01 Agustus 2012

“Membumikan Etika Dalam Kelembagaan Keuangan Mikro di Indonesia”


“Membumikan Etika Dalam Kelembagaan Keuangan Mikro di Indonesia”

Randy R. Wrihatnolo


I. Sejarah Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia

Kesejahteraan masyarakat senantiasa menjadi pangkal tolak dan cara pandang ketika para ahli dan praktisi pembangunan mencoba mencermati konsep dan kebijakan pembangunan. Sebagai pangkal tolak konsep pembangunan, kesejahteraan masyarakat selalu menjadi akar historis buah-buah pemikiran pembangunan. Sebagai cara pandang konsep pembangunan, kesejahteraan masyarakat selalu mendominasi substansi kebijakan pembangunan dan terutama kebijakan pembangunan di Negara Berkembang. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan salah satu pemikiran yang berangkat dari histori kesejahteraan masyarakat ini.

Cara pandang terhadap konsep BUMDes sebagai media intermediasi dana tunai cepat dapat ditarik dari prinsip pegadaian yang sudah dikenal pada zaman Majapahit (Muhammad Hatta, 1955). Prinsip pegadaian merupakan salah satu konsep penyelenggaraan lembaga keuangan mikro paling kuno (Nasirin, 1985). Salah satu fungsinya adalah sebagai lembaga jasa penyedia dana tunai bagi para pedagang yang kebetulan membutuhkan dana tunai untuk berdagang kebutuhan pokok di wilayah Ibukota Majapahit dengan menjaminkan sebagian nilai barang dagangannya kepada pengampu uang. Meski tidak sangat populer di kalangan “kasta” pekerja, kelembagaan keuangan mikro ini sangat dibutuhkan oleh kalangan “kasta” pedagang. Sejalan dengan perkembangan kebutuhan, format kelembagaannya pun mengalami modifikasi hingga menjadi beraneka-rupa peran dan bentuk namun mempunyai fungsi identik, yaitu menyediakan dana segar. Peran ini selalu hampir mirip hingga memasuki zaman Mataram. Bahkan pada zaman Mataram Islam, konsep kelembagaan keuangan mikro meluas perannya, tidak saja sebagai penyedia dana tetapi memberikan “cara” dalam membagi tanggung-jawab, sehingga cara kerjanya telah menyerupai cara kerja lembaga jasa keuangan modern dalam melakukan kerjasama antara pemilik aset dan pengelola aset dalam cara kerja yang disebut sebagai prinsip bagi hasil (paron) dan prinsip tanggung-renteng (mrapat). Sementara itu di kalangan “kasta” pekerja ketika ekonomi uang semakin membiasa maka mulailah dikenal cara kerja pelepas uang bagi kebutuhan dana tunai harian dalam jumlah kecil. Praktek rentenir lahir dari modifikasi cara kerja pelepas uang ini terutama ketika peminjam terjebak pada kerentanan ekonomi.

Memasuki zaman Kolonial, masyarakat Nusantara terutama yang berdomsili di Jawa mulai berkenalan dengan prinsip simpan-pinjam yang dibumikan oleh cita-cita pendirian Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi yang berkebangsaan Indonesia Pribumi). Lembaga keuangan ini didirikan Raden Aria Wirjaatmadja di Purwokerto pada 16 Desember 1895 dan kemudian menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI). Berangkat dari pengalaman “Spaarbank” BRI ini ketika mengoperasionalkan unit-unit simpan-pinjam hingga ke pelosok desa, maka bermunculanlah berbagai bentuk lembaga keuangan gurem dengan prinsip simpan-pinjam hingga di masa kini dan menjadi cikal bakal prinsip kerja dalam lembaga keuangan non-formal.

Saat ini apabila kita mencermati kembali berbagai bentuk lembaga keuangan mikro tersebut, maka dapat dikenali tiga kelompok besar, yaitu kelompok formal yang biasa berbentuk bank baik yang tunduk pada perbankan umum dan perbankan perkreditan rakyat, kelompok koperasi yang tunduk pada regulasi perkoperasian, dan kelomopok non-formal yang belum tunduk pada regulasi resmi. Kelompok non-formal banyak berkembang justru “diregulasi” kebiasaan yang sudah temurun di tengah masyarakat mulai dari kelompok arisan hingga paguyuban desa. Kelompok yang belum “diregulasi” ini jumlahnya ribuan, namun justru mempunyai peran sangat besar dalam menggerakkan perekonomian tradisional ala teori Profesor Boeke. Pada masa Republik baik di era Pemerintahan Presiden Soekarno dan Pemerintahan Presiden Soeharto, kelompok non-formal justru mempunyai daya tahan tinggi karena jumlah simpanan atau aktiva guremnya inilah yang menjadikan mediasinya sangat digemari para pekerja dan pedagang kecil. Peran lembaga keuangan yang bekerja non-formal ini sangat luas dan bermacam-macam, seperti Lumbung Pitih nagari di Sumatera Barat, lembaga Marsipatua Hutanabe di Sumatera Utara, Badan Kredit Desa di Jawa Tengah, Subak di Bali, dan sebagainya. Di sana terdapat pengalaman yang berfokus pada kebersamaan dan gotong-royong yang sudah seharusnya menjadi “soko guru” pengembangan lembaga keuangan mikro, termasuk dalam mengembangkan BUMDes.

