan beberapa kali dan dalam berbagai bentuk, seperti miskin (tunggal) dan masakin (jamak). Bahkan, jika ditelusuri lebih lanjut, dapat dijumpai berbagai istilah lain dalam Alquran yang juga mengandung arti miskin, seperti al-faqir (fakir), al-mustadh'afin (orang yang tidak mampu), as-sail (orang yang meminta-minta) , dan al-mahrum (orang yang miskin, tetapi tidak meminta-minta) . Itu semua menunjukkan Islam peduli pada orang-orang miskin.

Tanggung Jawab Pemerintah

Berbicara tentang orang miskin di negeri ini, berbagai wacana bisa mengemuka. Namun, satu hal sudah pasti bahwa di negeri dengan sumber daya alam melimpah ini, sebenarnya tak layak orang jatuh miskin. Tentu kita jangan menyalahkan kaum miskin, tetapi sistem ekonomi dan pengelolaan negara yang amburadul menjadi pemicu utama kemiskinan.

Dari sistem ekonomi kolonial di awal berdirinya negeri ini hingga sistem ekonomi neoliberal dan kapitalis saat ini, semua hanya menguntungkan segelintir elite dan memiskinkan banyak "wong cilik". Harga BBM dan sembako semakin mencekik dan membingungkan kaum ibu. Padahal, di Venezuela minyak tanah hanya seharga Rp 600 dan di Iran malah Rp 400.

Tidak heran jika negeri ini tak bisa menjalankan amanat konstitusi yang menyebutkan bahwa orang miskin dan telantar menjadi tanggung jawab negara. Jadi, Haji Syaichon dan Faruq, anaknya, yang memberikan uangnya di Pasuruan tak layak dihukum, meski telah membuat kekeliruan. Penguasa atau pemerintahlah yang membuat jumlah orang miskin kian membengkak sehingga mereka tertarik untuk mendapatkan uang receh dari haji yang dermawan itu.

Sikap kedermawanan sang haji dari Pasuruan itu memang bisa digugat. Tapi, sikap kedermawanan untuk terus berzakat harus dipupuk. Bayangkan, potensi zakat di Indonesia sekitar Rp 7 triliun per tahun, tapi realisasinya hanya Rp 500 miliar-Rp 800 miliar per tahun.

Zakat diyakini sebagai jalan yang membebaskan manusia dari jerat materialisme dan pemberhalaan atas harta benda. Inilah inti utama ajaran zakat. Harta yang dimiliki manusia sesungguhnya hanya titipan dan di dalamnya ada hak orang miskin. Secara harafiah zakat berarti "berkembang" , "menyucikan" , atau "membersihkan".

Kita menyadari dominasi sistem ekonomi neoliberal dan kapitalis sering menjebak orang kaya untuk jatuh memuja materi, lalu segenap pola hidup pun kian materialistis, hedonistis, konsumtif, dan individualistis.

Akibatnya, orang bisa berkoar, "Toh, ini hartaku sendiri, aku bebas menggunakannya" . Kepedulian sosial, solidaritas, dan persaudaraan menjadi melemah. Orang-orang demikian akan mendapatkan siksa luar biasa suatu saat kelak (QS 9: 35). Orang-orang semacam itu dalam pandangan Alquran dinilai berlebihan dan tidak tahu batas. Padahal, harta benda mereka sesungguhnya hanya pinjaman Tuhan (QS 6: 141).

Nabi Muhammad SAW pada 15 abad yang lalu sudah menunjukkan bahwa kekayaan hakiki bukan terletak pada bergelimangnya harta. Kekayaan hakiki terjadi saat kita mampu mengendalikan kebutuhan dan mencukupkan dengan rezeki yang ada (qonaah/tidak konsumtif). Alquran juga mengecam gaya hidup konsumtif dan materialistik dalam QS Al Humazah: "Neraka Weil bagi pencela dan penghina, yang mengumpulkan (menimbun) hartanya dan menghitung-hitungny a. Mereka mengira hartanya akan mengekalkan (membahagiakan) hidupnya".

