05 September 2009

Analisis Kebijakan Pra-Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia

Analisis Kebijakan Pra-Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

I. Latar Belakang

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan salah satu alternatif pekerjaan yang memberikan keuntungan ekonomi berganda bagi Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari paling tidak tiga fakta. Pertama, TKI memberikan kontribusi yang amat besar dalam perekonomian nasional. Kontribusi mereka dalam bentuk pengiriman uang ke kampung halaman (remitansi) mencapai USD 8,24 milyar (2008) atau berada dalam urutan pertama pada sektor jasa dan urutan ke-2 setelah penerimaan devisa migas .

Kedua, penempatan TKI ke luar negeri terus meningkat dalam 5 tahun terakhir dengan rata-rata per tahun mencapai 596.115 orang. Penempatan mereka di luar negeri menyumbang 38 persen peluang kerja di dalam negeri. Antara tahun 1997-2006, sebagian besar TKI, atau sekitar 85 persen, bekerja di Malaysia dan Saudi Arabia, sisanya ke negara lain seperti Uni Emirat Arab, Kuwait, Hongkong, Taiwan.

Ketiga, remintansi TKI menyumbang peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi bagi keluarga mereka di kampung halaman yang diperkirakan berjumlah 16 juta orang. Remitansi TKI mampu menghidupkan perekonomian perdesaan kampung halaman mereka. Berdasarkan daerah penerima remintansi TKI, Jawa Timur merupakan merupakan provinsi yang menerima remitansi TKI yang terbesar (62 persen) disusul Jakarta (15 persen), Jawa Tengah (11 persen), Nusa Tenggara Barat (5 persen), Kalimantan Timur (4 persen), Sulawesi Selatan (1 persen), dan provinsi-provinsi lain (2 persen).

Dampak perekonomian yang besar dari para TKI tersebut sayangnya belum disambut oleh pemerintah dalam bentuk pelayanan prima bagi mereka. Pada tahun 2006 saja, sekitar 80 persen TKI yang berangkat ke luar negeri adalah perempuan. Mereka yang berangkat sekitar 88 persennya bekerja di sektor informal. Sifat pekerjaan sektor informal ini biasanya didominasi oleh kelompok berpendidikan rendah. Hal ini menyebabkan persoalan tersendiri baik bagi TKI maupun bagi para pemangku kepentingan yang terkait dengan TKI. Persoalan terbesar yang berada di seputar isu TKI adalah ketidaktahuan TKI akan prosedur pengurusan dokumen yang diperlukan menyebabkan keluarnya biaya-biaya yang besar yang harus dibayarkan TKI baik secara resmi ataupun tidak-resmi.

TKI merupakan warga negara Indonesia yang juga mempunyai hak untuk dilayani secara baik oleh Pemerintah Indonesia. Namun pada kenyataannya, para TKI belum menerima pelayanan yang prima seperti belum mendapatkan kemudahan dalam pengurusan dokumen bagi TKI yang akan ditempatkan, dan belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai bagi TKI yang sudah ditempatkan. Kurangnya pembelaan (advokasi) bagi para TKI menyebabkan munculnya biaya-biaya yang sangat besar yang harus ditanggung TKI. Selain itu, para calon TKI dikenal mempunyai pendidikan yang kurang baik meski mereka pada umumnya mempunyai keinginan tinggi dalam membantu perekonomian keluarga. Mereka juga merupakan penopang perekonomian nasional dan lokal. Oleh karena itu, para calon TKI perlu mendapatkan advokasi dan fasilitasi. TKI juga perlu mendapatkan insentif agar mereka mempunyai kesiapan yang tinggi dalam masa pra-penempatan.

Oleh karena itu penulis merumuskan masalah bahwa para calon TKI perlu mendapatkan advokasi dan fasilitasi khusus dari Pemerintah. Persoalannya adalah bagaimana menentukan kebijakan operasional advokasi dan fasilitasi bagi calon TKI pada masa pra-penempatan itu.

