08 Agustus 2008

Perkembangan MDGs di Kepulauan Maluku dan Papua, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsi-provinsi di Kepulauan Maluku dan Papua Tahun 1990-2007
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(25) Maluku dan Maluku Utara

Provinsi Maluku dalam rangka pencapaian tujuan pertama MDGs, pengurangan kemiskinan dan penghapusan kelaparan masih di bawah capaian rata-rata nasional, untuk target pengurangan kemiskinan angkanya masih cukup tinggi, hampir dua kali rata-rata nasional. Pada tahun 1993 Maluku masih meliputi Maluku Utara, karena masih belum pemekaran. Saat itu persentase penduduk miskinnya mencapai 23,93 persen atau sekitar 478.900 jiwa dan pada tahun 2002 sudah terjadi pemisahan Maluku Utara di mana persentase penduduk miskinnya menjadi 34,8 persen (2000) atau 418.800 jiwa yang kemudian di tahun 2006 menjadi sebesar 30,12 persen. Dengan demikian selama 4 tahun terjadi penurunan persentase kemiskinan sebesar 4,7 persen.

Target penghapusan kelaparan dengan indikator prevalensi balita yang memiliki berat badan kurang atau gizi kurang di wilayah provinsi Maluku tergolong ke dalam angka di bawah rata-rata nasional di mana secara berturut-turut pencapaiannya pada tahun 1989 sebesar 34,03 persen, tahun 2000 menjadi 26,04 persen dan pada tahun 2006 mencapai 33,66 persen. Artinya terjadi keadaan pencapaian yang turun naik atau fluktuatif diantara periode pra dan pasca krisis tahun 1997, dengan bayang-bayang tetap di bawah pencapaian angka nasional.

Baik Provinsi Maluku maupun Maluku Utara dalam upayanya mencapai target pendidikan dasar bagi semua masih di bawah rata-rata nasional. Bahkan untuk APM SD/MI Provinsi induknya yakni Maluku tingkat pencapaiannya (tahun 2006) lebih rendah dibandingkan Provinsi Maluku utara, yakni 92,2 persen dengan 93,1 persen. Hal ini bukan berarti bahwa kinerja provinsi pemekaran lebih baik ketimbang provinsi induknya, melainkan merupakan pertanda bahwa masih banyaknya penduduk miskin pada wilayah induknya dalam hal menjangkau pendidikan dasar.

Tetapi dalam hal APM SLTP/MT Provinsi Maluku Utara jauh tertinggal di mana Provinsi Maluku pada tahun 2006 capaian APM SLTP/MTnya sebesar 76,9 persen sedangkan provinsi Maluku Utara sebesar 65,3 persen. Tetapi pencapaian pada tahun 1992 ketika masih menjadi satu provinsi angka pencapaian APM SLTP/MT nya sebesar 41,4 persen (tahun 1992).

Target mempromosikan keadilan gender khususnya dengan indikator rasio APM P/L SD/MI dan SLTP/MT di kedua provinsi ini berbeda, capaian pada tingkat SD/MI Provinsi Maluku Utara memiliki angka di bawah nasional dan baru hendak mencapai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki karena di bawah 100 persen. Pencapaian provinsi Maluku Utara sebesar 97,5 persen dalam hal rasio APM sekolah dasar pada tahun 2006. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan pencapaian bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yakni sebesar 95,8 (2001 dan 2002).

Bila Provinsi Maluku capaian rasio APM SD/MI berada di atas rata-rata nasional dan mendekati kesempurnaan, tidak demikian halnya dengan rasio APM SLTP/MT yang berada di bawah angka capaian nasional, walaupun indikasi kesetaraan sudah dicapai karena angkanya di atas 100 persen. Tingkat rasio APM P/L SLTP/MT di Maluku menunjukkan adanya kesetaraan gender, hal ini tercermin dari data yang ada misalnya tahun 1992 rasionya mencapai 110,1 persen tahun 2002 menurun menjadi 104,6 persen dan pada tahun 2006 menjadi 122,9 persen. Jadi jumlah perempuan lebih banyak partisipasinya sesuai jenjang umurnya.

Target Pengurangan kematian anak baik di Provinsi Maluku maupun di Maluku Utara, masih sama-sama di atas rata-rata nasional. Angka kematian anak Balita di Maluku masih cukup tinggi yakni 43 jiwa per 1000 kelahiran pada tahun 2005, namun ini lebih baik di bandingkan tahun-tahun sebelumnya. Prestasi yang luar biasa adalah penurunan AKB. Pada tahun 2005 mencapai satu jiwa lebih banyak dari pencapaian nasional atau tepatnya 9 jiwa per 1000 kelahiran. Prestasi yang sama diraih Provinsi Maluku Utara dalam menekan AKB, yaitu mencapai 12 jiwa per 1000 kelahiran pada tahun 2005. Sedangkan AKBA-nya masih terhitung tingi, Provinsi Maluku Utara pada tahun 2005 memiliki AKBA 53 jiwa per 1000 kelahiran.

Target penurunan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya di Provinsi ini perlu peningkatan kinerja. Di Provinsi Maluku pada tahun 2005 tercatat 33 kasus kasus penderita HIV/AIDS dan kejadian malaria mencapai 46.430 kejadian. Sedangkan di Provinsi Maluku Utara tercatat penderita HIV/AIDS hanya 1 kasus, dan kejadian malaria yang mencapai 72.440 kasus dan ini merupakan peringkat tiga nasional.

Kinerja Provinsi Maluku Utara untuk pencapaian akses air minum non-perpipaan terlindungi sudah cukup baik. Lebih dari separuh penduduknya telah memiliki akses terhadap air minum terlindungi. Pada tahun 2006 Provinsi Maluku Utara mencatat adanya rumah tangga yang memiliki akses air minum non-perpipaan terlindungi sebanyak 52,6 persen.

Pencapaian target akses terhadap sanitasi baik di Provinsi Maluku dan Maluku Utara masih memprihatinkan karena sampai tahun 2006 berada di bawah rata-rata nasional, adapun besar angka capaiannya adalah 52 persen untuk provinsi Maluku dan 58,3 persen merupakan capaian Maluku Utara. Angka tersebut jauh lebih baik di bandingkan dengan tahun 1992 yang baru mencapai 24 persen, atau separuhnya.

(26) Papua dan Irian Jaya Barat

Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang: Provinsi Papua Barat) adalah pemekaran Provinsi Papua pada tahun 1999. Oleh karena itu sebagian data mengenai Provinsi Papua Barat sampai tahun 2005 masih termasuk di dalam data Provinsi Papua.

Kemiskinan di Papua ditandai oleh antara lain persentase penduduk miskin yang mencapai 24,16 persen (1993) atau sekitar 441.900 penduduk. Persentase kemiskinan nasional jauh di bawahnya yakni 13,67 persen. Pada tahun 2000 angka Po mencapai 45,96 persen dan angka Po nasional mencapai 18,95 persen. Namun pada tahun 2006 Po di Papua turun menjadi 39,26 persen, angka ini tidak termasuk Papua Barat. Sedangkan provinsi Papua Barat pada tahun 2006 menunjukkan persentase kemiskinan sebesar 33,01 persen, adan angka ini dua kali lipat angka persentase nasional yakni 16,58 persen.

Pada indikator lainnya, yakni balita kurang gizi baik karena gizi buruk atau gizi kurang, pencapaian Provinsi Papua setelah mengalami pemekaran yakni dengan dibentuknya Papua Barat sebesar 31,21 persen. Sedangkan sebelumnya pada tahun 2000 sebesar 30,14 persen, tahun 1992 sebanyak 29,50 persen dan jauh sebelumnya pada tahun 1989 45,77 persen. Walau data yang tersedia memperlihatkan dinamika balita kurang gizi yang cenderung menurun, namun beberapa peristiwa kelaparan yang melanda daerah pedalaman seperti yang pernah terjadi di Yahukimo sempat menjadi sorotan nasional. Salah satu sebab yang paling pokok ditengarai adalah terjadinya perubahan pola makan penduduk dari ’panganan lokal’ berupa umbi-umbian ke pangan nasi-beras. Padahal dalam kenyataannya ketersediaan padi-beras sangat terbatas di wilayah ini.

Provinsi Papua dengan bentang geografisnya yang berupa gunung dan hutan lebat serta tempat tinggal yang berpencar jauh, tidaklah mengejutkan bila APM SD/MI pada tahun 2006 menempati terburuk dengan angka 78,1 persen, sedangkan pada tahun sebelumnya tahun 2000 telah mencapai 81,8 persen dan pada tahun 1992 sebesar 71,6 persen. Terjadi keadaan pencapaian yang fluktuatif pada wilayah ini. Situasi ini diduga merupakan impact tidak langsung dari pemekaran wilayah. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian provinsi baru Papua Barat yang relatif berada di atas pencapaian propnsi induknya, yakni sebesar 88,2 persen pada thaun 2006.

Provinsi Papua pada tahun 1992 memiliki APM SLTP/MT provinsi sebesar 42,7 persen sedikit di atas persentase angka nasional. Pada tahun 2000 angka APM SLTP/MT nampak menurun yakni mencapai 35,1 persen. Namun tahun 2006 APM SLTP/MT Provinsi Papua kembali menaik menjadi 47,4 persen. Dilain pihak, provinsi Papua Barat yang merupakan provinsi yang relatif baru buah dari pemekaran Papua, data tahun 2006 memperlihatkan capaian angka 53,9 persen. Sebuah capaian yang berada di atas capaian provinsi induknya dengan selisih sebesar 12 persen. Dengan demikian pada kedua provinsi ini masih banyak anak didik yang tidak tersentuh program wajib belajar 9 tahun.

Pencapaian provinsi Papua dalam hal rasio APM P/L SD/MI ini yakni sebesar 98,4 (2006) merupakan hasil yang cenderung menurun bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2000 rasio APM P/L SD/MI mencapai angka 102,2 persen dan tahun 1992 sebesar 99,5 persen. Kondisi yang cenderung menurun ini bukan merupakan gejala yang spesifik Papua, melainkan gejala umum sebagaimana provinsi lainnya dalam hal rasio jenis kelamin kepesertaan anak didik pada tingkat sekolah dasar.

Diskriminasi gender di Papua Barat semakin menampakkan wajahnya dengan melihat bagaimana sesungguhnya penilaian masyarakat terhadap produktivitas perempuan, pada tahun 2007 tingkat rasio P/L upah bulanan nampak posisi perempuan demikian lemah karena hanya menerima upah 72,4 persen dan angka ini berada di bawah rata-rata nasional atau peringkat 8 dengan selisih 0,4 persen dari angka nasional.

Provinsi Papua merupakan daerah yang paling buruk dalam menanggulangi kematian ibu (AKI) di mana pencapaiannya pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 647 jiwa per 100.000 kelahiran (Departemen Kesehatan, 2006). Faktor utamanya adalah tidak terjangkaunya sarana dan prasarana kesehatan, sehingga masa kehamilan hingga meninggal kurang memperoleh perawatan tenaga medis dan pelayanan kesehatan dasar lainnya. Kondisi geografisnya yang berupa pegunungan dan hutan serta tempat tinggal yang berpencaran merupakan penghambat utama dalam pengadaan infrastruktur kesehatan dan tenaga medis.

Target Pengurangan Penderita HIV/AIDS dan Penyakit Menular Berbahaya di Provinsi ini masih memprihatinkan, untk HIV/AIDS di Papua tercatat 797 kasus dan ini merupakan rangking kedua nasional sedangkan Papua Barat pada tahun yang sama 2005 masih belum tercatat. Penyakit Malaria, kembali Papua berada di rangking kedua dengan 73.690 kasus sedangkan Papua Barat juga belum ada catatan.

Provinsi Papua pada tahun 2006 memiliki rumah tangga pengguna air minum non-perpipaan terlindungi sekitar 38,7 persen, angka ini 18,5 persen di bawah angka nasional. Yang menarik justru pada tahun 1994 ketika masih menjadi satu provinsi angka pencapaiannya yakni sebesar 30,1 persen sudah berada di atas angka nasional yang merujuk pada nilai 16,2 persen. Artinya, terjadinya pemekaran wilayah provinsi ini tidak diikuti oleh perluasan penyediaan infrastruktur air minum bersih non-perpipaan.

Beda halnya dengan target peningkatan akses terhadap sanitasi layak, Papua Barat justru memiliki akses lebih rendah dibandingkan Papua. Di Papua Barat, pencapaian tahun 2006 sebesar 51 persen atau hampir separuh penduduk yang menikmati sanitasi layak. Sedangkan di Provinsi Papua yang menikmati sanitasi layak mencapai 54,7 persen. Tentu saja angka-angka tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan data tahun 1992 yang pada saat itu Papua (termasuk Papua Barat) baru mencapai 27,6 persen.

Box: Pengelolaan Hutan di Papua

Kebijakan Baru Gubernur Papua Barnabas Suebu dalam pengelolaan hutan di Papua, seperti penghentian total eksport kayu log dinilai TIME sebagai sebuah terobosan baru dalam menjaga eksistensi planet bumi. Gubernur Barnabas Suebu dinominasikan bersama nam-nama tenar lainnya seperti Michael Gorbachev, Al Gore (Penerima Nobel Perdamaian 2007), Pangeran Charles, Angela Merkel (PM Jerman), Robert Redford, dan lain-lain. Pengukuhan "Heroes of the Environment (HE) 2007" akan diselenggarakan tanggal 25 Oktober 2007 di Royal Court of Justice London. Berikut petikan liputannya dalam majalah TIME Edisi 29 Oktober 2007.

“… Barnabas Suebu comes as a welcome relief. The new Governor of Papua, which comprises the western half of New Guinea island, wants to protect the province's forests, home to fully half of Indonesia's native species. That means standing up to the deeply entrenched business and military interests that have richly profited from Papuan timber. "We have to save the forests before it is too late," says Suebu, 61. "If we do that, we can help save the planet and alleviate poverty at the same time."

Since taking office in July 2006, Suebu has made plans to declare a moratorium on log exports and recommended that no new logging concessions be granted to timber companies. The Papua native has also begun talks on trading carbon credits to help protect the province's forests, which extend over an area estimated at 77 million acres (31 million hectares). If a deal with the Australia-based company Carbon Conservation goes through, Suebu says Papua can generate far more revenue by trading credits on the Chicago Climate Exchange than it currently gets from logging. "Why would we cut down trees if people are going to pay us to protect them?" he asks. "We can prevent deforestation and also use the money to reforest the areas in critical condition." More money in public coffers would help improve education, health and sanitation for the province's 2 million people, 80% of whom live in poverty. Suebu, Papua's first directly elected Governor, has made easing their plight the main focus of his five-year term.

The Indonesian government in Jakarta, however, is keen to promote biofuel production, and it could require Papua to set aside 5 million acres (2 million hectares) of forest for palm-oil plantations. Suebu says that the legal autonomy the province has when it comes to resource management will help him take on Jakarta. "Pressure on our forests is coming from the forestry department because they are still operating with an old mindset," he explains. "They need to realize that there is a new paradigm now and we are not going to repeat the mistakes of the past." The challenges are endless, but so is the Governor's optimism — a commodity that until now has been in short supply in this corner of the globe. ....”

--ooOOoo--

Perkembangan MDGs di Pulau Sulawesi, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi Tahun 1990-2007
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(21) Sulawesi Utara dan Gorontalo

Sulawesi Utara sejak tahun 2000 telah memekar menjadi Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Sebelum dimekarkan, Gorontalo merupakan suatu wilayah kabupaten di Sulawesi Utara.

Pada tahun 1993 persentase penduduk miskin di Sulawesi Utara mencapai 11,79 persen dan berada di bawah rata-rata nasional yang 13,67 persen. Setelah pemekaran pada tahun 2000, angka kemiskinan Sulawesi Utara menjadi 8,28 persen (peringkat ketiga terbaik), namun Gorontalo terpuruk dengan 24,04 persen penduduk miskin, jauh di bawah angka nasional (18,95 persen). Tahun 2006, angka kemiskinan Sulawesi Utara menjadi 14,51 persen dan masih di atas angka nasional yang 16,58 persen, sementara Gorontalo terpuruk lebih jauh ke peringkat ketiga terendah dengan penduduk miskin mencapai 31,54 persen.

Terkait angka kekurangan gizi balita, Sulawesi Utara menunjukkan kinerja yang baik antara tahun 1989-2000. Setelah provinsi ini dimekarkan, data tahun 2006 menunjukkan bahwa proporsi balita yang kekurangan gizi di Sulawesi Utara masih di atas angka nasional dan berperingkat kelima terbaik, yaitu 23,11 persen (dibandingkan dengan angka nasional yang sebesar 28,05 persen). Sementara itu, Gorontalo menjadi provinsi dengan peringkat terburuk. Proporsi balita kekurangan gizi di Gorontalo mencapai 41,48 persen.

