14 Desember 2008

Reformasi Pendidikan Menengah

Reformasi Pendidikan Menengah

Membiayai Pendidikan Menengah di Indonesia

Randy R. Wrihatnolo


I. Pengantar


Sebagai kelanjutan dari Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua tahun 1990, banyak negara berkembang telah berhasil meningkatkan angka partisipasi dan kelulusan pendidikan dasarnya. Namun pertumbuhan resultan jumlah calon siswa pendaftar pendidikan menengah tidak diimbangi dengan peningkatan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Angka partisipasi pendidikan menengah kebanyakan negara berkembang yang memiliki angka partisipasi kasar sekolah menengah (secondary school gross enrollment rate/GER2) kurang dari 40% tidak mengalami perubahan signifikan lebih dari sepuluh tahun terakhir ini. Di negara-negara dengan GER2 antara 40% sampai 70%, rata-rata angka partisipasi ini hanya meningkat sekitar 49-56%. Ini berarti bahwa meskipun terdapat peningkatan pesat dalam hal akses pendidikan dasar di negara-negara termiskin, jumlah absolut penduduk di negara-negara berkembang yang tidak memiliki akses kepada pendidikan menengah sesungguhnya juga meningkat.


Pertanyaan tentang investasi di tingkat pendidikan setelah pendidikan dasar perlu ditinjau kembali dengan seksama. Laju pertumbuhan ekonomi yang rendah dan negatif, ditambah dengan biaya tinggi dalam pelaksanaannya, telah menekan sumberdaya publik—yang pada dasarnya sudah terbatas jumlahnya—yang dapat digunakan untuk mengembangkan sistem pendidikan menengah publik di negara-negara berkembang. Lebih jauh lagi, hibah dan pinjaman internasional yang diberikan kepada negara-negara termiskin—yang cenderung juga memiliki andil dalam upaya menurunkan angka partisipasi sekolah menengah—lebih memilih pendidikan dasar sebagai fokusnya ketimbang pendidikan menengah. Tanpa pendalaman serius atas strategi-strategi yang diperlukan untuk meningkatkan partisipasi pendidikan menengah di negara-negara yang paling beresiko, partisipasi dan kualitas pendidikan menengah cenderung terus menurun sampai di bawah tingkat yang pada saat ini pun sudah tidak memadai.


II. Mengapa Perlu Investasi Lebih Banyak Pada Pendidikan Menengah?


Pendidikan menengah terbukti memiliki peran sangat penting dalam pembangunan. Namun negara-negara yang paling membutuhkan pembangunan cenderung memiliki angka partisipasi terendah dan sistem pendidikan menengah yang paling bermasalah. Data UNESCO membedakan 150 negara ke dalam empat kelompok: negara-negara dengan GER2 (1) 7-40%, (2) 41-70%, (3) 71-90%, dan (4) lebih dari 90%. Empat puluh empat negara berada kategori pertama; dua-per-tiganya berada di Afrika sub-Sahara, sementara sisanya berada di Amerika Tengah dan Selatan serta Asia. Negara-negara ini cenderung memiliki produk nasional bruto (PNB) per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang rendah atau negatif, serta laju pertumbuhan penduduk dan rasio ketergantungan populasi usia sekolah yang tinggi. Jika GER2 suatu negara kurang dari 40%, kadang-kadang timbul kasus bahwa kurang dari 10% dari jumlah angkatan kerjanya telah berhasil menyelesaikan pendidikan menengahnya. Hal ini menjadi pertanyaan penting dalam penentuan strategi pengembangan sumberdaya manusia, yang bergantung pada ketersediaan penduduk dengan pengetahuan dan keahlian yang diperoleh dari pendidikan di tingkat yang lebih tinggi dari pendidikan dasar.


Jelas bahwa negara-negara dengan GER2 terendah harus mengupayakan sesuatu untuk meningkatkan GER2-nya. Suatu negara tidak akan mampu bertumpu di lapangan usaha yang lebih tinggi dari pertanian subsitens, meningkatkan industri pengolahan dan industri jasa yang kompetitif, atau mengembangkan strategi perdagangan internasionalnya, jika angkatan kerjanya yang memiliki latar belakang pendidikan menengah hanya sebesar 5-10%.


Pendidikan menengah dapat mendorong pembangunan sumberdaya manusia yang ahli dan berpengetahuan serta memiliki akses tidak hanya kepada ekonomi nasional namun juga ekonomi global. Hal ini dikarenakan pendidikan menengah mendorong pengembangan kemampuan berpikir formal, mendorong kemampuan memecahkan masalah abstrak dan berpikir kritis, dan membekali peserta didik dengan muatan yang relevan dengan dunia kerja. Bank Dunia (1993) melaporkan bahwa pertumbuhan Jepang setelah tahun 1960 terutama dipengaruhi oleh keberhasilannya untuk mencapai angka partisipasi pendidikan menengah tinggi secara dini. Data longitudinal tentang pertumbuhan partisipasi sekolah menunjukkan bahwa partisipasi dalam pendidikan menengah saat ini merupakan faktor yang membedakan dalam pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia (Lewin, 1999). ’Kesenjangan digital’ yang makin meluas, perbedaan dalam pemanfaatan dampak dan asimilasi teknologi informasi dan komunikasi, dapat secara langsung terkait dengan rendahnya jumlah lulusan sekolah menengah di negara-negara berkembang. Semakin rendah jumlah ini, semakin sulit suatu negara menarik investasi asing, bergerak dalam kegiatan ekonomi yang berbasis pengetahuan, dan bersaing secara internasional.


III. Apakah Angka Partisipasi Sekolah Menengah Yang Lebih Tinggi Dapat Tercapai?


Sangat penting bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah menengahnya, namun keterbatasan sumberdaya membuat upaya tersebut sangat sulit dilaksanakan. Namun terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh oleh negara-negara berkembang untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah menengahnya sambil mempertimbangkan keterbatasan fiskal yang dihadapi oleh negara-negara tersebut.


Suatu negara dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah menengah dengan: (1) memperbesar proporsi PNB yang dialokasikan untuk pendidikan secara umum dan pendidikan menengah secara khusus; (2) mengurangi biaya satuan; (3) meningkatkan efisiensi; (4) memanfaatkan berbagai kesempatan untuk mengembangkan skema cost-sharing; dan (5) mencari bantuan eksternal. Terdapat perbedaan strategis antara negara-negara yang memiliki kebutuhan utama untuk meningkatkan partisipasi keseluruhan dengan negara-negara yang terutama membutuhkan peningkatkan efisiensi internal. Di negara-negara yang ingin meningkatkan partisipasi keseluruhan, peningkatan akses membutuhkan peningkatan belanja negara secara pro-rata. Sementara itu, di negara-negara yang mengutamakan peningkatan efisiensi internal, peningkatan akses dapat dicapai dengan mengurangi timbulnya repetisi dan sumber-sumber ketidakefisienan lainnya (seperti sistem penempatan guru yang buruk dan beban mengajar yang sangat rendah) tanpa perlu meningkatkan biaya.


3.1. Tinjauan Biaya


Untuk mencapai angka partisipasi sekolah menengah yang lebih tinggi di negara-negara berkembang termiskin, strategi investasi dan struktur biaya mereka harus ditinjau ulang. Tingkat partisipasi di kebanyakan negara umumnya terkait dengan pemilihan kebijakan dan preferensi investasi ketimbang keterbatasan sumberdaya. Besar belanja publik untuk membiayai pendidikan menengah yang dinyatakan dalam persentase terhadap PNB dapat berkisar antara di bawah 0,5% sampai lebih dari 3%. Pada umumnya negara-negara dengan GER2 rendah mengalokasikan proporsi yang lebih kecil dari PNB mereka untuk membiayai pendidikan menengah dibandingkan negara-negara yang memiliki GER2 lebih tinggi (rata-rata 0,86% dibandingkan rata-rata 1,41%) dan biaya satuan yang dinyatakan sebagai proporsi PNB per kapita adalah lebih tinggi di negara-negara dengan GER2 rendah. Di negara-negara dengan angka partisipasi kasar sekolah dasar (GER1) sekitar 80%, angka untuk sekolah menengah selalu melampaui 30%. Di atas ambang ini, GER2 sangat bervariasi.


Strategi pembangunan nasional harus berfokus pada tugas berat untuk mengidentifikasi tingkat dan fokus investasi di tingkat pendidikan menengah mana yang paling dapat mempengaruhi pertumbuhan. Kebijakan yang diambil akan spesifik untuk setiap negara. Suatu model yang ditentukan oleh partisipasi (enrollment-driven) telah digunakan untuk melihat biaya dengan menstimulasi berbagai skenario dan menjalankan berbagai simulasi yang melihat sifat tingkat partisipasi dan biaya yang dibutuhkan dalam jangka waktu lima tahun untuk berbagai negara dengan GER2 di bawah 40% dan antara 40% dan 70%.


Jika struktur biaya saat ini dipertahankan, maka tampaknya negara-negara Afrika sub-Sahara perlu mengalokasikan sekitar hampir 4% dari PNB mereka untuk pendidikan menengah supaya mereka dapat mencapai GER2 60% dan lebih dari 5% PNB untuk mencapai GER2 sebesar 80%. Hal ini hampir tidak mungkin terjadi terutama jika ditambahkan jumlah dana yang dibutuhkan untuk mempertahankan GER1 pada tingkat 100%. Di luar negara-negara dengan GER2 terendah, angka untuk wilayah lain menunjukkan adanya harapan. Jika suatu negara memprioritaskan peningkatan GER2 mereka, mereka sangat mungkin dapat mencapainya.


3.2. Meningkatkan Belanja Publik untuk Pendidikan Menengah


Peningkatan proporsi PNB yang dialokasikan untuk ekspansi signifikan pendidikan menengah menjadi tidak realistis jika dilaksanakan oleh negara dengan GER2 rendah. Ketika lebih dari 5% PNB telah dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan secara keseluruhan, peningkatan substansial untuk pendidikan menengah cenderung tidak mungkin. Redistribusi untuk membiayai pendidikan menengah mungkin juga sulit ketika tujuan ”pendidikan dasar untuk semua” harus terpenuhi. Dalam kasus-kasus seperti ini, mengurangi biaya satuan, meningkatkan efisiensi dan menjajaki kemungkinan cost-sharing dan bantuan eksternal mungkin menjadi alternatif terbaik.

Beberapa negara dapat mengalokasikan lebih banyak uang pada pendidikan menengah. Beberapa negara ini menghabiskan lebih banyak uang pada pendidikan tinggi ketimbang pendidikan menengah. Negara-negara ini dapat melakukan perubahan kebijakan. Saat angka partisipasi sekolah dasar dan sekolah menengahnya masih rendah, sekolah menengah tidak boleh dibiayai dengan mengorbankan investasi di tingkat pendidikan dasar. Namun ketika tingkat partisipasi pendidikan dasar tinggi namun tingkat partisipasi pendidikan menengah rendah, usulan untuk mengalokasikan 5% atau 6% dari PNB untuk meningkatkan akses kepada pendidikan menengah—jika terdapat peningkatan alokasi keseluruhan—lebih dimungkinkan. Peningkatan akses pendidikan dasar harus tetap menjadi prioritas di negara-negara tersebut, namun peningkatan akses kepada pendidikan menengah dapat memberikan kontribusi marjinal yang lebih besar kepada pembangunan, dibandingkan dengan kontribusi oleh investasi yang didesain untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar. Lebih jauh lagi, memindahkan keseimbangan alokasi pendanaan untuk diberikan kepada mendidikan menengah mungkin menjadi tujuan kebijakan yang masuk akal jika di negara tersebut dana publik lebih banyak dialokasikan untuk membiayai pendidikan tinggi ketimbang pendidikan menengah (seperti Malawi, Costa Rica). Hal ini dapat membebaskan sumberdaya untuk mendukung peningkatan partisipasi pendidikan menengah. Cara yang perlu ditempuh oleh suatu negara akan bergantung pada kondisi atau nilai awal belanja publik untuk pendidikan menengah sebagai persentase dari PNB, proporsi PNB yang dialokasikan untuk pendidikan, dan justifikasi atas distribusi berjalan dana publik antar tingkatan pendidikan. Apakah ekonomi suatu negara tumbuh atau negatif tentu saja juga relevan untuk diperhitungkan.


