08 Januari 2010

Menyongsong Penerapan KPJM pada APBN 2010 (Sebuah Catatan)

Menyongsong Penerapan KPJM pada APBN 2010 (Sebuah Catatan)

Oleh

Randy R. Wrihatnolo


I. Latar Belakang


Proses penganggaran dan perencanaan pembangunan senantiasa merupakan satu entitas dalam siklus pembangunan. Konsep demikian telah dituangkan dalam kerangka hukum UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU 17/2003) dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU 25/2004). Pada bagian Penjelasan Atas UU 17/2003 bahkan dirumuskan bahwa ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD sebagaimana diatur dalam UU 17/2003 harus menggunakan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam penyusunan anggaran (Medium Term Expenditure Framework) atau secara resminya disebut sebagai Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM). Alasannya, dalam penyelenggaraan pemerintahan modern dinyatakan bahwa penganggaran membutuhkan sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM). Untuk itulah mulai periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 mulai diperkenalkan pula KPJM sebagai dasar penyusunan anggaran tahunan.[1]


II. Konsep Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah


Pendekatan baru dalam metode penganggaran yang didasarkan pada pendekatan Performance-based Budgeting dan Medium Term Expenditure Framework (PBB-MTEF) mempunyai kunci utama pada pelaksanaan anggaran berdimensi multi-tahun/tahun jamak (multi-years), mengestimasi pengeluaran untuk 5 tahun ke depan (forward estimate), adanya penetapan angka dasar sebagai perhitungan forward estimate (baseline), memungkinkan adanya inisiatif baru (new iniciative) yang berimplikasi pada penambahan anggaran pada suatu waktu yang diperlukan.


Kerangka kerja KPJM dilakukan dengan menggunakan (1) sistem costing yang dikembangkan sesuai dengan kerangka kerja KPJM yang utama, yaitu penganggaran normal untuk tahun jamak dan antisipasi kebijakan baru (new policy); (2) sistem costing yang menerapkan pendekatan akuntabilitas yang antara lain diwujudkan dalam bentuk pemuublikasian KPJM baik secara tercetak maupun online; dan (3) sistem costing yang menerapkan teknik running cost, pelayanan dasar, multiyears, tunggakan hutang tahun sebelumnya, dan penyelesaian kegiatan.


Pemberlakukan PBB-MTEF diterapkan untuk memperoleh gambaran "perkiraan maju" sehingga kepastian pendanaan untuk 3 tahun ke depan sudah ada. Hal ini sesungguhnya dapat membantu Bappenas menyusun rencana pembangunan yang realistis sesuai ketersediaan anggaran. Dengan demikian, rencana pembangunan akan sejalan dan saling melengkapi dengan pendanaannya. Kebijakan perencanaan akan mempunyai asumsi terpentingnya yaitu ketersediaan anggaran baseline-nya. Meski dapat ditambahkan kebijakan baru --yang dianggap sebagai inisiatif baru. Inisiatif baru adapat berupa komponen, kegiatan, program, atau kebijakan baru. Ciri inisiatif baru adalah adanya output baru, baik jenis maupun volume outputnya.


Selain itu, dalam KJPM akan diketahui: (1) rencana anggaran dari suatu kebijakan yang sedang berjalan dalam 5 tahun (current policy) yang komponen dan kegiatannya dilakukan kontinu dalam tahun jamak; (2) output selama 5 tahun. Satu kegiatan boleh menghasilkan lebih dari satu output, asalkan indikatornya jelas dan terukur. Komponen-komponen dari suatu kegiatan itulah yang akan menghasilkan output-output; (3) adanya kebijakan baru dalam kerangka inisiatif baru yang diajukan KL. Pada "siklus penyusunan dan penetapan APBN", titik proses pada pagu indikatif dan pagu sementara dan pagu merupakan titik dimana KL dapat mengajukan inisiatif baru; dan (4) adanya harga dan volume kegiatan dalam 5 tahun. Hal ini merupakan akibat dari penerapan model umum pembiayaan yang didasarkan pada perkalian antara harga dan volume [Biaya = Harga x Volume รจ kontinue untuk kegiatan bersifat rutin].


Peran Deputi Pendanaan Pembangunan Bappenas dan Ditjen Anggaran dalam penyusunan KPJM adalah menentukan persetujuan atas penyesuaian angka dasar dan penilaian atas kebijakan baru. Angka dasar dijustifikasi oleh perubahan asumsi makro seperti inflasi, kurs, harga minyak dan sebagainya sepanjang faktor penghitungnya itu relevan dengan penganggarannya.