II. Kerangka Kebijakan Pra-Penempatan Calon TKI di Masa Sekarang

Para TKI sesuai UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri harus mempunyai dokumen yang menjadi persyaratan penempatan mereka di luar negeri. Persyaratan minimal tersebut adalah: (1) memiliki pasport dari Kantor Imigrasi, (2) mempunyau surat hasil pemeriksaan kesehatan dari Depkes melalui klinik yang ditunjuk, (3) memiliki sertifikat kelulusan pelatihan dan uji kompetensi dari BNSP, dan (4) memperoleh visa kerja dari kedutaan besar negara tujuan kerja. Beberapa dokumen tersebut seharusnya tidak dikenakan biaya, namun biaya akan muncul pada saat pemrosesan dokumen yang biasanya dibayarkan kepada biro jasa pengurusan dokumen. Persoalan ini sulit dielakkan dalam realita keseharian pengurusan dokumen mengingat ketidaktahuan TKI dalam persoalan administratif seperti yang dipersyaratkan UU 39/2004.

Kerangka konsep yang akan diberlakukan dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan konstruksi teori-teori motivasi dan teori-teori pelayanan prima. Persoalan pelaksanaan kebijakan pra-penempatan calon TKI berdasarkan UU 39/2004 tersebut akan ditinjau dengan menggunakan pendekatan-pendekatan motivasi dan pelayanan prima. Hal ini dilakukan agar kerangka kebijakan baru yang lebih operasional dapat mengedepankan fungsi insentif, advokasi, dan fasilitasi bagi para calon TKI.

III. Motivasi

Motivasi merupakan pemegang peran terpenting dalam menentukan arah dan langkah-langkah yang akan diambil seseorang atau organisasi. Terdapat dua jenis motivasi yang dapat dijadikan rujukan dalam menilai seorang calon TKI, yaitu motivasi rendah dan motivasi tinggi. Motivasi rendah diindikasikan oleh (1) kecenderungan pengerahan calon TKI yang bersifat mobilisasi atau dibujuk oleh orang lain (oleh pihak ke-3), dan bukan oleh kemauan sendiri calon TKI; (2) kecenderungan calon TKI yang tidak memahami prosedur pelaksanaan pra-penempatan TKI yang menjadikan calon TKI mudah diperdayai oleh orang lain (pihak ke-3). Motivasi calon TKI yang rendah seringkali disebabkan oleh pendidikan calon TKI yang kurang baik, dan demikian sebaliknya, motivasi yang tinggi biasanya disebabkan oleh pendidikan calon TKI yang cukup baik. Motivasi harus ditumbuhkan melalui proses pendidikan. Salah satu pendekatan yang paling baik adalah memberikan advokasi dan fasilitasi kepada warga yang berkeinginan menjadi TKI di luar negeri.

Gambar 1. Peran Motivasi dalam Beban Biaya Pra-Penempatan TKI.

IV. Pelayanan Prima

Pelayanan prima merupakan dimensi baru dalam penyelenggaraan birokrasi yang memegang prinsip good governance. Pelayanan prima meski merupakan kewajiban yang harus diemban oleh birokrasi namun tidak jarang justru tidak dilakukan dengan jujur oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi memberikan pelayanan yang tidak prima kepada calon TKI dalam masa pra-penempatan. Pelayanan yang tidak prima atau buruk biasanya muncul ketika warga tidak peduli kepada peraturan dan prosedur yang ada. Akibatnya, aparat birokrasi yang merasa berat melaksanakan tugas-tugas pelayanan melakukan tindakan menarik keuntungan (rent seeker). Hal ini juga dapat menimbulkan munculnya potensi rantai birokrasi baru yang bersifat tidak resmi. Lebih jauh, juga menimbulkan potensi munculnya pihak-pihak non-pemerintah (pihak ke-3) yang menambah beban biaya bagi calon TKI. Salah satu cara untuk memotong rantai pelayanan birokrasi yang tidak prima adalah adalah dengan mengkompensasi beban biaya tidak resmi yang muncul dari pelayanan tidak prima tersebut dalam bentuk bantuan insentif langsung kepada calon TKI yang telah memenuhi persyaratan.

