27 Januari 2009

Tinjauan Kritis Atas Konsep Demokrasi Sebagai Sebuah Nilai Universal

Tinjauan Kritis Atas Konsep Demokrasi Sebagai Sebuah Nilai Universal
Oleh:
Randy R. Wrihatnolo

I. Latar Belakang

Demokrasi adalah satu kata yang menarik banyak perhatian orang. Mengapa? Karena sebagian orang menilai bahwa standard hidup yang lebih baik tercapai ketika mereka menerapkan nilai-nilai demokrasi. Itu adalah tidak salah! Karena mereka telah melihat (mungkin telah merasakan) penerapan nilai-nilai demokrasi di negara-negara Barat (baca: negara Maju) pada satu sisi, dan kemudian pada sisi lain ikut menikmati kesejahteraan hidup yang relatif merata di negara Barat itu. Dengan kata lain, negara-negara Barat menerapkan nilai-nilai demokrasi (sebut saja negara-negara yang termasuk dalam kelompok Overseas Economic Countries Development, OECD) sehingga mereka dapat mewujudkan kesejahteraan hidup yang baik.

Namun, penilaian tentang demokrasi menjadi bias, ketika orang melihat penerapan demokrasi di negara bukan negara Barat. Sebutlah India. Meskipun India dikenal sebagai negara yang menerapkan nilai-nilai demokrasi, namun kesejahteraan hidup di India relatif tidak merata. Dengan kata lain, meskipun India menerapkan paham demokrasi, ternyata mereka belum dapat mewujudkan kesejahteraan hidup yang lebih. Kemiskinan di India masih tergolong sebagai masalah utama.

Sehingga muncul pertanyaan, apa artinya demokrasi jika tanpa kesejahteraan hidup? Jika suatu negara menerapkan nilai-nilai demokrasi (model demokrasi di negara Barat) namun ternyata kesejahteraan hidup justru tidak terwujud. Makalah singkat ini akan memaparkan mengapa demokrasi perlu didefinisikan kembali untuk kasus Indonesia. Tulisan ini menggunakan metode studi pustaka (literature study) dan akan membahas karya Amartya Sen tersebut.

Pemahaman demokrasi sebagai nilai-nilai yang universal telah banyak didiskusikan oleh berbagai kalangan, mulai dari praktisi politik sampai para akademisi. Salah satu akademisi termuka adalah Amartya Sen, penerima penghargaan Nobel tahun 1998 di bidang ekonomi. Salah satu karyanya yang berjudul “Democracy as a Universal Value”[1] mengupas tentang konsep nilai-nilai demokrasi yang secara ideal bisa diterapkan oleh bangsa manapun di muka bumi ini. Konsep ini juga bisa dijumpai di bangsa manapun yang telah mempunyai tradisi demokrasi. Konsep ini mencakup tiga pandangan utama, yaitu intrinsic importance in human life, instrumental role in generating political incentives, dan constructive function in the formulation of values.

Pandangan pertama, pentingnya hakikat kehidupan manusia (intrinsic importance in human life). Konsep ini dilandasi oleh pandangan bahwa melalui demokrasi, warga negara dapat menjalankan partisipasi politik dan mempunyai kebebasan politik dalam statusnya sebagai kehidupan kemanusiaan seutuhnya. Status sebagai kehidupan kemanusiaan (human life) yang bebas sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diakui secara universal oleh setiap bangsa dan ajaran agama apapun di dunia.

Pandangan kedua, peran pembantu dalam menggerakkan dorongan politik (instrumental role in generating political incentives). Konsep ini dilandasi oleh pandangan bahwa melalui demokrasi, pemerintah akan selalu bertanggung-jawab dan terbuka dalam menjalankan kewajiban pemerintahannya. Kewajiban pemerintahan adalah peran yang muncul sebagai akibat adanya status kehidupan kemanusiaan yang bebas. Pemerintah berkewajiban menjamin status ini dan melindunginya dari ancaman penindasan terhadap kehidupan kemanusiaan. Ancaman terhadap demokrasi adalah ancaman terhadap kelangsungan kehidupan kemanusiaan.

Pandangan ketiga, fungsi pembangun dalam pembentukan nilai-nilai (constructive function in the formulation of values). Konsep ini dilandasi oleh pandangan bahwa melalui demokrasi, setiap bangsa dapat membentuk nilai-nilai dan membangun kesepahaman (understanding) tentang kebutuhan (needs), hak (rights), dan kewajiban (duties). Kesepahaman ini perlu dibangun oleh suatu bangsa, jika suatu bangsa ingin mewujudkan demokrasi di negara mereka. Demokrasi sebagai nilai universal menurut Sen adalah demokrasi yang memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk menentukan pilihannya sendiri. Pilihan manusia adalah sangat beragam. Keberagaman ini adalah universalitas itu sendiri. Karena secara universal manusia mempunyai kebutuhan (needs) yang tidak selalu sama (atau beragam). Agar kebebasan ini tidak melampaui batas, maka kebebasan ini dibatasi oleh adanya hak dan kewajiban yang berlaku merata bagi setiap manusia (atau warga negara).

II. Perumusan Masalah

Penulis tidak menolak pandangan Sen tentang nilai-nilai demokrasi yang universal itu. Pandangan Sen seperti itu menurut saya hanyalah suatu konsep pemikiran. Konsep pemikiran saja tidak cukup untuk menjamin nilai-nilai demokrasi sebagai nilai-nilai universal itu dapat terlaksana. Bagi saya, penerapan demokrasi harus secara langsung bisa membuahkan kesejahteraan hidup[2]. Pada bagian ini, saya ingin mempertentangkan pandangan Sen tentang demokrasi dengan konsep kesejahteraan hidup. Saya menyebutnya sebagai demokrasi versus kesejahteraan hidup (democracy versus life welfare).

Secara konsep, kita bisa menggambarkan makna kesejahteraan hidup dan memberikan indikator tentang kesejahteraan hidup ini. Secara umum, orang bisa saja memberikan indikator daya beli (purchasing power) untuk melihat kesejahteraan hidup. Namun secara praktek, kita akan sulit menjelaskan apakah kesejahteraan hidup (baca: daya beli/purchasing power) dapat dinikmati secara merata oleh semua orang (atau warga negara). Setiap warga negara adalah tidak mungkin menikmati kesejahteraan hidup yang ideal.

Sebaliknya, secara konsep, kita akan sulit menggambarkan demokrasi yang ideal. Kita akan sulit menjelaskan tentang demokrasi yang bisa diterima oleh setiap bangsa di dunia. Amratya Sen menyebutnya sebagai Democracy as A Universal Value[3]. Kita belum mempunyai kata sepakat tentang apa itu paham demokrasi. Kalaupun ada konsep demokrasi yang dipunyai oleh suatu bangsa, bukan berarti konsep itu harus diterima oleh bangsa yang lain di muka bumi ini. Bisa jadi bangsa yang lain mempunyai konsep demokrasi yang berbeda. Namun secara praktek, konsep demokrasi sudah banyak diterapkan di mana-mana. Paling tidak, mereka menerapkan nilai-nilai demokrasi yang mengacu pada tradisi lokal.