APM SD/MI dan APM SLTP/MT/MTs merupakan indikator pencapaian target pendidikan dasar untuk semua. Meskipun menunjukkan kecenderungan meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2006 APM SD/MI Sulawesi Utara dan Gorontalo tidak berbeda jauh, yaitu masing-masing 90,4 persen dan 90,5 persen, dan keduanya masih di bawah angka nasional. Hal ini berarti perkembangan APM SD/MI di kedua provinsi lebih lamban dibandingkan laju peningkatan tingkat nasional. APM SLTP/MT/MTs Sulawesi Utara pada tahun 2006 adalah sebesar 66,0 persen, hanya sedikit di bawah rata-rata nasional (66,5 persen). Namun, APM SLTP/MT/MTs Gorontalo berada di peringkat ketiga terendah yaitu hanya sebesar 52,3 persen.

Kesetaraan gender antara lain ditunjukkan dengan indikator rasio APM murid perempuan terhadap murid laki-laki (P/L) di tingkat SD/MI dan SLTP/MT. APM P/L SD/MI Sulawesi Utara terus menurun selama kurun waktu 1992 sampai 2006—meskipun masih di atas angka nasional—yaitu dari sebesar 105,6 (1992), 100,8 (2000), dan turun menjadi 99,5 (2006). APM P/L SD/MI Gorontalo pada tahun 2006 lebih tinggi dibandingkan Sulawesi Utara, yaitu 101,4. Selain itu, APM P/L SLTP/MT Sulawesi Utara juga menunjukkan kecenderungan yang sama dengan APM P/L SD/MI yaitu menurun namun masih lebih baik dari angka nasional. APM P/L SLTP/MT Sulawesi Utara tahun 2006 hanya 109,5, meskipun tahun 1992 angka ini sempat menyentuh 123,8.

Partisipasi perempuan dalam pekerjaan upahan untuk kedua provinsi ini sangat baik, bahkan dapat dikatakan upah pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama lebih tinggi jika dibandingkan dengan upah pekerja laki-laki. Pada bulan Februari 2007, rasio upah pekerja perempuan terhadap pekerja laki-laki di Sulawesi Utara mencapai 110,2 dan di Gorontalo mencapai 115,6. Kedua provinsi ini merupakan dua provinsi berperingkat tertinggi jika dilihat dari sisi salah satu indikator kesetaraan gender ini.

Angka kematian bayi (AKB) Sulawesi Utara tahun 2005 sangat rendah, yaitu hanya 3 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini menempatkan Sulawesi Utara pada ranking teratas AKB provinsi, sejajar dengan tiga provinsi lainnya yaitu Kepulauan Riau, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Kondisi ini sangat berlawanan dengan Gorontalo. AKB Gorontalo tahun 2005 mencapai 17 per 1.000 kelahiran hidup dan berada di peringkat kedua terburuk setelah Nusa Tenggara Barat. Angka kematian balita (AKBA) Sulawesi Utara juga sangat rendah jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. AKBA Sulawesi Utara tahun 2005 sebesar 22 per 1.000 kelahiran hidup, bersama-sama Kepulauan Riau dan DI Yogyakarta berada di bawah provinsi dengan AKBA terendah (DKI Jakarta). Tidak berbeda jauh dengan AKB-nya, AKBA Gorontalo masih sangat tinggi, yaitu 67 per 1.000 kelahiran hidup. Dari sisi AKBA, Gorontalo juga bertengger di peringkat kedua terburuk.

Dalam rangka pencapaian target memerangi penyakit menular, kedua provinsi menunjukkan kinerja yang berbeda. Jumlah penderita AIDS Sulawesi Utara tahun 2005 tercatat sebanyak 54 orang, sementara Gorontalo hanya dua orang. Sementara itu, jumlah insiden malaria di Sulawesi Utara dan di Gorontalo tidak berbeda jauh. Insiden malaria di Sulawesi Utara sebanyak 14.930 kejadian dan di Gorontalo 14.850 kejadian.

Target memastikan kelestarian lingkungan dinyatakan dengan indikator luas kawasan hutan. Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan berdasarkan penafsiran citra Satelit Landsat 7 ETM+ sampai tahun 2005 untuk kedua provinsi adalah sebesar 1,570 juta hektar, tidak berbeda jauh dengan luas peruntukan kawasan hutan yang ditetapkan Pemerintah seluas 1,526 juta hektar. Dari luas tersebut, kawasan hutan Sulawesi Utara sekitar 731 ribu hektar dan Gorontalo 840 ribu hektar (termasuk kawasan hutan yang digolongkan non-hutan dan kawasan yang tidak lengkap datanya). Dari 1,570 juta hektar tersebut, luas kawasan hutan yang tergolong non hutan 310 ribu hektar dan tidak terdata 113 ribu hektar. Indikator lain adalah akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi dan akses terhadap sanitasi layak. Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi di Provinsi Sulawesi Utara terus meningkat dalam kurun waktu 1994-2006 dan berada di atas angka nasional. Tahun 1994 angka ini di Sulawesi Utara sebesar 46,5 persen, tahun 2002 naik menjadi 57,8 persen, dan tahun 2006 naik kembali menjadi 63,8 persen. Sementara itu, indikator akses terhadap air minum untuk Gorontalo tidak menunjukkan kondisi sebaik provinsi induknya. Tahun 2002, hanya 30,5 persen rumah tangga memiliki akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi dan menjadi provinsi dengan angka terendah. Tahun 2006 angka ini membaik menjadi 52,1 persen, namun tetap di bawah angka nasional yang sebesar 53,9 persen. Terkait dengan indikator akses terhadap sanitasi layak, kinerja Sulawesi Utara juga baik. Tahun 1992 hanya 33,5 persen rumah tangga memiliki akses terhadap sanitasi layak, tahun 2000 menjadi 73,2 persen, dan tahun 2006 membaik lagi menjadi 84,1 persen (terbaik ketiga setelah DKI Jakarta dan DI Yogyakarta). Kinerja Gorontalo yang terkait dengan indikator ini juga tidak sebaik kinerja Sulawesi Utara. Tahun 2006, Gorontalo hanya menempati peringkat ketujuh terburuk dengan persentase sebesar 52,0 persen dan lebih buruk dari angka nasional (69,3 persen).

(22) Sulawesi Tengah

Angka kemiskinan Sulawesi Tengah pada tahun 1993 hanya sebesar 10,5 persen. Tahun 2000 persentasenya meningkat menjadi 24,36 persen, kemudian turun sedikit menjadi 23,67 persen pada tahun 2006. Peningkatan angka kemiskinan yang cukup besar pada tahun 2000 (dibandingkan dengan tahun 1993) diduga selain dipicu oleh krisis ekonomi nasional, juga disebabkan oleh konflik sosial yang terjadi di Sulawesi Tengah khususnya Kota Poso yang mencapai puncaknya pada tahun 2000. Sementara itu, terkait dengan pengurangan kelaparan, persentase balita yang kekurangan gizi menunjukkan sedikit perbaikan dalam kurun waktu 1989-2006. Tahun 1989 Sulawesi Tengah memiliki balita kurang gizi sebesar 39,01 persen, menurun menjadi 25,37 persen tahun 2002, meningkat sedikit menjadi 25,67 persen tahun 2000, dan meningkat cukup jauh menjadi 31,32 persen pada tahun 2006. Secara umum, setiap tahunnya persentase balita kurang gizi lebih buruk dibandingkan dengan angka nasional, kecuali pada tahun 1992. Tingginya angka kemiskinan, buruknya pelayanan kesehatan dasar, dan adanya konflik Poso diduga menjadi penyebab timbulnya kondisi ini.

Tujuan memenuhi pendidikan dasar untuk semua ditunjukkan dengan APM SD/MI dan APM SLTP/MT/MTs. APM SD/MI Sulawesi Tengah sebesar 89,8 persen (1992), 91,1 persen (2000), dan 92,9 persen (2006). Angka-angka tersebut umumnya berada di bawah rata-rata nasional, kecuali tahun 1992. APM SLTP/MT/MTs cenderung meningkat dalam kurun waktu 1992-2006, yaitu sebesar 47,2 persen (1992), 48,5 persen (2000), 63,0 persen (2006). Sama seperti APM SD/MI, meskipun angkanya meningkat dari tahun ke tahun, APM SLTP/MT/MTs Sulawesi Tengah pada tahun 2000 dan 2006 berada cukup jauh di bawah angka nasional.

Keadilan gender di bidang pendidikan, yang merupakan salah satu upaya pencapaian tujuan mendorong kesetaraan gender, telah terlaksana cukup baik di Sulawesi Tengah. Tahun 1992, rasio APM murid perempuan terhadap murid laki-laki (P/L) SD/MI sebesar 100,0, meningkat menjadi 101,1 tahun 2000, lalu menurun sedikit menjadi 100,5 tahun 2006. Rasio APM SLTP/MT/MTs juga menunjukkan kinerja baik, meskipun sempat menurun tahun 2000. Rasio APM SLTP/MT/MTs Sulawesi Tengah adalah 103,9 1992, 99,4 2000, 104,7 2006. Rasio tahun 2006 berada di atas rata-rata nasional (100,0) dan menempatkan Sulawesi Tengah di posisi delapan terbaik dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Indikator kesetaraan gender di bidang selain pendidikan ditunjukkan oleh rasio rata-rata upah per bulan pekerja perempuan terhadap upah pekerja laki-laki. Bulan Februari 2007 rasio upah ini adalah sebesar 90,1. Meskipun telah berada di atas rata-rata nasional (74,8), angka tersebut masih menunjukkan adanya kesenjangan dalam partisipasi perempuan dalam pekerjaan upahan.

Angka Kematian Bayi (AKB) Sulawesi Tengah tahun 2006 mencapai angka 13 jiwa per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini masih berada di atas angka nasional (8 per 1.000 kelahiran hidup). Sementara itu, Angka Kematian Balita (AKBA) Sulawesi Tengah tahun 2005 mencapai 55 jiwa per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan pada tahun 2003 AKBA provinsi sekitar 71 jiwa. AKBA ini juga berada di atas angka rata-rata nasional. Tingginya AKB dan AKBA ini menunjukkan masih rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dasar bagi bayi dan balita. Terkait dengan tujuan memerangi penyakit menular, jumlah penderita AIDS di provinsi ini hanya dua orang (2005). Untuk tahun yang sama, jumlah insiden malaria masih cukup tinggi yaitu sebesar 27.280 kejadian.

Sehubungan dengan tujuan memastikan kelestarian lingkungan hidup, indikator yang digunakan antara lain adalah luas kawasan hutan. Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan Sulawesi Tengah berdasarkan penafsiran citra Satelit Landsat 7 ETM+ sampai tahun 2005 adalah sebesar 4,105 juta hektar. Dari luas tersebut, kawasan hutan seluas 3,346 juta hektar, kawasan non hutan 391 ribu hektar, dan tidak terdata 368 ribu hektar. Luas kawasan hutan hasil pencitraan satelit ini tidak berbeda jauh dengan luas peruntukan kawasan hutan yang ditentukan Pemerintah yaitu seluas 4,395 juta hektar. Indikator lain yang dipergunakan adalah akses rumah tangga terhadap air minum non-perpipaan terlindungi dan akses terhadap sanitasi layak. Rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi di Sulawesi Tengah pada tahun 1994 adalah sekitar 27,3 persen dan meningkat menjadi 56,6 persen pada tahun 2006. Persentase tahun 2006 tersebut sedikit berada di bawah angka nasional yang sebesar 57,2 persen. Persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak masih jauh di bawah angka nasional dan termasuk berperingkat rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain. Tahun 1992, hanya 21,1 persen rumah tangga yang memiliki sanitasi yang layak (peringkat 4 terendah), sementara tahun 2006 jumlah tersebut menjadi 56,5 persen (peringkat 9 terendah). Proporsi akses rumah tangga terhadap sanitasi layak di Kalimantan Selatan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, namun secara umum masih lebih rendah dibandingkan dengan angka nasional.

(23) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat

Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan provinsi pemekaran dari Sulawesi Selatan, ternyata pada tahun 2006 memiliki jumlah penduduk miskin (Po) sekitar 18,64 persen, sedikit di atas angka nasional. Target pengurangan kemiskinan di daerah ini relatif lebih berat dari pada provinsi induknya yang berada di bawah rata-rata persentase nasional.

Pencapaian target pengurangan kemiskinan Sulawesi Selatan lebih baik dari Sulawesi Barat, namun dalam target penghapusan kelaparan yang diindikasikan dengan balita kurang gizi ternyata lebih buruk. Provinsi ini pada tahun 2006 memiliki angka persentase balita kurang gizi sebesar 30,16 persen, angka ini merupakan peningkatan dibandingkan tahun 2002 yang pada saat itu mencapai 29,50 persen. Bila dibandingkan tahun 1989 memang terjadi penurunan, karena pada saat itu mencapai 37,90 persen.

Pencapaian target pendidikan dasar bagi semua dengan indikator APM SD/MI dan APM SLTP/MT. Hal ini bersesuaian dengan program nasional wajib balajar sembilan tahun, kedua provinsi baik Sulawesi Selatan sebagi induk dan Sulawesi Barat sebagai pemekaran berada dalam kondisi yang masih mengkhawatirkan pencapaiannya terutama di tingkat SLTP/MT. Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2006 memiliki APM SD/MI sebesar 91,1 persen angka ini menunjukkan peningkatan di bandingkan dengan tahun 2002 yang mencapai 89,0 persen, dan di tahun 1992 provinsi ini baru memiliki APM SD/MI sebesar 80,8 persen. Jadi Provinsi ini selalu berada di bawah angka nasional, namun menunjukkan peningkatan persentase terus menerus hingga 2006. Dengan capaian di atas 90 persen sekalipun di bawah angka nasional, sudah cukup menggembirakan. Namun yang masih menyedihkan adalah APM SLTP/MT, karena masih banyak anak usia sekolah SLTP/MT yang tidak menikmati pendidikan tersebut. Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1992 memiliki APM SLTP/MT sebesar 33,3 persen, kemudian meningkat menjadi 55,9 persen 10 tahun kemudian yakni tahun 2002, dan meningkat lagi di tahun 2006 menjadi 60,3 persen APM SLTP/MT Sulawesi Selatan. Peningkatan yang hampir dua kali dibanding 14 tahun sebelumnya, memang menggembirakan namun masih terdapat hampir 40 persen anak yang tidak dapat menikmati SLTP/MT di usianya.

Hampir sama dengan Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat untuk tingkat SD/MI sudah di atas 90 persen, bahkan lebih baik sedikit dari Provinsi induk, namun di tingkat SMP justru lebih buruk lagi. Pada tahun 2006, APM SD/MI Provinsi capaiannya sebesar 91,7 persen sedangkan APM SMP mencapai 55,2 persen atau 11,3 persen di bawah angka nasional. Hampir mencapai separuh anak usia SMP yang tidak dapat menikmati pendidikan SLTP/MT.

Sebagai konsekwensi memiliki angka balita kurang gizi yang buruk, Provinsi Sulawesi Selatan dalam mengurangi target kematian ana-anak masih cukup berat, sekalipun terjadi perkembangan yang cukup menggembirakan terutama dalam pengurangan AKB. Pada tahun 2005 AKB Provinsi Sulawesi Selatan sudah mencapai 10 jiwa per 1000 kelahiran, pada tahun 2003 AKB masih 47 jiwa per 1000 kelahiran. Keberhasilan menekan AKB yang cukup tinggi tidak serta merta mampu menekan AKBA sekalipun terjadi penurunan yang juga besar. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki penurunan AKBA yang cukup baik antara tahun 2003-2005 yaitu masing-masing 72 jiwa menjadi 46 jiwa per 1000 kelahiran hidup.

Target penurunan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya di Provinsi ini masih relatif sulit. Di Sulawesi Selatan pada tahun 2005 tercatat 143 kasus HIV/AIDS dan 2.400 kasus penyakit malaria. Sementara itu di Sulawesi Barat pada tahun 2005 tercatat 1.100 kasus malaria.

Target pencapaian akses air minum aman bagi penduduk di Sulawesi Barat terasa berat, setidaknya dengan idikator akses air minum non perpipaan terlindungi dapat dilihat masih tingginya penduduk yang memperoleh air minum yang tidak terlindungi. Di Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2006 rumah tangga pengguna air minum non perpipaan terlindungi mencapai 45,5, jadi di bawah angka nasional yang mencapai 57,2 persen.

Target akses terhadap sanitasi layak di Provinsi Sulawesi Barat masih buruk karena kurang dari separuh penduduk yang menikmatinya, pada tahun 2006 sekitar 47,5 persen yang memiliki akses. Sedangkan Provinsi induk yakni Sulawesi Selatan pada tahun yang sama memperoleh capaian sudah di atas rata-rata nasional yakni 70,5 persen demikian juga tahun-tahun sebelumnya.

