06 Agustus 2008

Metodologi Penentuan Variabel Rumah Tangga Miskin

Metodologi Penentuan Variabel Rumah Tangga Miskin
(Contoh dalam Pendataan Sosial-Ekonomi 2005 - Sensus Kemiskinan)
oleh: Randy R. Wrihatnolo

I. Dasar Konsep

BPS pada tahun 2005 melakukan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) dengan pendekatan sensus kepada rumah tangga di seluruh Indonesia. Pendataan ini dikenal dengan sebutan pendataan/sensus kemiskinan. Pendekatan dalam pendataan tersebut dikaitkan dengan kemampuan seseorang/rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar baik untuk makanan maupun non-makanan. Seseorang/rumah tangga dikatakan miskin bila kehidupannya dalam kondisi serba kekurangan, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Batas kebutuhan dasar minimal dinyatakan melalui ukuran garis kemiskinan yang disetarakan dengan jumlah rupiah yang dibutuhkan.

Secara konseptual penduduk dikatakan sangat miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 1900 kalori per orang perhari plus kebutuhan dasar non-makanan, atau setara dengan Rp. 120.000,- per orang per bulan (pada tahun 2006).

(1) Penduduk dikatakan miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 1900 sampai 2100 kalori per orang perhari plus kebutuhan dasar non-makanan, atau setara dengan Rp. 150.000,- per orang per bulan.
(2) Penduduk dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 2100 sampai 2300 kalori per orang per hari plus kebutuhan dasar non-makanan, atau setara dengan Rp. 175.000,- per orang per bulan.

Garis kemiskinan yang disetarakan dengan jumlah rupiah yang dibutuhkan akan bervariasi antar daerah tergantung pada harga-harga kebutuhan dasar di masing-masing daerah.

II. Kategorisasi rumah tangga

Bila diasumsikan suatu rumah tangga memiliki jumlah anggota rumah tangga (household size) rata-rata 4 orang, maka batas kemiskinan rumah tangga pada tahun 2006 adalah:
(1) Rumah tangga dikatakan Sangat Miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebesar 4 x Rp. 120 ribu = Rp. 480 ribu per rumah tangga per bulan.
(2) Rumah tangga dikatakan Miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4 x Rp. 150 ribu = Rp. 600 ribu per rumah tangga per bulan, tetapi diatas Rp. 480 ribu.
(3) Rumah tangga dikatakan Mendekati Miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4 x Rp. 175 ribu = Rp. 700 ribu per rumah tangga per bulan, tetapi diatas Rp. 600 ribu.

III. Variabel Kemiskinan

3.1. Unit Analisis

Unit analisis untuk pendataan rumah tangga miskin adalah (1) unit wilayah dalam bentuk Satuan Lingkungan Setempat; dan (2) unit rumah tangga yang ditentukan berdasarkan 14 variabel inti dan 4 variabel tambahan.

Wilayah Pendataan. Pendataan menggunakan Satuan Lingkungan Setempat (SLS) terkecil sebagai basis wilayah kerja. SLS terkecil yang dimaksudkan adalah Rukun Tetangga (untuk sebagian besar wilayah di Indonesia), Banjar di Bali, Jurong di Sumatera Barat dan Kampung/Dusun bagi beberapa daerah lainnya yang belum menggunakan Rukun Tetangga (RT). Seluruh SLS yang tersebar di Nanggroe Aceh Darussalam hingga ke Papua tercakup dalam pendataan ini tanpa terkecuali.

Variabel Kemiskinan. Dalam pendataan ini digunakan 14 variabel untuk menentukan suatu rumah tangga layak atau tidak dikategorikan miskin sekaligus menentukan skorsing tingkat keparahan kemiskinannya, yaitu:
(1) luas bangunan,
(2) jenis lantai,
(3) jenis dinding,
(4) fasilitas buang air besar,
(5) sumber air minum,
(6) sumber penerangan,
(7) jenis bahan bakar untuk memasak,
(8) frekuensi membeli daging, ayam, dan susu seminggu,
(9) frekuensi makan sehari,
(10) jumlah stel pakaian baru yang dibeli setahun,
(11) akses ke puskesmas/poliklinik,
(12) lapangan pekerjaan,
(13) pendidikan tertingi kepala rumah tangga, serta
(14) kepemilikan beberapa aset.

Disamping itu, terdapat 4 variabel program intervensi, yaitu:
(1) keberadaan balita,
(2) anak usia sekolah,
(3) kesertaan KB, dan
(4) penerimaan kredit usaha (UMKM).

Terdapat banyak pilihan variabel kemiskinan yang dapat dikaitkan dengan pendekatan normatif kebutuhan kalori dan kebutuhan dasar non-makanan sebagai dasar penetapan garis kemiskinan. Namun setelah melalui kajian yang mendalam berdasarkan uji statistik hasil survei BPS beberapa tahun, menunjukkan bahwa hubungan antara 14 variabel kemiskinan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan dasar non-makanan adalah sangat erat atau paling representatif untuk menjelaskan garis kemiskinan.