Berkenaan dengan wacana tersebut, maka penulis mencoba menghubungkannya dengan tiga pandangan utama Amartya Sen tentang demokrasi yaitu: (1) pentingnya hakikat kehidupan manusia; (2) peran pembantu dalam menggerakkan dorongan politik; dan (3) fungsi pembangun dalam pembentukan nilai-nilai. Pertanyaan-pertanyaan tentang demokrasi merentang dari pertanyaan yang sifatnya politis, praksis pembangunan, hingga filosofis dalam konteks Indonesia.

III. Tujuan Penulisan

Makalah ini membahas konsep demokrasi yang diajukan oleh Amartya Sen dengan membandingkannya pada situasi di Indonesia dan dengan beberapa sudut pandang. Tujuan penulisan makalah ini dengan demikian adalah:

(1) Membahas apakah konsep demokrasi Amartya Sen dapat mendorong pencapaian hakikat gidup manusia?

(2) Membahas apakah konsep demokrasi Amartya Sen dapat mendorong pemerintah selalu bertanggung-jawab dan terbuka dalam menjalankan kewajiban pemerintahan?

(3) Membahas apakah konsep demokrasi Amartya Sen dapat membentuk nilai-nilai pembangunan?

IV. Demokrasi Mendorong Pencapaian Hakikat Hidup Manusia

Ada nilai-nilai demokrasi lokal yang sukses membawa suatu bangsa ke taraf kesejahteraan yang lebih baik. Misalnya Cina. Cina sejak masa Pemerintahan Deng Xiao Ping mulai membuka diri terhadap nilai-nilai demokrasi dengan muatan lokal, di antaranya bersedia menjalankan kebijakan Cina dengan dua sistem. Propinsi Guangzu dan Special Administrative Region Hong Kong adalah contoh beberapa provinsi di Cina yang menerapkan nilai-nilai demokrasi. Warga negara (asing maupun pribumi) di kedua wilayah itu diberikan kebebasan berinvestasi dan melakukan akumulasi kapital[4] di wilayah itu. Saat Cina merupakan negara yang makmur dibandingkan dengan saudara negara komunis lainnya.

Tapi banyak pula yang tidak sukses. Suatu negara menerapkan paham demokrasi, tapi ternyata malah berantakan[5]. Ketika pintu demokrasi dibuka, maka yang terjadi adalah kekacauan politik, kerusuhan horisontal antarwarga negara, perang saudara, kerusuhan etnis, dan lain-lain. Kekacauan ini akhirnya menyebabkan terganggunya atau bahkan terhentinya kegiatan ekonomi. Contoh untuk kasus ini banyak ditemui di beberapa negara di Amerika Latin seperti Argentina, Afrika Timur seperti Mozambik, dan Asia seperti Indonesia dan Timor Timur.

Saat ini, Indonesia tengah berada dalam tonggak demokrasi. Anas Urbaningrum menyebut Indonesia masih berada dalam situasi melamar demokrasi. Saat ini Indonesia, menurut Anas, masih berada dalam proses transisi menuju demokrasi[6]. Demokrasi merupakan salah satu bentuk reformasi politik yang sekarang sedang dijalani oleh bangsa Indonesia. Jatuhnya rezim otoritarian Orde Baru yang berjubah demokrasi Pancasila membuka pintu bagi episode politik baru di Indonesia.

Dinamika politik transisi yang penuh kejutan di Indonesia ditandai oleh gambaran masa pancaroba dengan pergiliran dialektis antara konflik dan konsensus, serta antara kompetisi dan kongsi. Demokratisasi menghajatkan peremajaan struktur politik modern disamping penyiapan basis kebudayaan yang matang. Prosedur dan aktor demokrasi seperti partai politik, elite politik, masyarakat sipil, koalisi, oposisi, dan pemilu sebagai instrument demokrasi bergerak pada posisinya. Proses demokrasi di Indonesia, menurut Anas, lebih lanjut bermakna bahwa bangsa Indonesia membutuhkan secara segera gerakan besar dan konsisten untuk menjaga jalannya demokratisasi[7]. Dalam menapaki demokrasi, harus dihindari munculnya antitesis terhadap demokrasi itu sendiri, yaitu munculnya oligarkhi yang justru merintangi tumbuhnya kesejahteraan sosial. Antisipasi terhadap munculnya peristiwa yang mengatasnamakan demokrasi tetapi justru merintangi tumbuhnya kesejahteraan social harus segera dihindarkan.

Roda demokrasi harus dikawal, agar dalam proses transisi demokrasi ini tidak muncul apa yang disinyalir oleh Didik Rachbini dalam uraiannya tentang teori bandit[8]. Dalam teori bandit dijelaskan pergeseran lokasi pelaku. Ketika di masa otoriter, para bandit adalah kekuasaan pemerintah dan swasta yang melakukan korupsi dan kolusi, sehingga menghasilkan kesenjangan ekonomi antara kelompok kecil (yang menguasai aset dalam jumlah sangat besar) dengan golongan masyarakat bawah yang tingkat kesejahteraannya masih rendah. Sementara pada masa (transisi) demokrasi ini, peran para bandit telah digantikan oleh para anggota parlemen dan unsur birokrasi yang berkolusi dengan anggota parlemen sebagai akibat dari kebijakan penganggaran yang belum stabil. Teori bandit yang ditulis Didik J. Rachbini merupakan gejala yang sekarang terjadi di Indonesia dan merupakan fenomena yang sumber-sumbernya dapat menghancurkan cita-cita demokrasi itu sendiri, yaitu memberikan pilihan kepada rakyat untuk menentukan nasib sendiri.

Dalam masa transisi demokrasi, bangsa Indonesia harus mempersiapkan semua prakondisinya, yaitu prakondisi menuju kesejahteraan sosial. Sebuah prakondisi yang dapat menjadi landasan penyelenggaraan negara kesejahteraan. Prakondisi yang harus dipersiapkan meliputi, pertama: menyempurnakan sistem kenegaraan Republik Indonesia, dan kedua: menyepakati indikator pembangunan yang dapat mengindikasikan pencapaian demokrasi di Indonesia.

Kita perlu mempersiapkan sistem kenegaraan Republik Indonesia yang merupakan satu entitas yang saling terkait yaitu (1) sistem administrasi negara; (2) sistem administrasi pemerintahan; (3) sistem pemerintahan daerah; (4) sistem peradilan; (5) sistem pengawasan dan pemeriksaan pembangunan; (6) sistem politik; (7) sistem pembangunan, dan (8) sistem perencanaan dan keuangan negara. Keterkaitan antara sistem-sistem tersebut berdasarkan cakupannya merupakan tata sistem kenegaraan yang sangat kompleks, karena meliputi seluruh aspek kehidupan bernegara sebagaimana yang diamanahkan oleh UUD 1945.[9]

Berdasarkan UUD 1945, dalam sistem kenegaraan Republik Indonesia, sistem administrasi memiliki cakupan yang paling luas, karena ia merupakan interaksi kelembagaan antara system- sistem administrasi pemerintahan; sistem pemerintahan daerah; sistem peradilan; sistem pengawasan dan pemeriksaan pembangunan; sistem politik; sistem pembangunan, dan sistem perencanaan dan keuangan negara.

Kita perlu menyepakati indikator pembangunan yang dapat mengindikasikan pencapaian demokrasi kita. Siklus hidup manusia merupakan dasar utama pemilihan indicator pembangunan. indikator pembangunan yang disepakati merupakan agregat dampak penerapan demokrasi itu sendiri. Indikator untuk mengukur dampak penerapan demokrasi antara lain adalah indikator pembangunan manusia yang tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs).[10] Tabel pada Lampiran 1 menjelaskan tujuan-tujuan dalam MDGs sebagai wujud dampak penerapan negara demokratis.