Kepedulian

Namun, bukan berarti Islam melarang hidup kaya. Setiap muslim harus kaya karena untuk haji dan zakat perlu kekayaan. Namun, kita jangan memberhalakan kekayaan atau materi. Apalagi, kekayaan sejati sebenarnya terletak dalam kesadaran bahwa kekayaan itu hanya pinjaman.Kekayaan yang dititipkan itu seharusnya bisa mengentas dan memperkaya orang-orang miskin. Ada tanggung jawab sosial yang tidak kecil manakala kita dikaruniai kekayaan. Di sinilah kepedulian kita harus dibangkitkan.

Seiring bulan Ramadan, setiap muslim pasti tahu, esensi puasa adalah latihan pengendalian diri dari urusan nafsu, materi, dan konsumsi. Sukses berpuasa sebenarnya bukan tercapainya kesucian diri sendiri berkat keberhasilan mengendalikan diri. Namun, bagaimana kesucian diri sendiri itu punya dampak bagi sesama. Bukankah Islam itu rahmatan lil alamin?

Karena itu, konsekuensinya, ketentuan zakat jangan hanya dihayati sebagai kewajiban menjelang Lebaran. Hidup setiap muslim, khususnya yang dianugerahi kekayaan, harus menjadi berkah setiap saat bagi sesama, khususnya kaum miskin. Kepedulian tiada henti harus terus ditunjukkan sampai kaum miskin bisa terentas. Jelas ini butuh lebih dari sekadar uang receh dua puluh atau tiga puluh ribu rupiah. (Sumber: Jawa Pos; 23 Sept 2008).

10 September 2008

Reformasi Struktur dan Format RPJMN: Dalam Rangka Penyusunan RPJMN 2010-2014

Reformasi Struktur dan Format RPJMN: Dalam Rangka Penyusunan RPJMN 2010-2014
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

I. Latar Belakang

RPJMN merupakan dokumen negara yang kredibel, namun kurang menjadi rujukan bagi KL dan Pemerintah Daerah untuk menyusun perencanaan pembangunan mereka. RPJMN memiliki kualitas yang diragukan, karena tidak bisa dievaluasi. Substansi RPJMN ternyata tidak selalu kongruen dengan RKP yang seharusnya adalah dokumen penjabaran tahunannya. Hal ini menjadikan 5xRKP ternyata tidak sama dengan seluruh RPJMN bahkan lima RKP tidak merupakan bagian dari RPJMN. RPJMN tidak dapat diproyeksikan pencapaiannya, karena sebagian indikator yang dipakai sulit diupdate datanya. Akhirnya RPJMN tidak dapat dipertanggung-jawabkan hasilnya. Untuk itulah diperlukan reformasi struktur dan format RPJMN. RPJMN ke depana, adalah RPJMN yang harus memenuhi syarat: (1) kredibel, sehingga menjadi rujukan KL, pemda, swasta; (2) sahih, sehingga data dan informasinya dapat diupdate; (3) evaluable, sehingga logis; (4) sederhana, sehingga tidak menyebabkan/mendorong multi-tafsir; dan (5) akuntabel, sehingga siapa yang merencanakan, siapa yang menganggarkan, dan siapa yang melaksanakan harus bertanggung-jawab atas pencapaian hasilnya atas sebuah program dan kegiatan.

II. Muatan Reformasi Struktur dan Format RPJMN

Berkenaan dengan hal reformasi struktur dan format RPJMN tersebut, maka perlu didiskusikan 10 isu, yaitu Struktur Substansi; Tugas Siapa?; Fungsi Apa?; Implementator; Level Indikator; Akuntabilitas; Dokumen Kebijakan; Dokumen Anggaran; Evaluasi; dan Kedalaman Data. Penjelasannya sebagai berikut.

(1) Struktur Substansi

Hirarki pembangunan dikelompokkan menurut Kegiatan Pokok (menjabarkan program sesuai target pencapaiannya), Program (menjabarkan visi dan misi serta agenda Presiden secara terukur dan terdanai), Sasaran Prioritas (dapat menampung Lintassektor atau yang bersifat cross-cutting issues), Agenda (dapat menampung janji kampanye Presiden, dan Pembangunan (sebagai hasil akhir yang dinginkan Presiden, dapat merupakan Kerangka Makro yang diinginkan Presiden).

(2) Tugas Siapa?