Skema pembebasan utang juga dapat mengubah kondisi negara-negara yang paling terbebani oleh utang dan mampu membebaskan sumberdaya tambahan bagi mereka. Ini hanya dapat dimanfaatkan oleh pendidikan menengah jika strategi sektoral mengenali pentingnya pendekatan seimbang unuk pembiayaan pendidikan dasar dan menengah. Desentralisasi dapat memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan.


Jika terdapat kasus yaitu suatu negara memiliki tingkat partisipasi sekolah menengah rendah atau di kisaran menengah, namun negara tersebut tampaknya memiliki kelebihan penawaran lulusan pendidikan menengah, hal ini bisa saja tidak disebabkan oleh adanya ekspansi tingkat partisipasi pendidikan menengah. Tingkat pengangguran terbuka yang tinggi dapat dikaitkan dengan rendahnya kualitas pendidikan menengah yang tidak terfokus pada pengetahuan dan keahlian yang paling relevan dengan pasar kerja. Tingginya tingkat pengangguran terbuka dapat pula menjadi dampak jangka pendek pelaksanaan program-program penyesuaian struktural (structural adjustment program) yang harus dilaksanakan akibat tidak layaknya kebijakan makroekonomi dan sosial yang diambil oleh suatu negara. Dalam kasus-kasus tersebut, kebijakan seharusnya berfokus pada isu-isu yang terkait dengan ketenagakerjaan dan reformasi pendidikan. Pasar kerja ketat mungkin saja dapat menaikkan permintaan akan lulusan sekolah menengah jika biaya kesempatan (opportunity cost) rendah. Tekanan politis dan sosial dapat pula mendorong peningkatan akses. Suatu negara perlu mendasarkan kebijakan pendidikannya pada laju pertumbuhan lapangan kerja yang mungkin terjadi di masa mendatang. Negara tersebut perlu berupaya untuk (1) melaksanakan reformasi peningkatan relevansi dan pemanfaatan pendidikan menengah dan (2) menjalankan strategi yang ditujukan untuk meningkatkan perolehan kembali biaya (cost-recovery)—bersamaan dengan usaha perlindungan (safeguard) yang didesain untuk memastikan adanya partisipasi yang seimbang dari seluruh siswa didik.


3.3. Mengurangi Biaya Satuan Sekolah Menengah


Semakin rendah tingkat partisipasi sekolah menengah di suatu negara, akan semakin mahal biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan menengah di negara tersebut. Di negara-negara dengan GER2 tinggi, rasio ini berkisar pada 1,3:1 dengan 1,3 adalah biaya untuk penyelenggaraan pendidikan menengah. Sementara itu, di negara-negara dengan GER2 yang sangat rendah, rasio ini berkisar pada 3,5:1.


Seberapa besar dana yang dialokasikan untuk setiap siswa (yang dinyatakan dalam satuan persentase PNB per kapita) terutama ditentukan oleh kombinasi rasio murid-guru, dan gaji guru yang dihubungkan dengan PNB per kapita. Ketika rasio murid-guru rendah dan masih dapat ditingkatkan, biaya satuan akan turun dan memberi kesempatan bagi lebih banyak murid untuk terdaftar di sekolah menengah dengan biaya yang sama. Sistem pendidikan menengah tidak memanfaatkan guru seintensif sistem pendidikan dasar. Data menunjukkan bahwa rasio murid-guru sekolah menengah lebih rendah 37% jika dibandingkan dengan rasio murid-guru sekolah dasar di negara-negara dengan GER2 rendah. Angka tersebut menjadi 18% di negara-negara dengan GER2 tinggi. Peningkatan rasio ini akan membantu menurunkan biaya pendidikan menengah.


Hasil yang sama dapat dicapai dengan mengurangi gaji rata-rata. Tentu saja, tingkat gaji harus dinilai berdasarkan kondisi pasar kerja nasional dan biaya hidup. Gaji ini—yang dinyatakan dalam satuan persentase PNB—sangat bervariasi antarnegara. Penurunan gaji guru yang signifikan dimungkinkan ketika gaji guru dinilai sudah berlebihan. Namun demikian, ketika gaji guru rendah, pengurangannya dapat menimbulkan konsekuensi negatif atas motivasi dan kinerja guru. Satu pendekatan yang mungkin adalah mengurangi biaya gaji rata-rata dengan menarik lebih banyak asisten guru dan dengan mempekerjakan lebih banyak guru muda—yang dapat mendukung pekerjaan para guru yang dibayar mahal, terlatih dengan baik dan berpengalaman. Pendekatan ini dapat mendorong lebih banyak partisipasi murid sekolah menengah dengan biaya yang sama.


Panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pendidikan menengah dan bagaimana waktu tersebut tersegmentasi ke dalam siklus terspesialisasi juga perlu ditinjau kembali. Kebijakan pemilihan kurikulum, pemilihan dan pencatatan siswa, dan spesialisasi bidang dapat menimbulkan implikasi pembiayaan yang mungkin memerlukan peninjauan kembali. Hal ini karena kebijakan baru tersebut dapat menciptakan kondisi baru sehingga tidak dapat jika hanya dikembangkan dari program-program pendidikan yang ada. Ketika sumberdaya yang ada tidak cukup untuk meningkatkan akses pendidikan, pilihan harus dibuat antara mempertahankan atau membesarkan program-program yang mahal dan mengurangi biaya melalui rasionalisasi pilihan dan membatasi angka partisipasi di bidang spesialisasi yang berbiaya tinggi. Sistem pengajaran alternatif yang menggunakan lebih banyak peer teaching, self-instruction dan metode kelas jauh (distance-learning) dapat mengurangi biaya satuan tanpa mengurangi kualitas. Sistem-sistem tersebut menawarkan strategi-strategi yang mungkin untuk meningkatkan akses bagi mereka yang masih berada di luar sekolah serta biaya satuan yang lebih rendah bagi mereka yang sudah berada di sistem sekolah.


Pilihan lain termasuk melihat skala keekonomian yang dapat timbul akibat naiknya besar sekolah rata-rata. Ketika angka ini rendah, kurangi biaya inap/asrama yang tidak perlu dan/atau mengasosiasikannya dengan cost recovery, dan menghemat biaya non-gaji yang tidak mengurangi pasokan material belajar.


3.4. Meningkatkan Efisiensi


Efisiensi dapat ditingkatkan di berbagai sistem pendidikan menengah. Ketika siswa putus sekolah, efisiensi akan terkena dampaknya karena kemampuan mereka yang tidak tuntas sekolah terkait dengan pendidikan menengah. Selanjutnya, jumlah tahun investasi yang diperlukan untuk menghasilkan lulusan sekolah menengah juga meningkat. Pengulangan (tidak naik kelas) juga tidak efisien (dan mungkin tidak adil) jika pengulangan tersebut menyebabkan tempat yang ditempati oleh mereka yang mengulang menjadi tidak bisa ditempati oleh mereka yang menunggu untuk masuk ke sekolah. Pada saat yang sama, tingkat pengulangan menjadi indikator efektivitas proses belajar mengajar. Tingkat pengulangan yang kadangkala dikendalikan oleh kebijakan pendidikan dapat ditekan dengan memastikan bahwa rasio murid-guru dan kelas-guru cukup layak, mengurangi ketidakhadiran guru, mengadopsi kurikulum dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal, dan meningkatkan waktu yang dimanfaatkan oleh siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah mereka.


Upaya juga perlu dilakukan untuk mengurangi guru ’hantu’ dari daftar gaji negara, memberikan insentif untuk meningkatkan hasil belajar dan aliran siswa melalui sistem pendidikan, dan memperbaiki sistem penempatan guru. Ketika guru dilatih untuk mengajar beberapa mata pelajaran, pemanfaatannya secara umum lebih tinggi jika dibandingkan dengan guru yang terspesialisasi untuk mengajar satu mata pelajaran. Pada kondisi tertentu sistem aplus ganda dapat diterapkan agar biaya dapat ditekan.


3.5. Meningkatkan Persamaan Hak


Pola pendidikan menengah harus berubah tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi namun juga untuk mendorong persamaan hak. Mereplikasi institusi dan praktek-praktek yang ada dengan tujuan untuk mengakomodasi jumlah murid yang lebih banyak sesungguhnya tidak efektif dari segi biaya dan juga tidak adil. Di negara-negara berkembang yang lebih miskin yang memiliki angka partisipasi sekolah menengah rendah, siswa sering berasal dari daerah kaya dan dari rumah tangga di daerah perkotaan. Institusi-institusi ini berakar dari institusi pra-kemerdekaan yang didesain untuk melatih para elit pegawai pemerintahan. Institusi-institusi tersebut cenderung sangat selektif, dengan praktek belajar mengahar dan kurikulum yang mengakomodasi kaum elit dan cenderung menarik biaya yang cukup mahal. Jurang gender yang cenderung ke arah laki-laki pada umumnya lebih terlihat di tingkat pendidikan menengah jika dibandingkan dengan pendidikan dasar (di negara-negara dengan GER2 tinggi jurang gender cenderung ke arah perempuan). Di banyak negara berkembang, banyak sekali penduduk yang tidak memulai atau tidak menyelesaikan pendidikan menengahnya. Kebanyakan mereka yang bertahan di sekolah berasal dari lingkungan yang baik dan berkecukupan. Oleh karena itu, pola belanja publik cenderung mengarah pada siswa-siswa ini, sehingga cara banyak negara dalam membiayai pendidikan menengahnya cenderung memperparah ketimbang mengurangi ketidakseimbangan kelas masyarakat.


3.6. Cost-Sharing


Uang sekolah membantu sistem sekolah mendapatkan kembali biaya memperluas akses pendidikan menengah. Kebanyakan negara mengantisipasi sedikit kontribusi, biaya pendidikan menengah dibebankan kepada siswa dan keluarganya bervariasi dari negara satu ke negara lain; kebanyakan sistem sekolah hanya menarik sejumlah kecil ... dari seluruh biaya yang dikeluarkan. Jika pendapatan cukup tinggi untuk memungkinkan penarikan uang sekolah yang cukup besar, opsi ini perlu dipertimbangkan—bersamaan dengan, tentu saja, perlindungan akses bagi keluarga berpendapatan rendah. Ketika partisipasi pendidikan menengah rendah dan permintaan melebihi kapasitas sistem sekolah publik, pendekatan berbiaya rendah agar tingkat partisipasi nasional meningkat dapat berbentuk subsidi kepada sekolah swasta.


Sekolah dapat meminta keluarga untuk berkontribusi untuk mengurangi biaya material belajar mengajar, meskipun tentu saja mereka harus sensitif terhadap harga yang dikenakan. Jika mereka memiliki otonomi atas dana yang mereka hasilkan, mereka dapat mengurangi biaya operasi dengan meminta kontribusi untuk biaya makanan dan asrama. Mereka dapat juga memperoleh pendapatan dengan cara menyewakan fasilitas yang mereka punya. Cost sharing dengan masyarakat lokal juga merupakan pilihan yang mungkin dilakukan. Sumbangan keluarga dan masyarakat akan bergantung pada kemampuan untuk membayar; mereka akan lebih tidak mungkin ketika pertumbuhan ekonomi terbatas, kemiskinan meluas dan kesempatan untuk memperoleh pendapatan langka. Selanjutnya, tentu saja, beberapa komunitas masyarakat telah banyak terlibat dalam pembiayaan sistem pendidikan dasar.


3.7. Bantuan Eksternal


Bantuan pihak luar atau eksternal dapat meningkatkan sumberdaya yang tersedia untuk sistem pendidikan menengah di negara berkembang. Di negara-negara dengan GER2 paling rendah dan dengan prospek pembiayaan domestik terendah, pinjaman dan hibah luar negeri dapat mengurangi biaya. Pinjaman dan hibah dapat membantu pembiayaan konstruksi atau akuisisi bangunan, pembelian peralatan, pengembangan kurikulum, produksi dan distribusi buku teks dan material belajar mengajar, pendidikan guru, dan peninjauan dan manajemen sekolah dan sistem sekolah. Donor tidak terlalu tertarik dengan pendidikan menengah dalam sepuluh tahun terakhir ini. Upaya keras perlu dilakukan agar permintaan akan pendidikan sesudah pendidikan dasar telah menjadi missing link dalam strategi pengembangan sumber daya manusia.