Indikator yang menjadi ukuran pencapaian target MDGs dapat melacak perkembangan siklus kehidupan manusia. Manusia –dalam tanda petik—dapat mempunyai arti sebagai keluarga yang terdiri dari kepala keluarga dan anggota keluarganya. Merunut ukuran usianya, maka siklus kehidupan manusia dapat dimulai sejak sebelum kelahiran –berarti adalah ibu hamil--, kemudian dilanjutkan dengan masa kelahiran sejak hari kelahiran hingga usia balita, kemudian berlanjut ke usia anak-anak hingga menginjak masa produktif. Sejak usia produktif, maka individu bersangkutan mempunyai hak untuk bekerja layak, dan selanjutnya hingga mencapai usia pensiun individu tersebut bersiap menikmati masa pensiun. Memasuki usia manula, individu siap melanjutkan siklus kehidupan berikutnya mempersiapkan generasi lebih lanjut. Indikator MDGs dapat mengukur kualitas hidup masing-masing konteks usia dalam siklus kehidupan manusia tersebut.[11]

V. Mendorong Pemerintah Menjalankan Kewajiban Pemerintahan

Pada tahun 1978 adalah sebuah lembaga global yang melakukan pemantauan seberapa jauh demokrasi telah berlangsung di dunia dengan melakukan penelaahan pada 192 negara dan 18 kawasan yang dilanda konflik. Laporan mereka menjadi acuan dari para ilmuwan politik dunia untuk melihat gelombang surut dan pasang demokratisasi, di antaranya adalah Samuel Huntington dan John Markoff.

Pada tahun 1991 Freedom House[12] menerbitkan hasil surveinya dengan temuan bahwa 45 persen negara di dunia adalah negara demokratis --yang berarti peningkatan dari sebelumnya 24,6 persen. Freedom House mengembangkan pengukuran demokrasi dengan mempergunakan dua dimensi dari demokrasi, yaitu dimensi hak-hak politik yang terdiri dari kompetisi dan partisipasi, dan dimensi kebebasan sipil, di mana untuk masing-masing dimensi digunakan skala 1-7, dengan dimensi tertinggi 1-1 dan dimensi terendah 7-7, dengan rating: (a) 1-2,5 masuk kategori negara bebas (65 negara); (b) 3-5,5 masuk kategori negara setengah bebas (50 negara); dan (c) 5,5-7 masuk kategori negara tidak bebas (50 negara).

Meski survei ini banyak dikritik karena mempergunakan perkiraan kasar, sehingga tidak mampu mengungkapkan ciri-ciri sistem politik suatu negara, dan mengabaikan dimensi-dimensi penting yang lain dari demokrasi, misalnya hak-hak dan kebebasan politik. Karena dengan survey ini negara-negara yang diragukan memberikan kekebasan politik yang sesungguhnya (liberal) seperti AS, Swis, Belanda, Denmark, juga masuk kategori paling demokratis, yaitu negara-negara seperti Jepang, Kosta Rika (dengan rata-rata skor 1), Ekuador, Jamaika (skor rata-rata 2), Papua Nugini, Thailand (dengan skor rata-rata 2.5).

Inisiasi temuan dari Freedom House, membawa Samuel Huntington menulis --memperkuat dengan analisis historisnya-- tentang Gelombang Demokratisasi Ketiga, yaitu tatkala terjadi sekelompok transisi dari rezim-rezim yang non-demokratis ke rezim-rezim demokratis yang terjadi pada kurun waktu tertentu dan jumlahnya secara signifikan lebih banyak daripada tranisisi yang menuju arah sebaliknya. Huntington membagi gelombang demokratisasi menjadi tiga, yaitu:[13]

* Gelombang panjang demokratisasi pertama (1828-1926) yang berakar pada Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika.
* Gelombang balik pertama (1922-1942) yang berakar dari tumbuhnya negara-negara fasis di Italia dan Jerman, yang kemudian menyebarkan kudeta militer di Portugal (1926), Brasil dan Argentina (1930), otoritarianisme di Uruguay (1933), kudeta dan perang saudara yang mematikan negara republik di Spanyol (1936))
* Gelombang demokratisasi kedua (1943-1962) yang berakar pada pendudukan oleh tentara Sekutu pada masa Perang Dunia II dan sesudahnya (termasuk yang sebelumnya otoriter)
* Gelombang balik kedua (1958-1975) yang ditandai dengan naiknya rezim otoritarian di Amerika Latin (Peru, Uruguay, Cile, Bolivia, Ekuador, Brasil, dan Argentina), Asia (Pakistan -Zia, Korea -Rhee, Indonesia -Soekarno, Filipina -Marcos, India –Gandhi, Taiwan -KMT), Eropa (Yunani, Turki), dan Arika (hampir seluruh Afrika, khususnya Nigeria –tahun 1966 dikudeta oleh militer, kecuali Botswana)
* Gelombang demokratisasi ketiga (1974-kini) yang dimulai dengan meninggalnya Jenderal Fanco di Spanyol yang mengakhiri rejim otoriter/militer di Eropa Tengah pada tahun 1975, ketika Raja Juan Carlos dengan bantuan PM Adolfo Suarez memperoleh persetujuan parlemen dan rakyat untuk menyusun konstitusi baru yang demokratis, dan di Portugal selelompok perwira militer muda melakukan kudeta kepada Marcello Caetano, sang dikatur jatuh. Selama setahun Portugal mengalami transisi yang penuh drama, namun akhirnya kelompok pro demokrasi menjadi pemenang. Di Turki, militer mengundurkan diri dari politik (1983), di Filipina Marcos jatuh oleh people power (1986), di Korea oposisi memenangkan pemilu (1987), Hongaria berubah menjadi multipartai (1988), di Polandia Partai Solidaritas pimpinan Walesa berhasil merubah Polandia menjadi negara non-komunis, sementara itu Uni Sovit lahir parlemen nasional yang non-komunis (1990), intervensi AS mengakhiri rejim marxis-leninis di Grenada (1983) dan diktator Noriega di Panama (1989).

Buku dari Huntington sejajar dengan premis John Markoff[14] yang mengemukakan adanya gelombang anti-demokrasi yang terjadi pada tahun 1950-1970an, namun kemudian dibalikkan dengan adanya gelombang demokratisasi yang terjadi pada tahun 1970an hingga 1990an. Mempergunakan data yang sama, yaitu dari Freedom House, Markoff mempergunakan bangkit dan matinya imperium Blok Timur sebagai pemisah periode. Pasca Perang Dunia ke-2 Uni Soviet memimpin terbentuknya negara-negara Blok Timur, dan kekuasaan itu pudar setelah tembok Berlin runtuh yang diikuti jatuhnya Soviet dan seluruh jaringannya –kecuali tiga yang tersisa: Korut, Kuba, dan Cina.

Perubahan-perubahan besar yang terjadi dengan menguatnya globalisasi dan kapitalisme membawa pergeseran penting bagi gelombang demokratisasi di seluruh dunia. Tulisan Juan Linz[15] yang menegaskan bahwa demokrasi adalah the only game in town menjadikan demokrasi sebagai sebuah agenda baru bagi setiap negara berkembang, hari ini dan di masa depan.

