21 Juli 2008

Efektifkah Kebijakan Pro-Poor?

Opini:
Efektifkah Kebijakan Pro-Poor?
oleh: Randy R. Wrihatnolo

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 menargetkan persentase penduduk miskin (P0) tahun 2009 pada level 8,19%. Artinya, dengan dasar garis kemiskinan tahun 2005 konstan dan pertumbuhan penduduk di kisaran 1,3% per tahun, maka jumlah penduduk miskin secara akumulatif harus berkurang minimal 13 juta jiwa.

Target RPJMN memacu Pemerintah meningkatkan pelayanan publik dan pembangunan kepada penduduk miskin (pro-poor policy). Program yang dianggap penanggulangan kemiskinan (PK) diindikasikan oleh program-program yang memihak rakyat miskin (pro-poor) seperti program stabilitas harga bahan kebutuhan pokok untuk rakyat miskin; program ekonomi produktif skala mikro; program pemberdayaan masyarakat; program perluasan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar; serta program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Sayangnya, belanja publik untuk program-program PK belum mampu mencapai target P0 tahunan on-track.

Anggaran PK vs P0

RPJMN secara tahunan dijabarkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKP 2004 (tahun awal RPJMN) menganggarkan Rp 18 triliun untuk PK sehingga P0 membaik dari 16,7% menjadi 15,9%. Namun P0 2006 membengkak menjadi 17,8% meski anggaran PK dalam RKP 2005 meningkat menjadi Rp 23 triliun. Salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga BBM di tahun 2005 yang mendorong inflasi sejumlah komoditas yang sensitif untuk orang miskin.

Pemerintah merespon P0 yang meninggi itu dengan menganggarkan Rp 42 triliun dalam RKP 2006 termasuk untuk program subsidi langsung tunai (SLT). P0 2007 pun berhasil turun menjadi 16,6%. Keberhasilan ini meyakinkan pemerintah dan menaikkan anggaran PK menjadi Rp 51 triliun dalam RKP 2007 dengan harapan P0 2008 turun menjadi 15%. Sementara itu untuk RKP 2008 telah dianggarkan sekitar Rp 59 triliun dan sekitar Rp 81 triliun untuk RKP 2009 dengan target P0 10%.

Artinya jumlah penduduk miskin per 2008 harus berkurang sekitar 3-4 juta orang (sekitar 2%). Hal ini tentu amat sulit karena status mereka sampai akhir 2008 harus dipertahankan agar tidak miskin. Apabila tidak dilakukan, maka mereka akan miskin lagi dan tetap menjadi beban tahun 2009. Sementara itu, untuk menurunkan P0 2009 menjadi 10%, maka 11 juta orang harus menjadi tidak miskin lagi sampai pertengahan tahun 2009. Beban target 2009 akan jauh lebih sulit dibanding tahun 2008. Beban bertambah berat bila persoalan kenaikan harga minyak mentah dan krisis pangan global berkepanjangan hingga akhir tahun 2008.

Evaluasi atas sejumlah program PK yang sedang berjalan menunjukkan adanya ketidakefektifan pelaksanaannya. Sehingga diduga, gelontoran anggaran dan berbagai program yang ada itu tidak efektif menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan PK dianggap tidak efektif karena kurang memperhitungkan faktor yang mampu menyebabkan peningkatan kesejahteraan orang miskin.

Penyebab Kebijakan PK Tidak Efektif

Ketidakefektifan kebijakan PK disebabkan enam persoalan utama. Pertama, adanya perbedaan penafsiran tentang PK. Tiap kementerian/lembaga (K/L) mempunyai konsep sendiri tentang PK yang menyebabkan tiap K/L mempunyai mekanisme dan sasaran masing-masing. Tidak ada kesatuan tujuan yang bermanfaat pada satu sasaran yang sama. Sehingga sulit diperkirakan berapa jumlah orang miskin yang terlayani program-program PK.

Kedua, tiadanya ketegasan lokasi kantong kemiskinan. Apabila kantong kemiskinan tidak ditetapkan dan disetujui K/L yang mempunyai program PK, maka dengan mudah terjadi ketidakfokusan pemanfaatan hasil pelaksanaan program oleh orang miskin. Penentuan lokasi dengan batas satuan wilayah terkecil (misalnya kecamatan) sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan PK. Ada kesan pengaplingan lokasi lebih menonjol daripada pembagian tugas sesuai tugas pokok dan fungsi tiap K/L.

Ketiga, kerancuan penentuan sasaran pemanfaat. Program PK di setiap K/L merupakan instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan orang miskin. Harus dijelaskan siapa orang miskin dimaksud dan apa unitnya sebagai sentral peningkatan kesejahteraan? Masyarakatkah, keluargakah, atau individukah? Paling tepat adalah keluarga (sebagai inti dari masyarakat suatu wilayah). Manfaat diukur dengan peningkatan kesejahteraan keluarga.