IV. Kesimpulan


Isu kualitas dalam pendidikan menengah adalah isu yang tidak akan pernah selesai, karena kualitas bukanlah sesuatu yang berhenti pada satu titik, melainkan berkembang dari satu titik ke titik lain. Pendidikan yang berkualitas pada hari ini akan usang dalam waktu 1-2 tahun mendatang. Hal ini yang menjadikan proses peningkatan kualitas menjadi semakin challanging. Masalah yang dihadapi Indonesia adalah, selama ini kita banyak terjebak untuk melakukan langkah politis (seperti penaikan persentase pendidikan pada APBN) dan teknis (buku online) daripada langkah strategis, yaitu langkah yang terpadu, saling terkait, dan dapat saling mengangkat kualitas pendidikan sebagaimana yang diharapkan.


Keterbatasan sumber-sumber pendanaan agaknya merupakan persoalan tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan menengah di Indonesia pada khususnya dan pendidikan pada umumnya. Pendanaan dapat muncul menjadi persoalan tersendiri apabila ketentuan 20 persen minimal tidak dipenuhi oleh Pemerintah Pusat. Keith Lewin dan Françoise Caillods memberikan peta jalan keluar yang cukup baik untuk diadopasi oleh Indonesia. Mereka mengajukan dua pendekatan, yaitu menerapkan (1) pendekatan pilihan-pilihan yang dapat mengurangi harga satuan dalam penyelenggaraan pendidikan menengah; atau (2) pendekatan pilihan-pilihan yang dapat meningkatkan efisiensi di sekolah menengah.


--ooOOoo--

11 November 2008

Penjelasan Ilmiah

Penjelasan Ilmiah
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

Berkenaan dengan cara pikir, Plato (427-348 SM) meyakini pandangan apriori (berpikir abadi, penuh pertanyaan mengapa), suatu cara pandang yang melahirkan metode deduktif. Sedangkan muridnya Aristoteles (384-322 SM) mengembangkan pandangan a-posteori, yaitu cara pandang bahwa tidak ada kebenaran ilmiah apabila tidak ada pengalaman ilmiah secara empiris. Aristoteles tetap mengakui Plato yang menyatakan bahwa kebenaran sudah ada sejak lahir, karena manusia sejak lahir sudah mempunyai rasio (sudah diatur Sang Pencipta).

Aristoteles memelopori penelitian ilmiah (scientific inquiry) yaitu pemahaman bahwa kemajuan akan ada jika didasarkan observasi. Observasi menjadi prinsip umum penelitian ilmiah. Aristoteles mengenalkan prinsip induksi tentang fenomena yang diperoleh dari premis-premis. Premis induktif hanya dapat disimpulkan bila disusun premis-premis deduktif (yang bersifat mutlak), karena premis induktif hanya bersifat kemungkinan. Penggunaan observasi dalam proses induktif akan memberikan penjelasan prinsip, sehingga dapat memperkuat penjelasan deduktif. Inilah latar belakang penjelasan saintifik.

Penjelasan saintifik adalah transisi dari pengetahuan tentang fakta tertentu menjadi pengetahuan tentang kemengapaan (why). Fakta tertentu tersebut akan menjadi ilmu jika telah mendapatkan penjelasan saintifik. Pada saat mencari penjelasan suatu fakta, maka muncul persoalan nilai (value judgement), apakah ilmu itu bebas nilai? Jawaban atas pertanyaan itu ditentukan sifat ilmunya. Ilmu bersifat bebas nilai ketika berada dalam fase penyelenggaraan dan mengusahakan untuk mendapatkan ilmu. Namun ketika fase penerapan dan menggunakan maka ilmu itu sudah mempunyai nilai. Kadar pembenaran ada pada ilmu kemanusiaan dan hal ini sangat sulit karena sangat terkait dengan apa yang dikembangkan, jika bermanfaat dalam penggunaan, maka ilmu akan bernilai positif tetapi sebaliknya apabila digunakan untuk misalnya membunuh manusia (bom atom).

Ilmu adalah bebas nilai, tetapi begitu digunakan baru mempunyai nilai. Salah satu bentuk ilmu adalah teknologi. Teknologi adalah cara adaptasi yang efisien dalam sistem dan mempunyai hasil. Tujuan berteknologi adalah mengubah cara hidup lebih praktis pada kehidupan nyata, membangun body of scientific knowledge yang digunakan secara efisien agar mampu beradaptasi (terhadap perubahan yang terjadi) sehingga hidup menjadi lebih baik. Teknologi juga bertujuan mengembangkan iptek. Pengembangan iptek mengandung tanggung jawab intelektual dan sekaligus tanggungjawab moral/sosial, misal dalam clonning GMO.

Lebih lanjut dibahas pula tentang sains. Sains adalah pengkajian/penterjemahan (ilmu) pengalaman manusia yang sifatnya teratur, sistematis, logis dan biasanya yang dikaji/dikembangkan adalah dunia fisik. Semua aspek pengetahuan diwujudkan dalam aplikasi metode saintifik (termasuk pengamatan, pengelompokan, perkiraan, dan interpretasi) menjadi ilmu pengetahuan misalnya agar masyarakat Indonesia melek mikir secara kognitif dalam mencari kebenaran. Pada saat melakukan pengkajian/penerjemahan ilmu, maka dilakukan penjelajahan (discovery), yaitu suatu upaya selalu mencoba dengan berbagai kesalahan (trial and error) yang pada akhirnya menemukan pemikiran-pemikiran yang berhubungan (relationship).

Discovery mendorong tumbuhnya kreatifitas, menguatkan intuisi (insight), dan pada gilirannya memperkuat hubungan inteligensi (kecederdasan) konkrit (khas binatang) dengan intelegensi abstrak (khas manusia). Penguatan hubungan dua jenis intelegensi itu mendorong percepatan proses evolusi pengembangan teknologi menjadi mature state of science. Discovery juga mendorong revoluasi pengetahuan menjadi lebih signifikan dan tidak tergantung waktu. Perkembangan teknologi terkadang berlawanan dengan kebudayaan. Meski demikian, juga dapat melahirkan kebudayaan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, mature state of science lebih lanjut membutuhkan pemetaan analisis sebagai ilmu murni atau sebagai ilmu terapan. Kadang-kadang, ilmu murni (ilmiah) bertentangan dengan ilmu terapan (perkembangan ilmu murni dalam pembangunan).

Ilmu pengetahuan pada akhirnya bukan sarana tetapi tujuan. Kegiatan ilmiah tidak pernah ditingkatkan sampai tahap cukup sampai dengan pendidikan atau mempersiapkan untuk mempraktekkan pengetahuan. Teori dan praktek tidak bertentangan --dalam hal ini jangan dilihat secara sempit -- karena tujuannya sama-sama membebaskan manusia dan sepanjang visinya tepat. Perkembangan teori dan praktek dapat menyebabkan pengembangan ilmu terapan akan semakin mendekati ilmu murni. Akhirnya ilmu sendiri tidak bersifat obyektif sepenuhnya (tergantung penciptanya akan digunakan untuk apa) sehingga akhirnya tidak bebas nilai sepenuhnya, karena pengembangannya dipengaruhi oleh sistem praksisi dan sistem ideologi.

Terdapat empat tahap penelitian ilmiah, yaitu (A) penelitian dasar teoritis. Misal pemahaman lengkap struktur dan sifat bagian materi serta unsur penyusunan inti; (B) penelitian dasar terarah untuk mengetahui kemungkinan penerapan. Misal: isotop; (C) penelitian terapan. Misal: isotop untuk ekologi agrikultur; dan (D) R&D, kemungkinan peneraoannya dikaji lagi. Ilmu terapan lebih lanjut (1) mengarah pada proses perubahan terarah sehingga tidak terbuang kadar ilmiahnya. Misal: matematika murni berbeda dengan matematika terapan (diferential dan statistik); (2) memadu dengan ilmu lain (biomat, ekonometrika, dinamika populer); (3) R&Dnya bermanfaat dalam praktek. Misal: operasionalisasi industri. Ilmu pengetahuan memberi sumbangan berarti dalam operasionalisasi penelitian ilmiah.

--ooOOoo--

Penelitian Ilmiah

Penelitian Ilmiah
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

Penelitian ilmiah adalah penelitian untuk mengetahui dimana dan bagaimana cara mencari sesuatu untuk ditangkap dari sudut ilmiah, termasuk sangkut paut dan watak ilmiah yang tersembunyi dibalik susunan yang runtut dari pengalaman ilmiah. Pemahaman mengenai keadaan saling berhubungan sistematik hanya dapat diperoleh setelah orang/peneliti melakukan penelitian ilmiah yang mendasar serta pengalaman ilmiah.

Metodologi dapat disebut sebagai siklus empirik untuk mendapatkan pengalaman ilmiah. Siklus ini mencakup lima tahapan, yaitu (1) observasi, (2) induksi, (3) deduksi, (4) kajian (berdasar eksperimen), dan (5) evaluasi. Siklus empirik adalah model yang secara berturut-turut disebutkan dalam tahap-tahap penelitian. Ketika melakukan penelitian ilmiah, peneliti harus memperoleh pengalaman. Hasil tangkapan akan mempunyai makna bila terdapat di dalam suatu kumpulan bahan yang saling berhubungan. Jangkauan tangkapan secara ilmiah menjadi berkali-kali lipat lebih besar apabila didukung serta diperluas oleh pemakaian berbagai alat.

Terdapat paham positivistik ekstrim yang berpandangan bahwa teori-teori behavioristik sebagai suatu penelitian ilmiah (deduktif apriori). Peneliti menetapkan fakta-fakta ketika peneliti menjadikan observasi. Sebaliknya observasi ilmiah senantiasa sudah terjadi dalam suatu konteks yang menuju pada keterarahan penelitian tertentu. Berhubungan dengan lebih berkecenderungan intuitif (Die Einfuehlung) menuju induktif yang a posteriori, berlaku cara observasi. Obesrvasi dalam tahapan ini lebih dari sekedar mengadakan pengamatan yang biasa.

Ilmu empirik memperoleh bahan (yang disaring, diselidiki, dikumpulkan, diawasi, diverifikasi, didaftar, diklasifikasikan,secara ilmiah) dari apa yang disebut “kenyataan empirik”. Observasi ilmiah mengusahakan obyektivitas (inter-subyektivitas). Pernyataan-pernyataan (proposisi-proposisi) disusun, protokol-protokol disimpulkan, dan dibuat pernyataan-pernyataan umumnya (induksi sebagai langkah lanjut sesudah observasi).

Ilmu deduktif, adalah ilmu yang berdasarkan pada penyelesaian masalah yang tidak didasarkan atas pengalaman dan tetapi didasarkan atas deduksi dalam penjabaran penalaran. Siklus empirik didahului kerangka acuan metodik dalam proses penelitian ilmiah dipertegas dengan hubungan timbal balik terdapat aturan-aturan kebijaksanaan terhadap bahan-bahan empirik.

Terdapat dua jenis pendekatan riset, yaitu generalisasi dan prediksi. Generalisasi merupakan upaya abstraksi dan mencari teori. Sementara prediksi merupakan upaya ekploitasi, eksplorasi, dan menguji hipotesis.

Ilmu pengetahuan tunduk pada ototentik terkait kemengapaannya (why) sebelum dijelaskan apa (what) dan bagaimana (how). Bagaimana terkait pendekatan yang digunakan dalam riset ilmiah (riset saintifik). Riset kuantitatif dibangun atas observasi empiris terkait dengan perbedaan factor dengan kesimpulan tentang fakta (inferensi). Disiplin mandiri diakui pada saat perilaku yang langsung dapat diamati sebagai objek penelitian ilmiah. Ciri referensi terletak pada penelitinya bukan pada subjek penelitiannya.

Proses inferensi mencakup aktivitas rasional penelitinya melalui penemuan yang langsung diamati secara tentativ dan disimpulkan. Kejadian yang tidak dapat diamati secara langsung (non observable event) dibuat dugaannya (hipotesisi tentang kejadian internal), dan bersifat ide rasional yang dikonstruksikan (arousial, yang membangkitkan).

Konstruk dibangun atas infernsi observasi kejadian perilaku tertentu yang dapat diamati sebagai dasar untuk meramalkan kejadian perilaku baru. Konstruk berhubungan dengan dua factor, yaitu (1) dijabarkan dari pengamatannya (observasinya), dan (2) dasar untuk meramalkan observasi lain dimasa yang akan datang. Konstruk membantu melihat dan menerjemahkan hubungan sementara (tentative) antara dua faktor. Konstruks disusun atas dasar observasi yang akan di-inferensi-kan secara tentative, kemudian disimpulkan.

Pengamatan suatu penelitian pada saat melaksanakan “perlakuan tertentu” akan dilakukan (1) sebelum perlakuan sesuatu; dan (2) setelah perlakuan tertentu. Penggunaan konstruk dimaksudkan untuk (1) menjelaskan hubungan antara dua perangkat observasi dalam proses saintifik dan (2) membedakan proses berfikir saintifik dari proses berfikir lain.