VI. Jalan Menuju Demokrasi

Ketika demokrasi dipahami sebagai sebuah keharusan, maka menjadi penting untuk memahami jalan menuju demokrasi. Mochtar Mas’ud[16] menyebutkan tiga cara memahami transisi menuju demokrasi, sebagai berikut.

Tabel 1.
Tiga cara memahami transisi menuju demokrasi.

Jadi, paling tidak ada tiga kelompok pemaham transformasi menuju demokrasi, yaitu mereka yang menilai bahwa demokrasi dikembangkan melalui modernisasi, ada yang percaya bahwa demokrasi dapat dikembangkan melalui transisi yang (lebih kurang) linier seperti Dunkward Rustow memperkenalkan jalan linier dari non-demokrasi menuju demokrasi dengan tahapan sebagai berikut:

Gambar 1.
Jalan linier dari non-demokrasi menuju demokrasi

Ada juga yang sepakat bahwa demokrasi dibentuk dengan adanya perubahan struktur dan kelembagaaan politik. Manakah yang paling benar atau bahkan paling baik? Sebelum menjawabnya, ada baiknya kita lanjutkan pemetaan yang dibuat oleh Mas’ud bahwa setiap strategi mempunyai prasyarat khusus yang harus dipenuhi –yang mengingatkan kita bahwa para penasihat demokrasi mirip para dukun yang selalu minta sesaji jika kehendak kita mau tercapai.

Tabel 2.
Jenis strategi yang harus dilakukan dalam menerapkan demokrasi.

Dari sini kita melihat bahwa menuju demokrasi bukanlah hal yang sederhana, tunggal, dan linier. Robert A. Dahl[17] memperkenalkan tiga dimensi politik yang sifatnya generik dari demokrasi, yaitu kompetisi, partisipasi, dan kebebasan sipil dan politik. Sorensen[18] lebih moderat lagi mengatakan bahwa transisi dari negara non-demokratis menuju pemerintah demokratis merupakan proses yang kompleks dan melibatkan sejumlah tahapan. Ketut Irawan menggambarkan proses transisi menuju demokrasi sering tidak menghasilkan demokrasi itu sendiri.[19] Digambarkannya sebagai berikut:

Gambar 2.
Proses transisi menuju demokrasi 11

Pemetaan ini membuktikan bahwa transisi demokrasi seringkali menuju ke somewhere else --atau justu nowhere, alias nggak ke mana-mana.

Gambar 3.
Pemetaan transisi menuju demokrasi.

Kenapa seperti itu? Proses demokratisasi pada prakteknya tidaklah dihela oleh kelompok menengah atau masyarakat sipil (civil society), melainkan oleh elit yang terdorong atau terpaksa mengalah kepada desakan demokratisasi. Bahkan dinamika demokratisasi di negara-negara berkembang lebih banyak diakibatkan oleh dinamika eksternal (desakan global) daripada dinamika internal (kebutuhan domestik). Adam Przeworski menyatakan bahwa kelompok elit akan mendukung demokrasi jika mereka merasa yakin bahwa kepentingan mereka akan tercapai dalam kondisi yang lebih demokratis. Dukungan elit pada demokratisasi seringkali didasarkan kepada kepentingan pribadi.[20]

Teori Pzeworski yang diambil setelah melakukan penelitian di Brasil pada tahun 1982, ketika elit menunggangi instrumen demokrasi untuk mengamankan pemilihan presiden, merupakan teori yang banyak berlaku di negara berkembang, tidak terkecuali negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Biasanya, mereka menganut teori bahwa demokratisasi dilakukan melalui modernisasi, termasuk di antaranya pengembangan lembaga-lembaga politik demokrasi –institution’s building. Konsep ini sebenarnya berasal dari pemikiran Samuel Huntington di tahun 1965, Political Development and Political Decay yang mengemukakan bahwa tanpa kesiapan kelembagaan politik, maka partisipsi di dalam demokrasi hanya akan menghasilkan pembusukan politik. Tesis ini yang dibawanya ketika memberikan nasihat yang kemudian –sengaja atau tidak—diikuti oleh negara-negara berkembang, yaitu membangun kelembagaan dulu, partisipasi kemudian –lihat dalam Political Order in the Changing Societies, 1971.

Pemahaman teoritisnya sangat sederhana: pertama, kekang partisipasi, biarkan kekuasaan yang otoritarian berjalan dengan tujuan menyiapkan lembaga politik demokratis dan menyiapkan masyarakat; kedua, lepas perlahan-lahan; dan, ketiga, demokrasi akan berjalan dengan sendirinya. Kesiapan kelembagaan dicerminkan dari kesiapan untuk melakukan proses demokrasi, mulai dari input-pengolahan-output; kesiapan masyarakat dicerminkan dari kesiapan masyarakat untuk mampu berperan positif dalam demokrasi karena sudah tercapai tingkat pendidikan yang memadai (agar tidak bisa ditipu, termasuk oleh manipulasi berita melalui media massa) dan kesejahteraan yang juga memadai (agar tidak mudah disuap, terutama oleh serangan fajar). Tetapi, pada kenyataannya, transisi yang elitis tersebut tidak pernah berjalan sampai ke tujuan. Proses transisi berhenti karena demokrasi akan merugikan kekuasaan yang otoriter, sampai akhirnya ada sebuah peristiwa, khususnya yang merusak prestasi pembangunan, yang akhirnya meruntuhkan rejim otoritarian, dan diharapkan akan menuju kepada demokrasi.

Salah satu proses perusakan tersebut adalah krisis ekonomi yang melanda negara-negara berkembang. Dan, sayangnya, seperti dikatakan oleh Sorensen, bahwa:

“Krisis ekonomi di negara-negara berkembang tidak mempunyai akar masalah yang benar-benar domestik sifatnya. Kenaikan tajam harga minyak bumi untuk kedua kalinya telah menghantam negara-negara Amerika Latin dengan sangat keras. Karenanya salah satu cara untuk mengimbangi meningkatnya pengeluaran adalah dengan cara meminjam lebih banyak uang dari luar negeri. Ketika suku bunga riil dari pinjaman-pinjaman”.

Dari sini kemudian berkembang proposisi bahwa pada tahun 1990an terjadi transisi dari demokrasi yang –menurut istilah Sorensen—terbatas, yaitu di mana sistem politiknya memiliki elemen-elemen demokrasi namun memiliki keterbatasan pada kompetisi, partisipasi, dan kebebasan, menuju demokrasi yang lebih liberal. Transisi yang terdekat dapat dilihat adalah kasus Indonesia. Setelah Seoakrno memproklamirkan Demokrasi Terpimpin dan kemudian menjadikan dirinya sebagai Presiden Seumur Hidup, maka menurut kriteria demokrasi, Indonesia bergerak menjadi negara yang non-demokratis (atau otoritarian). Transisi dari Soekarno ke Soeharto adalah transisi dari otoritarianisme ke demokrasi melalui jalan modernisasi (pembangunan). Pada era Soeharto instrumen-instrumen demokrasi dibentuk dan dijalankan dengan pola yang tetap, misalnya pemilihan umum mulai dapat dilakukan secara rutin lima tahunan. Lembaga legislatif, yudikatif, eksekutif dikembangkan. Partai politik berkembang. Media massa tumbuh. Namun, semua dalam koridor yang cukup sempit, terutama dalam tiga hal yang dijadikan kriteria demokrasi oleh Sorensen –kompetisi (karena negara memonopoli), partisipasi (cenderung mobilisasi), dan kebebasan (informasi berjalan relatif satu arah: negara ke rakyat).