Keempat, ukuran output kebijakan PK sulit didefinisikan sebagai puncak piramida dari semua output program/proyek PK. Program-program PK yang tertera dalam RKP 2007 dan 2008 sangat jelas menggambarkan ketidaksatuan tujuan output kebijakan PK yang ingin dicapai.

Kelima, manfaat yang diperoleh orang miskin dari suatu program PK seringkali kurang dari ukuran garis kemiskinan di daerahnya. Terdapat program PK yang mendeliver manfaat kepada orang miskin dalam bentuk kegiatan kontruksi –misal pembangunan jalan—dimana upah yang diterima orang miskin itu selama masa konstruksi jauh di bawah garis kemiskinan apabila dihitung 1 tahun.

Keenam, terdapat beberapa program PK tidak memperhatikan ”daya tahan kesejahteraan” yang mampu dinikmati orang miskin yang pernah terlibat dalam suatu program PK. Artinya setelah program selesai, orang miskin kembali miskin. Perlu proses pendampingan untuk mendorong orang miskin agar selama pelaksanaan dan setelah program selesai dapat mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan dan tetap sejahtera.

--ooOOoo--

Refleksi Dampak Pemberdayaan Masyarakat Dalam Menanggulangi Kemiskinan

Refleksi Dampak Pemberdayaan Masyarakat Dalam Menanggulangi Kemiskinan
oleh: Randy R. Wrihatnolo

I. Pendahuluan

Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya. Kemiskinan telah menjadi masalah yang kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran. Lebih dari itu, kemiskinan merupakan masalah multidimensi, karena sebab dan akibatnya saling secara komprehensif dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kemiskinan juga meliputi masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Gejala kemiskinan dapat terjadi pada skala individu (seseorang), pada suatu komunitas/masyarakat, pada suatu daerah, bahkan pada suatu bangsa.

Isu-isu kemiskinan sering disimbolisasikan dengan fenomena sosial. Meski terkadang fenomena itu tidak begitu tepat menggambarkan persoalan kemiskinan yang sesungguhnya. Namun apabila kita menelaah seluruh simbol kemiskinan, maka barangkali kita dapat menemukan arah persoalan kemiskinan yang ada. Persoalan kemiskinan digambarkan oleh fenomena (1) kepemilikan aset yang rendah; (2) terbatasnya akses masyarakat terhadap prasarana dan sarana dasar seperti transportasi, komunikasi, informasi, pasar, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan; (3) kelompok miskin tidak berdaya dan diam karena tekanan faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya; (4) rendahnya keterlibatan dalam kegiatan ekonomi produktif; (5) rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; (6) sistem pemerintahan yang kurang baik telah mengakibatkan ketidakberdayaan dan pemiskinan; (7) bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, kekeringan dan lain sebagainya; (8) pelaksanaan otonomi daerah dalam masa transisi telah menyebabkan terjadinya mis-managament dan penyimpangan mulai dari aras nasional sampai di aras paling bawah sistem pemerintahan; dan (9) kebijakan pembangunan pada masa lalu dirasakan belum berpihak kepada kelompok miskin (pro-poor policy), khususnya dalam kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam maupun sistem keuangan.

Isu-isu tersebut selalu ditanggapi dalam bentuk kebijakan, baik kebijakan baru maupun penyempurnaan atas kebijakan lama. Salah satu respon datang dari pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla yang menafsirkannya dalam bentuk kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin . Salah satu pilar kebijakan penanggulangan kemiskinan terpnting adalah pemberdayaan masyarakat. Kebijakan pemberdayaan masyarakat dianggap resep mujarab karena hasilnya dapat berlangsung lama. Isu-isu kemiskinan pun senantiasa cocok diselesaikan akar masalahnya melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat. Isu-isu tersebut bahkan dinyatakan dapat diatasi apabila intervensi pemerintah dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat.

Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007), ada tiga tahapan proses pemberdayaan. Proses pertama, penyadaran dengan target, yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka punya hak untuk mempunyai sesuatu. Prinsipnya, membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan dimulai dari dalam diri mereka. Proses selanjutnya adalah diberikan daya kuasa yang bersangkutan agar mampu terlebih dahulu. Proses pembentukan kapasitas ini terdiri atas manusia, organisasi, dan sistem nilai. Selanjutnya, target diberi daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang. Sebagaimana dilakukan beberapa komunitas desa yang sukses memberdayakan diri sendiri, mereka aktif memanfaatkan peluang dan berdaya atas diri mereka sendiri tanpa bergantung pada pihak mana pun. Mereka berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan komunitas dan mempunyai perasaan bermasyarakat. Persoalannya, apakah kebijakan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan itu telah efektif sesuai harapan?