Perihal gerak interaktif antara teori empiris dan abstraksi rasional, dapat ditinjau sebagai berikut. Ilmuwan bergerak dari observasi ke konstruk dan dari konstruk ke observasi untuk memperhalus rumusan konstruk dan memprediksi observasi ke diskripsi terbatas menjadi penjelasan hubungan antar factor dan konstruk. Observasi interaktif sama dengan menjadikan model realistic menjadi model tentative.

--ooOOoo--

23 Oktober 2008

Berpikir Ilmiah

Berpikir Ilmiah

Oleh: Randy R. Wrihatnolo

Penelitian ilmiah adalah penelitian untuk mengetahui dimana dan bagaimana cara mencari sesuatu untuk ditangkap dari sudut ilmiah, termasuk sangkut paut dan watak ilmiah yang tersembunyi dibalik susunan yang runtut dari pengalaman ilmiah. Pemahaman mengenai keadaan saling berhubungan sistematik hanya dapat diperoleh setelah orang/peneliti melakukan penelitian ilmiah yang mendasar serta pengalaman ilmiah.

Metodologi dapat disebut sebagai siklus empirik untuk mendapatkan pengalaman ilmiah. Siklus ini mencakup lima tahapan, yaitu (1) observasi, (2) induksi, (3) deduksi, (4) kajian (berdasar eksperimen), dan (5) evaluasi. Siklus empirik adalah model yang secara berturut-turut disebutkan dalam tahap-tahap penelitian. Ketika melakukan penelitian ilmiah, peneliti harus memperoleh pengalaman. Hasil tangkapan akan mempunyai makna bila terdapat di dalam suatu kumpulan bahan yang saling berhubungan. Jangkauan tangkapan secara ilmiah menjadi berkali-kali lipat lebih besar apabila didukung serta diperluas oleh pemakaian berbagai alat.

Terdapat paham positivistik ekstrim yang berpandangan bahwa teori-teori behavioristik sebagai suatu penelitian ilmiah (deduktif apriori). Peneliti menetapkan fakta-fakta ketika peneliti menjadikan observasi. Sebaliknya observasi ilmiah senantiasa sudah terjadi dalam suatu konteks yang menuju pada keterarahan penelitian tertentu. Berhubungan dengan lebih berkecenderungan intuitif (Die Einfuhlung) menuju induktif yang a posteriori, berlaku cara observasi. Obesrvasi dalam tahapan ini lebih dari sekedar mengadakan pengamatan yang biasa.

Ilmu empirik memperoleh bahan (yang disaring, diselidiki, dikumpulkan, diawasi, diverifikasi, didaftar, diklasifikasikan,secara ilmiah) dari apa yang disebut “kenyataan empirik”. Observasi ilmiah mengusahakan obyektivitas (intrasubyektivitas). Pernyataan-pernyataan (proposisi-proposisi) disusun, protokol-protokol disimpulkan, dan dibuat pernyataan-pernyataan umumnya (induksi sebagai langkah lanjut sesudah observasi).

Ilmu deduktif, adalah ilmu yang berdasarkan pada penyelesaian masalah yang tidak didasarkan atas pengalaman dan tetapi didasarkan atas deduksi dalam penjabaran penalaran. Siklus empirik didahului kerangka acuan metodik dalam proses penelitian ilmiah dipertegas dengan hubungan timbal balik terdapat aturan-aturan kebijaksanaan terhadap bahan-bahan empirik.

Terdapat dua jenis pendekatan riset, yaitu generalisasi dan prediksi. Generalisasi merupakan upaya abstraksi dan mencari teori. Sementara prediksi merupakan upaya ekploitasi, eksplorasi, dan menguji hipotesis.

Ilmu pengetahuan tunduk pada ototentik terkait kemengapaannya (why) sebelum dijelaskan apa (what) dan bagaimana (how). Bagaimana terkait pendekatan yang digunakan dalam riset ilmiah (riset saintifik). Riset kuantitatif dibangun atas observasi empiris terkait dengan perbedaan factor dengan kesimpulan tentang fakta (inferensi). Disiplin mandiri diakui pada saat perilaku yang langsung dapat diamati sebagai objek penelitian ilmiah. Ciri referensi terletak pada penelitinya bukan pada subjek penelitiannya.

Proses inferensi mencakup aktivitas rasional penelitinya melalui penemuan yang langsung diamati secara tentativ dan disimpulkan. Kejadian yang tidak dapat diamati secara langsung (non observable event) dibuat dugaannya (hipotesisi tentang kejadian internal), dan bersifat ide rasional yang dikonstruksikan (arousial).

Konstruk dibangun atas infernsi observasi kejadian perilaku tertentu yang dapat diamati sebagai dasar untuk meramalkan kejadian perilaku baru. Konstruk berhubungan dengan dua factor, yaitu (1) dijabarkan dari pengamatannya (observasinya), dan (2) dasar untuk meramalkan observasi lain dimasa yang akan datang. Konstruk membantu melihat dan menerjemahkan hubungan sementara (tentative) antara dua faktor.

Pengamatan suatu penelitian pada saat melaksanakan “perlakuan tertentu” akan dilakukan (1) sebelum perlakuan sesuatu; dan (2) setelah perlakuan tertentu. Penggunaan konstruk dimaksudkan untuk (1) menjelaskan hubungan antara dua perangkat observasi dalam proses saintifik dan (2) membedakan proses berfikir saintifik dari proses berfikir lain.

Perihal gerak interaktif antara teori empiris dan abstraksi rasional, dapat ditinjau sebagai berikut. Ilmuwan bergerak dari observasi ke konstruk dan dari konstruk ke observasi untuk memperhalus rumusan konstruk dan memprediksi observasi ke diskripsi terbatas menjadi penjelasan hubungan antar factor dan konstruk. Observasi interaktif sama dengan menjadikan model realistic menjadi model tentative.

--ooOOoo--

17 Oktober 2008

Berpikir Sistem dengan Pendekatan “System Dynamics”

Berpikir Sistem dengan Pendekatan “System Dynamics”
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

“Berpikir kesisteman adalah sesuatu disiplin ilmu untuk melihat struktur yang mendasari situasi kompleks, dan untuk membedakan perubahan tingkat tinggi terhadap perubahan tingkat rendah. Tentu saja, berpikir kesisteman mempermudah hidup dengan membantu kita untuk melihat pola yang lebih dalam yang mendasari beberapa peristiwa dan detailnya (Senge, 1990).”

1. Pendahuluan

Jay W. Forrester pada tahun 1950an berambisi mengembangkan konsep dinamika sistem yang bertujuan untuk memperluas cakupan berpikir kesisteman terapan pada masalah yang lebih strategis. Forester percaya bahwa penelitian operasional (OR) mulai kehilangan sentuhan terhadap masalah-masalah riel yang dihadapi manajer karena OR lebih berkonsentrasi pada isu-isu taktis spesifik. Isu-isu taktis spesifik tersebut dapat dimodelkans secara matematis karena mereka melibatkan sedikit variabel yang saling berhubungan secara linier. Sementara itu, dinamika sistem memanfaatkan ilmu umpan balik, yang menggunakan kekuatan komputer digital modern, untuk membuka rahasia sistem non-linear yang kompleks dan bersiklus ganda. Sistem sosial termasuk dalam kategori sistem jenis ini dan dianggap tidak menimbulkan masalah spesifik dalam dinamika sistemnya karena dampak keputusan manusia pelakunya dapat dimodelkan berdasarkan aturan yang sama.

Forrester dan timnya, di Massachusetts Institute of Technology (MIT), telah melakukan semua pekerjaan dasar yang diperlukan untuk membangun dinamika sistem sebagai suatu pendekatan sistem terapan yang dahsyat dan dihormati. Seorang yang patut diingat adalah Petrus Senge, penulis buku “The Fifth Discipline (1990)”, sebuah buku yang telah mempopulerkannya. Tulisan ini mempromosikan dinamika system (diberi judul “Disiplin Ke-5”) sebagai kunci untuk menciptakan organisasi yang senantiasa belajar. Buku karya Senge menjadi best-seller di seluruh dunia.

2. Deskripsi Dinamika Sistem

2.1. Sejarah Perkembangan Dinamika Sistem

Forrester pada tahun 1956, adalah professor di Sloan School of Management di MIT yang mempunyai latar belakang ilmu komputer dan teknik pengendalian (control engineering). Forrester menjadi Direktur Program Dinamika Sistem di Sloan School of Management hingga tahun 1989. Pendekatan yang ia pelopori disebut “dinamika industri” dan dipublikasikan dalam Harvard Business Review pada tahun 1958 melalui artikel berjudul Industrial Dinamics: A Major Breakthrough for Decision Makers[1]. Lebih jauh, Forrester memperluas ruang-lingkupnya dan menamai kembali pendekatan tersebut dengan “dinamika system” (system dynamics). Beberapa judul buku Forrester dari tahun ke tahun mengisyaratkan dirinya untuk meningkatkan aspirasinya untuk mengembangkan dinamika sistem. Hal tersebut ditandai oleh penerbitan sejumlah bukunya berturut-turut berjudul Industrial Dinamycs[2] pada tahun 1961, Principles of Systems[3] pada tahun 1968, Urban Dynamics[4] pada tahun 1969, dan World Dynamics[5] pada tahun 1971.

Usaha Forrester untuk memahami cara kerja dunia sebagai sebuah system sebagaimana ditulisnya dalam bukunya berjudul World Dynamics dan buku sambungannya berjudul The Limits to Growth[6] (D. Meadows et al, 1972) ternyata mengundang sejumlah kontroversi. Forrester mengambil 5 parameter dasar untuk menggambarkan system dunia, yaitu populasi, sumberdaya alam, produksi industri, produksi pertanian, dan polusi. Forrester mempelajari perilaku dan interaksi-interaksi kelima hal tersebut. Forrester dan para mitra kerjanya menghasilkan suatu model yang menunjukkan bahwa pertumbuhan (ekonomi) pada tingka tertentu akan tidak dapat berkelanjutan. Agar supaya terhindar dari bencana yang disebabkan oleh polusi atau keletihan sempurna sumberdaya alam, maka sangat diperlukan membangun kesetimbangan global. Akibat konsep dalam buku tersebut, mereka kemudian dijuluki sebagai pedagang hari kiamat (doomsday-mongers).

Forrester, sesungguhnya, selalu melihat keberanian untuk belajar sebagai satu unsur yang penting di dalam dinamika sistem. Jika para manajer dapat mempelajari betapa komplek suatu sistem bekerja, maka para manajer dapat bertindak untuk memperbaiki unsur-unsur dalam sistem. Meski demikian, ciri utama pendekatannya adalah pengembangan yang dahsyat model simulasi berbasis computer yang dapat dicoba untuk memvalidasi perilaku system dunia yang nyata. Dewasa ini, pada sebagian komunitas dinamika system telah berkembang minat untuk menggunakan pendekatan tersebut untuk mengembangkan proses pembelajaran per orangan.

2.2. Filsafat dan Teori

Menurut teori dinamika sistem, sekumpulan variabel yang pada sistem yang kompleks menyebabkan terjadinya hubungan sebab-akibat dalam putaran umpan-balik, dimana semua variabel saling berinteraksi. Antar-keterhubungan sistemik dalam putaran umpan-balik menentukan struktur sistem, dan struktur inilah yang menjadi penentu utama dalam perilaku sistem. Sebagai contoh, suatu perusahaan dengan sukses meluncurkan sebuah produk baru ke pasar, dimana peluncuran tersebut mungkin membutuhkan dana segar yang cukup untuk membiayai kampanye iklan massal, menyebabkan penjualan meningkat, memberikan pendapatan lebih banyak, mengembangkan iklan yang lebih berani, dan sebagainya. Semua variabel tersebut berhubungan dalam sebuah putaran umpan balik yang menguat secara positif. Jika pada saat bersamaan produk berhasil merebut perhatian media, maka produk tersebut akan nampak lebih keren, sehingga penjualan produkl itu akan semakin meningkat dan mungkin akan menciptakan pemberitaan lebih besar. Putaran umpan-balik kedua didirikan mendukung putaran umpan-balik pertama, sehingga pertumbuhan permintaannya akan semakin besar sekali. Pada titik ini, tekanan pada proses produksi boleh jadi akan meningkat pesat dan boleh jadi akan menurunkan kualitas. Produk boleh jadi akan memperoleh reputasi buruk dan menyebabkan penjualan menurun. Suatu hubungan putaran umpan-balik negatif telah menjadi nyata dan bertolak belakang dengan putaran pertumbuhan semulanya. Tiga putaran umpan-balik, dan cara mereka melakukan interaksi, menyebabkan berkembangnya struktur system, dimana dalam kasus ini dapat menyebabkan kegagalan produk tersebut bertahan di pasar. Tujuan dinamika system adalah menjadikan manajer untuk lebih mudah memahami struktur sistem yang kompleks, sehingga pada mereka dapat memperkirakan kapan harus melakukan intervensi dan lebih lanjut dapat memastikan perilaku struktur sistem agar cocok dengan tujuan akhir mereka.