Demokrasi terbatas menemui jalan buntu ketika pembangunan berhadapan dengan kegagalan. Pembangunan yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang menjadi penyeimbang bagi rejim demoriter (bentuk demokratis, tetapi isinya otoriter); dengan jaminan kesejahteraan yang diberikan, maka rakyat tidak mempermasalahkan apakah negara itu menjadi demokratis atau tidak. Singapura, Malaysia, dan Cina barangkali dapat dijadikan contohnya. Suksesi yang sangat diatur di Singapura dari Lee ke Goh dan kemudian ke Lee junior dapat dikatakan hampir tanpa kritik domestik sama-sekali. Gesekan terjadi di Malaysia, ketika Mahathir menggeser Anwar Ibrahim (ke penjara) dan kemudian ia memilih Abdullah Badawi, yang sebelumnya Wakil PM, menjadi PM. Di Cina, pergantian kepemimpinan puncak praktis tidak tersentuh oleh rakyat. Dan pada ketiga negara tersebut rakyat relatif tidak mempermasalahkan demokratis atau tidak demokratis.

Ketika pembangunan macet, maka Soeharto berhadapan dengan desakan demokratisasi. Di sini berlaku teori transisi dari rejim non-demokratis ke rejim demokratis melalui reformasi. Dan, seperti digambarkan Irawan di atas, reformasi di Indonesia selama lima tahun pertama terpaksa tidak menemui demokrasi, melainkan oligarki dari partai-partai politik dan mobokrasi dari daerah-daerah. Pemilu langsung Presiden 2004 memberikan indikasi bahwa Indonesia memasuki era yang benar-benar demokrasi, meski masih terdapat beberapa isu dasar, yaitu masih kuatnya ologarki partai, presiden yang dijabat oleh mantan militer yang menunjukkan bahwa –jangan-jangan-- keinginan bawah sadar dari rakyat Indonesia bukanlah demokrasi –melainkan basic need seperti keamanan dan kecukupan.Berkenaan dengan kasus Indonesia, penerapan nilai demokrasi sebagai nilai-nilai universal apabila Indonesia menginginkan penerapan demokrasi yang ideal ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara --paling tidak-- harus memperhatikan beberapa tahapan. Masing-masing tahapan membutuhkan waktu untuk mencapainya.

Tahap-tahap berikut perlu diperhatikan, karena bagi saya demokrasi bukan suatu tujuan akhir. Demokrasi adalah suatu tujuan antara. Demokrasi adalah suatu proses. Suatu proses yang diperlukan oleh suatu bangsa untuk mewujudkan cita-citanya. Cita-cita itu adalah kesejahteraan hidup. Menurut saya tahap-tahap itu adalah:[21]

Pertama, tahap pra-kondisi. Pada tahap ini, suatu bangsa (atau suatu negara) harus menetapkan anggapan dasar (asumsi) tentang perlunya demokrasi. Sebelum kita menerapkan nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya, kita harus menetapkan anggapan dasar. Anggapan dasar itu bisa saja dibangun dengan menjawab beberapa pertanyaan pokok berikut ini. Mengapa kita memerlukan demokrasi? (contoh jawabannya adalah: Kita memerlukan demokrasi karena kita ingin hidup lebih sejahtera) Apakah demokrasi adalah satu-satunya jalan? (contoh jawabannya adalah: Ya, demokrasi adalah satu-satunya jalan.) Yang manakah demokrasi pilihan kita? (contoh jawabannya adalah: Kita memilih demokrasi yang mengandung nilai-nilai universal.) Bagaimanakah cara kita menerapkan demokrasi? (contoh jawabannya adalah: Kita menerapkan demokrasi secara bertahap/gradual.) Pertanyaan dan jawaban seputar demokrasi harus menjadi wacana publik. Masyarakat harus belajar tentang konsep demokrasi sebelum mereka menerapkan demokrasi. Konflik horisontal dan gesekan (friction) antar kelompok masyarakat akan segera mencuat ke permukaan. Jaringan organisasi non-pemerintah pro demokrasi harus bertindak sebagai mediator.

Kedua, tahap transisi menuju demokrasi. Pada tahap ini, suatu bangsa sudah membuat kristalisasi tentang model demokrasi. Sebagian besar warga negara sudah mengalami perubahan sikap dari tidak tahu tentang demokrasi menjadi tahu tentang demokrasi. Bentuk demokrasi yang dibanyangkan sudah menjadi bagian dari cara berpikir mereka. Secara informal demokrasi sudah dipahami oleh sebagian besar warga negara. Pemerintah harus segera mulai mempersiapkan diri. Jaringan organisasi non-pemerintah pro demokrasi memberikan dukungan (dalam beberapa kasus harus memberikan tekanan politis) kepada pemerintah agar segera mempersiapkan proses transisi menuju demokrasi secara damai. Damai menjadi sangat penting. Cara-cara damai sangat ditekankan dalam proses transisi ini. Untuk barada dalam keadaan damai ini, semua pihak harus mengedepankan toleransi.

Ketiga, tahap pembakuan nilai-nilai demokrasi. Demokrasi secara formal diberlakukan. Penerapan demokrasi secara formal ditandai dengan terbentuknya pemerintahan baru yang dipilih secara langsung oleh rakyat (atau dipilih oleh parlemen yang dipilih oleh rakyat). Pemerintahan baru harus segera bekerja untuk membangun landasan formal bagi terpeliharanya demokrasi. Pemerintah menerapkan ukuran-ukuran tentang kebutuhan, hak, dan kewajiban warga negara. Parlemen memutuskan secara terbuka (transparent) peraturan-peraturan dasar tentang hak dan kewajiban warga negara. Pemerintah mempersiapkan perangkat-perangkat penyelenggaraan demokrasi, antara lain yang utama adalah penyiapan institusi hukum dan perangkat penegakan hukum. Lembaga hukum menjadi penting ketika demokrasi berjalan. Penegakan hukum sangat diperlukan oleh alam demokrasi.

Keempat, tahap penegakan hukum. Pada tahap ini penegakan hukum merupakan prioritas dan sekaligus merupakan pilar utama demokrasi. Pemerintah bersama jaringan organisasi non-pemerintah harus bekerja membantu masyarakat (warga negara) untuk memperoleh kebutuhannya. Kebutuhan yang utama adalah kebutuhan hidup. Pemerintah bersama jaringan organisasi non-pemerintah secara pro-aktif bekerja mendampingi masyarakat agar masyarakat dapat memperoleh hak dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

Kelima, tahap kesejahteraan sosial. Setiap anggota masyarakat (warga negara) sudah sangat sadar akan hak dan kewajibannya. Demokrasi sudah menjadi tradisi masyarakat. Demokrasi udah dilaksanakan dalam koridor yang tertuang dalam sistem hukum. Di dalam sistem hukum itu diatur hak dan kewajiban setiap warga negara secara seimbang. Kegiatan ekonomi dan politik berjalan dalam koridor itu pula. Setiap warga negara bebas menetukan pilihannya untuk melakukan kegiatan ekonomi dan politik. Namun ketika mereka sudah menetukan pilihahnnya, maka mereka sekaligus akan diikat oleh suatu kewajiban. Suatu kewajiban yang menjadikan setiap warga negara secara relatif akan memperoleh peluang yang sama dalam menikmati kesejahteraan. Oleh karena itu tahap ini merupakan tahap yang ditandai oleh kesejahteraan sosial yang semakin meluas. Inilah sesungguhnya hakikat demokrasi. Hakikat demokrasi adalah mengantarkan suatu bangsa untuk menikmati kesejahteraan sosial.