(24) Sulawesi Tenggara

Target pengurangan kemiskinan (Po) di Sulawesi Tenggara masih terasa berat, karena pemiskinan yang terjadi cukup besar, pada tahun 1993 memiliki persentase penduduk miskin sebesar 10,8 persen atau 162.300 jiwa, angka ini merupakan angka di bawah rata-rata nasional, namun 10 tahun kemudian, setelah masa krisis, terjadi peningkatan menjadi 24,2 persen pada tahun 2002. Sedangkan pada tahun 2006 persentase penduduk miskin di Sulawesi Tenggara sebesar 22,89 persen, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2002. Demikian halnya dengan penghapusan kelaparan dengan indikator prevalensi balita dengan berat badan kurang yang tingkat perkembangannya lebih rendah dari capaian nasional.

Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 1989 merupakan daerah yang persentase balita kurang gizi-nya di bawah angka nasional yakni 31,06 persen. Pada tahun 2002 persentasenya tidak mengalami perubahan berarti sekalipun menurun yakni 27,90. Namun angka tersebut sudah berada di bawah angka nasional. Pada tahun 2005 angkanya meningkat lagi menjadi 29,38 persen, jadi selama tiga tahun terakhir terjadi peningkatan balita kurang gizi di daerah tersebut.

Pencapaian target pendidikan dasar bagi semua di Sulawesi Tenggara relatif baik di tingkat SD/MI karena sudah mencapai di atas 90 persen sekalipun masih di bawah angka nasional. Provinsi Sulawesi Tenggara sejak 1992 memiliki APM SD/MI selalu di bawah rata-rata nasional, yaitu sebesar 84,2 persen pada tahun 1992 dan meningkat di tahun 2002 menjadi 89,7 persen, dan kemudian 2006 meningkat lagi menjadi 92,3 persen. Partisipasi murid usia sekolah dalam rangka wajib belajar sembilan tahun dari tahun ke tahun semakin baik, sekalipun masih harus mengejar ketertinggalan dari tingkat laju nasional. Sedangkan APM SLTP/MT sekalipun sudah di atas capaian nasional, namun masih rendah capaiannya mengingat APM SLTP/MT nasional masih sekitar 70 persen.

Dalam hal promosi kesetaraan gender di Sulawesi Tenggara bila dilihat dari akses perempuan yang bersekolah memang menggembirakan, namun kemajuan yang terbatas akibat masih banyaknya anak yang belum menikmati pendidikan dasar 9 tahun termasuk kaum perempuan kegembiraan tersebut harus dipendam. Target kesetaraan gender dengan indikator pendidikan sekalipun sudah baik, namun dibandingkan kemajuan di tingkat nasional rasio APM P/L SLTP/MT yang sudah di atas 100 persen berada di bawah angka nasional. Pada tahun 1992 Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki rasio APM P/L SLTP/MT 101,2 persen namun pada tahun 2002 menurun menjadi 97,3, jadi ada penurunan yang bahkan menunjukkan ketertinggalan perempuan, apalagi di tingkat nasional selama 10 tahun tersebut justru menunjukkan peningkatan sekalipun kecil (1,3 persen). Tetapi tidak lama kemudian tahun 2006 meningkat menjadi 122,9 persen, hal ini menggembirakan bagi perkembangan keadilan gender.

Target penguragan angka kematian anak di Sulawesi Tenggara menunjukkan perbaikan signifikan baik AKB maupun AKBA, sekalipun masih tertinggal di bandingkan dengan capaian angka persentase nasional. Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2005 memiliki AKB 11 jiwa per 1000 kelahiran, sedangkan pada tahun 2003 AKB yang dimiliki masih berkisar 67 jiwa per 1000 kelahiran. Kemajuan yang hampir sama, sekalipun dengan tingkat yang lebih lamban adalah penurunan AKBA. Pada tahun 2005 AKBA provinsi Sulawesi Tenggara mencapai 49 jiwa per 1000 kelahiran, angka ini merupakan prestasi yang sangat baik karena mampu menurunkan hampir separuh dari AKBA sebelumnya di tahun 2003 yang mencapai 92 jiwa per 1000 kelahiran.

Target penurunan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya di Provinsi Sulawesi Tenggara masih relatif terkendali. Tercatat hanya 2 jiwa penderita kasus HIV/AIDS baru di tahun 2005, sedangkan penyakit malaria mencapai 21.110 kejadian.

Target peningkatan akses untuk sanitasi layak di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2005 masih di bawah nasional dengan capaian sebesar 68,2 persen, sekalipun menunjukkan perkembangan kenaikan, namun penilaian dari rangking maka tahun 2005 jelas menurun karena tahun 2000 dan 1992 berada di atas rata-rata nasional sekalipun angkanya masing-masing adalah: 64,20 persen dan 37,10 persen.

Box: KREATIVITAS DAERAH: Kapal Terapung Melayani Anak Sekolah di Daerah Pesisir

Penuntasan wajib belajur sumbilan tahun di Sulawesi Tenggara masih mengadapi kendala, terutama untuk anak-anak usia belajar yang tinggal di daerah pesisir. Untuk itu, pembelajaran kreatif dengan menyelenggarakan kelas berjalan perahu terapung diharapkan bisa menarik minat anak-anak usia belajar menuntaskan pendidikan di jenjang SD/MI hingga SLTP/MT.

Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Tenggara Zalili Sailan di Kendari, Jumat (28/9), mengatakan bahwa penuntasan wajib belajar di Sulawesi Tenggara menghadapi kendala, terutarna karena penduduknya yang terpencar atau terpencil sehingga secara geografis sulit dijangkau. Hingga tahun ini, pencapaian angka partisipasi kasar (APK) masih 84,65 persen atau kurang 10,35 persen dari target minimal penuntasan wajib belajar yang ditetapkan pemerintah.

Sehubungan dengan kegiatan silaturahmi Ramadhan, Mendiknas Bambang Sudibyo yang berkunjung ke Kendari meresmikan penggunaan kapal terapung untuk melayani anak usia sekolah di daerah pesisir, terutama untuk menjangkau suku Bajo. Perahu kelas etnik Bajo itu singgah dari satu pulau ke pulau lain untuk menyelenggarakan pendidikan kesetaraan bagi anak-anak pesisir yang putus sekolah sebelum menuntaskan SLTP/MT.

Menangggpi kondisi penuntasan wajib belajar sembilan tahun di wilayah Indonesia yang menghadapi berbagai kendala, Mendiknas mengatakan, kondisi negara Indonesia yang berpulau-pulau dan berjenis suku ini memerlukan pendekatan pendidikan yang khas. Tujuannya untuk menjangkau masyarakat agar menyadari pentingnya pendidikan untuk pemberdayaan dan melepaskan diri dari kemiskinan.

“Seperti suku Bajo, mereka kan terbiasa hidup di laut. Katanya, kalau lama di darat pusing. Dengan pendidikan non-formal di perahu terapung, anak-anak bisa dilayani untuk mendapatkan pendidikan. Pendekatan serupa juga perlu dilakukan untuk suku-suku lain,” katanya. Kiranya pembelajaran yang dapat dipetik adalah perlunya Daerah untuk lebih kreatif menyelesaikan persoalan khas di daerah mereka dalam menuntaskan wajib belajar. [Kompas, Senin, 1 Oktober 2007]

--ooOOoo--

Perkembangan MDGs di Pulau Kalimantan, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(17) Kalimantan Barat

Pencapaian target penanggulangan kemiskinan Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan perkembangan yang baik. Pada tahun 1993, persentase penduduk miskin mencapai 25,05 persen, meningkat menjadi 29,28 persen pada tahun 2000, kemudian menurun menjadi hanya 15,50 persen pada tahun 2006. Persentase penduduk miskin provinsi ini pada tahun 1993 dan 2000 jauh berada di bawah rata-rata nasional, namun tahun 2006 angka ini menjadi di atas angka rata-rata nasional (16,58 persen) maupun rata-rata setiap provinsi (17,6 persen). Hal ini menunjukkan bahwa upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan di provinsi ini telah mampu menurunkan persentase penduduk miskin.

Indikator pencapaian target pengurangan kelaparan yaitu persentase balita yang mengalami kekurangan gizi juga menunjukkan perkembangan yang baik. Pada tahun 1992, balita yang kekurangan gizi mencapai 47,42 persen, menurun menjadi 29,17 persen tahun 2000, namun meningkat menjadi 32,71 persen pada tahun 2006. Angka tahun 2006 tersebut lebih buruk dari angka nasional (28,05 persen) dan angka rata-rata setiap provinsi (27,9 persen), meskipun persentase penduduk miskin provinsi ini tahun 2006 telah berada di bawah angka nasional.

Pencapaian target pendidikan dasar untuk semua yang ditunjukkan oleh indikator APM SD/MI di Kalimantan Barat menunjukkan perkembangan yang baik. APM SD/MI tahun 1992 hanya sebesar 71,6 persen dan berada di bawah rata-rata nasional (88,7 persen). Tahun 2000 APM SD/MI Kalimantan Barat meningkat menjadi 89,5 persen dan meningkat lagi menjadi 93,8 persen pada tahun 2006. Meskipun angka ini meningkat, namun persentasenya masih di bawah angka nasional. APM SLTP/MTs menunjukkan kecenderungan meningkat, dari 22,1 persen (1992) menjadi 60,9 persen (2006), namun secara umum masih berada di bawah angka nasional.

Pencapaian tujuan ketiga mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan untuk Provinsi Kalimantan Barat ditunjukkan oleh indikator rasio APM murid perempuan terhadap laki-laki (P/L) SD/MI dan SLTP/MT. Rasio APM P/L SD/MI pada tahun 1992 hanya sebesar 95,9. Angka ini meningkat menjadi 100,6 pada tahun 2006 dan berada di atas angka nasional (99,4). Sementara itu, rasio APM P/L SLTP/MT/MTs Kalimantan Barat pada tahun 1992 hanya sebesar 92,0 dan menurun menjadi 99,1 pada tahun 2006. Angka ini berada di bawah angka nasional (100,0). Partisipasi anak perempuan dalam pendidikan dasar di Kalimantan Barat telah menunjukkan perkembangan yang sangat baik, namun hal ini tidak tampak dalam pendidikan setingkat SLTP/MT. Kesetaraan gender juga dapat ditunjukkan dengan indikator rasio rata-rata upah per bulan antara perempuan dan laki-laki. Pada bulan Februari 2007 rasio tersebut mencapai 80,5 dan berada di atas angka nasional yang sebesar 74,8. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di provinsi ini sejauh ini termasuk baik.

Tujuan keempat menurunkan angka kematian anak ditunjukkan oleh AKB dan AKBA. AKB Kalimantan Barat pada tahun 2005 mencapai 7,0 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan angka nasional (8,0) atau angka rata-rata setiap provinsi (8,5). AKBA Kalimantan Barat tahun 2005 sebesar 37 per 1.000 kelahiran hidup, sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan rata-rata nasional (40) atau angka rata-rata setiap provinsi (40,6).

Indikator jumlah penderita AIDS dan kejadian malaria mengindikasikan pencapaian tujuan keenam memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya. Untuk Provinsi Kalimantan Barat, jumlah penderita AIDS pada tahun 2005 cukup tinggi yaitu mencapai 228 orang, sementara kejadian malaria hanya 990 kejadian.

Luas lahan kawasan hutan, akses air minum, dan sanitasi merupakan indikator pencapaian tujuan ketujuh memastikan kelestarian lingkungan hidup. Luas peruntukan kawasan hutan di Kalimantan Barat cenderung tetap sejak 2001 sampai 2005. Jika dilihat berdasarkan penafsiran dari pencitraan Satelit Landsat ETM 7+ sampai tahun 2005, luas penutupan lahan dalam kawasan hutan Kalimantan Barat mencapai 8,943 juta hektar. Dari luas kawasan kutan tersebut, 5,665 juta hektar merupakan hutan, 3,257 juta hektar adalah non-hutan, dan sekitar 20 ribu hektar sisanya tidak terdata. Jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan rasio luas daratan peruntukan kawasan hutan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sementara itu, terkait dengan masalah kesehatan lingkungan, rumah tangga yang memiliki akses kepada air minum non-perpipaan terlindungi di provinsi ini pada tahun 2006 mencapai 55,1 persen, meningkat dari 48,3 persen pada tahun 1994 dan 51,8 persen tahun 2002. Persentase tahun 2006 tersebut masih berada di bawah angka nasional yang 57,2 persen namun berada di atas angka rata-rata setiap provinsi (53,9 persen). Kecilnya peningkatan akses kepada air minum non-perpipaan terlindungi dalam kurun waktu 8 tahun tersebut menandai stagnasinya kebiasaan rumah tangga terhadap penggunaan air bersih di Kalimantan Barat. Akses rumah tangga kepada sanitasi layak pada tahun 2006 mencapai 61,5 persen dan meningkat tajam dari kondisi pada tahun 1992 yang sebesar 21,30 persen. Peningkatan ini menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan pada budaya sanitasi rumah tangga Kalimantan Barat.

(18) Kalimantan Tengah

Pencapaian target pengurangan jumlah penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Tengah menunjukkan kecenderungan yang sangat baik. Upaya penanggulangan kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah telah mampu secara signifikan menurunkan jumlah penduduk miskin. Persentase penduduk miskin Kalimantan Tengah tahun 1993 mencapai 20,85 persen, lalu menurun menjadi 11,86 persen tahun 2000 dan menurun kembali menjadi 9,17 persen tahun 2006. Angka tahun 2006 ini jauh di bawah angka nasional (16,58 persen) atau angka rata-rata setiap provinsi (17,6 persen). Namun demikian, jika dikaitkan dengan target pengurangan kelaparan, kinerja provinsi ini cenderung tidak berubah dari tahun ke tahun. Persentase balita kekurangan gizi tahun 1989 adalah sebesar 35,02 persen, menurun menjadi 27,38 persen tahun 2006. Meskipun cenderung tetap, namun pada tahun 2006 persentase balita kekurangan gizi ini masih sedikit di atas rata-rata nasional (28,05).

Kinerja Provinsi Kalimantan Tengah untuk mencapai target pendidikan dasar untuk semua cukup positif. APM SD/MI tahun 1992 adalah sebesar 93,3 persen, meningkat menjadi 94,3 persen tahun 2000 dan 96,0 persen tahun 2006. APM SD/MI Kalimantan Tengah pada tahun-tahun tersebut selalu berada di atas angka nasional dan angka rata-rata setiap provinsi. Sementara itu, APM SLTP/MT/MTs juga meningkat dari tahun 1992 (39,7 persen) sampai tahun 2006 (67,7 persen). Angka tahun 2006 tersebut berada di atas angka nasional yang sebesar 66,5 persen.

Rasio APM murid perempuan terhadap laki-laki (P/L) yang merupakan salah satu indikator pencapaian target kesetaraan gender untuk Kalimantan Tengah menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan meskipun cenderung turun dalam kurun waktu 2000-2006. Rasio APM P/L SD/MI tahun 1992 adalah sebesar 98,5, meningkat menjadi 101,1, lalu menurun menjadi 99,9. Meskipun menurun namun angka ini masih sedikit berada di atas angka nasional (99,4). Rasio APM P/L SLTP/MT/MTs juga meningkat pada tahun 2000 (dari 95,9 pada 1992 menjadi 104,2 pada 2000) dan menurun menjadi 102,4 pada tahun 2006. Angka tahun 2006 tersebut masih di atas angka nasional (100,0). Sementara itu, perempuan Kalimantan Tengah menunjukkan partisipasi yang relatif baik pada pekerjaan upahan. Hal ini ditunjukkan oleh indikator rasio rata-rata upah per bulan antara perempuan dan laki-laki yang mencapai 78,8. Angka ini sedikit berada di atas rata-rata nasional (74,8), namun masih berada di bawah rasio rata-rata setiap provinsi yang sebesar 80,3.

Dalam kaitannya dengan pencapaian target penurunan angka kematian anak, Kalimantan Tengah menunjukkan prestasi yang menggembirakan. AKB pada tahun 2005 hanya 4 per 1.000 kelahiran hidup, sementara AKBA mencapai 25 per 1.000 kelahiran hidup. AKB dan AKBA Kalimantan Tengah tersebut jauh melampaui angka nasional yang sebesar 8 (AKB) dan 40 (AKBA). Menurunnya angka kematian bayi dan balita ini merupakan dampak pembangunan kesehatan yang diprioritaskan pada pelayanan kesehatan bagi bayi dan balita.

Terkait dengan pencapaian target pengurangan penderita HIV/AIDS dan malaria, kinerja Kalimantan Tengah cukup baik. Pada tahun 2005, jumlah penderita AIDS hanya dua orang, namun jumlah insiden malaria mencapai 12.160 kejadian. Tingginya kejadian malaria ini menunjukkan perlunya perhatian yang lebih serius pada upaya pengendalian vektor penyebab penyakit malaria.