II. Pengalaman Operasional Lembaga Keuangan Mikro

Pada aspek substansi kebijakan, pengalaman menarik dapat dipelajari baik dari pengalaman bangsa Nusantara ini maupun dari pengalaman di Negara Maju. Semua pakar setuju bahwa sektor keuangan adalah kunci pembangunan di negara berkembang. Financial markets memainkan peran penting untuk mengerakkan kemajuan fungsi sektor riil secara efisien (Nissanke dan Aryeetey, 1998). Sesungguhnya hubungan antara sektor keuangan dan sektor keuangan sangat penting, karena rasionalnya, meraka menjalankan tugas masing-masing sesuai keahlianya. Sektor keuangan menyediakan pelayanan keuangan yang layak, dan sektor riil menyelenggarakan kegiatan produksi yang efisien. Tidak campur aduk, atau tidak mungkin pelaku sektor riil diberi kewenangan memiliki bank, atau bank menyalurkan dananya kepada anak perusahaannya yang bekerja di sektor riil. Pasti akan terjadi konflik kepentingan. Inilah awal dari kegagalan menciptakan sistem keuangan yang mapan, sekaligus awal kehancuran dari bisnis di sektor riil, karena rule of conduct dilanggar, pengawasan yang regang, dan hilangnya trust. Beberapa peristiwa di tanah air kita seputar tumbuh layunya sektor keuangan –khususnya sektor perbankan—menunjukkan kepada kita kenyataan itu. Selama dua dasawarsa terakhir, banyak bank bertumbangan, ada pula beberapa lembaga keuangan bukan bank yang juga failed. Aspeknya karena mereka lupa sejarah, dan tragisnya lupa pada etika.

Pengalaman sejumlah negara berpendapatan per-capita tinggi –yang hampir seluruhnya menggunakan pendekatan Keynes—berfokus pada etika. Di Negara Maju, sektor keuangan memainkan peran yang sangat penting. Perekonomian mereka digerakkan oleh instrumen sistem keuangan yang sudah mapan. Kemapanannya terletak pada hubungan yang sangat dekat antara kejelasan aturan main yang disebut sebagai rule of conduct, dengan pengawasan dan penegakan peraturan secara ketat yang yang dipahami sebagai consistency, serta dengan etika kejujuran yang dipegang erat oleh para pelakunya yang kemudian dikenal dengan culture system (Bank Dunia, 2002). Satu sama lain tidak bisa berdiri sendiri, bahkan menjadi sebuah tradisi dari generasi ke generasi dan dari abad ke abad (Thomas O’Connor, 2002). Rule of conduct sendiri adalah seperangkat tata aturan formal yang dihasilkan melalui lembaga publik sebagai koridor dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan di sektor keuangan. Rule of conduct yang wise tidak lahir dari kesepakatan sekali jadi, namun senantiasa diperbarui. Ia memainkan peran mengatur fungsi-fungsi dari setiap elemen dalam sistem keuangan secara jelas dan lugas. Misalnya, dalam hal ini mengambil contoh lembaga bank. Rule of conduct memberikan pengaturan yang jelas dalam hal strata bank, kepemilikan saham dalam bank, dan core business dari bank-bank yang beroperasi. Bank-bank harus taat asas, tunduk pada aturan main, jika tidak maka langsung masuk black list. Yang berat justru bukan dihakimi oleh institusi publik, tetapi dihakimi langsung oleh para nasabah. Sebaliknya, rule of conduct sangat melindungi kepentingan nasabah. Complain dari nasabah sangat diperhatikan oleh pihak bank. Consistency merupakan norma yang diadopt dan dilaksanakan serius dalam bisnis perbankan, karena bisnis perbankan sendiri adalah bisnis kepercayaan (trust). Sekali suatu bank cidera janji atau tidak konsisten dalam melaksanakan tugasnya, maka nasabah atau pelanggannya pasti segera menarik diri dari hubungannya dengan pihak bank. Culture system adalah sangat penting dalam hal hubungan antara penyedia pelayanan (service provider) dan pemanfaat layanan (beneficiary) karena harus dibangun sebagai sebuah kesadaran bahwa keamanan, kenyamanan, dan kemanfaatan adalah harta paling berharga yang dimiliki oleh bank dan nasabahnya. Harta ini merupakan milik bersama, jadi harus dijaga bersama. Kalau hilang maka semua pihak akan menanggung kerugiannya. Kunci untuk menjaga harta itu adalah kejujuran. Kejujuran yang berurat-akar dalam diri pelaku bank dan nasabahnya. Lebih dari itu, bahkan telah menjadi karakter dari sebuah bangsa yang layak disebut bangsa modern-maju. Krisis ekonomi dan kehancuran ekonomi sebuah negara banyak bermula ketika etika telah luluh dan lantak.