Untuk memperoleh pemahaman cukup tentang struktur, maka diperlukan 4 hal sebagai berikut: (1) menentukan batas-batas system, (2) membangun jaringan putaran umpan-balik, (3) menentukan variabel tingkat atau aliran, dan derajat atau simpanan, serta (4) menentukan titik-titik keuntungan (berdaya angkat).

Batasan system harus digambarkan dengan memasukkan seluruh interaksi penting dari semua komponen dan dengan mengeluarkan seluruh interaksi yang tidak berdampak baik pada perilaku. Gambar harus mengasumsikan bahwa seluruh perilaku dinamik yang penting muncul sebagai akibat dari interaksi semua komponen di dalam batas-batas system. Putaran umpan-balik dalam batasan system kemudian diidentifikasi, sifat-sifat putaran umpan-balik ini (positif atau negatif) disimpulkan dan antar-keterhubungan mereka digambarkan. Sub-struktur semua putaran dirinci untuk menjelaskan variabel-variabel “tingkat” atau “aliran” dan “derajat” atau “simpanan”. Derajat (level) adalah kuantitas sejumlah elemen yang telah terakumulasi dalam system dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Tingkat (rates) adalah hubungan-hubungan di antara elemen-elemen, dan seringkali merupakan akibat dari keputusan manajemen yang menyebabkan perubahan derajat (level). Sebagai contoh, dalam system penyimpanan (inventory) sederhana, tingkat pengolahan (manufacturing rate) dan tingkat penyaluran (delivery rate) bersama-sama akan menentukan apakah derajat simpanan (stock level) bertambah atau berkurang. Kompleksitas yang terlibat biasanya diperlukan pada titik ini untuk diwakili dalam sebuah model computer, dengan menggunakan salah satu bahasa program yang khusus dibangun untuk dinamika sistem. Simulasi ini akan mengungkapkan mana yang merupakan putaran umpan-balik dominant dan memprediksi dampak penundaan (penundaan yang dapat terjadi sewaktu-waktu) yang mungkin terjadi dalam system. Manajer dapat menguji-coba pengukuran dampak dari berbagai skenario intervensi yang dapat dilakukan. Mereka dapat mencari titik ungkit keuntungan pada seluruh area dalam system, yang mana mereka dapat melakukan tindakan langsung dalam rangka mewujudkan keuntungan maksimum dalam rangka mencapai tujuan mereka. Hal ini boleh jadi menuntut –sebagai contoh—memutus rantai-rantai yang ada atau menambahkan putaran umpan-balik baru.

Semain kuatnya komputer digital merupakan inspirasi utama bagi Forrester pada saat dia mengembangkan dinamika sistem. Sebagaimana disarankan di atas, dia percaya bahwa kompleksitas struktur dari berbagai macam system adalah sangat sulit ditangkap oleh pikiran manusia. Sejauh manusia menyadarinya, perilaku dinamis sistem seperti itu terlihat berlawanan dengan intuisi (counterintuitive). Sebaliknya komputer mampu mengusut interaksi-interaksi variabel-variabel yang tidak terhitung seperti itu dan melakukan langkah-langkahnya secara kompleks.

Senge (1990; Senge et al., 1994) telah mengidentifkasi sejumlah aspek counterintuitive dalam sistem kompleks dan mengangkat mereka ke dalam 11 Hukum Disiplin ke-5. Sebagai contoh, “Kesembuhan dapat lebih buruk dibanding penyakit”. Hal ini berarti jalan keluar yang mudah, yang nampak menawarkan proses penyembuhan segera, dapat menyebabkan kecanduan dan lebih jauh dapat membuat sistem lebih lemah dalam jangka panjang --sama seperti berbuat mabuk untuk merespon stres. Atau: “Sebab dan akibat tidak berhubungan erat pada suatu waktu dan ruang”. Hal ini menekankan kepada kita, bahwa kita harus berhati-hati, untuk menentukan hasil (outcome) sebagai akibat tindakan tertentu. Atau: “Tidak ada yang disalahkan”. Orang-orang cenderung dikritik akibat perilaku mana kita menentangnya, tetapi masalah nyatanya justru lebih disebabkan oleh sistem hubungan-hubungan dimana mereka ditempelkan. Jika kita menghindar menjadi budak kesalahpahaman, maka kita perlu melihat lebih dalam pola struktural yang dapat mengakibatkan permasalahan. Senge bersikeras bahwa dinamika system dapat menyediakan wawasan yang diperlukan dan memungkinkan kita untuk mempelajari tanggapan-tanggapan lebih yang sesuai.

2.3. Metodologi

Metodologi yang ditetapkan oleh Forrester (1961, 1971) untuk penerapan dinamika sistem dalam praktek secara langsung berasal dari filsafat dan teori pendekatan.
Langkah pertama, permasalahan yang dikhawatirkan para pengambil-keputusan dijelaskan dan variabel-variabel yang berdampak pada suatu masalah telah diidentifkasikan.
Langkah kedua, sebuah model putaran umpan-balik dikonstruksikan yang mengungkapkan hubungan-hubungan antar-variabel.
Langkah ketiga, mengubah hubungan-hubungan antar-variabel menjadi model matematika yang (atas dasar tingkat dan derajat) menangkap interaksi-interaksi dasar dalam sebuah system, dan menggunakan perangkat lunak yang dibuat khusus, dapat diubah ke dalam simulasi komputer.
Langkah keempat, model divalidasi dengan cara memperbandingkan antara perilakunya dengan aktivitas dunia nyata dan (jika korespondensi yang layak telah tercapai) dilakukan uji coba pada model untuk melihat bagaimana beberapa keputusan alternatif dapat memperbaiki kinerja.
Langka kelima (terakhir), menyusun rekomendasi yang dibuat berdasarkan bagaimana pembuat keputusan boleh mengubah situasi yang memungkinkan terjadinya perbaikan.

Forrester (1971) berpendapat bahwa metodologi ini mengombinasikan kekuatan pikiran manusia dengan kemajuan teknologi komputer. Pikiran manusia paling baik pada tahap awal ketika persoalan distrukturkan dan kreativitas diperlukan untuk mengidentifikasi beberapa variabel yang bersangkut-paut dan putaran umpan-balik yang mungkin. Komputer kemudian mengambil-alih untuk menguak konsekuensi yang tak terduga yang terbit dari kompleksitas dan perilaku dinamis suatu system. Pikiran manusia akan sampai pada miliknya sendiri ketika menjamin implementasinya.

Untuk memastikan dua aspek dinamika system memperoleh perhatian yang sama, Wolstenholme (1990) menyukai berpikir fase kualitatif dan kuantitatif sebagai suatu metodologi. Meskipun perpindahan ke fase kuantitatif lebih disukai apabila melakukan simulasi computer. Fase kualitatif dapat bernilai menurut caranya sendiri untuk menyatakan secara jelas pemahaman pembuat keputusan akan sifat-sifat system yang sedang diurusi. Wolstenholme bersiteguh bahwa para pembuat keputusan adalah pusat dari fase kualitatif. Dia juga bersikeras bahwa para pembuat keputusan seharusnya tetap terlibat pada setiap langkah kuantitatif. Hanya dengan cara inilah implementasi yang direkomendasikan dapat dijamin.

Sebuah pernyataan 5-tahapan metodologi dinamika system juga diusulkan oleh Maani dan Cavana (2000) –sangat berhati-hati menyertakan potensi belajar yang melekat sebagai pendekatan—sebagaimana dikuatkan oleh Senge. 5-tahapan metodologi itu adalah (1) menyusun penstrukturan masalah, (2) menyusun model putaran sebab-akibat, (3) penyusunan model dinamik, (4) penyusunan model dan perencanaan skenario, dan (5) melakukan pembelajaran organisasi dan implementasi.

Tiga tahap pertama di atas relatif rutin meskipun perhatian awal diberikan untuk mencoba mengidentifikasikan pola perilaku (atau pola dasar system menurut terminology Senge) dan titik ungkit pembalikan kunci. Sementara itu, dua tahap terakhir di atas adalah teknik baru yang digabungkan dan didesain khusus untuk mendorong proses pembelajaran. Fase 4 mengembangkan ide penggunaan scenario (mengujicoba berbagai strategi atas kondisi eksternal yang bervariasi) untuk memberdayakan para manajer. Fase 5 diperhatikan untuk memperpanjang proses pembelajaran antar-para pemangku kepentingan yang relevan, ketimbang hanya menghasilkan keputusan tertentu. Microworld (atau simulator penerbangan manajer) dikonstruksikan berdasarkan model simulasi. Mereka bersifat interaktif dan menyediakan para manajer dengan alat penghubung yang mudah dioperasikan dan mengizinkan mereka untuk mengadakan percobaan dengan model-model. Sebuah laboratorium pembelajaran (learning laboratorium) dirancang untuk melayani proses pembelajaran terstruktur dimana sekelompok manajer melibatkan dirinya dengan sebuah microworld, dan ini dipakai untuk memudahkan dan menyebarkan proses pembelajaran berbaur dalam organisasi.

2.4. Metode

Empat metode yang sering digunakan untuk mendukung berbagai tahapan metodelogi dinamika sistem adalah: (1) huruf rangkap bertanda atau diagram putaran sebab-akibat; (2) pola dasar sistem; (3) paket piranti-lunak simulasi komputer; (4) dunia mikro (microworld).

Pengidentifikasian putaran umpan-balik yang signifikan dan struktur hubungan sebab-akibat adalah pusat dinamika sistem untuk memahami perilaku sistem. Huruf rangkap bertanda dapat menolong karena ia adalah diagram putaran sebab-akibat yang dibubuhi keterangan untuk menunjukkan arah umpan-balik. Pada bahasan tentang Filsafat dan Teori terdapat contoh di Gambar 1 dalam bentuk huruf rangkap bertanda. Produksi baru sukses diluncurkan dan memesatkan tingkat penjualan hingga terjadi peningkatan pendapatan yang memungkinkan pengiklanan di media massa dan menimbulkan daya tarik menyenangkan bagi media massa, sehingga membuat sangat menggairahkan. Dua putaran umpan-balik positif (ditandai dengan tanda positif) yang menghasilkan hasil ini diproduksi karena adanya peningkatan pada semua variabel yang terlihat pada putaran yang menggiring terjadinya peningkatan berhubungan pada variabel mana menghasilkan dampak. Dalam huruf rangkap bertanda hubungan yang memproduksi perubahan pada arah yang sama (baik meningkat atau menurun) ditandai oleh simbol positif. Kita dapat melihat di Gambar 1, pada putaran umpan-balik positif, semuanya bertanda positif.

Timbul masalah untuk produk ini sebab saat tingkat produksi meningkat untuk memenuhi permintaan penjualan, kualitas menjadi menurun, begitu pula reputasi produk yang terkait dengan kualitas dan penjualan turut terkena imbasnya. Hubungan antara produksi dan kualitas ditunjukkan dengan tanda negatif untuk menampilkan fakta bahwa saat produksi meningkat kualitas menjadi menurun. Perlu dicatat bahwa hubungan antara kualitas, reputasi dan penjualan tetap ‘positif’ karena penurunan kualitas mengarah kepada penurunan reputasi kualitas dan kemudian penurunan reputasi penjualan. Tanda negatif antara produksi dan kualitas menghasilkan putaran umpan-balik negatif (yang ditunjukkan dengan tanda minus) yang saling mempengaruhi dua putaran pertumbuhan yang lain.

