16 Oktober 2008

Intermezzo: Filsafat Plato dan Aristoteles

Intermezzo: Filsafat Plato dan Aristoteles
Randy R. Wrihatnolo

Pada dua pemikiran filsafat Yunani yang lahir dari Plato dan muridnya Aristoteles. Plato mengajarkan dasar filsafat episteme, suatu filsafat yang mencari pengetahuan sejati yaitu ide-ide abadi dari dunia baka, yang dibuka dengan pertanyaan ”Saya berpikir karena saya ada”. Pemikiran Plato dikomentari Averuss. Pemikiran Plato bercirikan apriori, penuh pertanyaan mengapa. Cara berpikir apriori ala Plato ini mendasari lahirnya ilmu pasti sebagai syarat mutlak untuk berilmu. Sementara itu Aristoteles bercirikan cara pikir posteori yang ditandai pendekatan ”terminus medius”, dimana dalam akal manusia ada keterarahan (intentionality) yang terus menerus bertanya untuk mengetahui/mengenal sesuatu dalam hubungan manusia dan dunia dimana subyek dan obyek berinteraksi sehingga dapat diabstraksikan hubungan empirisnya.

Cara pikir Aristoteles yang meninggalkan indrawi, melampaui taraf dugaan dan pendapat, episteme (what and why) itu menghasilkan pengetahuan yang dicapai melalui hubungan sebab-akibat (cognitive per causa). Kajian dilakukan melalui pengalaman, percobaan, dan penemuan menghasilkan filsafat ilmu yang berbasis penemuan (context of discovery), pembenaran (context of justification), dan hukum alam (physical law) serta teori ilmu (scientific theory). Cara pikir Aristoteles menjadi dasar perkembangan cara pikir induktif.

Kontribusi Aristoteles dalam metode berpikir induktif, yaitu formulasi generalisasi didasarkan pada observasi kejadian khusus, merupakan perkembangan dari gaya berpikir deduktif yang lebih dulu ada. Jika penalaran deduktif bercirikan kemutlakan, maka penalaran induktif bercirikan kemungkinan (probably), disebut demikian karena ada kemungkinan tidak benar. Berbedaan pokok 2 cara pikir itu ditunjukkan contoh berikut:

Deduktif (kemutlakan)
Premis mayor: semua manusia pasti mati
Premis minor: Amin manusia
Silogisme: Amin pasti mati

Induktif (kemungkinan)
X alumni sekolah A pandai
Y alumni sekolah A pandai
Z alumni sekolah A juga, maka dia pandai (pandainya bersifat mungkin, karena semua alumni sekolah A dianggap pandai)

Metode deduktif dan induktif ini dipakai dalam siklus empirik untuk memperoleh pengetahuan ilmiah baru. Jika dengan siklus itu kita menemukan teori baru maka disebut grounded theory. Siklus “dapat dimulai” dari pertanyaan tentang what and why yang dinalar secara deduktif hingga tersusun kesimpulan verifikasi (misal air menguap di suhu 100oC) atau falsifikasi (misal anomali air di సుః 4 dఎరజట్ C). Siklus ini “dapat diakhiri” dengan terbentuknya teori atau hukum baru (jika ada).

Kembali pada pembahasan terminus medius (istilah antara), yaitu suatu cara nalar untuk menarik kesimpulan dari 2 pernyataan dengan meletakkan pernyataan ke-3 dan kemudian menyusun 3 pernyataan itu menjadi 1 pernyataan saja. Misal: ”Semua mahasiswa UI (=S) itu pandai (=P), karena lulus SPMB (=M)”. Untuk membuktikan bahwa S=P, maka diperlukan M. Dimana ”S=P karena M”. Bila kalimat pernyataan itu dipisahkan, maka didapat 3 pernyataan berikut: (1) Premis mayor = ”Semua mahasiswa pandai lulus SPMB”, (2) premis minor = ”Mahasiswa UI lulus SPMB”, dan (3) Silogisme = ”Mahasiswa UI pandai”. Kalimat ke-2 (premis minornya) adalah terminus medius. Kalimatnya tunggalnya menjadi ” Mahasiswa UI itu pandai karena lulus SPMB”. Cara pikir yang sama dapat dilakukan untuk kasus berikut: ”Semua dokumen perencanaan pembangunan tidak logis karena tidak bisa dievaluasi”, ”RKP tidak bisa dievaluasi”, ”RKP tidak logis”. Kalimat tunggalnya menjadi: ”RKP adalah dokumen perencanaan yang tidak logis karena tidak bisa dievaluasi”.

Silogisme adalah argumen logis terstruktur yang terdiri dari 2 preposisi yang diasumsikan. Jika diasumsikan secara kategorial ”Manusia (=subyek, S) mengenal mati (=predikat, P)”, maka setiap S adalah P, sementara S adalah P, maka S=P. Namun jika setiap S bukan P, sementara S bukan P, maka S≠P. Misal: ”Tukang es = pedagang”, ”Tukang sate = pedagang”, namun ”Tukang es ≠ tukang sate”!!

Logika–dalam maknanya yang sejati—berarti pengkajian struktur dan prinsip-prinsip penalaran. Logika mengkaji kesahihan (validity, mengukur apa yang diukur) suatu penalaran yang berkenaan dengan bentuk (form). Ia terdiri dari premis (preposisi yang dijadikan dasar), preposisi (kalimat berita), dan silogisme (kesimpulan). Hubungan dalam logika demikian bisa ada 4 bentuk: (1) Jika premis benar, maka kesimpulan benar; (2) Jika premis salah, maka kesimpulan salah; (3) Jika kesimpulan benar, maka premis belum tentu benar; (4) Jika kesimpulan salah, maka premis pasti salah. (--RW--)