III. Etika untuk Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia


Sektor keuangan mikro di Indonesia sesungguhnya mempunyai akar tradisi yang berbeda dengan “kakak kelasnya”—yang lebih banyak bergelut di sektor keuangan formal. Sektor keuangan mikro di Indonesia justru banyak berkembang sebagai sektor non-formal (sepenuhnya berada di luar jalur formal) atau sektor on-formal (baca: setengah formal setengah tidak), meskipun ada juga yang berada dalam jalur formal meskipun sembunyi di balik peraturan yang bukan pakemnya, misalnya di bawah lindungan payung “pura-pura bank” sebagai bank perkreditan rakyat atau sebagai badan usaha koperasi simpan pinjam. Meskipun rule of conduct-nya berserakan, namun hebatnya adalah, mereka mempunyai consistency dan culture sistem yang bisa disejajarkan sebagai lembaga keuangan yang modern-maju. Bahkan terbukti mereka lebih bisa lebih efisien ketimbang bank-bank besar karena pasarnya sangat besar (giant financial market). Namun kelemahan tunggalnya adalah, nasabahnya susah membentuk modal sendiri (capital formulation) dalam waktu singkat, bahkan cenderung “hidup segan matipun malu”.

Belajar dari pengalaman banyak negara, sesungguhnya kita bisa mengawinkan tradisi keuangan mikro yang sudah hadir di tengah-tengah masyarakat kita dengan apa yang diajarkan oleh sektor keuangan di negara modern/maju. Hal ini nantinya, menurut dugaan saya, merupakan prasyarat agar sistem keuangan mikro di Indonesia menjadi lebih sukses.

Saya menitikberatkan prasyarat itu pada tata nilai sistem keuangan mikro yang memberikan fokus pada pembagian tugas yang jelas di antara para pelaku keuangan mikro (role enforcement) dan memperkuat nilai kepercayaan (trust) di antara antara para pelaku keuangan mikro. Pembudayaan peran dan etika kepercayaan merupakan dasar bagi kode etik keuangan mikro Indonesia yang tumbuh secara alami –karena memang tidak bisa tumbuh begitu saja-- sebagai kode etik “resmi”. Kode etik itu bisa dibangun atas dasar nilai-nilai yang telah ada selama ini, yaitu kejujuran dan local wisdom, sehingga semua pelaku menjadi merasa saling memberikan rasa aman, saling mewujudkan kenyamanan, dan saling membawa manfaat.

Kode etik keuangan mikro Indonesia harus disepakati semua pihak dalam pengembangan usaha mikro dan demi mencapai harapan yang berhampiran dengan Pembukaan UUD 1945, yaitu mampu memberikan dukungan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, dan makmur. Kode etik ini merangkum dan “memformalkan” kebiasaan-kebiasaan yang positif yang telah berkembang di antara para pelaku keuangan mikro di Nusantara, sehingga ide-ide baru yang muncul dengan semangat memajukan usaha mikro justru tidak melukai keberhasilan usaha mikro dan lembaga keuangan mikro yang sudah ada di Indonesia.

Akhirnya, dalam lembaga keuangan mikro harus ingat pada jaitidiri bahwa mereka melakukan pelayanan permodalan (finance service), dan dalam pelayanan permodalan diperlukan lembaga keuangan (financial institution) yang ideal dalam arti mempunyai ciri sosial dengan dasar kebersamaan, dan ciri ekonomi dengan menerapkan prinsip ekonomi berupa prosedur dan kriteria perbankan. Kebersamaan diawali dari saling mengenal, saling membantu, dan menerapkan perhitungan ekonomi. Prinsip ekonomi mengandung empat unsur, yaitu unit kegiatannya menguntungkan, pembukuannya sederhana tetapi dapat dengan mudah digunakan sebagai pemeriksaan dan pengawasan, pembukuan kegiatannya terpisah dari kegiatan lain, dan adanya otonomi dalam pengambilan keputusan.


Lembaga keuangan mikro paling tidak harus memenuhi empat syarat sebagai instrumen membumikan etika baik pengelola lembaga keuangan mikro dan lembaga keuangan mikronya sendiri. Persyaratan tersebut meliputi: (1) lembaga tersebut memenuhi syarat legal dan formal dalam mendeskripsikan etika organisasi; (2) lembaga keuangan tersebut harus transparan, mudah diawasi dan dipantau oleh masyarakat; (3) lembaga itu harus menguntungkan baik bagi masyarakat maupun bagi kelangsungan lembaga keuangan itu sendiri; dan (4) lembaga itu harus dapat memberikan pelayanan keuangan yang dapat menjangkau lapisan “gurem”.


Persyaratan penukilan: para pembaca diperbolehkan mengutip sebagian isi artikel ini dengan syarat menuliskan sumbernya dalam catatan kaki (footnote) atau catatan samping (sidenote).
---
oooOOOooo---