Gambar 2. Peran Pelayanan Prima dalam Beban Biaya Pra-Penempatan TKI.

V. Penentuan Kebijakan Pra-Penempatan Calon TKI di Dalam Negeri

Konteks penentuan kebijakan pra-penempatan calon TKI di dalam negeri dengan berdasarkan konsep motivasi dan pelayanan prima dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 3. Hubungan Antara Motivasi dan Pelayanan Prima

Tulisan ini menggambarkan elemen motivasi yang mendasari calon TKI dan elemen pelayanan prima yang mendasari pelayanan birokrasi dalam pelaksanaan pra-penempatan calon TKI. Kesenjangan antara motivasi dan pelayanan prima akan mengundang hadirnya jasa perantara dalam pelaksanaan pra-penempatan calon TKI. Oleh karena itu diperlukan suatu perbaikan kebijakan untuk menghindari adanya biaya yang lebih mahal dalam pelaksanaan pra-penempatan calon TKI.

Bentuk kebijakan untuk setiap kabupaten/kota ditentukan oleh dimana letak suatu kabupaten/kota dalam kuadran di atas. Beberapa kebijakan yang menjadi alternatif untuk diimplementasikan antara lain meliputi: (1) insentif langsung, dan (2) bantuan pelatihan swadaya (advokasi dan fasilitasi). Model pilihannya dapat dilakukan sebagai berikut.

Pertama, Kabupaten/kota dengan calon TKI yang bermotivasi tinggi dan dengan pelayanan birokrasi yang sangat prima dapat dilakukan kebijakan normal, yaitu tidak dikenakan pengaturan khusus di kabupaten/kota tersebut.

Kedua, Kabupaten/kota dengan calon TKI yang bermotivasi rendah dan dengan pelayanan birokrasi yang buruk, dapat dikenakan dua kebijakan sekaligus yaitu advokasi dan fasilitasi kepada para calon TKI serta pemberian insentif langsung kepada calon TKI apabila calon TKI memenuhi persyaratan pra-penempatan.

Ketiga, Kabupaten/kota dengan calon TKI yang bermotivasi rendah dan dengan pelayanan birokrasi yang prima, dapat dikenakan pengaturan khusus salah satu saja, yaitu hanya diberikan advokasi dan fasilitasi kepada para calon TKI.

Keempat, Kabupaten/kota dengan calon TKI yang bermotivasi tinggi dan dengan pelayanan birokrasi yang rendah, dapat dikenakan pengaturan khusus salah satu saja, yaitu hanya diberikan insentif langsung apabila calon TKI memenuhi persyaratan pra-penempatan.

Gambar 4. Alternatif Model Kebijakan dalam Masa Pra-Penempatan Calon TKI

VI. Konsep Bantuan Insentif Langsung Kepada Calon TKI

Pemerintah memberikan insentif pra-penempatan langsung (insentif langsung) kepada calon TKI yang telah memenuhi persyaratan. Tulisan ini mempunyai ruang lingkup persoalan memilih metode penyaluran insentif langsung kepada calon TKI ketika berada dalam proses pra-penempatan yang akan dilihat berdasarkan sudut pandang: (1) Tidak menimbulkan insentif negatif bagi calon TKI; (2) Tidak menimbulkan insentif negatif bagi biro jasa pengurusan dokumen dan perijinan; (3) Calon TKI mudah memahami konsep penyaluran insentif pra-penempatan; dan (4) Prosedur penyaluran insentif pra-penempatan adalah yang paling aman dan cepat.

Salah satu model penyaluran yang memeunhi kriteria di atas adalah dengan menggunakan jasa perbankan dalam penyaluran dana. Insentif dapat dicairkan oleh calon TKI untuk membantu biaya-biaya pengurusan dokumen yang diperlukan. Insentif dicairkan melalui bank-bank yang ditunjuk.