Luas daratan kawasan hutan merupakan salah satu indikator untuk melihat pencapaian target memastikan kelestarian lingkungan hidup. Karena luas peruntukan kawasan hutan ditentukan berdasarkan keputusan Pemerintah, maka rasio luas daratan kawasan hutan adalah sama untuk tahun 2003 dan 2005, yaitu 69,9. Berdasarkan penafsiran citra Satelit Landsat 7 ETM+ sampai tahun 2005, luas penutupan lahan dalam kawasan hutan sebesar 15,155 juta hektar. Dari luas tersebut, kawasan berupa hutan 8,897 juta hektar, kawasan hutan yang non hutan 6,252 juta hektar, dan 5.500 hektar tidak terdata. Luas hasil citra satelit ini lebih kecil jika dibandingkan dengan luas peruntukan kawasan hutan yang ditetapkan Pemerintah berdasarkan paduserasi RTRWP-TGHK. Sementara itu, akses rumah tangga terhadap air minum non-perpipaan terlindungi menunjukkan peningkatan dari tahun 1994 (30,2 persen) ke tahun 2006 (41,6 persen). Persentase tahun 2006 masih di bawah angka nasional yang sebesar 57,2 persen atau angka rata-rata setiap provinsi 53,9 persen. Peningkatan akses rumah tangga pada sanitasi yang layak meningkat secara berarti. Tahun 1992, rumah tangga yang memiliki sanitasi layak hanya sebesar 16,70 persen. Jumlah tersebut meningkat cukup signifikan menjadi 52,0 persen pada tahun 2006. Namun demikian, angka tahun 2006 masih lebih kecil dibandingkan angka nasional (69,3 persen).

(19) Kalimantan Timur

Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas di Indonesia, dengan luas wilayah sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11 persen dari total luas wilayah Indonesia. Daerah ini memiliki sumberdaya alam yang melimpah, baik berupa pertambangan seperti emas, batubara, minyak dan gas bumi, juga hasil hutan. Meskipun Kalimantan Timur memiliki sumberdaya alam yang melimpah, persentase penduduk miskin di provinsi ini ternyata masih cukup tinggi. Pada tahun 1993, persentase penduduk miskin mencapai 13,75 persen, sedikit di atas angka nasional (13,67 persen). Angka ini sempat naik menjadi 16,15 persen pada tahun 2000, kemudian menurun menjadi 12,55 persen pada tahun 2006. Meskipun angka tahun 2006 sudah di bawah angka kemiskinan nasional (16,68 persen), persentase penduduk miskin Kalimantan Timur masih berada di peringkat 13 dalam urutan ranking persentase penduduk miskin provinsi-provinsi di Indonesia, setelah—antara lain—Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Jambi, dan Maluku Utara.

Sementara itu, terkait dengan pengurangan kelaparan, perkembangan angka balita yang kekurangan gizi di provinsi ini cukup baik. Dalam kurun waktu 1989-2006, persentase balita yang kekurangan gizi Kalimantan Timur selalu lebih baik jika dibandingkan dengan angka nasional, meskipun pada tahun 2006 angka ini mencapai 25,92 persen, naik dari angka tahun 2000 yang sebesar 22,88 persen.

Target pendidikan dasar untuk semua ditunjukkan oleh indikator APM SD/MI dan SLTP/MT/MTs. APM SD/MI di Kalimantan Timur sejak tahun 2000 yang sebesar 91,4 persen berada di bawah angka nasional (92,3 persen), meskipun pada tahun 1992 APM SD/MI Kalimantan Timur masih di atas angka nasional. Tahun 2006 capaian APM SD/MI adalah sebesar 92,9 persen dan masih di bawah angka nasional (94,7 persen). APM SLTP/MT/MTs Kalimantan Timur menunjukkan kecenderungan yang sama dengan perkembangan APM SD/MI. Tahun 1992 APM SLTP/MT/MTs Kalimantan Timur sebesar 51,6 persen, naik menjadi 60,4 persen tahun 2000, dan naik kembali menjadi 64,0 persen tahun 2006. Tahun 1992 APM SLTP/MT/MTs tersebut jauh di atas angka nasional, tahun 2000 sedikit di atas angka nasional, dan tahun 2006 angka tersebut sudah berada di bawah angka nasional. Dalam kurun waktu 1992-2006, APM SLTP/MT/MTs Kalimantan Timur menunjukkan kenaikan yang tinggi, namun laju kenaikannya lebih rendah jika dibandingkan dengan laju kenaikan APM SLTP/MT/MTs di tingkat nasional.

Terkait dengan pencapaian target kesetaraan gender, perkembangan rasio APM P/L SD/MI tergolong kurang baik. Tahun 1992 rasio APM P/L SD/MI Kalimantan Timur sebesar 95,5, tahun 2000 naik menjadi 101,5, namun pada tahun 2006 menurun signifikan menjadi 98,4. Peringkat rasio APM P/L SD/MI Kalimantan Timur ini merupakan rasio keenam terburuk di Indonesia, bersama-sama dengan Provinsi Papua. Rasio APM P/L SLTP/MT juga kurang baik. Tahun 1992 angka ini adalah sebesar 107,2, tahun 2000 turun menjadi 94,3, dan tahun 2006 meningkat kembali menjadi 100,2, satu tingkat di bawah angka nasional yang sebesar 100,0. Sementara itu, kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di Kalimantan Timur termasuk sangat buruk. Pada bulan Februari 2007, rasio upah pekerja perempuan terhadap pekerja laki-laki hanya sebesar 56,4. Artinya, untuk pekerjaan yang sama pekerja perempuan hanya memperoleh upah kira-kira separuh dari upah pekerja laki-laki. Untuk indikator ini, Kalimantan Timur menempati peringkat terbawah dari seluruh provinsi di Indonesia, bahkan selisih rasio antara Kalimantan Timur dengan provinsi berperingkat di atasnya mencapai 9,6 dan jika dibandingkan dengan rasio nasional (74,8), selisih rasionya menjadi 18,4. Kesetaraan gender yang berkaitan dengan partisipasi murid perempuan dalam pendidikan dan kontribusi upah pekerja perempuan dalam pekerjaan upahan di provinsi ini dapat dikatakan tergolong buruk.

Indikator untuk melihat pencapaian target menurunkan angka kematian anak adalah AKB dan AKBA. AKB Kalimantan Timur tahun 2005 mencapai 6 per 1.000 kelahiran hidup dan masih di bawah angka nasional (8). AKBA mencapai 32 per 1.000 kelahiran hidup, juga masih di bawah angka nasional (40). Sementara itu, indikator kesehatan lainnya yang terkait dengan pencapaian target memerangi penyakit menular menunjukkan kinerja sedang. Penderita AIDS pada tahun 2005 hanya lima orang, sementara insiden malaria cukup tinggi yaitu 8.830 kejadian.

Terkait dengan upaya pencapaian target memastikan kelestarian lingkungan, indikator yang digunakan adalah luas kawasan hutan, akses air minum non-perpiaan terlindungi, dan akses terhadap sanitasi layak. Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan Kalimantan Timur berdasarkan penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ sampai dengan tahun 2005 adalah sebesar 14,726 juta hektar. Dari luas tersebut, kawasan hutan seluas 9,896 juta hektar, kawasan hutan yang sudah menjadi non-hutan 2,990 juta hektar, dan data tidak lengkap seluas 1,840 juta hektar. Luas penutupan lahan berdasarkan citra satelit Landsat ini tidak berbeda jauh dengan kawasan peruntukan hutan yang ditentukan Pemerintah yaitu seluas 14,652 juta hektar. Selain itu, rumah tangga yang mempunyai akses air minum non-perpipaan terlindungi tergolong bagus. Tahun 1994 persentase rumah tangga dengan akses kepada air minum non-perpipaan terlindungi sebesar 53,2 persen, tahun 2002 menjadi 64,6 persen, dan tahun 2006 menjadi 66,9 persen. Semua angka provinsi tersebut berada di atas angka nasional. Hal ini berarti makin banyak rumah tangga yang menggunakan air bersih. Persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak juga tergolong baik. Tahun 1992 jumlah tersebut hanya 43,3 persen, tahun 2000 menjadi 68,4 persen, dan tahun 2006 menjadi 80,2 persen. Dalam kurun waktu 14 tahun, persentase rumah tangga yang memiliki akses kepada sanitasi layak selalu berada di atas angka nasional dan juga di atas angka rata-rata setiap provinsi.

(20) Kalimantan Selatan

Angka kemiskinan Kalimantan Selatan sangat baik. Pada tahun 1993, persentase penduduk miskin masih 18,61 persen dan di atas angka nasional (13,67 persen). Namun pada tahun 2000 angka tersebut turun menjadi hanya 12,97 persen (angka nasional 18,95 persen) dan turun lagi menjadi 7,66 persen pada tahun 2006 (angka nasional 16,58 persen). Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan yang baik di Kalimantan Selatan telah memberikan dampak positif bagi pengurangan jumlah penduduk miskin. Namun demikian, keberhasilan penurunan angka kemiskinan ini tidak diimbangi dengan pengurangan angka kurang gizi bagi balita. Tahun 1992 persentase balita yang kurang gizi mencapai 38,75 persen. Jumlah ini menurun sedikit menjadi 35,78 persen pada tahun 2006. Angka ini masih jauh di bawah angka nasional yang sebesar 28,05 persen. Kalimantan Selatan untuk tahun 2006 berada di peringkat ketiga terburuk dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya.

Target pendidikan dasar untuk semua ditandai dengan indikator APM SD/MI dan APM SLTP/MT/MTs. Pada umumnya, APM SD/MI Kalimantan Selatan masih di atas APM SD/MI nasional. Tahun 1992 APM SD/MI sebesar 90,4 persen, tahun 2000 92,4 persen (sedikit di atas angka nasional yang 92,3 persen), dan tahun 2006 meningkat menjadi 93,3 persen. Selain itu, APM SLTP/MT/MTs Kalimantan Selatan, meskipun secara umum selalu di bawah angka nasional, menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi. Tahun 1992 APM SLTP/MT/MTs sebesar 33,3 persen, kemudian meningkat menjadi 51,8 persen dan meningkat kembali menjadi sebesar 62,1 persen.

Rasio APM antara murid perempuan terhadap murid laki-laki (P/L) SD/MI dan SLTP/MT merupakan beberapa indikator yang menunjukkan kesetaraan gender di bidang pendidikan dasar. Rasio APM P/L SD/MI tahun 2000 yang sebesar 100,7 dan tahun 2006 yang sebesar 100,2 menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan dasar setara dengan partisipasi murid laki-laki. Namun demikian, berlawanan dengan rasio APM P/L SD/MI, rasio APM P/L SLTP/MT juga tergolong kurang baik. Rasio APM P/L SLTP/MT Kalimantan Selatan tahun 2006 hanya sebesar 97,6 dan berada di peringkat 10 terburuk jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Indikator lainnya yang menunjukkan kesetaraan gender adalah rasio upah bulanan pekerja perempuan terhadap upah pekerja laki-laki. Pada bulan Februari 2007, rasio ini adalah sebesar 74,9, sedikit di atas angka nasional yang sebesar 74,8. Rasio tersebut menunjukkan bahwa masih terjadi ketimpangan yang cukup jauh antara upah pekerja perempuan terhadap upah pekerja laki-laki di bidang pekerjaan yang sama. Upah pekerja perempuan hanya sebesar sekitar 75 persen jika dibandingkan dengan upah pekerja laki-laki.

Terkait dengan angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita (AKBA), kinerja Provinsi Kalimantan Selatan dapat dikatakan buruk. Pada tahun 2005, AKB Kalimantan Selatan mencapai 12 per 1.000 kelahiran hidup dan AKBA mencapai 53 per 1.000 kelahiran hidup. Keduanya lebih buruk jika dibandingkan dengan angka rata-rata nasional yang sebesar 8 per 1.000 kelahiran hidup (AKB) dan 40 per 1.000 kelahiran hidup (AKBA). Selain itu, terkait dengan target memerangi penyakit menular, jumlah penderita AIDS hanya tiga orang dan jumlah insiden malaria mencapai sekitar 2.780 kejadian jauh di bawah rata-rata insiden malaria setiap provinsi yang sebesar 23.275 kejadian.

Sehubungan dengan tujuan memastikan kelestarian lingkungan hidup, indikator yang digunakan antara lain adalah luas kawasan hutan. Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan Kalimantan Selatan berdasarkan penafsiran citra Satelit Landsat 7 ETM+ sampai tahun 2005 adalah sebesar 1,793 juta hektar. Dari luas tersebut, kawasan hutan seluas 986 ribu hektar, kawasan non hutan 806 ribu hektar, dan tidak terdata 890 hektar. Luas kawasan hutan hasil pencitraan satelit ini berbeda cukup jauh dengan luas peruntukan kawasan hutan yang ditentukan Pemerintah yaitu seluas 1,839 juta hektar. Indikator lain yang dipergunakan adalah akses rumah tangga terhadap air minum non-perpipaan terlindungi dan akses terhadap sanitasi layak. Rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi di Kalimantan Selatan pada tahun 1994 adalah sekitar 41,5 persen dan meningkat menjadi 55,7 persen pada tahun 2006. Persentase tahun 2006 tersebut masih berada di bawah angka nasional yang sebesar 57,2 persen. Persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak masih di bawah angka nasional. Tahun 1992, hanya 28 persen rumah tangga yang memiliki sanitasi yang layak, sementara tahun 2006 jumlah tersebut menjadi 66,4 persen. Proporsi akses terhadap sanitasi layak di Kalimantan Selatan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, namun secara umum masih lebih rendah dibandingkan dengan angka nasional.

--ooOOoo--

Perkembangan MDGs di Kepulauan Nusa Tenggara, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsi-provinsi di Kepulauan Nusa Tenggara
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(14) Bali

Provinsi Bali merupakan provinsi yang relatif baik dalam pencapaian MDGs dari perspektif nasional, karena indikator MDGs di provinsi ini selalu berada di atas angka nasional terkecuali dalam tiga hal yakni APM SD/MI, Rasio APM P/L SD/MI masing-masing ranking 17 dan 11 dari 33 Provinsi dan Penderita HIV/AIDS terbesar ke lima.

Provinsi Bali Sejak 2002 memiliki APM SD/MI di bawah tingkat rata-rata nasional, adapun besar capaiannya adalah 92,2 persen dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 93,3 persen. Berbeda halnya dengan tahun 1992 yang walaupun jumlah persentasenya lebih kecil namun berada di atas angka nasional di mana capaiannya sebesar 91,1 persen.

Provinsi Bali termasuk dalam kategori provinsi yang pencapaian Rasio APM P/L SD/MI pada tahun berada sedikit di bawah pencapaian nasional, yakni sebesar 99,0 persen. Meskipun demikian, berbeda dengan provinsi lainnya yang cenderung menurun pencapaiannya, dalam hal ini provinsi Bali menunjukan perbaikan terus menerus seperti terlihat dalam tabel yakni sebesar 97,7 persen pada tahun 1992 dan sedikit menurun 97,5 persen pada tahun 2002.

Bila di sektor pendidikan pencapaian target kesetaraan gender sudah baik, tidak demikian halnya dengan sektor produktif non pertanian, hal ini dapat dilihat dari rasio P/L rata-rata upah bulanan yang tertera pada februari 2007 sebesar 69,6 persen atau satu peringkat di bawah Nusa Tenggara Barat, rangking ke 4 terburuk. Kesenjangan rata-rata upah bulanan antara perempuan dan laki-laki di Provinsi ini masih cukup lebar.

Penderita penyakit menular HIV/AIDS di Provinsi Bali relatif tinggi, tercatat kasus sebesar 228 kasus atau menduduki rangking kelima pencapaian terparah secara nasional. Kenyataan ini lebih dipengaruhi oleh posisi Provinsi Bali sebagai daerah tujuan pariwisata, karena sebagai daerah terbuka sulit menghindarkan dari pergaulan dengan cara hidup yang membuka ruang bagi penyebaran penyakit HIV/AIDS.

(15) Nusa Tenggara Barat

Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang tingkat ketergantungan sebagian besar penduduknya pada curah hujan sangat tinggi, tidaklah mengherankan bila pada musim kemarau sering dilanda kelaparan. Sebagai daerah pertanian dengan areal pengairan tehnis lebih kecil, dan tingkat penduduk yang padat di Lombok, menyebabkan daerah ini dikenal sebagai daerah miskin baik indikator ekonomi maupun non ekonomis.

Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 1993 memiliki jumlah persentase penduduk miskin sebesar19,52 persen atau sekitar 692.400 jiwa (Po) yang kemudian meningkat menjadi 1.145.800 atau 28,01 persen pada tahun 2000. Data ini memperlihatkan bahwa krisis nasional berdampak besar pada Nusa Tenggara Barat karena proses pemulihan di Provinsi ini nampak berjalan lamban, selain tentunya pengaruh iklim panas yang patut diperhitungkan sebagai faktor yang menimbulkan kemarau berkepanjangan. Pada tahun 2006 persentase penduduk miskin di Nusa Tenggara Barat berkisar 23,04 persen yang berarti terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 3 persen selama kurun waktu 6 tahun terakhir.