Janji Presiden yang tertuang dalam “Agenda” merupakan tugas Presiden setelah bersepakat dengan DPR. Tugas tersebut selanjutnya diteruskan kepada para Menteri KL yang ditunjuknya. Tugas Menteri KL (secara khusus bersama Menteri Bappenas) adalah menuangkan Agenda Presiden itu ke dalam rencana pelaksanaan secara teknokratis agar dapat terimplementasikan dan mencapai keinginan Presiden. Menteri KL dan Menteri Bappenas bertanggung-jawab dalam menentukan kebijakan Sasaran Prioritasnya (tentu saja atas rekomendasi teknokratis dari Eselon I masing-masing). Atas dasar keputusan Sasaran Prioritas itu, maka para Eselon I KL dan Bappenas menyusun Disain Teknis-nya masing-masing. Disain teknis itu merupakan substansi pokok setiap Program. Program di sini adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh KL untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran. Oleh karena itu, satuan Program dalam dokumen Perencanaan (di Bappenas dan KL) harus identik dengan dokumen Penganggarannya (di Depkeu). Sasaran Program, lebih lanjut, dicapai dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pokok. Kegiatan pokok disusun oleh Eselon II KL dan Bappenas. Kegiatan Pokok terdiri dari satu atau lebih unit sasaran terkecil untuk mencapai Sasaran Program.

(3) Fungsi Apa?

Kegiatan Pokok merupakan fungsi yang harus dijalankan oleh Eselon II KL dengan mendapatkan pemantauan dari Eselon II Bappenas yang menjadi mitra-kerjanya. Program merupakan fungsi yang menjadi tanggung-jawab Eselon I KL dan mitra Eselon II Bappenasnya. Mereka bertanggung-jawab atas pencapaian Sasaran Kegiatan Pokok dan pencapaian Sasaran Program.

(4) Implementator

Unit terkecil pelaksana pembangunan adalah Pimpro (PPK). yang merupakan kepanjangan tangan Eselon II masing-masing. Meski demikian, penanggung-jawab utama untuk keseluruhan pelaksanaan Kegiatan Pokok yang tergabung dalam satu payung Program tetap pada Eselon I KL-nya.

(5) Level Indikator

Agar setiap sasaran dapat terukur maka perlu disepakati indikator sesuai levelnya masing-masing untuk setiap Kegiatan Pokok, Program, Prioritas/Bab, Agenda, dan Pembangunan. Indikator-indikator untuk Kegiatan Pokok adalah asumsi yang harus terealisasikan untuk mencapai indikator Program. Demikian pula indikator-indikator Program merupakan asumsi yang harus terrealisasikan agar Indikator Prioritas/Bab terpenuhi. Setiap indikator harus mempunyai batasan waktu pencapaian. Hal ini harus didefinisikan dan disepakati.

Pemilihan dan penentuan indikator untuk masing-masing program untuk sementara dapat memakai uraian yang telah ada di dalam sasaran prioritas/bab dan sasaran program yang tertera dalam RPJMN 2004-2009 (yang lebih lanjut dirinci menurut bab-bab dalam RPJMN 2004-2009) serta sasaran kegiatan yang tertera dalam RKP tahunnya. Setiap Bab (Bab RPJMN) dapat dianggap sebagai wadah sekumpulan indikator program yang akan dicapai oleh program-program pembangunan dalam Bab itu.

(6) Akuntabilitas

Pencapaian indikator Kegiatan Pokok merupakan tanggung-jawab Eselon II KL dan mitra Eselon II Bappenasnya. Pencapaian indikator Program merupakan tanggung-jawab Eselon I KL dan mitra Eselon I Bappenasnya. Demikian seterusnya, hingga dapat dinyatakan bahwa Presiden dan DPR adalah bertanggung-jawab atas pencapaian indikator Pembangunan secara nasional.

(7) Dokumen Kebijakan

Kerangka Pembangunan yang terdiri dari Agenda, Priorias/Bab, dan Program disertai dengan penjelasan ringkas sasaran pencapaiannya (dalam suatu indikator), pendanaannya, dan pelaksananya dalam 3-5 tahun didokumentasikan dalam RPJMN.

Kerangka Program dijelaskan secara terinci dalam kerangka kegiatan pokok yang disertai penjelasan masing-masing sasaran pencapaiannya (dalam suatu indikator), pendanaannya, dan pelaksananya didokumentasikan dalam RKP. Program merupakan pengait antara RPJMN, RKP, dan APBN.