VII. Konsep Bantuan Pelatihan Swadaya Kepada Calon TKI

Pemerintah memberikan bantuan pelatihan dan pelaksanaan pengurusan dokumen. Pelaksanaan pelatihan dan pengurusan dokumen dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sudah teruji integritasnya sebagai bentuk bantuan pelatihan swadaya.

Tulisan ini mempunyai ruang lingkup persoalan memilih LSM yang akan melaksanakan bantuan pelatihan swadaya kepada calon TKI dalam masa pra-penempatan. Kriteria yang harus dipenuhi LSM tersebut adalah: (1) mempunyai integritas tinggi terutama kejujuran; (2) mempunyai pengalaman dalam advokasi dan fasilitasi kepada calon TKI; dan (3) diakui perannya oleh LSM-LSM lain yang mempunyai kredibilitas tinggi di tingkat nasional.

--ooOOoo--

Analisis Kebijakan Pembangunan Perdesaan

Analisis Kebijakan Pembangunan Perdesaan
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

I. Pengantar

Pengalaman-pengalaman pelaksanaan sejumlah program pembangunan perdesaan yang pernah dan sedang dilakukan mengundang sejumlah pertanyaan mendasar tentang apa sesungguhnya pembangunan perdesaan itu, apakah program-program pembangunan perdesaan yang telah ada itu benar-benar dibutuhkan masyarakat, dan apakah hasil pelaksanaan berbagai program pembangunan perdesaan telah efektif mengubah taraf kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan perdesaan –dengan melihat pengertian umum tentang perdesaan—sesungguhnya merupakan bentuk implementasi kebijakan pembangunan yang tertua yang pernah dilakukan umat manusia. Pembangunan perdesaan dalam konteks Indonesia juga merupakan salah satu format pembangunan yang paling terdahulu yang pernah dilakukan di Indonesia.

II. Konteks Sejarah Pembangunan Perdesaan di Indonesia

Dalam sejarah pembangunan di Indonesia, pembangunan perdesaan merupakan salah satu kebijakan pembangunan yang dilakukan pada saat pemerintahan Presiden Soekarno melalui kebijakan pembangunan desa sebagaimana dilakukan melalui Rencana Hatta 1950-1955 dan kemudian disempurnakan dalam kebijakan “Pembangunan Masyarakat Desa” yang tertuang baik dalam Garis-garis Besar Rentjana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960 maupun dalam Rantjangan Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Semesta 1961-1969.

Kebijakan pembangunan perdesaan di masa pemerintahan Presiden Soekarno –sebagaimana pengalaman pelaksanaan pembangunan perdesaan di negara-negara Birma, Sailan, India dan Pakistan-- bersandar pada empat hal, yaitu: (1) pembangunan dilaksanakan di daerah-daerah tertentu –dengan daerah kerja seluas kawedanan (penyusun: dalam beberapa kabupaten/kota tetapi lebih sempit dibandingkan wilayah provinsi)-- dengan memperhatikan keterbatasan pendanaan dan sumberdaya manusia (dulu disebut sebagai sumber keuangan dan sumber tenaga terlatih); (2) sektor pembangunan meliputi segala lapangan penghidupan di desa, antara lain pertanian, kehewanan (baca: peternakan), pengairan, pendidikan (anak dan orang dewasa), kesehatan, perhubungan, perindustrian kecil, koperasi, dan perumahan yang dilaksanakan secara integral dan gotong-rojong; (3) sumber pendanaan dari Pemerintah bersifat stimulan --disalurkan melalui organisasi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD)-- dan selebihnya merupakan gotong royong masyarakat; dan (4) pemilihan sektor pembangunan, obyek, dan cakupan yang akan dibangun ditentukan sendiri oleh masyarakat desa sesuai kebutuhan masing-masing desa.