3.2. Unit Analisis Yang Dikecualikan

Walaupun seluruh rumah tangga miskin secara teoritis akan terdata, tetapi beberapa pengecualian tetap diterapkan. Rumah tangga yang tidak dicakup dalam pendataan rumah tangga miskin ini meliputi: pegawai negeri dan anggota TNI/Polri, penghuni kamp/barak pengungsi, dan tuna wisma/gelandangan. Mereka dikeluarkan dari cakupan pendataan. Alasan tidak dimasukkannya kelompok ini dalam Pendataan Rumah Tangga Miskin 2005 ini antara lain:

(1) Pegawai Negeri dan Anggota TNI/Polri: Mereka adalah organis pemerintah. Data tentang PNS dan Anggota TNI/Polri tersedia lengkap di Pemerintah sehingga tidak perlu lagi untuk didata. Kesejahteraan PNS dan Anggota TNI/Polri adalah tanggung jawab langsung pemerintah melalui mekanisme gaji dan tunjangan yang diberikan, sehingga tidak relevan dan urgen dengan program umum kompensasi kenaikan harga BBM ini.
(2) Penghuni Kamp/Barak Pengungsi: Kelompok ini telah didata secara khusus berkaitan dengan program penanganan mereka. Bantuan untu pengungsi juga telah dilakukan dengan mekanisme dan bentuk yang berbeda dibanding program massal seperti yang akan dilakukan melalui program kompensasi BBM ini.
(3) Tuna Wisma/Gelandangan: Data mengenai kelompok ini sesungguhnya telah ada di departemen terkait (yang bertanggung jawab mengurus kaum gelandangan) .

IV. Teknik Pendataan

4.1. Teknik Pengolahan Data

Dalam pendataan rumah tangga miskin 2005/2006, ranking kemiskinan disusun berdasarkan nilai skor kemiskinan tertinggi hingga terendah menggunakan indeks komposit (nilai tertimbang) dari kombinasi nilai skor masing-masing variabel kemiskinan. Dengan nilai ranking ini memungkinkan dilakukan pengelompokkan rumah tangga menurut tingkat kemiskinan (sangat miskin, miskin dan mendekati miskin).

4.2. Hasil Pendataan

Hasil pendataan kemiskinan PSE.05 dipergunakan untuk Program Bantuan Langsung Tunai di tahun 2005 dan tahun 2006. Berdasarkan pendataan yang dilakukan selama 6 bulan oleh BPS (Agustus 2005-Februari 2006) diperoleh jumlah rumah tangga yang masuk kategori rumah tangga sangat miskin, miskin, dan mendekati miskin sebesar 19.853.716 rumah tangga, namun berdasarkan realitas lapangan per 1 Februari 2007 ternyata hanya sebesar 19.195.029 rumah tangga (perincian terlampir dalam Tabel 2).

4.3. Kelemahan Pendataan

Berdasarkan pengalaman yang dilakukan BPS bersama mitra statistik di seluruh Indonesia pada saat melakukan pendataan di lapangan, maka ditemukan sejumlah permasalahan yang sebenarnya telah dapat diduga sebelum pelaksanaan sensus dilaksanakan.

Kelembahan yang terdapat dalam metode pendataan rumah tangga miskin secara umum adalah sebagai berikut: (1) Kesulitan mendefinisikan indikator berdasarkan karakter wilayah dan kemasyarakatan; (2) Kesulitan mendefinisikan equavalensi moneter dari setiap indikator yang digunakan; (3) Kebutuhan untuk menggunakan hasil pendataan sangat mendesak; (4)Pendekatan teknis pendataan kemiskinan yang bersifat sensus secara nasional baru pertama kali dilakukan; dan (4) Belum ada data kependudukan secara nasional yang valid, karena sistem registrasi penduduk yang masih buruk.

Pada saat pendataan dilakukan penyempurnaan yang dilakukan adalah sebagai berikut: (1)Melakukan briefing ulang kepada mitra statistik berkenaan dengan variasi dan modifikasi indikator di lapangan; dan (2) Menggunakan tenggat waktu untuk membatasi rumah tangga yang terkategori sebagai RTM.

V. Rekomendasi

Rekomendasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam pendataan rumah tangga miskin dengan pendekatan sensus adalah sebagai berikut:
(1) Sebelum dilakukan pendataan perlu diketahui terlebih dulu Data Kependudukan terakhir (updated). Untuk itu perlu dilibatkan peran Ditjen Administrasi Kependudukan.
(2) Perlu dilakukan sinergi indikator kemiskinan di tingkat nasional antara indikator yang dipergunakan BPS dengan indikator yang digunakan oleh instansi lain seperti BKKBN.
(3) Perlu dilakukan identifikasi variabel dan indikator lokal dari BPS Provinsi/Kabupaten/Kota atau instansi lain di provinsi/kabupaten/kota seperti perguruan tinggi setempat.
(4) Berikut dalam tabel 1 dikemukakan rekomendasi yang bersifat khusus untuk setiap variabel yang digunakan dalam pendataan PSE.05 lalu.

--ooOOoo--