VII. Demokrasi Membentuk Nilai-nilai Pembangunan

Mengapa demokrasi dipilih? Mengapa menjadi the only game in town? Teori pertama mengatakan bahwa demokrasi menyebarkan perdamaian. Imanuel Kant dalam Perpetual Peace (1795)[22] mengatakan bahwa: (1) pada republik federal terdapat kecenderungan pemimpin politik mendorong dukungan masyarakat kepada negara sehingga membuat negara lebih kuat dalam menghadapi ancaman; (2) pada negara demokrasi pemerintah dikontrol oleh masyarakat, sehingga untuk memutuskan perang diperlukan persetujuan masyarakat. Keputusan perang menjadi tidak mudah. Jadi, bukan demokrasi menghapuskan peperangan, namun terdapatnya mekanisme konstitusional dalam demokrasi; dan (3) selain terdapat komitmen moral untuk tidak saling berperang, terbentuk pula spirit of commerce di antara negara-negara demokratis –yang disebutnya sebagai uni pasifik. Kondisi ini menguat ketika ada saling ketergantungan ekonomi antar negara[23].

Mengikuti teori positif dari Kant, sekali ditegakkan, maka demokrasi akan membawa kecenderungan damai. Joseph Schumpetter mengemukakan dalam bahasa yang berbeda bahwa perang hanya menguntungkan kaum minoritas produsen senjata dan militer, dan tidak ada demokrasi yang hanya memenuhi kepentingan minoritas dan mentoleransi besarnya pegorbanan akibat imperialisme[24] Karenanya, hanya perdamaian yang ada di dalam demokrasi. Sorensen pun menambahkan bahwa budaya demokrasi mempunyai norma-nomra tentang resolusi konflik secara damai dan hak-hak orang lain untuk melakukan determinasi diri[25].

Dalam konteks hubungan internasional, Kant mengembangkan empat proposisi dari kontribusi demokrasi yang mendorong kerjasama damai antar negara, yaitu: (1) prinsip perimbangan kekuatan, yang disebut sebagai pratek anti-hegemonialisme yang sistematis, dengan ide dasar setiap negara dicegah untuk tidak menjadi terlalu kuat bagi negara lainnya untuk menggesernya dari aliansi, sehingga menghindari dominasi; (2) prinsip kodifikasi terjadinya serangkaian interaksi antar negara dalam rangka membentuk badan hukum internasional; (3) perinsip penggunaan konggres (atau perwakilan rakyat) untuk mengatasi masalah antar negara; dan (4) prinsip dialog diplomatik. Kant melihat Eropa di abad 18 sebagai sebuah persemakmuran diplomatik yang terdiri dari sejumlah negara yang independen yang mirip satu sama lain dalam perilaku, pengembangan agama, dan derajad kemajuan sosial –atau dalam kerangka budaya yang sama.[26] Dengan demikian, dalam konsep Kant, perdamaian sebagai hasil demokrasi terbentuk dari tiga pilar: eksistensi negara-negara demokratis dengan budaya resolusi konflik secara damai; ikatan moral yang ditempa di antara negara-negara demokratis berdasarkan persamaan landasan moral; dan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan di antara negara-negara tersebut.

Penjelasan positif tersebut berhadapan dengan kenyataan hari ini bahwa salah satu kondisi dasar dalam menjadikan demokrasi sebagai pembawa perdamaian tidak dipenuhi, yaitu prinsip perimbangan kekuatan. Sejak Perang Dunia II, sebagai negara yang tidak terkena perang, Amerika Serikat menjadi satu-satunya negara adidaya (dan adikuasa). Perimbangan kekuatan sempat terjadi, namun itu pun tidak di antara negara-negara demokratis, melainkan di antara negara demokratis (liberal) dengan negara sosialis (otoritarian) –AS dan Uni Sovet.

Runtuhnya perimbangan global, terutama dalam militer, membuat AS menjadi the single superpower yang menjadikan dirinya sebagai the global super-cop dan membuatnya merasa sah melakukan intervensi militer ke negara-negara yang dinilai membahayakan AS dengan dasar doktrik pre-emptive-nya –dan bukan semata-mata membahayakan demokrasi. Dalam konteks ini kadang menjadi relevan untuk mengganti istilah Juan Linz dari democracy is the only game in town menjadi AS is the only game in town.

Demokrasi menjadi salah satu komponen dari perkembangan globalisasi yang digerakkan oleh liberalisasi perdagangan, kapitalisme global, yang berjalan seiring dengan bangkitnya kembali libertarianisme dan kebangkitan ekomomi klasik. Fukuyama[27] mengatakan bahwa akhir dari peradaban adalah kapitalisme, Lesther Thurow menambahkan bahwa persaingan kini bukanlah kapitalis dengan sosialis, namun kapitalis dengan kapitalis, dan Heilbrowner dengan tegas mengatakan bahwa kapitalisme akan menjadi ideologi peradaban abad 21 dan bahkan ke depan, karena belum ada konsep pengganti yang lebih baik dan lebih menarik.[28] Sementara itu Friedman bahwa bangsa yang paling cocok untuk tatanan global hanyalah Amerika (Serikat), jadi tidak aneh jika globalisasi identik dengan Amerikanisasi, dan Amerika identik dengan kapitalisme-libertarianisme-demokrasi (liberal).[29] Seperti kata Boaz bahwa liberatarianisme bangkit lagi karena fasisme, komunisme, sosialisme, dan negara kesejahteraan telah terbukti gagal.[30]

Demokrasi menjadi tuntutan dari globalisasi, sebagaimana demokrasi diperlukan untuk mendukung mekanisme pasar bebas –laissez faire. Demokrasi bergerak ke satu arah: demokrasi liberal, karena hanya demokrasi dalam pola ini yang paling cocok untuk liberalisasi perdagangan dunia; karena hanya demokrasi ini yang paling cocok dengan demokrasi Amerika. Tentu saja, gerakan menuju ke demokrasi seperti ini ditopang oleh berbagai pendekatan yang mutakhir, salah satunya adalah good governance, yang dijadikan sebagai software dari demokrasi modern.

Berkenaan dengan good governance, penulis belum menemukannya dalam kamus standar bahasa Indonesia, demikian pula pada kamus standar Inggris Indonesia. Istilah ini berasal dari induk bahasa Eropa, yaitu Latin, yaitu gubernare yang diserap oleh bahasa Inggris menjadi govern, yang berarti steer (menyetir, mengendalikan), direct (mengarahkan), atau rule (memerintah). Penggunaan utama istilah ini dalam bahasa Inggris adalah to rule with authority, atau memerintah dengan kewenangan. Tentu saja, terdapat terjemahan lain sesuai dengan perkembangan jaman, mulai dari to attend to (1680), to work or manage (1697) hingga to control the working of; to regulate (1807).[31]

Kata sifat dari govern adalah governance yang diartikan sebagai the action of manner of governing atau tindakan (melaksanakan) tata cara pengendalian. Di samping itu, ada juga arti lain sesuai perkembangan waktu, yaitu mode of living (1600) dan method of management, system of regulations (1660). Komisi Global Governance mendefinisikan governance sebagai the sum of many ways that individuals and institutions, public and private, manage their common affairs. Penjumlahan dari cara-cara di mana individu-individu dan institusi –baik privat maupun publik—mengelola urusan-urusan bersamanya.[32]

Governance sesungguhnya adalah konsep yang masih samar. Pada awalnya Bank Dunia mendefinisikan governance sebagai the exercise of polical power to manage a nation’s affair[33] kemudian diperjelas menjadi the way state power is used in managing economic and social resources for development of society.