Jika ada intervensi apapun, maka hubungan ‘dominan’ antara putaran-putaran tersebut akan menentukan nasib produk. Sebagai contoh, jika produk menjadi sangat modis (fashionable), maka penjualan dapat terus meningkat karena kualitas produk dianggap kurang signifikan. Manajer cenderung ingin memastikan perolehan hasil yang diinginkan dengan melakukan intervensi tingkat tinggi—yang dapat dilakukan melalui kontak dengan media untuk memperkuat putaran tersebut atau dengan merekayasa ulang proses produksi untuk meningkatkan kualitas—sehingga putaran tersebut dapat dibelokkan menjadi positif. Mereka juga perlu waspada terhadap putaran umpan-balik negatif yang mungkin terjadi akibat timbulnya kompetisi baru yang tertarik dengan kesuksesan produk mereka atau akibat terjadinya perubahan dalam persepsi tingkat kemodisan produk tersebut.

Senge (1990; Senge et. al., 1994) telah mempelajari bagaimana memperkuat proses umpan-balik (positif) dan menyeimbangkan proses umpan-balik (negatif), bersamaan dengan fenomena ‘penundaan’ yang timbul saat dampak proses umpan-balik memerlukan waktu yang lama untuk dirasakan. Senge menyimpulkan bahwa dimungkinkan adanya identifikasi pola dasar sistem tertentu yang menunjukkan pola reguler tingkah laku akibat karakteristik struktural, yang pada akhirnya meningkatkan masalah manajemen. Begitu hal ini dapat dikuasai oleh manajer, menurut Senge, mereka membuka pintu kepada pemikiran sistem. Salah satu contoh adalah pola dasar ‘pembatasan pertumbuhan’, yaitu pola yang timbul akibat upaya memperkuat putaran pertumbuhan menimbulkan putaran negatif penyeimbang yang akan memperlambat sukses atau bahkan membalikkan situasi. Peluncuran produk yang sukses sebagaimana didiskusikan di atas, yaitu yang mengarah kepada kebutuhan tingkat produksi yang lebih tinggi sehingga meningkatkan masalah kualitas, menjadi salah satu contoh.



Pola dasar terkenal lainnya adalah ’pemindahan beban’, ’penyeimbangan proses dengan penundaan’, ’lawan akibat kebetulan’, ’pengurangan tujuan’, ’eskalasi’, ’sukses untuk orang yang sukses’, ’tragedi masyarakat jelata’, ’perbaikan yang gagal’, dan ’pertumbuhan dan kekurangan investasi’. Pola dasar ’pemindahan beban’ dapat diilustrasikan jika kita membayangkan suatu negara berkembang yang ingin meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Agar cita-cita tersebut dapat tercapai, negara itu mungkin memerlukan penyesuaian-penyesuaian fundamental terhadap ekonominya. Negara tersebut membutuhkan bantuan untuk memastikan tercapainya standar hidup yang layak. Bahaya yang dapat timbul adalah negara tersebut menjadi ’ketagihan’ bantuan sebelum ia menikmati keuntungan dari perubahan dalam ekonominya. Begitu ketagihan, negara tersebut kehilangan kapasitasnya untuk mandiri, ekonomi bukannya menguat namun akan melemah, dan ia menjadi sepenuhnya bergantung pada bantuan. Semua pola dasar ini dapat dengan mudah digambarkan menggunakan diagram putaran sebab-akibat. Contoh dapat dilihat pada Gambar 2. Jika manajer dapat belajar bagaimana mengenali pola dasar suatu sistem, mereka dapat mengurangi berbagai upaya yang mungkin saja sia-sia atau salah sasaran dan mengarahkan intervensi mereka pada upaya untuk mengenali perbaikan maksimum.


Ketika struktur umpan-balik suatu sistem dimengerti dan dituangkan dalam model, maka struktur tersebut dapat dijabarkan lebih jauh dengan membangun suatu simulasi komputer yang didesain untuk menggambarkan tingkah laku dinamis model tersebut. Tentu saja, ahli dinamika sistem yang ’serius’ melihat langkah ini sebagai langkah penting, yaitu untuk menyusun diagram putaran sebab-akibat. Pola dasar sistem merupakan suatu ’roda pelatihan’ untuk berpikir kesisteman (lihat Sterman, 2000). Membangun simulasi melibatkan bagaimana menentukan dampak sistemik dari berbagai putaran umpan-balik pada ’tingkat’ dan ’laju’ yang timbul dalam sistem. Diagram simpanan-dan-aliran (dimana simpanan adalah tingkat dan aliran adalah laju) dipakai untuk menggambarkan hal ini. Gambar 3 memperlihatkan beberapa simbol khas yang dipakai dalam diagram simpanan-dan-aliran. Tingkat simpanan bunga dalam hal ini adalah jumlah karyawan di suatu perusahaan. Ini ditunjukkan dengan ’bejana’ persegi panjang. Laju rekrutmen adalah aliran, ditunjukkan dengan suatu keran (valve), yang akan menambah jumlah karyawan. Terdapat aliran staf lain, yaitu staf yang keluar dari perusahaan, yang mengurangi ’simpanan’ jumlah karyawan. Karyawan direkrut dari suatu ’sumber’, ditunjukkan dengan awan, dan kembali kepada suatu ’tampungan’, yang ditunjukkan juga dengan awan, ketika mereka keluar. Dapat dikatakan bahwa banyak perangkat lunak yang ramah-pemakai telah tersedia yang memungkinkan konversi putaran sebab-akibat dan diagram simapnan-dan-aliran menjadi simulasi komputer yang canggih. Contoh perangkat lunak ini adalah DYNAMO, STELLA, ithink, DYSMAP, VENSIM dan POWERSIM.

Perangkat lunak tersebut juga memfasilitasi penciptaan dunia mikro atau simulator penerbangan bagi manajemen (lihat Morecroft dan Sterman, 1994). Perangkat lunak ini menampilkan panel kontrol yang menyembunyikan kekompleksan simulasi dan menampilkan sesuatu yang lebih terihat sebagai permainan (game). Manajer dapat mencoba keputusan yang berbeda-beda atas satu situasi yang mereka hadapi di dunia kerja dan melihat apa akibat yang dapat ditimbulkan oleh keputusannya itu. Harus diperhatikan bahwa dalam kondisi yang pas perlu didesain dengan baik untuk memaksimalkan keuntungan proses belajar ini. Kondisi ini disebut ’laboratorium pembelajaran’. Tujuannya adalah untuk memungkinkan kelompok manajer untuk mempertanyakan model mental mereka saat itu. Mereka sebaiknya mampu mengenali saling ketergantungan isu yang mereka hadapi dan untuk menggantikan penjelasan superfisial dari masalah-masalah mereka dengan suatu pengertian yang lebih sistemik.

2.5. Perkembangan Terakhir

Perkembangan terakhir dinamika sistem telah difokuskan pada kemampuan dinamika sistem untuk mendorong proses pembelajaran di organisasi.

Senge (1990) menganggap bahwa dinamika sistem—yang dinyatakan sebagai ’disiplin kelima’—sebagai alat paling penting yang harus dikuasai oleh suatu organisasi dalam upayanya menjadi suatu ’organisasi pembelajaran’. Hanya dinamika sistem yang mampu menampilkan struktur sistemik yang melandasi tingkah laku mereka. Namun demikian, penting untuk mendukung studi disiplin kelima ini dengan penelitian pada empat disiplin lainnya yang sama pentingnya dalam upaya penciptaan organisasi pembelajaran. Empat disiplin tersebut adalah ’penguasaan personal’, ’pengaturan model mental’, ’pengembangan visi bersama’, dan ’pembelajaran secara tim’. Penguasaan personal melibatkan individual dalam upaya mereka untuk secara terus menerus memperjelas dan memperdalam pengertian akan tujuan mereka sendiri. Disiplin pengaturan model mental menjadikan organisasi untuk terus mempertanyakan asumsi yang dipakai dalam menentukan pandangan umum yang mendasari tingkah laku mereka. Visi bersama membutuhkan penggalian visi masa depan yang dapat menginspirasi konsensus dan komitmen. Belajar secara tim, jika didorong dengan baik, memungkinkan suatu organisasi untuk memperoleh keuntungan dari sinergi pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Meskipun dinamika sistem lebih fundamental dibandingkan dengan semua ini dan dapat mempengaruhi mereka semua, keempat disiplin ini perlu pula didalami.

Karya Vennik (1996) yang terkait dengan pusat ’pengembangan model kelompok’ tentang integrasi model mental individual menyimpulkan bahwa setiap model pada awalnya menawarkan perspektif terbatas tentang proses sebab-akibat dalam kerja. Pendekatan yang diambil sangat bergantung pada keahlian fasilitator yang bertugas membantu kelompok untuk menjabarkan model awal ke dalam model dinamik yang menggmbarkan realitas sosial bersama dan konsensus tentang sifat masalah yang dihadapi. Seluruh anggota kelompok terlibat sejak awal sehingga hal ini dapat meningkatkan upaya pembelajaran secara tim dan menciptakan komitmen atas keputusan yang diambil.

Sterman (2000) menunjukkan masa depan yang cerah bagi dinamika sistem. Dinamika sistem berinteraksi, melalui teknologi komputer, dengan bidang seperti ilmu kompleksitas dan intelegensia artifisial, serta dengan bidang riset kualitatif yang terkait model mental, pembelajaran dan pengambilan keputusan strategis.

3. Dinamika Sistem dalam Aksi

Salah satu intervensi yang paling sering digunakan untuk menggambarkan kekuatan pendekatan dinamika sistem dilaksanakan oleh Kelompok Dinamika Sistem MIT bersama-sama dengan Hanover Insurance (lihat Senge dan Sterman dalam Morecroft dan Sterman, 1994; Maani dan Cavana, 2000; Cavaler dan Obloj, 1993). Kasus ini menunjukkan bahwa tindakan rasional yang diambil oleh manajemen untuk mereduksi biaya penyelesaian klaim dan mempertahankan kepuasan pelanggan sesungguhnya berakibat pada penurunan kualitas pelayanan dan peningkatan biaya penyelesaian (settlement cost). Studi dinamika sistem ini menunjukkan, melalui analisis putaran umpan-balik yang saling berinteraksi, secara tepat mengapa hal ini terjadi. Studi menyarankan langkah-langkah yang lebih tersembunyi namun lebih manjur untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Solusi tersebut mengarah pada pengembangan dunia-mikro dan laboratorium pembelajaran untuk menyebarluaskan hasil pembelajaran yang diperoleh dari perusahaan.

Hanover Insurance telah melakukan transformasi yang luar biasa pada tahun 1970-an dan awal 1980-an. Perusahaan ini menarik dirinya dari peringkat bawah industri asuransi dan menjadi pemimpin di bidang properti dan liabilitas. Dalam kurun waktu tersebut, Hanover Insurance tumbuh lebih cepat 50% jika dibandingkan dengan industri asuransi secara keseluruhan. Namun demikian, ia tidak dapat lepas dari berbagai masalah dan biaya tak terkendali yang mempengaruhi industri asuransi selama periode 1980-an. Premi asuransi mobil meningkat dua kali lipat dan menimbulkan serangan balasan dari publik, jumlah kasus produk liabilitas meningkat secara masif dan ukuran rata-rata klaim yang ditentukan oleh pengadilan meningkat lima kali lipat. Sangatlah mudah untuk menyalahkan penentu kebijakan, juri yang memihak, pengacara yang rakus, dan peningkatan kesadaran litigasi masyarakat. Namun para manajer senior di Hanover bertekad untuk melihat bagaimana praktek manajemen mereka berkontribusi pada situasi ini. Titik awal yang bagus adalah dari klaim yang ditangani oleh manajemen operasi, karena tingginya jumlah dan kekompleksan klaim memakan lebih dari 67% pengeluaran perusahaan.

Proyek dimulai dari suatu tim dari Hanover, yang terdiri dari wakil presiden senior bidang klaim dan dua dari bawahan langsungnya, bertemu secara reguler dengan peneliti MIT. Statement visi mereka menunjukkan keinginan untuk menjadi sangat unggul di antara organisasi klaim dan untuk memberikan pelayanan yang ’adil, cepat dan bersahabat’. Dari sini mereka menciptakan suatu gambaran (image) mengenai ahli penyesuai klaim yang ideal dan indikator kinerja yang harus mereka penuhi. Masalah yang kemudian dihadapi adalah bagaimana mencari jalan yang koheren dengan realitas ideal. Pada waktu itu terdapat banyak strategi sebagai kandidat, namun tidak saling berhubungan. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang lebih sistemik.