(8) Dokumen Anggaran

RPJMN memuat indikasi pendanaan untuk masing-masing program selama 5 tahun.
RKP memuat indikasi pendanaan untuk masing-masing program dan masing-masing kegiatan pokok selama 1 tahun dan kemudian menjadi dasar penyusunan APBN.

(9) Evaluasi

Eselon II KL dan mitra Bappenasnya memantau pelaksanaan Kegiatan Pokok sesuai PP 39. Eselon I KL dan mitra Bappenasnya mengevaluasi Programnya sesuai PP 39.
Evaluasi Outcome (hlm 11 UU 25/2004) dapat dilakukan untuk memantau Kinerja Prioritas atau suatu KL, sekaligus merupakan bahan penyusunan LAMPID. Evaluasi dampak dilakukan untuk meninjau kemanfaatan (benefit) dari setiap Program dalam satu payung Prioritas atau Agenda secara komprehensif.

(10) Kedalaman data

Jika diperlukan, maka beberapa indikator tertentu dari Kegiatan Pokok, Program, Prioritas, dan Agenda/Lintassektor dapat menggambarkan kontribusi secara kewilayahan, maka beberapa indikator tertentu (terutama pada level indikator Program) harus mempunyai agregasinya pada level Provinsi atau bila mungkin Kabupaten/Kota.

III. Isu Paradigmatik

Pembahasan mereformasi struktur dan format RPJMN pada akhirnya akan ditentukan juga oleh isu-isu yang bersifat paradigmatis. Isu-isu paradigmatik yang perlu dipilih adalah:

(1) Regional vs Sektoral

Paradigma pembangunan regional vs paradigma pembangunan sektoral. Keduanya dapat dipakai beriringan, asalkan salah satu menjadi titik-pandangnya. Jika kita memilih regional sebagai titik pandangnya, maka kita dapat mengatakan bahwa kedalaman substansi dan indikator untuk setiap provinsi akan terdiri dari beberapa sasaran prioritas, sasaran program, dan sasaran kegiatan pokok berserta masing-masing indikatornya.

(2) Lintassektor vs Monosektor

Paradigma pembangunan lintassektor vs paradigma pembangunan monosektor. Paradigma pembangunan monosektor dapat dikatakan juga sebagai pendekatan program. Keduanya sebenarnya dapat dipakai beriringan, namun pengalaman menunjukkan bahwa penggunaan keduanya secara beriringan ternyata menghilangkan watak akuntabilitas yang harus diemban oleh perencana/penganggar dan pelaksananya. Ketika ditanya siapa yang bertanggung-jawab atas pencapaian hasil pembangunan lintassektor maka tidak ada yang berani bertanggung-jawab dengan alasan pelaksanaannya bukan hanya satu lembaga. Sudah tiba saatnya sekarang ini, sesuai dengan prinsip performance based budgeting, paradigma yang dipilih adalah paradigma program, dimana lembaga (misalnya setingkat eselon I) bertanggung jawab atas satu program yang akan dicapai oleh beberapa kegiatan.

IV. Aplikasi Perencanaan, Penganggaran, dan Evaluasi Pembangunan

Salah satu penyempurnaan yang harus dilakukan adalah menciptakan sebuah aplikasi mengintegrasikan proses perencanaan, penganggaran, dan evaluasi pembangunan. Dalam aplikasi tersebut terdapat format (1) menyusun perencanaan dan penganggaran, (2) menentukan variabel dan indicator; (3) memilih proyeksi pencapaian; (4) memantau pencapaian tahunannya dengan patokan baseline yang direncanakan terhadap proyeksinya; (5) mengevaluasi pencapaian hasilnya sesuai indikator program dan indikator kegiatan yang telah ditentukan.

V. Penutup

Kelak, ketika RPJMN 2010-2014 telah disusun, kita akan memliki RPJMN yang akuntabel dan mempunyai indikator pencapaian yang terukur dan sistematis. Para penanggung-jawab program dan kegiatan akan dikenai pertanggungjawabannya. Implikasi yang muncul dari hal ini adalah bahwa kita tidak boleh ceroboh dalam menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan. Implikasi berikutnya adalah bahwa birokrasi akan lebih dihormati karena hanya manusia yang cerdas dan berani bertanggung-jawablah yang mempunyai kapasitas menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan.

--ooOOoo--