Kebijakan pembangunan perdesaan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, berbeda dengan yang pernah dilakukan di masa Presiden Soekarno, yaitu menitikberatkan pembangunan prasarana. Kebijakan pembangunan perdesaan di masa pemerintahan Presiden Soeharto mencakup lima pendekatan, yaitu: (1) “mendekatkan” desa-desa dengan pusat ekonomi daerah sehingga desa-desa yang menjadi orbit di lokasi-lokasi terpencil dapat ikut berkembang selaras dengan perkembangan ekonomi daerah; (2) meningkatkan produktivitas masyarakat perdesaan dengan memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat desa –dengan tetap memperhatikan pada mekanisme yang hidup di kalangan masyarakat desa yang dilandasi oleh suasana kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh alam, adat istiadat, kepercayaan, kegotongroyongan, dan tata kerja tradisional; (3) menstimulasi pendirian lembaga-lembaga perkreditan di daerah-daerah perdesaan, sehingga dapat melayani kebutuhan-kebutuhan untuk produksi di perdesaan; (4) mengusahakan bantuan materiil kepada desa untuk menyem¬purnakan sarana-sarana produksi dan sarana-sarana sosial sehingga dapat mengintensifkan kegotongroyongan masyarakat desa; (5) mengefektifkan struktur pemerintahan desa dan lembaga-¬lembaga desa yang telah ada. Pendekatan-pendekatan tersebut melahirkan program-program pembangunan perdesaan yang mengarah pada pendekatan tersebut.

Pasca pemerintahan Presiden Soeharto, atau yang dikenal sebagai masa reformasi, dapat dikatakan bahwa pembangunan perdesaannya merupakan kelanjutan atau modifikasi adari berbagai kebijakan yang pernah dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Dalam tataran operasional, tidak ada program-program pembangunan untuk perdesaan yang bersifat pendekatan baru dibandingkan dengan apa yang pernah dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Namun dalam tataran strategi terdapat beberapa inovasi baru sesuai dengan perkembangan ekonomi dan politik dalam negeri, misalnya yang paling penting adalah (1) cakupan pembangunan perdesaan yang dilakukan serentak secara nasional, tidak secara bertahap; dan (2) seiring dengan perkembangan demokrasi maka penentuan dan pelaksanaan kegiatan di tingkat desa ditentukan sendiri oleh masyarakat dengan dibantu oleh tim fasilitator setempat.

III. Apa Itu Desa?

Pembahasan mengenai “desa” dapat ditinjau dari perspektif legal, perspektif sosial dan budaya, dan perspektif ekosistem. Dari perspektif legal, pemahaman tentang desa dapat dilihat dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa yang mendeskripsikan desa dengan ciri-ciri sebagai berikut: “Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk memenuhi ketentuan legal tersebut, suatu desa harus mempunyai institusi pelaksana pemerintahan desa sebagai berikut: (1) Pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa sebagai penyelenggara Pemerintahan Desa (Pasal 7); (2) Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan Perangkat Desa yang terdiri dari unsur pelayanan seperti Sekretariat Desa dan atau Tata Usaha; unsur pelaksana teknis lapangan; dan unsur Pembantu Kepala Desa di wilayah bagian Desa seperti Kepala Dusun (Pasal 7); (3) Badan Perwakilan Desa yang selanjutnya disebut BPD adalah sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa (Pasal 1); dan (4) Lembaga Kemasyarakatan Desa adalah Lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai kebutuhan Desa yang merupakan mitra Pemerintah Desa dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan (Pasal 1). Berdasarkan sudut pandang sosial dan budaya, desa merupakan unit lokasi permukiman masyarakat yang paling kecil yang mempunyai tata pemerintahan dan tata sosial sendiri. Desa merupakan wilayah otonom yang lebih tua daripada unit wilayah lain di atasnya.