II. Evaluasi Pelaksanaan Program-program Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

Pada Senin 28 April 2008 di Jakarta berlangsung Temu Nasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. Acara yang diselenggarakan Kantor Menko Kesra dan dihadiri 1000-an undangan dari kalangan perumus dan pelaku kebijakan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah telah menyatakan bahwa berbagai program dan proyeknya dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat namun sasaran yang diberdayakan belum menunjukkan bahwa mereka telah berdaya. Proyek-proyek pemerintah berbasis pemberdayaan masyarakat ibarat proyek merpati, burung merpati tetap ada ketika jagung masih tersedia di hadapan mereka, namun ketika jagungnya habis, maka burung merpati akan terbang. Padahal proyek-proyek berbasis pemberdayaan masyarakat diciptakan agar setelah proyek atau kegiatannya selesai, pelaku proyeknya masih bersedia memelihara dan dapat memanfaatkan hasil proyek atau kegiatannya. Karena ada manfaatnya, maka pemanfaatnya diharapkan setelah itu tidak miskin lagi.

Apa yang sedang dan pernah dilakukan proyek-proyek itu seakan jauh panggang daripada api. Pada awalnya, proyek-proyek tersebut dicanangkan untuk menanggulangi kemiskinan, namun fakta menunjukkan bahwa program-program tersebut bukan satu-satunya yang mampu mengurangi kemiskinan. Hingga kini, masih banyak orang miskin di tengah gemuruh berbagai proyek PM. Tahun 2005 adalah tahun dimana tingkat kemiskinan (P0) di Indonesia yang terendah pasca krisis 1997, yakni 15,97 persen. Bahkan pada tahun 2006, P0 naik menjadi 17,8 persen. Sebagai gambaran saja, pada tahun 2005 dan 2006, pemerintah hanya menganggarkan kurang dari Rp 2 triliun untuk proyek-proyek PM. Namun ketika P0 meningkat di tahun 2006, pemerintah lalu menaikkan anggaran untuk proyek-proyek pemberdayaan masyarakat menjadi sekitar Rp 6 triliun untuk tahun 2007. Alih-alih mengejar P0 mendekati target RPJMN 2004-2009, pemerintah menganggarkan Rp 8 triliun untuk tahun 2008 dan sekitar Rp 13 triliun untuk tahun 2009.

Pemerintah sesungguhnya mempunyai pengalaman melaksanakan berbagai proyek pemberdayaan masyarakat yang telah digagas sejak tahun 1970-an seperti Program Intensifikasi Pertanian dan Perkebunan Inti Rakyat --yang mendasari pemikiran Proyek Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K) (1986)--, proyek Kelompok Usaha Bersama (KUBE) (1988) dan Program Tabungan/Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra/Kukesra) (1995). Program itu kemudian menjadi inspirasi untuk pelaksanaan program-program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK) (1998) dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) (1999), dan banyak lagi program pemerintah dan swasta. Khusus untuk PPK dan P2KP saja, secara akumulatif lebih dari 10.000 tenaga pendamping masyarakat telah diterjunkan mulai tahun 1998 hingga 2007. Dua proyek itu saja telah hadir di sekitar 5.000 kecamatan dan 5.720 kecamatan di Indonesia akan dijangkau semua pada tahun 2009 dengan program berbasis pemberdayaan dengan label Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dimana 21 kementerian/lembaga (K/L) akan terlibat di dalamnya.

Pemberdayaan sendiri secara teoritik dianggap sebagai pendekatan yang situasional. Teori pemberdayaan telah berkembang dengan beraneka-ragam pijakan dalam 20 tahun terakhir ini. Pemberdayaan dapat berarti sebagai suatu proses, suatu mekanisme dimana individu, organisasi dan masyarakat menjadi ahli akan masalah yang mereka hadapi. Teori pemberdayaan mengasumsikan bahwa (1) pemberdayaan akan berbeda bentuk untuk orang yang berbeda; (2) pemberdayaan akan berbeda bentuk untuk konteks yang berbeda; (3) pemberdayaan akan berfluktuasi atau berubah sejalan dengan waktu. Seseorang dapat merasa terberdayakan pada suatu saat dan tidak terberdayakan pada waktu yang lain, bergantung pada kondisi yang mereka hadapi pada suatu waktu. Para akademisi teori pemberdayaan menyatakan bahwa konsep pemberdayaan berlaku tidak hanya bagi individu sebagai kelompok, organisasi dan masyarakat, namun juga bagi individu itu sendiri.

Implikasi konsep pemberdayaan sendiri dalam pelaksanaan proyek menunculkan banyak kendala karena proses pemberdayaan tidak mesti dapat membuat yang terlibat menjadi keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini memunculkan persepsi bahwa dalam proses pemberdayan yang tidak miskin boleh terlibat. Kita patut mempertanyakan berapa banyak orang-orang yang benar-benar miskin diajak ke dalam mekanisme proyek-proyek pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks Indonesia di tahun 2006 lalu, hasil kajian Papaneck (2006) menyebutkan bahwa alih-alih tidak ada jawaban yang memuaskan perihal berapa orang miskin yang terlibat dalam proses pemberdayaan masyarakat, maka diberikanlah solusi, setiap kecamatan akan mendapat Rp 3 miliar per tahun. Harapannya, agar yang miskin bisa kebagian.