Dampak kemiskinan dan kondisi iklim menjadi penghambat utama pencapaian target pengurangan kelaparan. Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 1989 memiliki jumlah balita kurang gizi atau gizi buruk, sebesar 43,98 persen. Satu decade kemudian yaitu tahun 2000 balita kurang gizi di Nusa Tenggara Barat mencapai 27,25 persen, turun cukup tinggi. Tetapi pada tahun 2006 kembali naik menjadi 33,39 persen. Sedangkan angka nasional balita dengan gizi kurang tahun 2006 sebesar 28,05 persen.

Kinerja Pencapaian Pendidikan Dasar relatif lebih baik, dalam hal ’Wajar 9 tahun’ angka capaiannnya di atas rata-rata nasional, selain peran pemerintah yang besar, tidak dapat dipungkiri peran pendidikan swasta cukup signifikan melalui pendidikan pesantren (madrassah ibtidaiyah dan tsanawiyah) maupun sekolah umum SD/MI dan SLTP/MT. Namun demimikian dalam hal kesetaraan gender di bidang pendidikan Povinsi Nusa Tenggara Barat menghadapi kendala karena pandangan stereo type, perempuan tidak perlu berpendidikan baik toh akhirnya bekerja di rumah. Pengaruhnya, capaian rasio perempuan dibandingkan laki-laki tingkat SLTP/MT di bawah angka nasional dan baru pada tahun 2006 angka rasio APM P/L SLTP/MT di atas 100 persen dan selalu berada di bawah angka nasional. Pada tahun 1992 rasio yang dicapai Nusa Tenggara Barat 98,8 persen dan tahun 2000 turun menjadi 98,5, dan pada tahun 2006 mencapai jumlah yang cukup signifikan yakni 137,5 persen, walau masih di bawah pencapaian nasional.

Target pencapaian kesetaraan gender bila dilihat dari perspektif pendidikan sudah baik. Namun di sektor ekonomi riel dalam hal ini pengupahan, nampak sekali adanya diskriminasi gender. Pada tahun 2007 ini, tingkat rasio P/L rata-rata upah bulanan sebesar 68,1 persen dan merupakan peringkat ke tiga terburuk. Jadi perempuan hanya menerima upah sekitar dua pertiga dari laki-laki.

Dampak kurang gizi Balita di Nusa Tenggara Barat sangat berpengaruh terhadap kehidupan Balita, apalagi di dukung oleh pola dan gaya hidup yang tidak sehat terutama perwatan masa kehamilan serta pola asuh dan makan semasa Balita. Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2003 memiliki Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 74 jiwa per 1000 kelahiran sedangkan pada tahun 2005 turun drastis menjadi sekitar 27 jiwa per 1000 kelahiran. Keberhasilan dalam menekan jumlah Angka Kematian Bayi tidak diiringi kesuksesan menekan Angka Kematian Balita (AKBA) yang nampak penanganannya tergolong masih lamban. Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2005 memiliki AKBA sekitar 93 jiwa meninggal dari 1000 kelahiran Angka ini dua kali lipat lebih besar dari angka nasional yang mencapai 40 jiwa per 1000 kelahiran, dan angka ini sudah lebih baik dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 103 jiwa.

Sejak dekade 1990-an Provinsi Nusa Tenggara Barat mulai mengembangkan sektor Pariwisatanya, dengan semakin banyaknya kunjungan wisman ke daerah ini. Seiring dengan itu, di Provinsi ini mulai terjangkiti HIV/AIDS. Pada tahun 2005 terdapat 16 kasus penderita HIV/AIDS. Meski demikian, dari sisi pengendaliannya dirasakan sulit adalah penularan yang berasal dari TKI/TKW yang bekerja di luar negeri. Sementara itu untuk penyakit malaria, Nusa Tenggara Barat termasuk daerah yang potensial dengan jumlah insiden malaria pada tahun 2006 sebanyak 20.510 kejadian.

Target pencapaian akses sanitasi layak merupakan hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2006 hanya mencapai 46,2 persen dan angka ini terbawah secara nasional, sekalipun demikian angka tersebut sudah menunjukkan adanya peningkatan dibanding tahun sebelumnya, misalnya tahun 1992 baru mencapai 17 persen penduduk yang menggunakan sanitasi layak, dan tahun 2000 meningkat menjadi 44,20 persen Jadi, masih terdapat separuh lebih penduduk Nusa Tenggara Barat yang hidupa dalam sanitasi buruk.

(16) Nusa Tenggara Timur

Nusa tenggara Timur merupakan daerah yang alamnya sangat tergantung pada hujan, bahkan dapat dikatakan lebih kritis dari Nusa Tenggara Barat dengan tiadanya bendungan besar di daerah ini. Karena penduduknya sebagian besar petani, maka sulit untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu pencapaian target pengurangan kemiskinan di daerah ini terasa lamban. Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2006 memiliki persentase penduduk miskin sebesar 27,99 persen, atau sekitar 11,5 persen lebih tinggi dari angka nasional. Persentase tersebut sesungguhnya sudah menurun di bandingkan dengan data tahun 2000 yang 36,29 persen atau sama dengan 1.206.500 jiwa. Sedangkan pada tahun 1993 provinsi ini memiliki jumlah penduduk miskin sekitar 756.400 jiwa atau 21,84 persen. Jadi, dengan membandingkan angka pencapaian tahun 2000 dengan tahun 2006, menunjukkan persentase yang menurun, meskipun masih jauh di atas angka nasional sebesar 27,99 persen.

Dampak dari situasi kemiskinan yang nyata adalah kualitas kesehatan balita yang buruk. Pada tahun 1989 di Nusa Tenggara Timur prevalensi balita dengan berat badan kurang atau kurang gizi mencapai angka 45,41 persen, 13 tahun kemudian angka tersebut menurun menjadi 33,60 persen pada tahun 2000 dan kembali meningkat pada tahun 2006 yakni sebesar 41,07 persen. Sedangkan pencapaian angka nasional sebesar 28,05 persen. Realitas ini merupakan dampak terburuk dari perubahan iklim seperti el nino dengan kemaraunya yang berkepanjangan dan kebijakan nasional yang menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat.

Pencapaian target pendidikan dasar bagi semua dalam MDGs dan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun masih menghadapi kendala yang cukup serius di Nusa Tenggara Timur di mana APM SD/MI-nya berada diperingkat kedelapan dan terutama tingkat SLTP/MT APM-nya yang berada di peringkat pertama terburuk secara nasional.

Target pencapaian APM SD/MI di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2006 sebesar 91,6 persen, angka ini menunjukkan besarnya anak yang bersekolah SD/MI di usia sekolahnya. Arti sebaliknya, terdapat sekitar 8,4 persen yang tidak tertampung di sekolah. Pencapaian tahun 2006 lebih baik dari tahun 2000 (88,9 persen) dan jauh lebih baik dari tahun 1992 yang hanya mencapai 82,3 persen. Sebagai daerah dengan kondisi geografis kepulauan dan dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi baik ekonomi maupun non-ekonomi, maka prestasi ini merupakan pencapaian yang istimewa.

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi paling parah nomor satu dalam pencapaian target APM SLTP/MT di mana pada tahun 2006 memiliki APM SLTP/MT sebesar 47,2 persen. Suatu jumlah dengan selisih sebesar 19,3 persen bila dibandingkan dengan angka nasional (66,5 persen). Dibaca sebaliknya maka dengan pencapaian sebesar 47,2 persen pada tahun 2006, hal ini menunjukkan bahwa terdapat anak didik yang tidak melanjutkan sekolah SLTP/MT sebanyak 52,8 persen pada golongan usia belajar 13 sampai 15 tahun. Sebenarnya, pencapaian tahun 2006 tersebut sudah jauh lebih baik bila dibandingkan pencapaian tahun-tahun sebelumnya, yakni sebesar 34,2 persen pada tahun 2000 serta tahun 1992 yang hanya mencapai 20,9 persen.

Selain memiliki persoalan seperti di atas, hampir serupa dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat, terdapat fakta tingginya angka kematian anak dan ibu di wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur. Banyak anak-anak yang tidak dapat menikmati ulang tahun kelimanya akibat berbagai sebab dan juga ibu-ibu yang beresiko tinggi disaat persalinannya. Dalam kaitan ini AKB Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 mencapai 15 jiwa per 1000 kelahiran hidup. Angka ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 59 jiwa. Pada tahun 2005 tersebut, rangking Nusa Tenggara Timur berada di peringkat tiga terburuk secara nasional karena nilai pencapaiannya hampir dua kali rata-rata angka kematian bayi secara nasional.

Dalam hal penurunan target angka kematian anak (AKB dan AKBA), Provinsi Nusa Tenggara Timur sudah dapat menekan AKB degan sangat baik sekalipun masih cukup tinggi dibandingkan angka nasional. Namun dalam hal AKBA masih terasa lamban. Masih tetap sebagai Provinsi terparah ketiga, tahun 2005 Nusa Tenggara Timur memiliki AKBA sebesar 60 jiwa per 1000 kelahiran hidup. Kondisi tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2003 yang masih mencapai 73 jiwa. Beberapa penyebab kasus pada situasi di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur relatif sama, yaitu ditandai oleh persoalan kemiskinan, kelaparan dan iklim yang begitu dominan. Selain itu persoalan pelayanan publik dan struktur sosial merupakan persoalan struktural yang perlu ditangani serius di Provinsi ini.

Pencapaian target pengurangan penyakit menular dan berbahaya di Nusa Tenggara Timur membutuhkan penanganan khusus, selama bertahun tahun belum mampu mengisolasi penyakit malaria. Hingga saat ini provinsi ini selalu ditimpa KLB malaria dengan tingkat kejadian penyakit malaria yang paling tinggi, yakni sebesar 172.770 kasus.

Pencapaian target pengurangan penyakit menular dan berbahaya di Nusa Tenggara Timur membutuhkan penanganan khusus. Selama bertahun tahun daerah ini belum mampu mengisolasi penyakit malaria, terbukti dengan adanya kejadian luar biasa (KLB) malaria yang pada tahun 2005 mencapai 172770 kasus dan merupakan jumlah terbesar di tingkat nasional. Jumlah penderita penyakit HIV/AIDS di Provinsi ini berada peringkat 14 nasional yaitu 20 kasus.

Pencapaian target Sanitasi Layak pada Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2006 berada pada peringkat 19 terburuk atau di bawah rata-rata nasional dengan angka capaiannya sekitar 68,9 persen. Artinya masih terdapat sejumlah hampir sepertiga penduduk yang hidup dengan sanitasi buruk. Capaian sanitasi layak di Nusa Tenggara Timur mulai mengalami perbaikan pada dekade 1990-an dengan pencapaian sebesar 21,90 persen tahun 1992 berubah menjadi cukup signifikan menjadi 63,20 persen pada tahun 2000.

--ooOOoo--

Perkembangan MDGs di Jawa, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsiporvinsi di Pulau Jawa Tahun 1990-2007
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(9) DKI Jakarta

Provinsi DKI Jakarta yang merupakan ibu kota negara dalam pencapaian MDGs relatif baik dibandingkan rata-rata nasional. Namun demikian ternyata tidak berlaku untuk semua indikator target MDGs. Dan yang paling menonjol dirasakan masih kurang adalah dalam bidang pendidikan, baik pada target pencapaian pendidikan dasar bagi semua maupun target pencapaian kesetaraan gender dengan indikator rasio APMnya. Pada tahun 2006 APM SD/MI DKI Jakarta mencapai 90,8 persen. Angka ini lebih jelek dibandingkan dengan pencapaian tahun 2000 yang mencapai 91,4 persen. Pencapaian APM SD/MI provinsi DKI yang terbaik berada pada tahun 1992 yang mencapai 94,2 persen, yang berada di atas angka nasional sebesar 88,7 persen pada saat itu. Dengan demikian, bagi provinsi DKI pencapaian APM SD/MI nya dalam rentang 14 tahun ini menunjukkan gejala yang semakin menurun, ditengah-tengah pencapaian APM nasional yang semakin membaik yakni mulai dari 88,7 persen pada tahun 1992, 92,3 persen di tahun 2000 dan puncaknya sebesar 94,7 persen pada tahun 2006.

Ada catatan penting bagi pencapaian angka nasional di tahun 2006 ini. Walau angka persentasenya dalam kurun waktu empat belas tahun ini, yakni dari tahun 1992 hingga tahun 2006, nampak meningkat tetapi jumlah provinsi yang pencapaiannya berada di bawah angka nasional nampak semakin banyak, bahkan hampir seluruh provinsi dari sejumlah 33 provinsi yang ada. Hanya ada 3 daerah provinsi yang pencapaian APM Snya berada di atas pencapaian nasional, yakni provinsi Banten, Naggroe Aceh Darussalam, serta Kalimantan Tengah.

Situasi pencapaian APM SD/MI yang berada di bawah pencapaian angka nasional pada hampir seluruh provinsi yang ada diduga merupakan imbas dari menurunya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Walaupun dalam hal ini sebenarnya pemerintah telah berupaya meminimalisir dampak dari kenaikkan harga BBM tersebut dengan berbagai program yang tertuang dalam program kompensasi pengurangan subisidi BBM (PKPS BBM), diantaranya berupa sumbangan langsung tunai (SLT) bagi masyarakat miskin dan hampir miskin (nearly poor).

Dalam hal keadilan gender di bidang pendidikan, Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara ternyata termasuk provinsi yang pencapaian rasio APM P/L SD/MI nya di bawah pencapaian nasional selama kurun waktu 14 tahun ini. Berturut-turut pencapaiannya adalah sebagai berikut; sebesar 99 persen pada tahun 1992 dengan angka nasional saat itu sebesar 100,6 persen. Pada tahun 2000 mencapai angka rasio APM SD/MI sebesar 100,4 persen dan angka nasional saat itu sebanyak 100,3 persen, serta sebesar 96,5 persen pada tahun 2006 dengan pencapaian nasional sebesar 99,4. Pencapaian ibukota negara ini bahkan amat mengejutkan bila dibandingkan dengan pencapaian yang diraih provinsi Irian Jaya Barat walaupun yang merupakan provinsi baru hasil pemekaran, sama-sama berada di bawah angka nasional. Hasil pencapaian provinsi Irian Jaya Barat tersebut sebesar 99,3 persen di tahun 2006.

DKI Jakarta sejak tahun 1992 memiliki angka rasio APM P/L SLTP/MT selalu di bawah angka nasional. Tahun 1992 angka rasio yang dicapai 100,2 persen dan turun menjadi 94,4 persen pada tahun 2000 serta tahun 2006 menurun lagi ke angka 90,7 persen padahal pencapaian angka nasional sendiri mencapai 100 persen. Tetapi tragisnya data tahun 2007 per bulan februari, berarti hanya berselang satu tahun kemudian, angka nasional drop menjadi 74,8 persen. Faktor-faktor penyebab dari keadaan demikian diduga kuat terkait dengan masalah buruh anak, perkawinan dini yang memandang anak perempuan sebagai komoditas yang pada titik ekstrimnya menjurus kepada masalah perdagangan haram manusia (human traficking).

Bila dilihat dari pendidikan dasar nampaknya Jakarta hampir dapat dikatakan termasuk bebas dari diskriminasi gender. Namun kenyataannya, bila dilihat dari struktur upah berdasarkan rasio P/L Upah bulanan, ternyata masih diketemukan sedikit ketimpangan dengan kenyataan rasio perempuan dan laki-laki sebesar 80 persen.

Menarik memperhatikan kondisi tingkat pengangguran yang melanda angkatan muda (usia 15-24 tahun) kita, khususnya mereka yang tinggal di daerah perkotaan ketimbang yang berada di perdesaan. Untuk daerah DKI Jakarta misalnya, nampak pada tahun 2007 capaiannya sekitar 85,4 persen dan merupakan rangking ke dua setelah kepulauan Riau, sementara angka nasional menunjukkan angka pengangguran sebesar 57,3 persen. secara nasional. Sementara kedua daerah tersebut dapat dikatakan merupakan daerah dengan tingkat industrialisasi yang cukup tinggi. Diantara jumlah pengangguran tersebut, nampak kaum perempuan menunjukkan persentase yang lebih besar dibanding laki-laki, yakni 89,2 persen berbanding 82,1 persen (tahun 2007 bulan Februari).

Tingkat pencapaian target MDGs terparah lainnya untuk provinsi DKI Jakarta ini adalah pada masalah HIV/AIDS. DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki penderita HIV/AIDS terbesar dengan 2.206 kasus pada tahun 2005.Situasi ini menggambarkan senyatanya bagaimana pola kehidupan kota besar di Indonesia saat ini dengan fenomena pergaulan bebasnya yang diiringi dengan tingkat pemakaian obat-obatan (tropika) yang cukup tinggi yang terbukti pemakaian jarum suntik diduga sebagai media utama terjadinya penularan penyakit ini.