Selain pemahaman tentang desa, dikenal juga pemahaman tentang kawasan dan kawasan perdesaan. Berdasarkan sudut pandang ekosistem, maka pemahaman tentang desa akan lebih tepat dijelaskan apabila menggunakan istilah kawasan perdesaan. Dengan demikian hubungan antara pemahaman desa ditinjau dari sudut pandang ekosistem dengan pemahaman tentang kawasan perdesaan akan menemukan benang merahnya. Desa merupakan suatu unit ekosistem yang paling kecil namun sangat kompleks. Suatu desa yang mempunyai ekosistem yang lengkap pada dasarnya merupakan suatu kawasan biologis yang mandiri, karena hal ini tidak terlepas dari faktor alasan pemilihan suatu desa menjadi tempat hunian (habitat) dari sekelompok masyarakat. Kehadiran manusia pada suatu lokasi dan kemudian memilihnya menjadi lokasi hunian sangat erat kaitannya dengan potensi dan dayadukung suatu tempat itu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang mendiami lokasi tersebut. Dengan demikian, desa pada awalnya merupakan tempat untuk hidup. Jika kemudian terdapat tata pemerintahan yang mengatur peri-kehidupan masyarakat desa, hal tersebut merupakan upaya untuk melestarikan potensi dan dayadukung suatu tempat agar layak dihuni.

Dalam cara pandang terhadap desa dari sudut pandang desa sebagai kawasan perdesaan, maka suatu desa dapat dicirikan sebagai berikut: (1) Desa merupakan tempat bersemainya sistem ekologi yang memungkinkan suatu area tertentu mempunyai sumberdaya yang dibutuhkan oleh penghuninya. Dalam aspek ini, penghuni suatu kawasan perdesaan sangat menggantungkan potensi alam yang terdapat dalam lokasi tersebut, seperti sumber air baik berupa mata air, sungai, atau danau. Oleh karena itu, aspek konservasi sumberdaya yang berada di suatu kawasan perdesaan menempati derajat kepentingan yang tinggi. Tanpa adanya konservasi, maka suatu kawasan perdesaan tidak akan lestari. (2) Desa menyediakan area yang memungkinkan penghuninya melakukan suatu kegiatan yang dapat memberikan penghuninya sarana kehidupan. Dalam aspek ini, penghuni suatu kawasan perdesaan melakukan kegiatan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kegiatan bercocok tanam merupakan kegiatan utama yang menghiasi wajah kegiatan penghuni kawasan perdesaan. Tanpa kegiatan bercocok tanam sebagai kegiatan utama penghuni kawasan perdesaan, maka suatu kawasan perdesaan akan kehilangan karakternya sebagai kawasan perdesaan. (3) Penghuni kawasan perdesaan juga melakukan kegiatan lain yang masih berhubungan dengan urusan bercocok tanam, seperti mengatur saluran dan pembagian air, pemeliharaan lahan bercocok tanam, pengolahan hasil cocok tanam, penyimpanan hasil cocok tanam, dan seterusnya. Dengan kata lain, desa menjadi wahana bagi para penghuninya untuk melakukan kegiatan lain yang berhubungan dengan kegiatan utama di perdesaan. Hal ini mengharuskan para penghuni kawasan perdesaan menciptakan tata kelola desa yang merupakan embrio pemerintahan desa.

IV. Konsep Pembangunan Perdesaan: Masyarakat dan Infrastruktur

Pembangunan masyarakat desa yang sekarang disebut juga dengan nama pemberdayaan masyarakat desa pada dasarnya serupa dan setara dengan konsep pengembangan masyarakat (community development atau CD). Menurut Schlippe pada mulanya teori tentang pembangunan masyarakat desa ini tidak ada. Perkembangan teori pembangunan desa itu dimulai dari praktik, yaitu dari kebutuhan yang dirasakan di dalam masyarakat terutama dalam situasi social yang dihadapi didalam Negara-negara yang menghadapi perubahan sosial yang cepat. Secara teoritis, agar suatu desa berkembang dengan baik, maka teradapat tiga unsur yang merupakan suatu kesatuan, yaitu: (1) desa (dalam bentuk wadah); (2) masyarakat desa; dan (3) pemerintahan desa. Masyarakat desa, adalah penduduk yang merupakan kesatuan masyakarat yang tinggal pada unit pemerintahan terendah langsung dibawah camat. Sementara itu, pemerintah desa, adalah kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintah yang terendah langsung dibawah kepala desa.