STELLA digunakan oleh tim Hanover untuk membangun model simulasi berbasis komputer. Model-model ini ditentukan dengan melihat realitas yang ada dan dimanfaatkan untuk melihat akibat dari strategi yang digunakan dan untuk mencari perbaikan yng diperlukan dalam praktek manajemen. Pertimbangan ahli dibutuhkan, bersama-sama dengan ’variabel lunak’ yang terlibat dan efek-efeknya. Model final yang terbangun sangat canggih dalam perlakuannya terhadap dinamika sistem dan benar-benar dimiliki oleh tim Hanover tersebut. Gambar 4 yang direproduksi dari Senge dan Sterman merupakan diagram sebab-akibat yang menggambarkan dinamika masalah.

Strategi Hanover yang implisit saat ini, dalam menghadapi tekanan dari meningkatnya klaim, ditampilkan dalam putaran produktivitas dan putaran minggu kerja dalam Gambar 5.4. Norma operasional bagi ahli penyesuai klaim hanyalah bekerja lebih cepat dan lebih keras. Kerja lebih cepat mengurangi klaim yang tertahan (pending) karena waktu yang dimanfaatkan per klaim menjadi lebih sedikit sehingga lebih banyak klaim dapat diselesaikan. Kerja lebih keras mendukung pengurangan klaim yang tertahan karena timbulnya efek produktivitas akibat jam kerja yang lebih panjang dan istirahat yang lebih pendek dan lebih sedikit. Dalam jangka pendek, ’perbaikan-perbaikan’ ini tampaknya bekerja dengan baik. Namun dalam jangka yang lebih panjang hubungan kerja lainnya menimbulkan konsekuensi yang tidak diharapkan. Konsekuensi ini pada awalnya tersembunyi akibat adanya ’keterlambatan’ (delay) yang menyebabkan masalah menjadi lebih rumit, bukannya mempermudah masalah. Hal-hal tersebut adalah contoh dari pola dasar ’perbaikan-perbaikan yang gagal’.
Keterangan untuk Gambar 4. Dinamika Sistem pada Proses Klaim di Industri Asuransi.

Putaran umpan-balik mengontrol penyelesaian klaim, dengan proses yang menyebabkan erosi penguatan sendiri akan kualitas dan menambah biaya penyelesaian. Anak panah menunjukkan arah penyebabnya. Tanda ( + atau - ) pada kepala panah menunjukkan hubungan yang berlawanan: tanda + berarti adanya peningkatan variabel bebas menyebabkan peningkatan variabel terikat, sedemikian hingga (suatu penurunan menyebabkan penurunan yang lain). Mirip di atas, tanda - menunjukkan bahwa peningkatan variabel bebas menyebabkan penurunan variabel terikat. Putaran positif yang berlawanan (ditandai oleh + pada pengenal putaran) menunjukkan proses penguatan sendiri (umpan-balik positif). Putaran negatif yang berlawanan (ditandai oleh - pada pengenal putaran) menunjukkan proses pengaturan sendiri (umpan-balik negatif).

Sumber: Senge dan Sterman (1994), direproduksi dengan ijin dari Productivity Press.

Konsekuensi yang tidak dinginkan dari bekerja lebih cepat ditunjukkan oleh putaran biaya penyelesaian sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4. Waktu yang lebih singkat dalam pengurusan satu klaim mengurangi kualitas penyelesaian, dan hal ini menyebabkan meningkatnya biaya penyelesaian. Waktu yang lebih sedikit untuk menginvestigasi dan menegosiasikan klaim mengakibatkan penyelesaian yang digelembungkan (inflated settlement) disetujui. Pelanggan lain menjadi tidak puas dengan jumlah waktu yang diberikan oleh ahli penyesuai klaim kepada mereka dan para pelanggan ini kemudian membawa masalah ini ke pengadilan. Ketika pilihan ini harus dihadapi, dokumentasi yang tidak layak mengakibatkan waktu persiapan yang lebih panjang dan hasil yang lebih buruk.

Konsekuensi yang tidak diinginkan dari bekerja lebih keras ditunjukkan dengan putaran kebosanan (burnout) dan putaran pergantian (turnover) dalam Gambar 4. Kerja lebih keras menimbulkan kejenuhan, penurunan kesehatan dan kebosanan staf. Hal tersebut berakibat negatif pada produktivitas. Kebosanan juga menaikkan pergantian staf. Hal ini berarti jumlah asesor menjadi lebih sedikit dan tekanan waktu yang lebih tinggi bagi staf yang tersisa.

Oleh karena itu, dengan adanya biaya penyelesaian yang tinggi, putaran kebosanan dan pergantian ini, perbaikan awal ini mendorong timbulnya konsekuensi yang tidak diinginkan dalam jangka waktu lebih lama yang menurunkan kualitas, meningkatkan tekanan waktu dan meningkatkan biaya. Karena umpan-balik ini tertunda dan penyebabnya tidak mudah untuk ditelusuri, manajemen cenderung bereaksi dengan lebih menggantungkan diri pada perbaikan awal ini. Dalam industri asuransi yang menghadapi biaya tak terkendali, dorongan untuk meminta para ahli penyesuai klaim bekerja lebih cepat dan lebih keras tampaknya tidak bisa dihindari. Usulan untuk menyelesaikan masalah dengan memperkerjakan ahli penyesuai klaim baru tampak aneh. Dalam istilah pola dasar, beban ini dipindahkan dari ekspansi kapasitas ke erosi kualitas.

Hanover, saat studi ini dilakukan, memiliki jumlah asesor per klaim terbanyak di industri asuransi. Namun demikian, karena tim Hanover telah terlibat sendiri dalam pengembangan model dan, melalui model tersebut, telah mampu mengenali interkoneksi yang menghasilkan tingkah laku yang tidak intuitif dari sistem penyesuaian klaim, mereka bersedia untuk melaksanakan satu-satunya solusi fundamental dari masalah ini. Hal tersebut, seperti ditunjukkan dengan putaran kapasitas dalam Gambar 4, adalah meningkatkan kapasitas para ahli penyesuai klaim. Masalah kualitas pelayanan dan meningkatnya biaya hanya dapat diatasi oleh Hanover dengan memperkerjakan ahli penyesuai klaim baru dan melatih mereka dengan baik.

Tantangan berikut dari proyek tersebut adalah memperluas pembelajaran yang diperoleh kepada seluruh perusahaan. Sebagaimana digambarkan sebelumnya, ada kecenderungan untuk menyalahkan faktor dari luar, dan bukan praktek manajemen internal. Lebih jauh lagi, dalam Hanover, tanggung jawab pengambilan keputusan tersebar secara merata. Jika diinginkan suatu perubahan fundamental pada tingkah laku perusahaan, penting bagi manajer yang memiliki pengaruh menerapkan kepada mereka sendiri tingkah laku yang tidak intutitif atas sistem proses klaim. Untuk mencapai ini, suatu laboratorium pembelajaran klaim, dengan melibatkan permainan simulasi komputer (atau simulator penerbangan bagi manajemen), perlu dikembangkan. Manajer dikenalkan kepada diagram putaran sebab-akibat dan dibantu untuk memikirkan variabel dan hubungan-hubungan yang terkait dengan sistem klaim. Desain permainan tersebut memastikan bahwa mereka didorong untuk menunjukkan secara eksplisit model mental mereka dan untuk menantang mereka ketika hasil strategi mereka menimbulkan hasil yang tidak sesuai dengan harapan mereka. Sebagai akibatnya, proses belajar ’putaran-ganda’ telah terfasilitasi.

4. Tinjauan Kritis Dinamika Sistem

Kekuatan sistem dinamik bergantung pada kekuatan klaim yang menyebutkan bahwa struktur adalah penentu tingkah laku sistem yang utama dan bahwa struktur dapat digambarkan dalam bentuk hubungan antara putaran umpan-balik positif dan negatif. Jika klaim ini dapat dibenarkan, maka dinamika sistem menjadi kerangka interdisiplin yang dapat menyatukan dan mampu melihat lebih jauh dari detail permukaan yang digambarkan oleh disiplin seseorang ke dalam pola yang lebih dalam dan benar-benar bertanggung jawab dalam menentukan tingkah laku. Dinamika sistem dapat membantu manajer mendalami kompleksitas dan turun tangan dalam menentukan perubahan dan memperbaiki sistem sosial.

Lagi, lama kelamaan timbul penjelasan menarik tentang permasalahan organisasi, berdasarkan tingkah laku sistem umpan-balik yang saling terkait. Masalah ini kemudian timbul: ketika kita mengobati gejala bukan memperbaikinya secara fundamental; ketika kita menjadi ketagihan oleh solusi mudah; ketika kita melupakan bahwa membutuhkan waktu untuk intervensi untuk menghasilkan sesuatu yang signifikan; ketiak kita mencoba mengubah sistem secara drastis bukannya mencari perubahan kecil yang dapat menghasilkan sesuatu yang besar; ketika kita menyalahkan orang lain atau kejadian di luar sistem bukannya melihat bahwa tindakan kita turut menyumbang pada hubungan yang menentukan tingkah laku sistem; dan seterusnya. Suatu pengertian yang mendalam akan sistem umpan-balik, dan pola dasar sistem disfungsional yang umum yang membantu manajer dalam menghadapi kekompleksan dan dalam mengambil keputusan yang lebih efisien dan manjur dalam rangka mencapai tujuan yang mereka inginkan.

Hal ini sering lebih dari sekedar kasus sebab model-model dinamika sistem membantu menunjukkan sesuatu yang tepat pada poin-poin kunci keputusan. Tindakan para pembuat keputusan ada dalam model-model tersebut, dan oleh karenanya mudah untuk menetapkan konsekwensi-konskwensi kebijakan kebijakan saat ini dan mencari alternatif-alternatif strategis. Hal ini mendahulukan penekanan pada pembelajaran bahwa secara terpisah yang dikemukakan dalam tulisan Senge. Manajer, tidak menyadari hubungan sistemik kontribusi dari tindakan mereka, yang cenderung akan bertindak dalam cara-cara yang memperburuk permasalahan yang ada. Jika mereka terlibat dalam banuban akibat model pengulangan yang telah berjalan, bagaimanapun, mereka menjadi sadar akan struktur-struktur mendasar saat kerja. Mereka lebih menginginkan pertanyaan model-model mental yang berkontribusi pada konsolidasi kerusakan pola-pola dasar.

Memadukan kekuatan wawasan teoretikal tersebut dengan kemajuan metodologi, model kuantitatif, simulasi komputer dan paket-paket software, dan banyak yang lainnya untuk mendukung argumen bahwa dinamika sistem telah mencapai ambisi Forrester pada sistem berpikir membuatnya lebih dapat diterapkan dalam (penyelesaian) masalah-masalah stategis.

Para pengkritik, bagaimanapun (Keys, 1991; Flood and Jackson, 1991; Jackson, 2000), harus sedapat mungkin menjadi perhatian. Bagi mereka yang bekerja dalam disiplin yang spesifik dan terlatih dalam metode scientific, dinamika sistem nampak tidak tepat dan kurang kaku. Kadangkala, dinamika sistem tampak sebagai pijakan untuk membangun model-model mereka tanpa melakukan persiapan diri terlebih dahulu. Mereka mudah mengabaikan teori-teori yang ada di lapangan tempat mereka bereksplorasi. Pada waktu yang lain, jika data tidak cukup diketahui tentang sebuah wilayah perhatian, mereka tinggal bersiap-siap membajak, membangun model mereka tanpa peduli untuk mengumpulkan semua data-data yang relevan lainnya yang dianggap sebagai esensi. Penghakiman, daripada penelitian ilmiah yang memadai, selalu mengisi kesenjangan. Kliam Forrester, pada awal 1970-an, yang kita tahu cukup untuk membuat model-model sistem sosial yang berguna, berbau arogan.

Karya Senge dapat terlihat tidak ilmiah, meskipun pada sebagian orang lain dapat bekerja dalam dinamika sistem. Forrester telah bereaksi menentang tendensi dalam Operational Research (OR) untuk mengurangi managemen science pada jumlah terbatas model-model matematis. Senge terlihat mengulangi kesalahan dalam meyakini bahwa kunci permasalahan managemen dapat dicari menggunakan perangkat terbatas sistem pola dasar. Forrester bersikeras bahwa simulasi komputer yang tepat (kaku), dirancang untuk mengusik perilaku counterintuitive pada sistem sosial, adalah pokok dari dinamika sistem. Senge, kemudian, muncul untuk membantahnya, sebagai inti sebuah pendekatan, yang para manajer belajar tantang umpan-balik hubungan (relationships).