Meski sebagian kalangan menganggap hal ini sebagai langkah pemihakan yang nyata kepada orang miskin, namun langkah ini tidak cukup. Karena kebijakan pemberdayaan masyarakat dibebani target menurunkan P0. Padahal kita masih menghadapi enam asumsi yang belum dapat dipenuhi oleh para perancang kebijakan pemberdayaan masyarakat, yakni:

Pertama, masih terjadi perbedaan penafsiran nilai-nilai yang terkandung dalam konsep pemberdayaan. Masing-masing K/L mempunyai konsep sendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya. Tidak jarang perbedaan tersebut justru membawa keraguan akan manjurnya konsep pemberdayaan sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan. Pada saat bersamaan, konsep pemberdayaan belum dipandang sebagai proses untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena hanya dipandang sekedar upaya menanggulangi kemiskinan. Hal ini berimplikasi pada kebingungan penentuan sasaran pemanfaat program. Yang tidak miskin pun berhak menerima manfaat proyek pemberdayaan masyarakat. Hal ini dapat terjadi akibat infomasi yang rendah perihal domisili masyarakat miskin.

Kedua, penentuan lokasi belum menegaskan kantong kemiskinan yang dituju. Meski secara persentase jumlah penduduk miskin di Papua misalnya lebih banyak, namun dari segi jumlah masih jauh lebih sedikit dari Jawa Timur meski persentase penduduk miskin di Jawa Timur lebih sedikit dari Papua. Persoalan ini masih belum dipahami bersama. Bahwa akar persoalan kemiskinan di Jawa Timur dan Papua adalah sangat berbeda. Apabila kantorng kemiskinan telah ditetapkan, maka akan mudah diikuti dengan identifikasi tentang tantangan masing-masing lokasi. Penentuan lokasi dengan batas satuan wilayah terkecil (baca: desa) sangat menentukan keberhasilan pemberdayaan masyarakat sebagai instrumen peningkatan kesejahteraan. Jelaslah bahwa kecamatan dengan populasi penduduk miskin terbanyak (dilingkari, contoh pada Gambar 1) akan ditangani berbeda dibandingkan kecamatan lain yang populasi penduduk miskinnya sedikit.



Ketiga, kerancuan dalam penentuan sasaran pemanfaat. Pemberdayaan apabila diinstrumentasikan sebagai upaya mencapai kesejahteraan masyarakat, maka harus ditentukan sebagai sentral dari peningkatan kesejahteraan itu? Masyarakatkah, keluarga, atau perseorangan? Jika ukuran pemberdayaan itu adalah kesejahteraan, maka yang paling tepat adalah keluarga. Dengan demikian dapat dipastikan, bahwa pembentukan kelompok berkenaan dengan kesejahteraan ini haruslah kumpulan dari beberapa keluarga yang berdomisili di suatu wilayah tertentu, misalnya wilayah kecamatan.

Keempat, output yang dihasilkan tidak dapat diukur. Output proses pemberdayaan masyarakat meski melalui skema proses pemberdayaan masyarakat yang jelas tidak selalu terukur. Hal ini disebabkan proyek pemberdayaan masyarakat di Indonesia mendapatkan beban berupa muatan kegiatan yang telah dipandu dalam pedoman umum. Akibatnya, masyarakat yang terlibat lebih menitikberatkan jadwal penyelesaian proyek ketimbang meningkatkan kualitas pemberdayaannya itu sendiri. Padahal manfaat langsung yang dapat dipetik hanyalah upaya semasa konstruksi. Upahnya sendiri jauh dari memadai untuk disebut tidak miskin. Output pemberdayaan masyarakat harus terukur yaitu meningkatnya pendapatan keluarga, sementara hasil fisiknya dapat diukur sebagai menurunnya beban konsumsi.

Kelima, konsep pendampingan sebagai ujung tombak pemberdayaan belum dipahami. Banyak yang menyangka bahwa biaya pemberdayaan masyarakat sangat mahal sebagai akibat dari membiayai para tenaga pendamping. Namun belum ada yang mengira, bahwa biaya tersebut terlalu murah untuk suatu hasil yang efektif. Pendamping merupakan fasilitator PM. Mereka berperan sebagai pendidik masyarakat. Jaringan mereka hamper indetik dengan birokrasi pemerintah sendiri. Bahkan jaringan pendamping yang efektif adalah apabila mereka mampu melekat pada birokrasi tapi bekerja langsung di lapangan bersama kelompok masyarakat.