Sementara itu, OECD dan Bank Dunia juga mensinonimkan good governance (GG) dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.[34]

Lebih lanjut UNDP juga mensinonimkan GG sebagai hubungan sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Atas dasar ini, maka disusun sembilan karakteristik GG, yaitu: (1) Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif; (2) Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu , terutama hukum untuk hak azazi manusia; (3) Transpararency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor; (4) Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders; (5) Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur; (6) Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka; (7) Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin; (8) Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi; dan (9) Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Pada perkembangan lanjutnya, diperkenalkan istilah democratic governance. Istilah ini dipopulerkan antara lain oleh March dan Olsen bahwa demokrasi perlu difahami sebagai sebuah budaya, keyakinan, dan etos yang dikembangkan melalui interpretrasi dan praktik. Demokrasi modern fokus kepada governance, sebuah pilihan di mana demokrasi berhadapan dengan keterbatasan dirinya dan ketidakpastian dari lingkungannya. Democratic governance pertama-tama dikenal sebagai sebuah mekanisme pengelolaan small city-states dan berkembang berabad-abad sebagai model pengelolaan negara-negara yang berukuran relatif kecil dan dengan populasi yang kecil. Dari pemaparan tersebut, kita memahami democratic governance lebih sebagai sebuah praktek kehidupan demokrasi modern diselenggarakan secara profesional. Kelak, democratic governance merupakan wujud nilai yang hidup sebagai dampak penerapan demokrasi itu sendiri.[35]

VIII. Penutup

Masalah demokrasi bagi negara berkembang akhirnya terpulang kepada sebuah pertanyaan klasik: demokrasi menjadi tujuan atau sebagai sarana? Secara ideal, demokrasi adalah sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Transisi menuju demokrasi menciptakan lingkungan yang lebih terbuka di mana asosiasi di dalam masyarakat (civil society) lebih dimungkinkan untuk berfungsi lebih baik. Bahkan demokrasi juga dapat dikatakan sebagai the second best system. Nomor satunya? Tidak ada. Demokrasi juga seolah-olah telah menjadi Bahkan the only global order karena demokrasi nampaknya telah mencatatkan kemenangan historis atas bentuk-bentuk pemerintahan yang lain, dewasa ini hampir setiap orang mengaku sebagai seorang demokrat, dan semua rejim politik di seluruh dunia mengaku sebagai rejim demokrat.

Pada hemat penulis, demokrasi secara umum memberikan peluang yang lebih memberikan keadilan bagi kehidupan bersama, ruang-ruang gerak yang lebih memadai bagi setiap manusia dan asosiasi manusia untuk mengembangkan kemanusiannya. Sayangnya, demokrasi bagi negara berkembang tidak dapat serta-merta diterapkan. Sebagaimana yang penulis kemukakan dalam Reinventing Indonesia, bahwa demokrasi menyangkut perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan lingkungan. Dan tiga faset itu berlaku juga untuk setiap sistem politik dengan genus demokrasi, apa pun spesies-nya.

Pemahaman bahwa demokrasi sebagai sebuah stategi (dan bukan tujuan) perlu difahami, karena demokrasi perlu difahami sebagai sebuah proses politik modern –profesionally managed. Karena, pada akhirnya, seperti dicatat oleh International Herald Tribune, bahwa

“democracy does not guarantee that you will never have an economic crises. We know that market overshoots. Investor takes crazy risk. Good governance is the only real protection. The most non-corrupt, transparent, and accountable financial system have been hurt the least. Those had democratic but corrupt system were hurt the second worst, but at least have been able to respond quickly by voting in better governance. (But) an corrupt, authoritarian regime, can’t adapt”.[36]

Akhirnya, kiranya diskusi dan pemahaman di atas membantu kita untuk tidak menjadi buta dengan melihat demokrasi sebagai tujuan, karena jika sudah demikian, maka kita akan menghalalkan segala cara untuk menjadi demokratis, termasuk menghancurkan tatanan dan kemajuan yang sudah dimiliki. Karena bagaimana pun juga perlu difahami, demokrasi adalah sistem politik terbaik yang termahal yang pernah ada di muka bumi. Untuk menyelenggarakannya diperlukan sebuah kapasitas, agar mobil demokrasi justru tidak menabrak rakyat kita sendiri. Karena itulah, agenda tanpa henti yang diperlukan oleh negara berkembang adalah mengembangkan democratic capacity melalui proses pembelajaran dan penguatan kelembagaan.

Demokrasi harus dipahami secara berhati-hati baik dari segi konsep maupun dari segi nilai-nilai. Konsep dan nilai-nilai demokrasi harus disepakati bersama sebelum diterapkan di lapangan. Para pengambil keputusan publik harus berhati-hati jika ingin membuka pintu demokrasi. Demokrasi yang baik bukan demokrasi yang bebas, tapi demokrasi yang mempunyai batas (koridor). Karena demokrasi itu ibarat api. Api (atau demokrasi) akan membakar dan merusak apa saja jika api tidak dikendalikan, tapi api (atau demokrasi) akan sangat bermanfaat bagi semua orang jika api dikelola secara bijaksana.

--ooOOoo--

Daftar Pustaka

Adam Przeworski, Democracy as Contingent Outcome, dalam Jon Elster and Rune Slagstad, Constitutionalism and Democracy, Cambridge, 1988.

Amartya Sen, “Democracy as a Universal Values” dalam Development as Freedom, Alfred Knopf Publishing, New Delhi, 1999.

Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia, Republika, Jakarta, 2004.

Bappenas/UNDP, Laporan Perkembangan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia tahun 2007, Bappenas/UNDP, Jakarta, 2008.

David Boaz, Libertarianism: A Primer, 1988, The Free Press, New York, 1988.

Didik J. Rachbini, Teori Bandit, RMBooks, Jakarta, 2008.

Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, The Free Press, New York, 1999.

Georg Sorensen, Democracy and Democratization: Processes And Prospects In A Changing World, Westview, 1998.

Glyn Davis, Michael Keating (eds), The Future of Governance: Policy Choices, Allen and Unwin, Sydney, 2000.

Heilbrowner and Thurow, Vison of the Future, Mainz Universitaet, Mainz, 1995.

International Herald Tribune, 9 Februari 1998.

John Markoff, Waves of Democracy, Social Movements, and Political Change, 1996.

Ketut Irawan, Demokratisasi, Desentralisasi, dan Governance di Tingkat Lokal di Indonesia, Departemen Dalam Negeri, 1998.

March James, Olsen Johan, Michael Cohen. Democratic Governance, The Free Press, London, 1995.

M.J. Gregor, Practical Philosophy, 1966, Cambridge University Press, Cambridge, 1966.

Mochtar Mas'ud, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994.

R. William Liddle, Crafting Indonesian Democracy, Mizan/PPW-LIPI/the Ford Foundation, Bandung, 2001.

Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho D., Manajemen Pembangunan Indonesia, 2006, Elexmedia Komputindo, Jakarta.