III. Cara Menentukan Pagu 2011 dalam Konteks KPJM


Sebagai upaya penyempurnaan mekanisme penganggaran, Depkeu dan Bappenas akan menciptakan baseline awal tahun 2011 yang dilakukan dilakukan sejak awal 2010. Caranya: (1) menentukan patokan. Pagu anggaran 2010 menjadikan titik dasar penentuan apakah suatu program akan terus berjalan (moving on) ataukah akan dihentikan (dropped-off); (2) melakukan pengelompokan kegiatan baru. Kegiatan-kegiatan baru atau program-program baru harus ditentukan akan masuk program atau bidang yang mana; (3) mengelompokkan kegiatan yang masuk dalam komponen organisasi (departmental)[2] dan yang masuk komponen untuk masyarakat (administered)[3], dan (4) penghitungan biaya (costing). penghitungan biaya dilakukan dengan menghitung elemen-elemen seperti: biaya operasional (running cost), pelayanan dasar, pembiayaan multiyears, tunggakan hutang tahun sebelumnya, dan penyelesaian kegiatan.


Pada kesempatan workshop ini diberikan contoh cara menetapkan pagu baseline. Penetapan pagu baseline mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

Tahap 1, menentukan perkiraan angka dasar awal APBN 2011. Caranya adalah: (a) dengan menentukan prakiraan maju (forward estimates) berdasarkan Pagu Definitif 2010 (berdasarkan program/kegiatan yang direstrukturisasi); (b) Menelaah prioritas berdasarkan RPJMN dan mengembangkan proposal inisiatif baru untuk Anggaran 2011; dan (c) Mengombinasikan kedua hal di atas akan membentuk angka dasar awal KPJM.

Tahap 2, menentukan perkiraan angka dasar APBN 2012. Caranya adalah: (a) Memperbarui angka dasar berdasarkan revisi parameter ekonomi yang telah disetujui (departmental dan administered), dan parameter non-ekonomi (hanya administered); dan (b) Menambahkan kebijakan baru atau perubahan kebijakan berjalan.


IV. Pengalaman Australia dalam Reformasi Penganggaran dan Perencanaan


KPJM mendorong disiplin fiskal, kepastian tentang apa yang akan dicapai (pencapaian tujuan) dalam 5 tahunan (medium term), keputusan kabinet/pemerintah dibuat dengan informasi yang lebih baik, pembiayaan lebih pasti untuk 5 tahun, transparan karena anggaran 5 tahun dipublikasikan, membuka ruang lebih besar untuk fokus kepada kebijakan baru dan hal-hal yang prioritas, tidak perlu menghitung kembali biaya kebijakan berjalan (hemat waktu).[4]


Konsep dasar KPJM yang diberlakukan di Australia, mirip dengan yang akan dilakukan di Indonesia:

Pertama, Memperkirakan semua pengeluaran dalam rentang waktu 4 tahun (tahun anggaran dan 3 tahun ke depan).

Kedua, Menerapkan rooling budget, tidak perlu melakukan re-cost semua kegiatan berjalan dalam tiap tahun anggaran, karena hanya perlu memperbarui parameter dan inisiatif baru.

Ketiga, Fokus pada inisiatif baru (new policy). Sementara pemantauan fokus pada kebijakan berjalan (current policy). Jadi ada kebijakan yang sudah ada (current policy) dan kebijakan baru (new iniciative).

Keempat, Kebijakan atau kegiatan baru yang disetujui dapat merupakan anggaran tambahan jika di tengah jalan ternyata kurang tapi masih prioritas.


Berkenaan dengan penerapan evaluasi di Australia, maka dijelaskan bahwa (1) pelaksanaan evaluasi merupakan hak dari masing-masing Negara Bagian (desentraliasi); (2) pimpinan unit kerja (CEO) menetapkan Strategic Review Area yang disepakati sebagai obyek yang akan dievaluasi; (3) jumlah anggaran yang besar untuk keperluan suatu organisasi (dalam konteks kebutuhan “Departemental”) belum tentu mencerminkan kriteria urgensi KL yang bersangkutan. Besaran anggaran tergantung fungsi “departemental” KL yang bersangkutan.


V. Implikasi[5]


Beberapa implikasi yang akan timbul dengan adanya KPJM adalah sebagai berikut:


Pertama, keberadaan KPJM dapat memastikan ketersediaan anggaran selama 5 tahun ke depan. Namun belum tentu program/kegiatan tersebut akan mempunyai dana sebesar itu untuk 5 tahun apabila dipandang program/kegiatan ybs tidak diperlukan lagi, atau terjadi perubahan parameter seperti asumsi makro. Meski demikian, anggaran dalam RPJMN bersifat sangat sangat sangat sementara (soft-budget), yang hard-budget (sudah pasti) adanya dimulai dari RKP dan diakhiri di APBN.


Kedua, inisiatif baru merupakan pintu untuk menampung kebijakan baru. Kebijakan baru dapat muncul apabila terdapat Unit Kerja baru (KL atau UKE 1 baru), keputusan politis, permintaan Presiden, kebutuhan mendesak, dan sejenisnya.


Ketiga, KPJM yang menerapkan kepastian anggaran selama 5 tahun ternyata TIDAK PASTI karena masih dibuka inisiatif baru. Persoalan akan muncul ketika ketentuan 1 program untuk 1 UKE I tapi jika ada inisiatif baru maka akan ada lebih dari 2 program untuk 1 UKE I.