Keenam, penyamarataan alokasi per desa atau per kecamatan. Hal ini terjadi, karena langkanya informasi akurat yang mampu mengukur kepadatan populasi penduduk miskin. Apabila informasi ini didapatkan, maka kepadatan populasi penduduk miskin di setiap wilayah (misalnya kecamatan) pasti berbeda, dan intervensinya pun seharusnya berbeda. Apabila disamakan, maka prosesnya tidak adapat berjalan sempurna, karena masih terdapat kesenjangan input per wilayah kecamatan.

Pada akhirnya, cara pandang kita sendiri harus diubah dalam mengenali konsep pemberdayaan masyarakat dalam konteks penanggulangan kemiskinan. pemberdayaan masyarakat adalah jalan pilihan demokratis yang ditentukan sendiri oleh pelaku proyek (masyarakat). pemberdayaan masyarakat merupakan awal mula dari penguatan proses pilihan publik yang digiring masyarakat sendiri dan merupakan modal awal terwujudnya kelanggengan modal sosial.

III. Persoalan Lokasi dan Model Penentuannya

Penentuan lokasi merupakan dasar efektivitas pemberdayaan masyarakat jika ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok rumah tangga miskin. Namun apabila dipelajari seksama, akan nampak, bahwa masih banyak ketidaksesuaian dalam penentuan lokasi. Kondisi memunculkan 3 Model ketika kita melakukan penilaian atas pelaksanaan program-program berbasis pemberdayaan masyarakat di tahun 2007. Penilaian dilakukan terhadap perilaku empat proyek yang tercakup dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

3.1. Model Berdasarkan Karakterisitik Wilayah

Model ini menekankan pembagian lokasi berdasarkan karakteristiknya, yaitu perdesaan dan perkotaan. Suatu proyek hanya boleh menangani suatu wilayah kecamatan atau suatu kabupaten/kota apabila proyek itu cocok dengan kondisi karakteristik kecamatan atau suatu kabupaten/kota yang ditanganinya. Hal ini menimbulkan implikasi berat pada pengaplingan wilayah operasional suatu proyek. Artinya, proyek PPK dijatah beroperasi di perdesaan, dan proyek P2KP dijatah beroperasi di perkotaan. Pedoman Umum (pedum) menyatakan pembagian “wilayah operasional proyek” berdasarkan karakteristik desa-kota itu.




Meski dalam pedum induk (pedum PNPM) telah dijelaskan aturan main yang seragam, namun dalam pelaksanaannya, masing-masing proyek berdiri sendiri (mempunyai DIPA sendiri, bukan DIPA induk, atau “DIPA koordinasi”), dan masing-masing proyek dapat mempunyai visi sendiri tentang apa yang disebut pemberdayaan masyarakat. Dalam Pedum disebutkan, bahwa koordinasi PNPM berada di tingkat Pemerintah Pusat dan setiap proyek dapat mempunyai item kegiatan yang sama. Artinya masing-masing proyek yang berbeda itu boleh mempunyai item-item kegiatan seperti penguatan kapasitas masyarakat, kapasitas masyarakat, kapasitas pemerintah daerah, prasarana fisik (prasik), modal usaha (simpan pinjam), bantuan sosial. Dalam Petunjuk Operasionalnya (PTO), setiap proyek mempunyai mekanisme masing-masing meskipun dalam 1 kabupaten/kota yang sama serta mempunyai pengaturan sendiri-sendiri perihal bagaimana masyarakat memanfaatkan dana proyek tertentu.

Implikasi pelaksanaan program berbasis pemberdayaan masyarakat di tahun 2007 adalah adanya tumpang tindih peran, dan karena adanya Pedum baru, maka pelaksana proyek dan masyarakat local peserta proyek membutuhkan waktu untuk penyesuaian dan mempelajari pedum dan PTO yang baru. Implikasi lain Model ini adalah adanya pengabaian pada tugas pokok dan fungsi yang sesungguhnya menjadi tanggung-jawabnya. Misal, Departemen Dalam Negeri menjadi mempunyai kegiatan bersifat “prasarana” disamping tupoksi aslinya sebagai “pembina wilayah”. Sementara itu Departemen Pekerjaan Umum mempunyai kegiatan bersifat “pembinaan wilayah” disamping tanggung-jawabnya “membangun prasarana dasar”. Bahkan baik Depdagri maupun Dep-PU mempunyai kegiatan yang sesungguhnya hanya cocok menjadi tanggung-jawab Departemen Koperasi dan UKM atau perbankan, yaitu menangani kredit usaha mikro (simpan pinjam dan pengelolaan dana bergulir).

3.2. Model Penguatan Koordinasi Kabupaten/Kota

Model ini menekankan adanya pembagian pekerjaan lokasi yang jelas bagi masing-masing proyek berdasarkan unit kecamatan pada satu wilayah kabupaten/kota tertentu. Pelaksanaan proyek-proyek dilakukan berdasarkan unit lokasi kabupaten/kota. Dalam satu kabupaten/kota apabila terdapat empat program inti dan bila memungkinkan ditambah/dilengkapi program-program lain, maka masing-masing proyek akan mendapatkan jatah lokasi kecamatannya. “Penjatahan” lokasi ditentukan di tingkat koordinasi kabupaten/kota . Setiap program akan mendapatkan kewenangan untuk menangani suatu wilayah kecamatan tertentu. Suatu proyek dapat mempunyai item-item kegiatan yang identik dengan proyek yang lain dalam satu wilayah kabupaten/kota yang sama.