(10) Jawa Barat dan Banten

Sebelum tahun 1999, Provinsi Jawa Barat meliputi juga daerah yang sekatang menjadi wilayah Provinsi Banten dan dengan demikian data tahun 1990-an masih merupakan satu kesatuan dengan data Provinsi Jawa Barat. Dalam hal target pengurangan kemiskinan dan penghapusan kelaparan tampaknya kedua propnsi ini memiliki angka yang relatif lebih baik dibandinglkan angka nasional. Yakni dengan persentase jumlah penduduk miskinnya sebesar 12,20 persen pada tahun 1993. Sedangkan angka nasional pada saat yang sama menunjukkan angka sebesar 13,67 persen. Begitupun, ketika provinsi Jawa Barat mengalami pemekaran dengan provinsi Banten sebagai provinsi barunya. Jumlah penduduk miskin yang terdapat di kedua wilayah ini tetap menunjukkan persentase di bawah persentase nasional.

Namun tidak demikian halnya dengan target pencapaian pendidikan dasar bagi semua, Provinsi Jawa Barat adalah satu-satunya provinsi di pulau Jawa yang masuk kategori di bawah persentase nasional (65,2 persen) untuk indikator APM SLTP/MT, dengan pencapaian pada tahun 2006 sebesar 62,1 persen. Demikian juga pada tahun 1992 maupun tahun 2000, angkanya selalu berada di bawah pencapaian angka nasional, yakni sebesar 35,3 persen pada tahun 1992 dan sebesar 57,7 persen pada tahun 2000 dengan angka nasionalnya pada masing-masing periode sebesar 41,9 persen dan 60,3 persen. Yang menarik justru provinsi pemekarannya, yakni Banten, justru sedikit lebih baik di atas pencapaian angka nasional dalam hal APM SLTP/MT ini.

Selain hal itu, angka kematian anak di provinsi Jawa Barat maupun Banten berada di di atas pencapaian angka rata-rata nasional (35 AKB per 1000 kelhiran hidup). Provinsi Jawa Barat pada tahun 2003 memiliki AKB sebesar 44 jiwa per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di provinsi Banten dijumpai angka AKB sebesar 38 jiwa per 1000 kelahiran hidup. Angka-angka pencapaian di kedua provinsi ini kemudian nampak menurun pada tahun 2005 di mana masing-masingnya menunjukkan pencapaian yang sama yakni sebesar 10 AKB per 1000 kelahiran hidup, dengan angka nasional pada saat itu sebesar 8 AKB per 1000 kelahiran hidup. Sebuah prestasi yang cukup membanggakan bagi kedua provinsi ini.

Begitupun untuk target pencapaian AKBA di mana kedua provinsi ini, Jawa barat dan Banten, menunjukkan prestasi dengan keberhasilannya menurunkan angka kematian balita (AKBA) walau dengan selisih angka yang tidak signifikan dan masih berada di atas angka nasional. Yakni dari 50 jiwa per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 47 jiwa AKBA pada tahun 2005, untuk provinsi Jawa Barat. Sedangkan untuk provinsi Banten, dari 56 jiwa AKBA pada tahun 2003 menjadi 45 jiwa per 1000 kelahiran hidup.

Provinsi Banten dalam pencapaian target peningkatan akses terhadap air minum aman dan sanitasi layak masih di bawah angka rata-rata nasional, artinya masih membutuhkan kerja keras. Rumah tangga yang memiliki akses air minum non-perpipaan terlindungi tahun 2006 di provinsi ini mencapai 48,5 persen, dan yang memiliki akses terhadap sanitasi layak 69 persen. Sedangkan Provinsi Jawa Barat sebelum dimekarkan dengan provinsi Banten, pada tahun 1992 memiliki rumah tangga pengguna air minum non-perpipaan terlindungi sebanyak 68,6 persen dan ketika terpisah, pada tahun 2006 angkanya menurun menjadi 51,0 persen. Sedangkan yang menikmati sanitasi layak sekitar 61,1 persen. Pencapaian tahun 29006 sudah lebih baik dari tahun 2000 yang mencapai 54 persen dan tahun 1992 yang baru 26,40 persen.

Target pengurangan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya relatif tinggi karena Jawa Barat memiliki penderita sebanyak 534 orang pada tahun 2005, sedangkan yang tercatat dalam kejadian malaria 1.110 kasus. Provinsi Banten relatif kecil, karena penderita HIV/AIDS hanya tercatat 6 orang dan kasus malaria hanya 10 kejadian untuk tahun 2005.

Tingkat pengangguran kaum muda di Propvinsi Jawa Barat cukup tinggi dan merupakan rangking ke empat dengan 73,1 persen. Angka tersebut terdiri dari 84,4 persen penganggur perempuan dan laki-laki hanya 66,8 persen. Dalam hal rasio upah perempuan dan laki-laki sebesar 78,9 persen. Sedangkan di Banten tingkat pengangguran kaum mudanya lebih tinggi, yaitu mencapai 78,5 persen per Februari 2007 dengan posisi sebagai rangking ketiga secara nasional. Perbandingan antara jumlah perempuan yang menganggur dibandingkan dengan yang laki-laki sebesar 85 persen berbanding 74,7 persen. Oleh karena itu mudah dipahami jika kemudian nampak rasio upah kaum perempuan nampak lebih rendah ketimbang laki-laki, yaitu 72,4 persen rata-rata upah per bulan P/L untuk Provinsi Banten dan sebesar 78,9 persen untuk Provinsi Jawa Barat. Kenyataan ini juga semakin menguatkan pendapat umum yang berkembang selama ini yang menyatakan bahwa posisi tawar pasar tenaga kerja kaum perempuan secara struktural lemah dibandingkan dengan pasar tenaga kerja laki-laki.

(11) Jawa Tengah

Pada tahun 1993 persentase penduduk miskin di provinsi Jawa Tengah mencapai 15,8 persen atau sekitar 4.618.700 jiwa dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 21,11 persen atau sekitar 7.308.300 jiwa. Sedangkan tahun 2006 persentasenya mencapai 20,17 persen. Keseluruhan pencapaian provinsi Jawa Tengah dalam upayanya mengurangi jumlah penduduk miskin memang nampak berada di atas jumlah penduduki miskin secara nasional, selama periode waktu-waktu tersebut.

Pencapaian rasio P/L SD/MI di Jawa Tengah pada tahun 2006 ini nampak menurun dibandingkan dengan pencapaian tahun 2000, yakni dari sebesar 99,8 persen menjadi 98,2 persen. Sedikit berbeda dengan pencapaian tahun 1993 yang berada pada posisi di atas pencapaian angka nasional (100,6), yakni sebesar 100,9. Selain berbagai sebab yang terkait dengan masalah-masalah pekerja anak dan masalah perkawinan dini yang melanda anak perempuan, secara spesifik, hal ini mencerminkan masih menguatnya kultur Jawa yang lebih mengedepankan anak laki mengenyam pendidikan.

Tetapi berbeda halnya dengan rasio P/L SLTP/MT di mana proinsi Jawa Tengah ini memperlihatkan kondisi keadilan gender dalam hal akses pendidikan SLTP/MT dengan pencapaiannya di atas rata-rata angka nasional, khususnya pada tahun 1992 dan tahun 2000, yakni masing-masing sebesar 101,7 dan 106,6. Tetapi mengalami penurunan pada tahun 2006 yakni sebesar 103,1, meskipun masih tetap berada di atas pencapaian angka nasional sebesar 100.

Dari sisi upah, rasio upah per bulan P/L hanya sekitar 66 persen artinya perempuan hanya memperoleh upah 66 persen dibandingkan laki-laki. Diskriminasi dalam pengupahan jelas merupakan cerminan di sektor riel, terutama terkait dengan semakin maraknya pola hubungan kerja yang bersifat sub-kontrak dan out-sourcing yang melemahkan kaum buruh, terutama buruh perempuan.

Provinsi Jawa Tengah dalam upaya pencapaian target penurunan penderita HIV/ADS dan Pengurangan Penderita Malaria masih harus waspada, karena penderita HIV/AIDS mencapai 143 kasus tahun 2005, sedangkan peristiwa malarian mencapai 150 kejadian.

Target pengurangan pengangguran usia muda (15-24 tahun) di provinsi Jawa Tengah masih tergolong rendah karena berada di atas angka rata-rata pengangguran di tingkat nasional (57,3) yang mana pada tahun 2007 mencapai 57,6 persen dan merupakan rangking 10 terburuk. Sedangkan bila ditinjau berdasarkan jenis kelamin maka nampak jumlah pengangguran perempuan lebih banyak ketimbang kaum laki-lakinya, yakni 65,8 persen berbanding 52,3 persen.

(12) Daerah Istimewa Yogyakarta

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari sisi kualitas hidup memang relatif baik keadaan penduduknya dan merupakan daerah dengan indeks harapan hidup yang tertinggi. Namun demikian, persentase jumlah penduduk miskinnya sejak tahun 1993 yang mencapai 11,77 persen terus meningkat hingga tahun 2000 yang mencapai 33,32 persen. Dan barulah pada tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 20,32 persen tetapi dengan suatu kenyataan masih berada di atas jumlah rata-rata penduduk miskin secara nasional. Penurunan jumlah penduduk miskin pada tahun 2006 ini boleh jadi dikarenakan adanya intervensi program PKPS BBM yang memang diarahkan bagi penduduk miskin dan mendekati miskin dalam mempertahankan daya beli masyarakat (miskin) akibat adanya kebijakan menaikkan harga BBM yang diikuti dengan meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok penduduk.

Sebagaimana telah disebutkan di muka, pencapaian provinsi ini dalam hal rasio APM SD/MI ternyata mengalami penurun biola dibandingkan dengan pencapaian tahun 1992 maupun tahun 2002. Pencapaian tahun 1992 sebesar 101,3 persen, tahun 2002 sebesar 99,6 persen dan tahun 2006 sebesar 97,9 persen. Artinya terdapat kecenderungan yang konsisten dalam hal rasio APM SD/MI yang didasarkan atas perbandingan jenis kelamin perempuan dan laki-laki.

Rasio APM P/L SLTP/MT di Provinsi ini tahun 2006 mencapai 94,4 persen dan angka ini lebih buruk ketimbang pencapaian tahun 95,2 persen tetapi sedikit lebih baik dibandingkan pencapaian tahun 2000 sebesar 94,3 persen. Namun, sekalipun pencapaian tahun 2006 nampak menunjukkan persentase yang lebih baik, sesungguhnya masih berada di bawah pencapaian nasional atau masih berada di bawah prestasi pencapaian periode-periode tahun sebelumnya, tahun 1992 maupun tahun 2000. Secara keseluruhan memang, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, hampir semua provinsi di Indonesia dalam pencapaian target indikator APM SD/MI ini mengalami penurunan. Hanya terdapat di tiga daerah yang angka pencapaiannya berada di atas pencapaian angka nasional.

Target pengurangan penderita HIV/AIDS dan malaria di Yogyakarta relatif dapat dikendalikan, mengingat posisi kota ini yang terbuka dan daerah wisata. Terdapat 18 kasus penyakit HIV/AIDS dan tercatat 130 kejadian penyakit malaria di Provinsi ini pada tahun 2005.

Situasi pengangguran usia muda di Yogyakarta dapat dikategorikan relatif memprihatinkan, mengingat posisinya pada tahun 2007 ini berada di peringkat enam terburuk, dengan pencapaian sekitar 68,7 persen. Dari keadaan yang demikian, ternyata jumlah perempuan muda yang menganggur lebih banyak dari laki-laki, dengan perbandingan angka masing-masing sebesar 77,6 persen dan 61,2 persen atau sekitar 16,4 persen lebih banyak.

(13) Jawa Timur

Provinsi Jawa Timur pada tahun 2006 ini memiliki jumlah penduduk miskin sebesar 20,23 persen atau hampir seperlima penduduknya hidup dalam kemiskinan. Dari sisi persentase memang relatif kecil namun dari sisi jumlah absolut bisa meliputi beberapa provinsi. Pada tahun 2000 jumlah penduduk miskin daerah ini sekitar 22,72 persen atau berjumlah lebih dari 7,7 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 1993 persentase jumlah penduduk miskinnya mencapai 13,25 persen. Bila jumlah penduduk miskin tahun 1993 tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin tahun 2006 maka terdapat perbedaan jumlah yang hampir dua kali lipat besarnya. Dalam satu dekade lebih telah terjadi penggandaan jumlah orang miskin yang diduga kuat sebagai akibat pengaruh krisis ekonomi pada tahun 1997/1998.

Pencapaian rasio APM P/L SD/MI di Jawa Timur pada tahun 2006 ini nampak menurun dibandingkan dengan pencapaian tahun-tahun sebelumnya, yakni 99 persen, dengan angka nasional sebesar 99,4 persen. Sedangkan rasio tahun 1992 sebesar 101 persen dan tahun 2000 turun menjadi 100,2 persen. Dengan semakin menurunnya pencapaian rasio APM P/L SD/MI ini maka dapat diartikan partisipasi peserta didik anak perempuan semakin menurun dibandingkan dengan anak laki-laki dalam hal mengenyam pendidikan dasar tingkat sekolah dasar.

Provinsi jawa Timur memiliki angka rasio APM P/L SLTP/MT yang terus meningkat dari 97,1 persen pada tahun 1992 dan menjadi 104,2 persen tahun 2000 yang menyamakan angka nasional. Kemudian pada tahun 2006 naik turun menjadi 101,4 persen tetapi berada di atas pencapaian angka nasional (100,0 persen)

Di sektor riel, terlihat indikasi adanya diskriminasi pengupahan. Rasio P/L upah bulanan tahun 2007 mencapai hanya 74,1 persen dan ini berada di bawah angka nasional yang merujuk pada angka 74,8 persen. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi perbedaan jumlah antara perempuan dan laki-laki dalam hal menerima upah bulanan. Kaum perempuan berada dalam jumlah yang lebih sedikit ketimbang yang laki-laki. Kondisi ini mencerminkan adanya perempuan yang bekerja di sektor informal menerima upah bulanan lebih kecil dibandingkan laki-laki yang notabene banyak bekerja di sektor formal.

Target pengurangan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya di Jawa Timur masih rawan. Hal ini dikarenakan tingginya pengidap (ODHA) HIV/AIDS yang mencapai 790 orang pada tahun 2005. Sedangkan kejadian Malaria mencapai 280 kasus.

--ooOOoo--

Perkembangan MDGs di Sumatera, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsi-provinsi di Pulau Sumatera Tahun 1990-2007
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(1) Nanggroe Aceh Darussalam

Pencapaian target menanggulangi kemiskinan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam cukup baik ditinjau dari kecenderungan persentase penduduk miskinnya (Po). Po Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 1993 mencapai 13,5 persen atau 496.700 jiwa. Persentase ini berada di bawah Po nasional 13,7 persen dan juga berada di bawah rata-rata provinsi 14,7 persen. Penduduk miskin Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2000 ternyata bertambah banyak atau meningkat persentasenya menjadi 29,8 persen. Po tahun 2006 menurun menjadi 28,7 persen. Situasi konflik dan ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1990-an diduga menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan.

Kinerja target pengurangan kelaparan dapat dilihat dari indikator balita kurang gizi. Balita kurang gizi di Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 1989 mencapai 48,4 persen atau tertinggi kedua di Indonesia. Kejadian kurang gizi menurun terus dari tahun 1989 sampai tahun 2000 menjadi masing-masing 39,3 persen dan 38,6 persen.

APM SD/MI sebagai indikator pencapaian target pendidikan dasar untuk semua di Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan perkembangan yang baik. APM SD/MI tahun 1992 termasuk rendah meskipun di atas angka nasional (88,7 persen) maupun di atas rata-rata provinsi (87,2 persen). Kualitas pelayanan pendidikan yang membaik membuat semakin bertambahnya partisipasi sekolah pendidikan dasar yang ditandai meningkatnya APM SD/MI tahun 2006 menjadi 95,5 persen.

Keadilan gender di bidang pendidikan, sebagai bagian dari upaya mewujudkan tujuan ketiga mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menunjukkan kecenderungan menurun. Rasio APM murid perempuan dibanding laki-laki (P/L) SD/MI tahun 1992 telah mencapai 99,9 namun menurun menjadi 96,4 pada tahun 2006. Sementara itu untuk rasio APM P/L SLTP/MT/MT menurun dari 111,4 pada tahun 1992 menjadi 99,3 pada tahun 2006. Angka ini berada di bawah angka nasional (100,0) dan di bawah rata-rata tiap provinsi (101,5). Kesetaraan gender untuk bidang selain pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam ditunjukkan antara lain oleh rasio rata-rata upah per bulan antara perempuan dan laki-laki. Pencapaian Provinsi ini termasuk tertinggi di antara 33 provinsi di tahun 2006 yaitu 84,8, jauh di atas rata-rata provinsi 84,7 maupun angka nasional 74,8. Dengan demikian, keseteraan gender di bidang pendidikan dan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di Nanggroe Aceh Darussalam belum berkembang baik. Pencapaian tahun 2006 sekaligus bermakna bahwa Provinsi ini sedang dalam masa pemulihan pasca konflik yang berkepanjangan.