Jika model-model dinamika sistem tidak tepat, kemudian mereka tidak dapat memberi prediksi keadaan sistem masa depan yang akurat dan, oleh karenanya, akan terbatasi kegunaanya pada para pembuat keputusan. Kritik ini diperkuat jika kita serius mendalami hasil kekacauan dan kompleksitas teori (lihat Bab 7). Teori kompleksitas menegaskan pada efek “butterfly”—ide bahwa perubahan-perubahan kecil dalam permulaan kondisi sistem dapat mengubahnya perilaku dalam arti luas dengan sangat signifikan. Jika dinamika sistem tidak mempunyai serapan akurat pada permulaan kondisi atau pada dampak yang pasti dalam perbedaan variabel-variabel yang relevan yang dimiliki satu dengan yang lainnya, kemudian klaim untuk membuat prediksi akurat pasti muncul tidak masuk akal. Hal ini dapat diilustrasikan ketika kita mengambil permisalan Cavaleri dan Obloj (1993), akibat perputaran garis batas diagram hubungan sistemik seharusnya menentukan masa depan arah perpolitikan Rusia. Menggunakan diagram ini, pembasa diajak untuk bersugesti dengan enam skenario yang kemungkinan besar bisa terjadi: “pemerintah yang kacau”, “kembali pada komunisme”, “negara (besar) Rusia”, “menjajah Chili”, “demokrasi sosial ala Eropa”, atau “New York on The Volga”. Saya tidak mengerti, menggunakan diagram tersebut” bagaimana setiap orang dapat mencoba menjawab pertanyaan ini.

Kritik lain pada dinamika sistem melihat pada teori, methodologi, dan metode tidal cocok dengan pokok persoalan yang menadi konsentrasinya. Pada kritik-kritik tersebut, manusia, melalui tujuan mereka, motivasi dan aksi, membentuk sistem-sistem sosial. Jika kita ingin belajar tentang sistem sosial, kita harus memahami interpretasi subjektif dunia dimana aktor sosial individu bekerja. Struktur sosial muncul melewati proses negosiasi dan renegoisasi makna. Dinamika sistem menafikan point tersebut saat mencoba untuk mempelajari sistem sosial secara objektif, dari luar. Dan (ketika) pada percobaan menangkap realitas kompleksitas sosial menggunakan bangunan model proses-proses umpan-balik (feedback), dinamika sistem hadir sendiri dengan tugas yang mustahil.

Maksud para pengkritik, dinamika sistem, raison dӐtre yang mau mengambil kompleksitas utama, adalah sebagai pelaku begitu banyak penyederhanaan. Hal ini mudah untuk ditunjukkan, menggunakan diagram feedback sederhana, yang meemberikan bantuan pada pengembangan negara bukanlah solusi jangka panjang pada persoalan-persoalan ekonominya (untuk mendapat permisalan kita terlebih dahulu), bahwa menambah rekruitmen polisi dapat jadi bukanlah jalan terbaik mengurangi kejahatan, bahwa manambah ruas jalan mungkin tidak melancarkan kemacetan jalan, bahawa dengan menekan biaya bukanlah solusi terbaik bagi merosotnya keuntungan. Namun, pengalaman saya, masalah-masalah tersebut sangat menerangi bagi pembuat keputusan aktual, yang sadar betul akan banyak hal pragmatis, budaya, etika, dan faktor-faktor politik yang mencegah mereka berbuat dalam cara yang rasional yang ditentukan oleh dinamika sistem. Tidak ada dari permasalahan tersebut yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah oleh dinamika sistem. Beberapa permasalahan manajemen menjadi semudah pola-dasar sugesti Senge.

Penekanan dinamika sistem pada pemehaman objektif struktur sisten sosial yang mendasari, dan pengabaian relatif subjektifitas, memiliki konskwensi tersendiri. Sedikit perhatian diberikan kepada ragam tujuan bahwa aktor sosial yang berbeda akab melihat sistem sosial dalam porsinya. Ada tendensi, dalam kasatuan fashion, untuk mengartikan bahwa tujuan telah disepakati atau, dengan cara yang dipaksakan, untuk membenarkan objektivitas pembuat keputuasan yang berkuasa. Dan dinamisasi sistem kadangkala dapat berkontribusi pada pelebaran paten stakeholder lain jika mereka menghadirkan diri sebagai teknisi elit yang mampu menyajikan perhitungan objektif sifat dasar sistem sosial.

Kita dapat melihat debat yang telah kita uji satu persatu yang melekat pada paradigma fungsiona dan paradigma interpretatif. Dinamika sistem, meski menekankan pada bentuk-bentuk mental dan pembelajaran, pada dasarnya berfungsi alami. Melihat struktur sistem sebagai kekuatan penentu dibelakang sistem perilaku dan mencoba memetakan struktur tersebut dalam bentuk hubungan diantara umpan-balik pengulangan. Maksudnya adalah untuk memprediksi dengan baik perilaku sistem sosial sehingga para manajer dapat mengontrolnya. Memperbaiki pencarian tujuan, atau setidaknya menjamin terjaganya stabillitas sehingga dapat tercapai tujuan ke depan. Penunjuk rasional dibalik sistem pendekatan lainnya—eksplorasi tujuan, pemastian kejujuran, dan mempromosikan keberagaman—mendapatkan lebih sedikit dukungan. Karya Senge (1990) dan Vennix (1996), benar adanya, bingkai pendekatan paradigma interpretatif dan perhatian yang lebih dengan memastikan saling mamahami melalui pemecahan masalah kelompok. Bila dinamika sistem bersandar terlalu jauh pada arah ini, bagaimanapun, beresiko meringankan klaim perhatian kita, berasal dari anggapan tokoh fungsionalis bahwa sesuatu dapat menemukan tata-hukum yang memerintah sistem perilaku. Jika manusia bebas membangun sistem sosial semau mereka, alangkah akan (begitu) menentukan pengaruhnya pada struktur sistem yang ada? Dan betapa percaya dirinya kita akan kekuatan kausalitas analisis umpan-balik guna memprediksi sistem perilaku? Ketegangan antara keleompok determinism dan free will (kehendak bebas) ini tidak akan pernah terselesaikan, misalnya, karya Senge, (dan) memakan kredibilitasnya sendiri. Dinamika sistem patut menjadi perhatian kita, harus menjelaskan aspirasi fungsionalnya. Dengan kata lain, dapat menjadi lebih mudah sebagai sebuah sistem pendekatan (approach) halus dibawah naungan teori.

Kelompok fungsionalis yang mendekung dinamika sistem membedakan beberapa hal dari fungsionalism sistem berpikir keras dalam menggandeng para strukturalis daripada epistemologi positivis. Ini berarti, klaimnya pada pengetahuan yang memberikan akses pada struktur yang mendasari yang menentukan sistem perilaku daripada tampilan permukaan yang, telah teruji logis, menjelaskan apa yang terjadi. Kepercayaan akan keberadaan pola dasar yang mengendalikan permukaan kejadian, dan kemampuannya untuk menemukannya, memberikan dinamika sistem kemampuan untuk memotong kompleksitas yang nyata. Hal inilah, kenapa pendekatan mengklaim dapat menjadi lebih luas cakupan (yang dimiliki) dan lebih kuat daripada sistem berpikir keras (hard system thinking).

Wilayah yang luas konsep sistem bekerja dalam dinamika sistem kemudian dalam hard system thinking. Gagasan semisal stok (cadangan) dan arus (distribusi), pengaruh (umpan-balik) positif dan negatif, kausalitas umpan-balik, struktur, perilaku dan pembelajaran ditambahkan pada ide-ide sistem, sub-sistem, hirarki dan batasan. Ada banyak lagi orienasi dinamis, yang sampai pada perubahan dan transformasi, mengumpamakan dominasi melampaui kiasan mesin dalam dinamika sistem—meski beberapa hal menusuk arah keseimbangan mekanis. Budaya kiasan adalah permulaan asumsi kepentingan yang lebih besar, namun meninggalkan peran-peran pendukung (lainnya). Metafor yang menetiberatkan pada signifikansi hubungan lingkungan atau permainan politik dan kekuasaan tidak dapat dipakai.

5. Nilai Dinamika Sistem Bagi Para Manajer

Dengan menggunakan berpikir kesisteman yang sulit, para manajer membutuhkan pertolongan tenaga ahli dalam rangka memperoleh yang terbaik dari pemanfataan dinamika system. Meski demikian, adalah sangat berharga untuk mengikuti pola dimulai dari bab terdahulu dengan mencoba mengambil 5 pelajaran dimana para manajer dalam mempelajari dengan mudah dari dinamika sistem yang pasti bermanfaat bagi pekerjaan mereka.

Pertama: mempelajari sesuatu di luar yang nampak di permukaan. Hal ini penting untuk melihat pola putaran umpan-balik yang tersembunyi namun ternyata menentukan perilaku sistem.

Kedua: memahami bagaimana putaran umpan-balik berinteraksi sehingga menyebabkan perilaku sistem. Hal ini dapat menginformasikan cara kerja apara manajer. Misalnya, mereka mejadi lebih sadar akan bahaya konsekuensi yang tidak diharapkan, gejala-gejala yang mengancam ketimbang penyebabnya, pentingnya penundaan, etc.

Ketiga: manajer perlu menghargai bahwa sistem kompleks sering berperilaku cerdik dan tak terduga. Penting meluangkan waktu untuk mencari intervensi lebih kecil. Jika tidak, manajer harus memindahkan perubahan mendasar.

Keempat: dinamika sistem mendukung kesimpulan “tiada seorang manusia pun berada di pulau”. Menyalahkan lingkungan atau orang lain akibat terjadinya suatu permasalahan adalah tidak baik. Keputusan kita adalah bagian dari seperangkat hubungan yang diberikan untuk menghadapi kesulitan yang kita hadapi.

Kelima: model dinamika sistem, simulator penerbangan manajemen, dll dapat membantu manajer menghargai hubungan sistemik dimana mereka terlibat dan dimana keputusan mereka dikontribusikan. Mereka mengajari manajer bahwa mereka sering mengubah pemikirannya secara radikal sebelum perbaikan dapat mungkin terjadi. Pembelajaran berulang melibatkan model perubahan mental penting untuk menyukseskan praktek manajemen.

6. Kesimpulan

Keuntungan buat Manajer à Pendekatan dinamika sistem memberikan pengertian yang mendalam bagi para manajer dalam berbagai keadaan.

Jalur keilmuan jelas à Dinamika sistem merupakan kelanjutan tingkatan vertical, dimensi sistem-sistem SOSM (System of Sistems Methodologies). Pendekatan ini manawarkan kemungkinan keberhasilan ketika berhadapan dengan kompleksitas sistem ketimbang berpikir kesisteman yang kaku.

Dinamika sistem dapat digabungkan dengan pendekatan sistem yang lain à Senge memberikan label berpikir kesisteman (systems thinking) untuk dinamika sistem yang secara halus berada dalam domain pendekatan sistem (systems approach)à Hal ini sebenarnya terlalu dipaksakan. Dinamika sistem sebagian mempunyai kemampuan terbatas namun akan sangat bermanfaat apabila digabungkan dengan pendekatan sistem yang lain.

Dinamika sistem masuk ke dalam ranah pendekatan lain à Penggagas dinamika sistem telah melangkah jauh melampaui kelompok fungsionalisme beresiko kehilangan hubungan dengan kompetensi inti-nya dan masuk dalam medan berkompetisi dengan para ahli berpikir kesisteman yang telah dalam waktu lama mengeksplorasi paradigma lain dan telah mengembangkan metodologi dan metode yang sesuai dengan paradigma tersebut.

Kombinasi antara dinamika sistem dengan pendekatan sistem yang lain à Daripada percaya bahwa dinamika sistem dapat melakukan segalanya, maka lebih baik para ahli berpikir kesisteman cenderung mengkobinasikan kekuatan dinamika sistem dengan pendekatan sistem yang lain yang telah dipelajari agar lebih baik.


--ooOOoo--

Referensi

Cavaleri, S. and Obloj, K. (1993). Management Systems: A Global Perspective. Wadsworth, Belmont, CA.
Flood, R.L. and Jackson, M.C. (1991). Creative Problem Solving: Total Systems Intervention. John Wiley & Sons, Chichester, UK.
[1] Penerjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah “Dinamika Industri: Suatu Terobosan Untuk Para Pembuat Keputusan”.
[2] Penerjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah “Dinamika Industri”.
[3] Penerjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah “Dasar-dasar Sistem”.
[4] Penerjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah “Dinamika Perkotaan”.
[5] Penerjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah “Dinamika Dunia”.
[6] Penerjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah “Batas-batas Pertumbuhan”.