Dalam pedum, dapat disebutkan bahwa koordinasi PNPM di Kabupaten/kota, setiap program dapat mempunyai item kegiatan yang sama, dan koordinator PNPM kabupaten/kota mempunyai kewenangan menentukan lokasi kecamatannya. Selain itu, pedum dapat mengatur mekanisme masing-masing proyek dalam 1 kabupaten/kota yang sama. Perbedaannya adalah pada pengaturan mekanisme pemanfaatan dana program. Implikasi Model ini adalah memungkinkan terjadinya tumpang tindih peran, membutuhkan waktu untuk penyesuaian dan belajar, memungkinkan adanya perbedaan pemanfataan bantuan dalam 1 kabupaten/kota.


3.3. Model Satu Program Satu Tupoksi

Model ini menekankan adanya pembagian pekerjaan yang jelas bagi masing-masing proyek yang bertanggung-jawab pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) tertentunya. Model ini beranggapan bahwa dalam pedum disebutkan koordinasi antar-program dalam PNPM di tingkat Kabupaten/kota, setiap program mempunyai item kegiatan sesuai tupoksi, kabupaten/kota mempunyai kewenangan menentukan lokasi kecamatannya, pengaturan pembagian tugas untuk masing-masing proyek. Setiap proyek dapat mengatur mekanisme cara penggunaan bantuan masing-masing sepanjang sesuai tupoksinya. Pedum akan mengatur semua mekanisme pemanfaatan dana program. Implikasi model ini adalah berat untuk menyusun pedumnya, karena harus melibatkan banyak pihak. Namun model ini sangat konsisten dengan tugas pokok dan fungsi yang menjadi tanggung-jawab masing-masing kementerian/lembaga melalui instrument proyeknya masing-masing. Kelak, Depdagri melalui PPK-nya hanya akan menangani “penguatan kapasitas masyarakat”, Dep-PU melalui P2KP-nya akan hanya menangani “pembinaan prasarana fisik”, dan Departemen Pertanian melalui proyek Lumbung Usaha Ekonomi Pertanian (LUEP)-nya hanya akan menangani “pembinaan produksi pangan dan ketahanan pangan”, serta Depkop dan UKM hanya khusus menangani kredit usaha mikro atau kredit usaha rakyat.


IV. Rekomendasi

Sebagai penutup akan diperagakan rekomendasi untuk menyempurnakan kebijakan pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat. Strategi dasar dalam rekomendasi ini terdiri dari lima hal, yakni:

Pertama, mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dalam konteks penanggulangan kemiskinan bukan sebagai upaya memberantas kemiskinan, tapi meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin. Dan dalam pendekatan pemberdayaan, berarti adalah kelompok rumah tangga miskin. Dalam kelompok tersebut, keikutsertaan warga yang tidak miskin harus dibatasi.

Kedua, tersedianya data dasar yang solid. Saat ini telah tersedia Data Rumah Tangga Miskin yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai hasil Sensus Pendataan Sosial Ekonomi Rumah Tangga (PSE.05 RT). Data tersebut dapat menjadi acuan awal untuk pembentukan kelompok miskin. Pembentukan kelompok harus dilakukan secara alami.

Ketiga, melibatkan masyarakat sipil. Bagaimanapun juga, upaya penanggulangan kemiskinan harus menjadi gerakan nasional. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat harus peduli pada upaya membantu penduduk miskin untuk menjadi lebih ringan bebannya dan menjadi sejahtera hidupnya.

Keempat, pengarusutamaan pada peningkatan kesejahteraan kelompok keluarga miskin. Pilar ini merujuk pada pengharmonisasian sumber-sumber daya yang ada untuk menggerakkan kesejahteraan keluarga miskin. Pilar ini sederhana namanya, namun dalam realita membutuhkan komitmen yang kuat dari para pesertanya. Siapa mengerjakan apa di suatu kabupaten/kota dan kecamatan harus didefinisikan secara jelas. Apa yang dikerjakan boleh bermacam-macam cara, mulai dari menyediakan fasilitasi/pendampingan, pelayanan keuangan mikro, pelayanan umum dasar, dan seterusnya, namun tujuannya adalah satu, yaitu meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin.

Kelima, kelembagaan pemberdayaan lokal. Sebagian besar program/proyek pemerintah maupun swasta melalui dana tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) senantiasa melupakan “pembentukan” lembaga yang melestarikan hasil kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pembentukan lembaga pemberdayaan local diperlukan untuk mengelola asset yang timbul akibat proses kegiatan pembangunan lokal.