Randy R. Wrihatnolo (2007): Membumikan Millenium Development Goals (MDGs) Kedalam Kebijakan Pembangunan di Daerah, dalam jurnal Perencanaan Pembangunan, edisi Desember 2007.

Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition, Yale University Press, New Haven, 1971.

Robert O’Brien dkk, Contesting for Global Governance, Cambridge University Press, Cambridge, 2000.

Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late 21th Century, 1991.

The Shorter Oxford, 1984.

Thomas L. Friedman, The Lexus and The Olive Three: Understanding Globalization, Random House Inc., New York, 2000.

Websites:

Freedom House: [http://www.freedomhouse.org/research/freeworld/2001] 18 September 2008.

The Center for Democratic Governance and International Institution for Democracy and Electoral Assistance: [info@cgdbf.org] 18 September 2008.

The United Nations: [http://www.un.org/issues/m-gov.asp] 18 September 2008.

The World Bank: [http://www1.worldbank.org/publicsector/indicators.htm#Freedom House] 18 September 2008.

United Nations for Development Programmes: [http://www.undp.org/rblac/governance/] 18 September 2008.

--ooOOoo--

[1] Amartya Sen, “Democracy as a Universal Values” dalam Development as Freedom, 1999, Alfred Knopf Publishing, New Delhi.

[2] Pada beberapa konsep, konsep kesejahteraan hidup disebut juga sebagai kesejahteraan rakyat.

[3] Amartya Sen, Op.cit., hlm. 3-17.

[4] Sebagaimana kita ketahui, rezim komunis senantiasa melarang warganya melakukan proses akumulasi kapital. Akumulasi kapital adalah sesuatu yang tidak diijinkan oleh rezim komunis.

[5] Nilai-nilai demokrasi kadang-kadang justru membuat orang menjadi mabuk demokrasi. Mabuk demokrasi adalah suatu kondisi dimana orang meluapkan kebebasan tanpa batas. Maka yang terjadi adalah bukan demokrasi, tapi terjadi sebaliknya, yaitu anarkhi.

[6] Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia, 2004, Republika, Jakarta. Bahkan mengomentari konteks “melamar demokrasi” itu, Emha Ainun Nadjib pada saat peluncuran buku Anas Urbaningrum mengatakan "Hati-hati dengan demokrasi. Meskipun demokrasi itu lebih baik dari otoriter. Otoriter adalah benarnya sendiri tapi kalau demokrasi benarnya orang banyak. tapi tidak semua demokrasi berakhir dengan baik. Sebagai contoh ada 10 remaja. Tujuh di antaranya sepakat pesta narkoba. Pesta narkoba disini adalah pilihan demokratis. Pesta itu benarnya orang banyak, namun ternyata menyesatkan."

[7] Lihat review atas Anas Urbaningrum, Melamar Demokrasi: Dinamika Politik Indonesia, 2004, Republika, Jakarta dalam [http://www.republika.co.id/mypustaka/buku_detail.asp?id=33].

[8] Bandit adalah orang-orang yang melakukan korupsi dan kolusi sebagai akibat adanya distorsi dalam proses pilihan publik. Lihat Didik J. Rachbini, Teori Bandit, 2008, RMBooks, Jakarta.

[9] Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho D., Manajemen Pembangunan Indonesia, Elexmedia Komputindo, Jakarta, 2006, hh. 191-228.

[10] MDGs diindonesiakan menjadi Tujuan Pembangunan Milenium. Konsep ini merupakan buah perjalanan panjang dari paradigma pembangunan manusia “diperjuangan” sejak dekade 1970-an. MDGs merupakan paradigma pembangunan global yang disepakati secara internasional oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium PBB pada bulan September 2000 dan kemudian Majelis Umum PBB melegalkannya sebagai Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium PBB (A/RES/55/2 United Nations Millennium Declaration).

[11] Randy R. Wrihatnolo (2007): Membumikan Millenium Development Goals (MDGs) Kedalam Kebijakan Pembangunan di Daerah, dalam jurnal Perencanaan Pembangunan, edisi Desember 2007.

[12] Freedom House: [http://www.freedomhouse.org/research/freeworld/2001]

[13] Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late 21th Century, 1991, h. 13.

[14] John Markoff, Waves of Democracy, Social Movements, and Political Change, 1996, h.32.

[15] Juan J. Linz and Alfred Stepan, Defining and Crafting Democratic Transition, Constitutions, and Consolidation, in R. William Liddle, Crafting Indonesian Democracy, Mizan/PPW-LIPI/the Ford Foundation, Bandung, 2001, h.18.

[16] Mochtar Mas'ud, Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994, h.43

[17] Robert A. Dahl, Polyarchy: Participation and Opposition, Yale University Press, New Haven, 1971.

[18] Georg Sorensen, Democracy and Democratization: Processes And Prospects In A Changing World, Westview, 1998, h.23-24.

[19] Ketut Irawan, Demokratisasi, Desentralisasi, dan Governance di Tingkat Lokal di Indonesia, Departemen Dalam Negeri, 1998, h.65-67.

[20] Adam Przeworski, Democracy as Contingent Outcome, dalam Jon Elster and Rune Slagstad, Constitutionalism and Democracy, Cambridge, 1988.

[21] Saya menyebutnya dengan istilah tahapan menuju demokrasi (the stages to democarcy). Suatu istilah yang saya pinjam dari istilah tahapan menuju pertumbuhan (the stages to growth) dari J.J. Rostow.

[22] Imanuel Kant, "Toward Perpetual Peace" (1795) in M.J. Gregor, Practical Philosophy, Cambridge University Press, Cambridge, 1966,.

[23] Dalam Sorensen, Op.cit., h.166.

[24] Ibid, h. 167.

[25] Ibid, h. 182.

[26] Ibid, hh. 185-186.

[27] Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, The Free Press, New York, 1992, h.55.

[28] Heilbrowner and Thurow, Vison of the Future, Mainz Universitaet, Mainz, 1995, h.27

[29] Thomas L. Friedman, The Lexus and The Olive Three: Understanding Globalization, Random House Inc., New York, 2000, h.115.

[30] David Boaz, Libertarianism: A Primer, The Free Press, New York, 1988,

[31] The Shorter Oxford, 1984, h. 874.

[32] Dikutip oleh Robert O’Brien dkk, Contesting for Global Governance, Cambridge University Press, Cambridge, 2000, h. 2.

[33] Glyn Davis, Michael Keating (eds), The Future of Governance: Policy Choices, Allen and Unwin, Sydney, 2000, h.3.

[34] United Nations for Development Programmes: [http://www.undp.org/rblac/governance/] 18 September 2008.

[35] March James, Olsen Johan, Michael Cohen, Democratic Governance, The Free Press, London, 1995, hh. 8-9.

[36] International Herald Tribune, 9 Februari 1998.

Annular Solar Eclipse Jakarta 26 January 2009 (Movie)

Annular Solar Eclipse 2009
Jakarta, 26 January 2009
Duration: 15.20 - 17.45 p.m. West-Indonesian Time
Point of observatory: Pancoran Jakarta 12770
Coordinate: geo:lat=-6.249029897652129 geo:lon=106.84639692306518
Elevation: 63 degree.


Documentaries:
Annular Solar Eclipse 1/5
Annular Solar Eclipse 2/5
Annular Solar Eclipse 3/5
Annular Solar Eclipse 4/5

Regards,
Randy R. Wrihatnolo