Indikator berikutnya yang mengindikasikan pencapaian tujuan 4 menurunkan angka kematian anak adalah AKB dan AKBA. AKB per 1000 kelahiran hidup tahun 2005 (7,0) masih tergolong cukup baik dibandingkan angka nasional (8,0) maupun angka rata-rata tiap provinsi (8,5). Sementara itu AKBA per 1000 kelahiran hidup tahun 2005 (46,0) juga berada dalam kategori cukup baik dibandingkan angka nasional (40,0) dan angka rata-rata tiap provinsi (40,6). Pencapaian AKBA tahun 2005 ini menyamai pencapaian nasional tahun 2003. Pencapaian tahun 2005 jauh lebih baik dibandingkan tahun 1990.

Kinerja bidang kesehatan yang lain, khususnya terkait pencapaian tujuan 6 memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, ditunjukkan antara lain oleh jumlah penderita AIDS dan kejadian malaria. Penderita AIDS hanya satu orang pada tahun 2005, sementara insiden malaria tahun 2005 mencapai 2.170 kejadian.

Prestasi lain yang dicapai Provinsi ini adalah di pencapaian luas lahan kawasan hutan, akses air minum, dan sanitasi sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan 7 memastikan kelestarian lingkungan hidup. Luas kawasan hutan di wilayah Provinsi ini cenderung tetap dari tahun 2001 sampai 2005, bahkan dibandingkan dengan penafsiran citra Satelit ETM 7 tahun 2000 juga relatif tetap. Selain itu, rumah Tangga yang memiliki akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi dari tahun ke tahun menunjukkan pengurangan, yaitu mencapai 24,1 persen pada tahun 1994 dan pada tahun 2006 menjadi 41,4 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama 16 tahun terjadi pergeseran akses rumah tangga terhadap penggunaan air bersih. Sementara itu akses rumah tangga kepada sanitasi layak juga meningkat tajam dari 25,1 persen di tahun 1992 menjadi 62,7 persen di tahun 2006.

Pekerjaan bagi kaum muda (rentang usia 15-24 tahun) di Nanggroe Aceh Darussalam nampaknya banyak dinikmati oleh kelompok laki-laki dibandingkan oleh kelompok perempuan. Per Februari 2007 terdapat sekitar 52,6 persen pengangguran usia muda kelompok laki-laki, sementara yang perempuan hanya 58,2 persen. Jumlah pengangguran usia muda secara akumulatif per Februari 2007 diperkirakan mencapai 493 ribu jiwa atau sekitar 54,9 persen. Angka kumulatif ini lebih baik dari pencapaian nasional per Februari 2007 yang cuma 57,3 persen.




(2) Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara mencatat awal yang baik dalam target menanggulangi kemiskinan di tahun 1993 dengan persentase penduduk miskin 12,3 persen. Angka ini di bawah Po Nasional (13,7 persen) maupun di bawah rata-rata tiap provinsi (14,7 persen). Pada tahun 2000, persentase penduduk miskin meningkat 13,0 persen. Meski demikian, angka tersebut masih di bawah Po Nasional maupun rata-rata tiap provinsi (20,5 persen). Perbaikan kualitas kebijakan dan pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan dalam waktu lima tahun terakhir nampaknya belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin di Sumatera Utara yang di tahun 2006 mencapai 14,3 persen.

Prestasi mengurangi kelaparan yang ditandai indikator kurang gizi di Provinsi ini dari tahun 1989 hingga tahun 2006 secara umum fluktuatif. Pada tahun 1989 balita kurang gizi di Sumatera Utara mencapai 37,3 persen sedikit lebih baik dari angka nasional (37,5 persen). Gizi buruk pada tahun 1992 menurun mencapai 35,4 persen, kemudian pada tahun 2000 menjadi 26,5 persen. Meski antara tahun 1992 hingga 2000 mengalami kemajuan namun ternyata justru lebih buruk dari angka nasional 24,7 persen (tahun 2000). Pada tahun 2006 persentase kurang gizi meningkat menjadi 28,7 persen. Angka 2006 lebih buruk sedikit dari angka nasional (28,1 persen) maupun angka rata-rata tiap provinsi (27,9 persen).

Kisah pencapaian berbeda terjadi pada prestasi mencapai pendidikan dasar untuk semua yang berkembang sangat baik. APM SD/MI pada tahun 1992 mencapai 89,9 persen, lebih tinggi dari APM nasional (88,7 persen) maupun dari rata-rata tiap provinsi (87,2 persen). Pada tahun 2000 APM SD/MI meningkat pesat menjadi 94,2 persen dan menurun sedikit pada tahun 2006 menjadi 94,0 persen dan angka ini berada di bawah APM SD/MI nasional (94,7 persen). Sementara itu untuk APM SLTP/MT, prestasi Sumatera Utara senantiasa lebih baik dari angka nasional maupun rata-rata tiap provinsi dengan pencapaian berturut-turut 56,4 (1992), 67,2 (2000), dan 73,1 (2006). Pencapaian tahun 2006 merupakan tertinggi ketiga di Indonesia.

Kesetaraan gender bidang pendidikan di Sumatera Utara ditandai oleh rasio APM P/L SD/MI dan rasio APM P/L SLTP/MT. Rasio APM P/L SD/MI antara tahun 1992 hingga 2006 cenderung stagnan dari 99,5 (1992), 99,5 (2000), dan 98,5 (2006). Sementara itu rasio APM P/L SLTP/MT antara tahun 1992 sampai 2006 terus meningkat dari 99,4 (1992) menjadi 102,3 (2000), 103,3 (2002), dan 101,3 (2006). Perkembangan pencapaian yang luar biasa ini --khususnya di tingkat SLTP/MT-- menggambarkan keadilan gender yang meningkat sebagai dampak kebijakan yang memberikan peluang luas kepada perempuan untuk memperoleh fasilitas pendidikan. Rasio rata-rata upah per bulan antara perempuan dan laki-laki di Provinsi ini termasuk sedang yaitu 76,4 atau sedikit lebih baik dibandingkan dengan angka nasional 74,8, namun masih di bawah rata-rata tiap provinsi 80,3.

Pencapaian berikutnya adalah menurunkan angka kematian anak dengan indikator AKB dan AKBA. Keduanya memberikan gambaran prestasi yang baik. AKB antara tahun 1994 sampai 2005 berhasil menurun dari 42 persen antara tahun 1994-2003 menjadi 6 persen pada tahun 2005. Sementara itu prestasi AKBA terekam menurun dari 57 persen antara tahun 1994-2003 menjadi 32 persen pada tahun 2005. Baik AKB maupun AKBA tahun 2005 berada jauh lebih baik dari angka nasional (40) maupun rata-rata tiap provinsi (41). Keberhasilan menurunkan angka kematian merupakan dampak pembangunan kesehatan yang diprioritaskan pada penanganan anak-anak usia balita.

Sumatera Utara termasuk daerah dengan jumlah penyandang HIV/AIDS yang tinggi yaitu 188 pada tahun 2005. Pada tahun 2005 tercatat insiden malaria sebanyak 5.340 kejadian. Dengan demikian tantangan sangat berat masih menyertai Provinsi ini dalam memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya.

Memastikan kelestarian lingkungan hidup merupakan tugas yang berat bagi Provinsi ini terutama disebabkan menurunnya kualitas hutan yang ditandai oleh menurunnya rasio luas daratan kawasan hutan dari 53,7 pada tahun 2003 menjadi 52,2 pada tahun 2005. Akses rumah tangga terhadap air minum non-perpipaan terlindungi antara tahun 1994 hingga 2006 meningkat dari 39,6 persen (1994) menjadi 50,2 (2002), dan meningkat lagi menjadi 55,2 persen (2006). Akses rumah tangga pada sanitasi layak antara tahun 1992 sampai 2006 juga senantiasa membaik dari 41,1 persen (1992) meningkat menjadi 72,7 persen (2000) dan membaik lagi menjadi 76,7 persen (2006). Pencapaian 2006 lebih baik dari angka nasional (69,3 persen) maupun rata-rata tiap provinsi (66,8 persen).

Pengangguran usia muda (rentang 15-24 tahun) di Provinsi ini termasuk tinggi meskipun sedikit lebih baik dari angka nasional. Pengangguran usia muda kelompok laki-laki per Februari 2007 mencapai 52,4 persen, kelompok perempuan mencapai 64,2 persen, dan secara akumulatif mencapai 57,1 persen atau terdapat penganggur sebanyak 1,53 juta jiwa.



(3) Sumatera Barat

Prestasi Provinsi Sumatera Barat dalam penanggulangan kemiskinan cenderung stabil apabila dilihat dari persentase penduduk miskin yang menurun antara tahun 1993 hingga 2006 dari 14,47 persen (1993), 11,41 persen (2000), dan sedikit meningkat menjadi 11,61 (2006). Prestasi Provinsi ini senantiasa lebih baik dari angka nasional.

Pada persoalan mengurangi kelaparan, Provinsi ini pada tahun 1989 memiliki balita kurang gizi sebesar 37,22 persen kemudian menurun menjadi 30,86 persen (1992), menurun lagi menjadi 21,77 persen (2000) dan kembali meningkat menjadi 30,44 persen pada tahun 2006. Pencapaian tahun 2006 Priovinsi ini lebih rendah dari angka nasional (28,05 persen).

Target pendidikan dasar untuk semua senantiasa meningkat dari tahun 1992 hingga tahun 2006 baik untuk jenjang pendidikan SD/MI maupun jenjang pendidikan SLTP/MT. Kecenderungan peningkatan ditunjukkan oleh pencapaian APM SD/MI sebesar 90,2 persen (1992), 92,7 persen (2000), dan 94,2 persen (2006). Sedangkan APM SLTP/MT juga cenderung meningkat dari 53.2 persen (1992) menjadi 63,0 persen (2000) dan 67,8 persen (2006). Baik pencapaian APM SD/MI maupun SLTP/MT selalu lebih baik dari angka nasional maupun lebih baik dari rata-rata tiap provinsi.

Kesetaraan gender bidang pendidikan di Provinsi Sumatera Barat ditinjau dari rasio APM P/L SD/MI menurun dari 102,4 pada 1992 kemudian 99,6 pada tahun 2000 menjadi 99,2 pada tahun 2006. Pencapaian rasio APM P/L SD/MI tahun 2006 berada di bawah pencapaian nasional 99,4. Hal sama berlaku pada APM P/L SLTP/MT menurun dari 125,0 pada tahun 1992, menjadi 112,0 pada tahun 2000, dan menurun lagi menjadi 108,7 pada tahun 2006. Pencapaian rasio APM P/L SLTP/MT tahun 2006 lebih baik dari pencapaian nasional tahun yang sama (100.0). Data tersebut menginformasikan bahwa perempuan mempunyai akses pendidikan lebih rendah dibandingkan rekan laki-lakinya.

Permasalahan kesehatan menunjukkan prestasi yang baik dalam konteks pencapaian target menurunkan angka kematian anak. Jika antara tahun 1994 hingga 2003 secara akumulasi terdapat AKB sebesar 48 per 100 kelahiran hidup, maka untuk tahun 2005 saja AKB hanya 8 per 1000 kelahiran hidup. AKB tahun 2005 sama dengan angka nasional dan lebih baik dari rata-rata tiap provinsi. Sementara itu hanya terdapat 2 penderita AIDS di tahun 2005, jauh dari rata-rata tiap provinsi yang mencapai 186 penderita.

Pencapaian target mempertahankan kelestarian lingkungan hidup di Provinsi ini diindikasikan oleh perkembangan rasio luas daratan kawasan hutan yang meningkat sedikit dari 60,5 persen di tahun 2001 menjadi 61,5 persen di tahun 2005. Selain itu perkembangan pencapaian akses air minum non-perpipaan terlindungi dari 33,2 persen di tahun 1994 meningkat menjadi 47,0 persen di tahun 2002 dan terus membaik menjadi 53,6 persen di tahun 2006. Prestasi sama juga terjadi pada akses rumah tangga untuk memperoleh sanitasi layak yang senentiasa meningkat dari 19,8 persen di tahun tahun 1992 menjadi 41,3 persen di tahun 2000 dan terus membaik di tahun 2006 menjadi 49,8 persen. Meski terjadi peningkatan pada akses air minum dan sanitasi layak, namun pencapaianya masih di bawah angka nasional. Ketertinggalan tersebut memacu Provinsi ini senantiasa mengejar ketertinggalannya dari provinsi-provinsi lain.

Salah satu barometer pencapaian target kemitraan global yang penting adalah tingkat pengangguran usia muda (rentang usia 15-24 tahun). Pengangguran usia muda untuk kelompok laki-laki per Februari 2007 mencapai 50,5 persen atau lebih baik dari kondisi nasional yang mencapai 53,0 persen. Sementara itu untuk kelompok perempuan per Februari 2007 mencapai 62,4 persen yang juga lebih baik dari angka nasional 64,2 persen. Secara akumulatif, pengangguran usia muda per Februari 2007 hanya 55,0 persen.




(4) Riau dan Kepulauan Riau

Rasio APM P/L SLTP/MT tahun 1992 dan 2002 Provinsi Riau termasuk kondisi daerah yang sekarang disebut Provinsi Kepulauan Riau. Pada tahun 1992 angka rasio APM P/L SLTP/MT Provinsi Riau (termasuk Kepulauan Riau) baru mencapai 82,5 persen dan pada tahun 2002 Riau dan termasuk Kepulauan Riau memperoleh kemajuan hingga mencapai 100,8 persen. Pada tahun 2006, rasio APM P/L SLTP/MT Riau saja telah meningkat menjadi 130,0 persen. Pencapaian Riau masih di bawah angka nasional. Sementara itu rasio APM P/L SLTP/MT Kepulauan Riau saja pada tahun 2006 telah mencapai 129,3 persen. Berdasarkan informasi tersebut, bidang pendidikan tingkat SLTP/MT telah menunjukkan kesetaraan gender.

Rasio P/L Upah bulanan di Provinsi Riau pada tahun 2007 mencapai 73,4 persen. Selain masih berada di bawah angka nasional (74,8 persen), hal ini juga dapat diartikan masih terdapatnya masalah diskriminasi yang terkait dengan bidang pengupahan yang berlaku bagi kaum perempuan dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang menerima upah bulanan.

Air minum. Sementara itu berkenaan dengan akses rumah tangga ke air minum khususnya air minum non-perpipaan terlindungi, pencapaian Provinsi Riau menurun jika dibandingkan data tahun 1992 dan tahun 2006. Pada tahun 1992 jumlah rumah tangga dengan air minum non-perpipaan terlindungi di Provinsi Riau termasuk Kepulauan Riau mencapai 60,5 persen, sementara itu pada tahun 2006 untuk Provinsi Riau saja mencapai 46,6 persen rumah tangga dan untuk Kepulauan Riau mencapai 60,1 persen.

Target Penurunan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular malaria pada tahun 2005 di kedua provinsi, Riau maupun Riau Kepulauan, masih tercatat secara tunggal pada provinsi induknya, yakni provinsi Riau. Data yang ada memperlihatkan jumlah ODHA penderita HIV/AIDS mencapai 37 orang. Sementara itu penderita malaria mencapai 3.680 kejadian.

Target penurunan pengangguran kaum muda (15-24 tahun) di kedua provinsi nampaknya masih tergolong berat karena capaiannya masih berada di atas angka nasional. Data tahun 2007 memperlihatkan bahwa meskipun provinsi Kepulauan Riau dikenal sebagai kawasan industri dengan P Batam sebagai pusat pertumbuhannya, ternyata perkembangan kawasan ini masih belum mampu menyerap pasar tenaga kerja yang tersedia, khususnya tenaga kerja usia muda. Dengan persentase sebesar 87,4 persen maka provinsi Kepulauan Riau merupakan wilayah dengan tingkat pengangguran usia muda yang tertinggi di Indonesia. Sedangkan di provinsi Riau sendiri tingkat pengangguran tenaga kerja usia muda menunjukkan persentase sebesar 63 persen.





(5) Jambi

APM SD/MI di Provinsi Jambi pada tahun 2006 adalah 94,4 persen. Hal ini meperlihatkan kecenderungan yang semakin membaik jika melihat capaian tahun-tahun sebelumnya di mana pada tahun 1992 tingkat APM SD/MI nya masih sebesar 85,9 persen dan tahun 2000 sebesar 92,8 persen. Tetapi bila bila dibandingkan dengan capaian rata-rata angka nasional maka hanya perolehan pada tahun 2000 yang menempatkan provinsi ini berada di atas angka nasional yang saat itu berkisar pada angka 92,3 persen.