--ooOOoo--


Referensi

Arthur Glikson (1955). Regional Planning and Development. The Hague: Leiden.

Bappenas (2007): Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia tahun 2007. Jakarta (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).

Fred W. Riggs (1998). Administrasi Pembangunan. Rajawali: Jakarta.

Hadi Susastro dkk (Editor Kumpulan Tulisan) (2005): Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Kumpulan Tulisan Buku 5: 1997-2005). Penerbit Kanisius dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI): Jakarta.

Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho D (2007). Manajemen Pemberdayaan. Gramedia/Elex Media Komputindo: Jakarta.

Randy R. Wrihatnolo (2007): Membumikan Millenium Development Goals (MDGs) Kedalam Kebijakan Pembangunan di Daerah, dalam jurnal Perencanaan Pembangunan, edisi Desember 2007.

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium PBB (A/RES/55/2 United Nations Millennium Declaration).

Riant Nugroho D. (2007). Analisis Kebijakan. Gramedia/Elex Media Komputindo: Jakarta.

United Nations Development Programme (UNDP) (2001): Human Development Report 2001. New York (Oxford University Press).

United Nations Development Programme (UNDP) (2008): Human Development Report 2007/2008: Fighting Climate Change (Human Solidarity in a Divided World). New York (Oxford University Press).

William N. Dunn (2006). Analisis Kebijakan Publik. GMU Press: Yogyakarta.

Pembangunan dan Subsidi BBM

Pembangunan dan Subsidi BBM
Randy R. Wrihatnolo

I. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan sumberdaya alam, dimana salah satunya adalah minyak dan gas bumi, namun kebutuhan energi bagi penduduk Indonesia ternyata mengandalkan pada BBM import selain dipenuhi sendiri oleh produsen BBM di dalam negeri (Pertamina, 2005). Indonesia dengan demikian sekaligus adalah produsen minyak bumi yang besar dan konsumen BBM yang besar pula. Konsumsi BBM yang sangat besar ini pada dasawarsa terakhir telah semakin nyata membebani keuangan negara.

Tabel 1. Pertumbuhan Pemakaian Energi Menurut Sektor

Kebutuhan BBM itu senantiasa meningkat, sehingga beban Pemerintah menanggung subsidi harga BBM yang sangat besar agar warga negara mampu membeli BBM sesuai daya belinya juga ikut meningkat. Di samping itu, Pemerintah juga harus menanggung beban subsidi tersembunyi berupa biaya peluang jika BBM tersebut dieksport. Saat ini, biaya lain yang harus ditanggung pemerintah adalah pengeluaran pembangunan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah terutama karena masalah kemiskinan.

Subsidi BBM mengonsumsi keuangan negara sangat besar. Dalam kondisi keuangan negara yang sehat, subsidi BBM tidaklah memberatkan keuangan negara, namun dalam kondisi keuangan negara yang tidak sehat, subsidi BBM memberatkan keuangan negara. Sementara itu, kemampuan pemerintah untuk membiayai pengadaan barang publik dalam hal ini pengadaan BBM sangat terbatas karena Indonesia dihadapkan pada masalah penerimaan keuangan negara yang tidak sebanding dengan pengeluaran keuangan negara, artinya, Indonesia mengalami defisit keuangan negara. Di sisi lain, kewajiban Pemerintah sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara kepada warga negaranya harus tetap dipenuhi. Kewajiban Pemerintah itu antara lain memperluas pemerataan pertumbuhan ekonomi, memutus rantai ketidakberdayaan sosial-ekonomi; dan meningkatkan pelayanan publik. Kewajiban ini membawa beban sangat besar pada keuangan negara. Kontradiksi antara beban pengeluaran keuangan negara yang sangat besar dan defisit keuangan negara ini memaksa Indonesia harus memperbaiki manajemen defisit keuangan negaranya. Pada sisi lain, terdapat kekhawatiran kepada posisi hutang luar negeri yang sangat besar yang berimplikasi pada beban pembayaran bunga dan pokok hutang yang sangat besar setiap tahunnya.

Tabel 2. Realisasi Subsidi dalam APBN (dalam miliar Rp)

Berkenaan dengan beban subsidi yang semakin meningkat, tetapi tidak diimbangi penerimaan keuangan negara yang stabil dan tidak berbasis pada pinjaman luar negeri, maka kondisi keuangan negara perlu segera disehatkan dengan sejumlah implikasi, yaitu antara lain menghentikan ketergantungan pada hutang luar negeri dan memaksimalkan nilai tambah BBM . Memaksimalkan nilai tambah BBM berarti Pemerintah harus menjual BBM kepada konsumen dengan harga pasar, yaitu harga yang sama dengan biaya produksinya (equal to production cost). Memaksimalkan nilai tambah BBM berarti pemerintah harus mengurangi bahkan menghentikan subsidi BBM. Namun untuk mencegah terjadinya dampak negatif akibat pengurangan atau penghapusan subsidi BBM ini maka pemerintah perlu memikirkan kebijakan alternatif yang dapat meminimalisasikan dampak negatif akibat penghapusan subsidi BBM. Salah satu bentuk kebijakan pengalihan atau kebijakan alternatif itu adalah kebijakan kompensasi penghapusan subsidi BBM yang dikhususkan bagi kelompok miskin .