Dalam upaya mengembangkan masyarakat di tingkat local, baik organisasi pemerintah maupun nonpemerintah, selain dibantu oleh tenaga pendamping (fieldworker atau fasilitator lapangan) biasanya dibantu oleh tanaga kader (indigenous worker). Kader diharapkan dapat menggantikan peranan petugas pembangunan desa dalam melanjutkan kegiatan-kegiatan pembangunan desa. Kader adalah orang-orang yang berasal dari masyarakat setempat yang dengan sukarela bersedia ikut serta dalam pelaksanaan berbagai kegiatan dalam program pembangunan desa. Kader dapat terdiri dari wanita atau pria, tua maupun muda, sudah bekerja ataupun belum bekerja, yang penting mereka merasa terpanggil, ada kesediaan dan kesadaran untuk ikut bertanggung jawab dalam usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lingkungannya.

Kader dapat melaksanakan kegiatan di bidang pertanian; peternakan; kesehatan; pendidikan; dan lain-lain, setelah memperoleh latihan secukupnya. Tugas seorang kader pada intinya adalah: (1) sebagai pelopor dalam melaksanakan kegiatan; (2) pelaksana dan pemelihara kegiatan program pembangunan desa; (3) menjaga terjadinya kelangsungan kegiatan; dan (4) membantu dan menghubungkan antara warga masyarakat dan lembaga-lembaga yang bekerja dalam bidang pembangunan desa.

Melakukan pembangunan perdesaan berarti mempersiapkan seluruh kebutuhan masyarakat yang diindikasikan oleh potensi masyarakat. Potensi masyarakat bersifat kompherehensif. Masyarakat lokal dalam perjalanan waktu harus mengembangkan suatu asset yang menjadi suatu sumberdaya ataupun potensi bagi komunitas tersebut dalam rangka menghadapi perubahan yang terjadi. Beberapa asset yang harus dimiliki masyarakat sebagai hasil dari pembangunan perdesaan dan pengembangan masyarakat mencakup aset yang diasumsikan terkait dengan upaya pengembangan modal fisik (physical capital), modal financial (financial capital), modal lingkungan (environmental capital), modal teknologi (technological capital), modal manusia (human capital), dan modal social (social capital).

Pembangunan infrastruktur perdesaan merupakan pendekatan terbaru dari beberapa konsep pembangunan perdesaan yang telah ada sebelumnya. Pembangunan infrastruktur perdesaan mempunyai beberapa karakteristrik. Pertama adalah adanya aktivitas proyek infrastruktur desa yang cukup positif dalam membantu aksesibilitas masyarakat di bidang sosial-ekonomi dan layak dikembangkan lebih lanjut dalam mendorong pertumbuhan wilayah perdesaan. Kedua, kehadiran infrastruktur perdesaan yang berbasiskan pada kebutuhan masyarakat harus mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan masyarakat perdesaan. Ketiga, infrastruktur perdesaan dibangun dengan memperhatikan nilai-nilai masyarakat yang hidup di perdesaan dan oleh karena itu pendekatan pengembangan masyarakat (community development) merupakan salah satu ciri melekat berikutnya yang harus terintegrasi dalam pembangunan infrastruktur perdesaan. Keempat adalah karakter terakhir pembangunan infrastruktur perdesaan yaitu melibatkan kelompok fasilitator pengembangan perdesaan yang mempunyai bisnis inti dalam pemberdayaan masyarakat. Biasanya kelompok-kelompok fasilitator pengembangan perdesaan ini adalah mereka yang bergiat dalam pemberdayaan masyarakat sebagai cara memaksimalkan proses, output dan outcome pembangunan perdesaan. Lembaga pengembangan swadaya masyarakat yang bersumberkan dari warga desa setempat seringkali merupakan pilihan dalam pelaksanaan sebagai mitra/fasilitator pembangunan perdesaan, dan bukan para kontraktor atau konsultan perusahaan besar.