Rasio APM P/L SD/MI di Provinsi Jambi pada tahun 2006 mencapai 98,8 dan termasuk dalam kategori wilayah yang capaiannya paling buruk di luar Jawa. Provinsi ini mengalami penurunan pencapaian bila dibandingkan dengan pencapaian tahun-tahun sebelumnya di mana tahun 2000 perolehannya sebesar 100,6 persen dan pada tahun 1992 sebesar 101,5 persen. Dengan capaian yang dihasilkan pada tahun 1992 tersebut, provinsi Jambi masih tergolong sebagai daerah yang capaiannya di atas angka nasional (100,6 persen). Faktor budaya yang lebih mengedepankan anak laki-laki dalam meraih pendidikan dan kebiasaan perkawinan usia dini pada anak perempuan diduga menjadi penyebab terjadinya kekurang setaraan gender di provinsi Jambi.

Provinsi Jambi merupakan provinsi yang selama 16 tahun terakhir mengalami penurunan jumlah rumah tangga yang memiliki akses air minum non-perpipaan terlindungi, yakni dari 39,6 persen pada tahun 1994 menjadi 46,9 persen pada tahun 2006. Sedangkan data tahun 2002 menunjukkan hasil sebesar 50,3 persen yang menempatkan provinsi Jambi berada di atas capaian nasional (50,0 persen). Untuk akses terhadap sanitasi layak, provinisi Jambi pada tahun 2006 berada di posisi 11 terburuk dengan capaian sebesar 60,9 persen. Angka ini lebih baik dari capaian tahun 2000 yang sebesar 55,10 persen maupun capaian tahun 1992 yang baru mencapai 25 persen. Target peningkatan akses terhadap air minum aman dengan indikator non perpipaan terlindungi justru mengalami penurunan, sedangkan akses terhadap sanitasi layak di provinsi ini dari tahun ke tahun meningkat

Target penurunan penderita HIV/AIDS dan Penyakit Menular berbahaya di provinsi Jambi pada tahun 2005 gambaran umumnya sebagai berikut; Penderita HIV/AIDS yang tercatat sebanyak 9 kasus, sedangkan insiden malaria terjadi 24.400 kasus.




(6) Sumatera Selatan dan Bangka Belitung

Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2006 memiliki jumlah penduduk miskin sebesar 18,17 persen dan merupakan angka yang lebih tinggi dari angka nasional. Pada tahun 1993, angka kemiskinan di Sumatera Selatan (termasuk Bangka Belitung) masih 14,89 persen atau sekitar 1.023.900 jiwa. Sedangkan pada tahun 2000 dengan capaian sebesar 17,58 persen yang menempatkan provinsi Sumatera Selatan pada krun waktu itu berada di bawah rata-rata angka nasional dalam hal persentase jumlah penduduk miskinya (18,95 persen). Kendala infrastruktur seperti yang dicerminkan oleh kondisi jalur lintas timur Sumatera yang membelah daerah ini, yang dilaporkan secara intens di media massa misalnya, merupakan salah satu kendala yang menyebabkan semakin buruknya situasi penduduk miskin di wilayah ini.

APM SD/MI pada wilayah provinsi Bangka Belitung pada tahun 2006 mencapai nilai 91,5 persen. Sedangkan data tahun 1992 maupun data tahun 2000 sebagai pembanding, tidak tersedia data APM SD/MI maupun SLTP/MI karena provinsi ini masih menginduk pada provinsi induknya, yakni provinsi Sumatera Selatan. Untuk provinsi Sumatera Selatan sendiri capaian APM SD/MI nya pada tahun 1992 sebesar 87 persen, di mana pada waktu itu capaian angka nasional sebesar 88,7 persen. Dari tahun ke tahun capaian provinsi Sumatera Selatan nampak semakin membaik di mana hasiln tahun 2000 menunjukkan angka sebesar 92,3 persen dan tahun 2006 sebesar 93,0 persen. Sedangkan capaian indikator APM SLTP/MI yang diperoleh provinsi Bangka Belitung berkisar pada angka 93,0 persen pada tahun 2006.

Rasio P/L SD/MI. Pencapaian Provinsi Bangka Belitung dalam hal rasio kepesertaan pendidikan pada tingkat dasar yang didasarkan atas perbandingan perempuan dan laki-laki ini, menunjukkan gambaran yang baik. Rasio P/L SD/MI di Provinsi Bangka Belitung pada tahun 2006 mencapai 99,0 dan angka ini berada di atas DKI Jakarta (96,5), maupun kota-kota besar lainnya seperti Yogyakarta (97,9), Jawa Tengah (98,2) serta serupa dengan hasil yang dicapai oleh provinsi Jawa Timur (99,0). Sebagai sebuah provinsi baru tentunya keadaan ini amat kondusif bagi perkembangan provinsi ini ke depan, khususnya dalam hal mempersiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam kesetaraan gender.

APM P/L SLTP/MT di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 1992 sebesar 40,2 persen dan pada tahun 2000 nampak menaik dengan angka sebesar 59,6 persen. Walau pada tahun 2000 tersebut capaiannya membaik tetapi dibandingkan dengan angka nasional (60,3 persen), masih menempatkan provinsi ini sebagai provinsi yang paling buruk dalam hal APM/PL SLTP/MT. Barulah kemudian pada tahun 2006 perolehannya sebesar 68,0 persen yang menempatkan provinsi ini berada di atas angka nasional (66,5 persen).

Rasio P/L Upah bulanan di kedua provinsi baik provinsi Bangka Belitung maupun Semutera Selatan pada tahun 2007 ini angkanya masih di bawah rata-rata nasional. Sebuah kondisi yang mencerminkan masih berlangsung situasi diskriminasi yang berbasiskan jenis kelamin. Dalam kaitan ini kaum perempuan pekerja usia muda yang menerima upah bulanan di wilayah provinsi Sumatera Selatan berada pada rasio upah 70,7. Sedangkan di provinsi Bangka Belitung rasionya sekitar 69,8 persen. Dengan demikian capaian kedua provinsi ini dalam hal rasio P/L upah bulanan, masih berada di bawah level nasional yang sebesar 74,8 persen di tahun 2007 (bulan Februari).

Target penurunan penderita HIV/AIDS dan penyakit Menular di Sumatra Selatan tahun 2005 masing-masing sekitar 25 orang penderita HIV/AIDS dan 8.040 kasus untuk kejadian malaria. Sedangkan di Provinsi Bangka Belitung tahun 2005 untuk penderita HIV/AIDS mencapai 18 orang sedangkan yang terkena kejadian malaria sekitar 18.680 kasus.

Air minum. Rumah tangga yang memiliki akses air minum non-perpipaan terlindungi di Provinsi Sumatera Selatan, termasuk Bangka Belitung yang masih satu kesatuan, pada tahun 1994 mencapai 32,1persen di mana capaian angka nasional saat itu masih sebesar 16,2 persen. Pada tahun 2006, akses air minum non-perpipaan terlindungi di provinsi Bangka Belitung telah mencapai 33,9 persen. Pencapaian ini masih berada di bawah pencapaian nasional yang sebesar 57,2 persen. Sedangkan ketersediaan sumber air minum non-perpipaan terlindungi di provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2006, berada pada kisaran sebesar 50,6 persen. Sebuah capaian yang juga masih menempatkan provinsi ini di bawah capaian nasional, tetapi sudah jauh lebih baik jika berkaca pada capaian tahun 2000 (41,3 persen).

Dalam hal akses akses terhadap sanitasi layak, data tahun 2006 memperlihatkan di mana capaian kedua provinsi masih berada di bawah pencapaian angka nasional (69,3 persen). Capaian provinsi Bangka Belitung sejumlah 67,4 persen dan provinsi Sumatera Selatan sebesar 69,1 persen dan dengan demikian menempatkannnya pada rangkin 21 terburuk. Sedangkan gambaran sebelum pemekaran yakni pada tahun 1994 dan tahun 2000, masing-masing pencapaiannya sebesar 29,30 persen dan 62,10 persen. Walau nampak menunjukkan arah yang sedikit membaik tetapi secara nasional tidak ada perubahan yang cukup signifikan dalam hal ketersediaan sanitasi layak di provinsi Sumatera Selatan ini.

Target pengurangan pengangguran kaum muda (perempuan-laki) di provinsi Bangka Belitung berada di atas angka nasional di mana capaiannya untuk tahun 2007 sekitar 59 persen. Dari jumlah tersebut jumlah perempuannya memang relatif lebih kecil yakni 51,3 persen dibandingkan pengangguran kaum muda laki-laki yang sebesar 62,9 persen. Meskipun demikian, bila data ini dihubungkan dengan data tentang rasio P/L rata-rata upah bulanan, maka terlihat di mana proporsi kaum perempuan yang menerima upah bulanan lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Secara implisit dapat dikatakan bahwa masih terdapat kondisi buruh murah termasuk di antaranya adalah buruh dari kalangan perempuan yang berada dalam posisi tawar relatif lebih rentan ketimbang buruh laki-laki.



(7) Bengkulu

Pada tahun 1993 Provinsi Bengkulu memiliki jumlah penduduk miskin sekitar 13,11 persen atau sekitar 173.100 jiwa. Angka ini di bawah pencapaian angka nasional yang sebesar 13,67 persen. Namun pada tahun 2000 jumlah penduduk miskin di provinsi ini bertambah menjadi 17,72 persen atau sekitar 372.400 jiwa, dan semakin menunjukkan persentase yang semakin esar pada tahun 2006 yang lalu, yakni sebanyak 20,90 persen.

Dengan capaian angka-angka target pengurangan penduduk miskin yang demikian maka dapat diartikan bahwa tidak ada upaya yang cukup dari pemerintah daerah provinsi Bengkulu dalam mengurangi penduduk miskin. Dalam kurun waktu antara tahun 1993 hingg tahun 2000, walaupun menunjukkan persentase yang membesar tapai capaiannya masih di bawah angka nasional saat itu, yakni 13,11 persen pada tahun 1993 dan 17,72 persen pada tahun 2000. Yang agak memprihatinkan adalah capaian tahun 2006 yang menempatkan provinsi ini berada di atas capaian nasional dengan persentase sebesar 16,58.

Target pengurangan angka kematian anak (AKB dan AKBA) yang dicapai pemerintah daerah provinsi Bengkulu sudah menunjukkan perkembangan ang cukup berarti, khususnya tingkat kematian bayi, yang pada tahun 2003 mencapai 53 jiwa per 1000 kelahiran, di mana kemudian pada tahun 2005 mengalami penurunan yang drastis yakni menjadi 10 jiwa KAB per 1000 kelahiran hidup. Begitupun untuk target indikator AKBA, walau masih berada di bawah capaian nasional, pemerintah daerah provinsi Bengkulu berhasil menurunkan AKBA dari 68 jiwa AKBA per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 45 jiwa AKBA per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2006.

Target peningkatan akses terhadap air minum aman dan sanitasi layak masih memprihatinkan sebagaimana ditunjukkan data berikut. Untuk akses terhadap air minum, rumah tangga pengguna air minum non perpipaan terlindungi pada tahun 2006 mencapai 36,5 persen. Sebuah pencapaian yang relatif konstan bila melihat data tahun 2000 yang merujuk pada angka sebesar 36,3 persen. Perbedaan yang cukup bermakna baru terjadi bila membandingkan antara data tahun 2006 maupun tahun 2000, dengan data tahun 1994 yang berada pada besaran 24,4 persen. Artinya terjadi perbaikan dengan besaran kurang lebih sebanyak 12 persen dalam kurun waktu 12 tahun.

Jumlah penderita HIV/AIDS di wilayah provinsi Bengkulu tergolong rendah dengan jumlah sebanyak 5 penderita (ODHA) pada tahun 2005. Tetapi, untuk penyakit Malaria ternyata wilayah provinsi Bengkulu termasuk wilayah yang tergolong endemik Malaria dengan jumlah kasus yang cukup besar, yakni sebanyak 56.910 kejadian di tahun 2005. Dengan jumlah kasus sebanyak itu, telah menempatkan provinsi Bengkulu berada pada urutan keempat sebagai provinsi yang paling buruk dalam hal penanggulangan penyakit Malaria. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini kemungkinan besar terkait dengan letak geografis Provinsi ini yang sebagian besarnya merupakan daratan yang membujur mengikuti garis pantai bagian barat Sumatera. Selain itu, perilaku hidup sehat masyarakat agar memperhatikan lingkungan yang bersih belum membudaya. Kawasan pantai selama ini dikenal sebagai kawasan potensial terjangkiti penyakit malaria.



(8) Lampung

Provinsi Lampung pada tahun 2006 memiliki jumlah penduduk miskinnya sebesar 22,64 persen. Jumlah tersebut menunjukkan penurunan dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada tahun 2000 yang sebesar 30,32 persen atau sekitar 1.650.700 jiwa. Bila disimak lebih lanjut, angka-angka capaian tahun 2000, yang tidak hanya berlaku bagi provinsi Lampung, nampak menunjukkan persentase jumlah penduduk miskin yang tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya maupun sesudahnya. Data tahun 1993 misalnya menunjukkan di mana jumlah penduduk miskin di provinsi Lampung masih sebesar 11,70 persen. Gejala yang demikian itu mengindikasikan suatu hal bahwa krisis moneter pada tahun 1997/1998 yang terjadi di Indonesia nampaknya telah menimbulkan dampak yang luar biasa pada kehidupan ekonomi penduduk, khususnya penduduk miskin.

Pencapaian rasio APM P/L SD/MI pada tahun 2006 di Lampung adalah 98,9 dan tergolong provinsi dengan capaian yang buruk di luar Jawa. Provinsi ini mengalami penurunan pencapaian bila dibandingkan dengan pencapaian tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2000 misalnya, rasio APM P/L SD/MI provinsi Lampung mencapai nilai 99,2 dan pada tahun 1992, meski nampak menunjukkan persentase yang lebih besar yakni sebesar 101,8, tetapi posisinya berada di atas pencapaian nasional. Salah satu faktor penyebab dengan semakin berkurangnya proporsi rasio APM P/L SD/MI di provinsi Lampung ini, seperti juga daerah-daerah lainnya, antara lain adalah fakta anak masih dipandang sebagai ’asset’ tenaga kerja produktif yang dapat membantu ekonomi keluarga. Sektor pekerjaan yang fleksibel bagi anak perempuan dalam hal ini adalah sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga (PRT).

Pencapaian provinsi Lampung dalam hal rasio APM P/L SLTP/MT sedikit berbeda dengan pencapaian rasio APM P/L SD/MI sebagaimana diuraikan sebelumnya. Dari data time series 1992-2007 terlihat pencapaian keseluruhannya secara konsisten berada di atas capaian angka nasional. Data berikut ini mencerminkan hal tersebut, yaitu; pencapaian tahun 2007-Feb sebesar 78,5 dengan angka nasional sebesar 74,8, tahun 2006 sebesar 106,2 dengan angka nasionalnya sebesar 100, dan tahun 2000 mencapai 108,5 dengan angka nasional sebesar 104,2., serta tahun 1992 sebesar 106,4 dengan angka nasional pada saat itu sebesar 101,3. Dari gambaran tersebut disimpulkan bahwa upaya provinsi Lampung dalam bidang pendidikan dasar dengan memajukan kesetaraan gender melalui indikator rasio APM P/L SLTP/MT ini, cukup berhasil.

Provinsi Lampung mengalami peningkatan pengguna air minum non perpipaan terlindungi yang pada tahun 1994 baru sekitar 18,9 persen, meningkat sebesar 39,6 persen pada tahun 2002 dan menjadi 43,9 persen pada tahun 2006. Meski akses pengguna air minum perpipaan terlindungi di provinsi Lampung ini menunjukan trend peningkatan tetapi nilai pencapaiannya masih berada di bawah angka rata-rata nasional.

Jumlah penderita (ODHA) HIV/AIDS di provinsi Lampung pada tahun 2005 masih kecil, yakni sebanyak 6 orang. Sebaliknya dengan jumlah insiden malaria yang mencapai jumlah 38.520 kejadian yang menempatkan provinsi berada diurutan ke 6 yang banyak mengalami kejadian malaria.

Mengingat provinsi Lampung merupakan wilayah yang terkenal sebagai tempat habitat Gajah yang tentunya dengan daya dukung kawasan hutan yang mencukupi, agak mengejutkan jika rasio luas daratan kawasan hutan di daerah ini tergolong sebagai wilayah yang nilai rasionya termasuk rendah dibandingkan dengan angka nasional. Berturut-turut data tahun 2001, 2003 dan tahun 2005 menunjukkan angka relatif sama berkisar pada 28,1 – 28, 4 persen. Sedangkan angka nasional menunjukkan angka sebesar 54,6 persen – 64,3 persen.

--ooOOoo--