Keempat, perlunya mensinerginakan sasaran RPJMN dengan baseline lima tahunan dalam KPJM. Salah satunya dengan menyempurnakan penggunaan Tabel 2.3 RPJMN sebagai upaya untuk mensinergikan Dokumen Rencana dan Dokumen Anggaran.


Kelima, inisiatif baru hanya dapat diketahui ketersediaan anggarannya antara Mei-Juli ketika perubahan asumsi makro sudah dapat mempengaruhi munculnya tambahan anggaran. Perubahan baru harus sejalan dengan RKP-nya. Oleh karena itu, inisiatif baru mempunyai potensi menimbulkan masalah baru dalam penetapan sasaran program/kegiatan yang telah ada di RPJMN.


Keenam, perkiraan maju dapat menjadi baseline perencanaan tahun berikutnya. Perkiraan maju tertulis di RPJMN, namun juga dapat dinyatakan kembali dalam RKP.


Ketujuh, perlu disusun Glosari Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan sebagai akibat munculnya berbagai istilah baru dalam urusan Perencanaan dan Penganggaran yang membingungkan.


Kedelapan, kelak tidak akan ada lahi SBU dan SBK yang diterbitkan setiap tahun. Karena proses justifikasi telah dilakukan untuk 5 tahun dengan mengubah parameter makronya.


Kesembilan, terdapat keinginan untuk memberikan insentif kepada KL yang proses penyerapannya 100%. Hal ini akan dibahas dalam RUU Insentif. Intinya, jika suatu KL berhasil efisien melaksanakan program, maka pelaksana kebijakan di KL yang bersangkutan berhak atas insentif incash atau inkind. Tapi DJA Depkeu belum setuju jika insentif diberikan dalam bentuk incash.


Kesempuluh, akan dilakukan Revisi terhadap PP 21. Substansi revisi dilakukan oleh Tim Asistensi Makro dan BKF. Substansi yang sedang dipertimbangkan adalah akan ada perhitungan ruang baru untuk kerangka kerja penentuan baseline anggaran. Sehingga berapa jarak yang ideal antara baseline dengan pagu teratasnya (ceiling cost) akan dapat diketahui. Saat ini sedang dirumuskan metode penghitungannya.


Kesebelas, satuan untuk "costing" yang dirumuskan Ditjen Perbendaharaan Negara dan "posting" yang dirumuskan DJA masih sering ada jeda 3 bulan. Sehingga pencairan dana untuk suatu kegiatan sering terlambat. Saat ini sedang dirumuskan penyatuan satuan “costing” dan “posting” dalam konteks KPJM.


Keduabelas, berdasarkan UU 25/2004, RPJMN bersifat soft-budget karena bersifat expectation. Oleh karena itu anggarannya sangat sangat sangat indikatif. Sementara itu berdasarkan UU 17/2003, KPJM bersifat hard-budget, karena adanya kejelasan berapa anggaran untuk suatu program/kegiatan. Hal ini mempunyai implikasi lanjutan, kelak RJPMN tidak akan ada lagi gunanya dan sasaran/indikator pencapaian dalam table 2.3 RPJMN akan dilupakan KL.


V. Penutup


Sebagai suatu upaya menuju reformasi penganggaran dan perencanaan pembangunan, keberadaan KPJM merupakan sebuah terobosan, karena kita akan mempunyai kejelasan anggaran selama 5 tahun sehingga dapat menjadi patokan dalam penetapan sasaran dan pencapaian indikatornya dalam 5 tahun ke depan. Namun keberadaan KPJM membuka potensi konflik dengan RPJMN, terutama sifat anggaran yang dicantumkan dalam RPJMN yang masih sangat-sangat-sangat indikatif. Sementara itu KPJM memuat anggaran yang sudah lebih definitif. Hal ini merupakan tantangan Bappenas, suatu tantangan yang terdiri dari dua pekerjaan besar, yaitu: (1) Bappenas harus mengisi table 2.3 dengan amat professional; dan (2) Bappenas harus tegas dalam menyusun Buku I RPJMN sebagai pengarah (guidance) dari KPJM, karena Buku I mengandung substansi kehendak Presiden, bukan sebaliknya –KPJM bukanlah kehendak Presiden. Sehingga adalah salah jika kehendak Presiden ditentukan oleh KPJM!


--ooOOoo--



[1] Penjelasan Atas UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Bab I. Umum, Subbab 6. Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD.

[2] Dulu disebut pengeluaran rutin.

[3] Dulu disebut pengeluaran pembangunan.

[4] Sebagaimana dituturkan oleh Sharon Ong dan Sean O'Grady dari Australian Department of Finance and Deregulation.

[5] Merupakan hasil diskusi dan pengayaan yang dilakukan dalam forum diskusi termasuk penulis.