Pembangunan infrastruktur perdesaan mempunyai cakupan fungsional dan kemasyarakatan yang tinggi, artinya bahwa infrastruktur perdesaan yang dibangun harus dibangun dengan memperhatikan kondisi sosiobudaya masyarakat. Jika masyarakat di suatu desa pola sosiobudayanya adalah masyarakat pertanian maka infrastruktur perdesaan harus mengikuti pola tersebut sebagai dan menjadi infrastruktur yang mendukung sektor pertanian sebagai kegiatan utama masyarakat perdesaan. Pembangunan infrastruktur perdesaan akan semakin efektif dalam mendorong pembangunan masyarakat dan wilayah pedesaan manakala diikuti dengan kegiatan penguatan kelembagaan masyarakat, peningkatan perekonomian rakyat untuk mendorong kesejahteraan, dan peningkatan aspek pengorganisasian masyarakat. Termasuk mulai memperhatikan program infrastruktur lingkungan di masyarakat seperti pengolahan limbah, perlindungan sumber air, dan sejenisnya.

V. Penutup

Konsep pembangunan infrastruktur perdesaan pada dasarnya mempunyai tujuan ganda yaitu melakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat (empowerment) dan sekaligus melakukan upaya-upaya penyediaan infrastruktur perdesaan (public utility infrastructures). Pembangunan infrastruktur perdesaan di beberapa negara berkembang seperti Brazil dan Peru termasuk Indonesia juga menambahkan komponen peningkatan tata kelola (governance) yang baik di tingkat daerah. Sehingga konsep pembangunan infrastruktur perdesaan tidak berdiri sendiri namun merupakan kombinasi dari konsep pemberdayaan dan tata-kelola yang baik. Para perencanaan pembangunan dan konsultan lembaga-lembaga donor seperti the World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB) berpandangan bahwa pembangunan perdesaan itu adalah pembangunan infrastrukturnya yang didasari oleh adanya kesenjangan kualitas infrastrukturnya antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Konsep-konsep tersebut sering kemudian diintegrasikan dan dikenal sebagai konsep pembangunan perdesaan.

Berdasarkan pengalaman pembangunan perdesaan di beberapa negara, terutama di Amerika Selatan, Asia Selatan, dan Cina didapati kesimpulan bahwa melakukan percepatan pembangunan perdesaan tidak cukup apabila hanya berorientasi pada pembangunan masyarakat perdesaannya saja dan berfokus pada pembangunan pertaniannya saja sebagai basis ekonomi kawasan perdesaan. Pembangunan perdesaan membutuhkan lebih dari pembangunan pertanian semata karena tradisi masyarakat perdesaan yang mempunyai kehidupan multisektor. Dan oleh karena itu pendekatan terkini adalah mengawinkan konsep pembangunan masyarakat, pengembangan pertanian, penyediaan infrastruktur perdesaan, serta penguatan tata kelola yang baik. Lebih dari itu para pakar perdesaan bahkan menawarkan konsep pengembangan wilayah pedesaan yang terintegrasi dalam pembangunan perdesaan itu sendiri. Hal ini didorong oleh kesadaran para pengonsep dan pelaku pembangunan tentang semakin pentingnya peran kawasan perdesaan sebagai penyangga ekonomi kawasan yang lebih luas. Konsep ini membutuhkan ruang lingkup lebih luas dari sekedar menghadirkan prasarana di desa, namun prasarana itu harus dirancang secara sengaja sebagai bagian dari pengembangan wilayah perdesaan. Oleh karena itu, dalam pembangunan perdesaan dengan pendekatan ini harus memberikan perhatian pada penyusunan rencana strategik pembangunan perdesaan, zonasi kawasan perdesaan, rencana aksi perdesaan, kerangka kerja legal perdesaan, rencana implementasi strategi perdesaan, penguatan kelembangaan perdesaan (good rural village governance), pembangunan infrastruktur perdesaan, dan pengembangan perekonomian masyarakat perdesaan.

--ooOOoo--