Kebijakan kompensasi penghapusan subsidi BBM diyakini lebih bersahabat dengan kondisi keuangan negara dan diyakini dapat menjamin kepastian bagi peningkatan kesejahteraan rakyat khususnya kelompok miskin yang diperkirakan akan lebih menderita karena penghapusan subsidi BBM. Namun kebijakan kompensasi penghapusan subsidi BBM menghadapi kendala dalam penyaluran bantuan secara tepat sasaran. Merkanisme penyaluran bantuan yang ada selama ini diragukan efektivitasnya (LPEM UI, 2004). Lebih lanjut Bappenas menyatakan bahwa subsidi BBM tidaklah tepat sasaran, karena 40% kelompok masyarakat berpenghasilan rendah hanya mengonsumsi BBM sebanyak 16%. Sementara itu kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi sebanyak 60% mengonsumsi BBM sebesar 80% .

Beban subsidi BBM yang semakin besar perlu dikurangi secara berkala agar tidak memberatkan keuangan negara. Akan tetapi kebijakan penghapusan subsidi BBM baik secara berkala ataupun sekaligus mempunyai dampak terhadap sebagian besar masyarakat berpenghasilan marginal sekaligus mengandung resiko politik yang sulit dijelaskan.

II. Pembangunan dan Ketidakmerataan

Pembangunan merupakan upaya pemanfaatan sumberdaya (resources utilization) secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkeseimbangan dan berkelanjutan. Pemanfaatannya optimal jika berdasarkan kepada kebijakan dan strategi yang tepat agar seluruh sumberdaya dapat terlibat dalam proses. Apabila kebijakan dan strategi gagal berarti pemanfaatannya tidak memberi hasil, manfaat dan dampak yang positif yaitu pulangan (return) yarig ekonomis, efektif, efisien. Kebijakan dan strategi pembangunan diarahkan kepada pemanfaatan sumberdaya lokal terutama bagi pemenuhan kebutuhan lokal dan kepentingan regional dan nasional umumnya. Ada lima sumberdaya utama (main capital) yaitu sumberdaya alami (natural capital), sumberdaya insani (human capital), sumberdaya keuangan (financial capital), sumberdaya teknologi (technological capital), sumberdaya sosial-budaya (sociocultural capital). Sumberdaya ini dimanfaatkan oleh tiga sumberdaya pengembang (developer capital) yaitu sumberdaya kelembagaan (institutional capitao, sumberdaya informasi-komunikasi (information and communication capitao dan sumberdaya jejaring (network capital). Sumberdaya utama yang dimiliki setiap individu dimanfaatkan oleh sumberdaya pengembang melalui lembaga ekonomi, keuangan dan sosial-budaya. Kesejahteraan dapat ditingkatkan melalui upaya pemanfaatan sumberdaya oleh kelembagaan melalui fasilitasi dan stimulasi yang didukung oleh sistem administrasi dan regulasi yang baik .

Pola pemanfaatan sumberdaya kebanyakan negara berkembang termasuk di Indonesia ditentukan oleh kemampuan pemerintah dan dukungan dunia usaha bersama masyarakat. Peran pemerintah amat dominan dalam Undang-undang Dasar 1945 menyangkut kewajiban mengelola sumberdaya alam. Dalam kerangka mendukung pelaksanaan tugasnya yaitu menjalankan roda pemerintahan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat maka pemerintah melakukan empat fungsi pokok yaitu administrasi dan regulasi serta fasilitasi dan stimulasi. Untuk mendukung tugas dan fungsi itu maka pemerintah melakukan peran dinamisasi dan stabilisasi serta (inter)mediasi. Jika sistem dan kelembagaan beserta sumberdaya pendukungnya tidak mampu membantu pelaksanaan tugas dan fungsi dan peran ini secara optimal maka pengelolaan sumberdaya yang memberikan manfaat secara maksimal tidak akan dapat dicapai (Fashbir, 2005:6).

Hakikat ketidakmerataan dapat dilihat dari adanya fenomena sosial-ekonomi. Fenomena sosial-ekonomi yang menggambarkan adanya ketidakmerataan itu ditandai oleh distribusi pendapatan yang tidak merata, kemiskinan, dan kekurangan gizi. Distribusi pendapat yang tidak merata diukur dengan indeks GINI, kemiskinan diukur dengan garis kemiskinan, dan kekurangan gizi diukur dengan asupan gizi anak-anak. Ketidakmerataan disebabkan oleh faktor-faktor ketidakmampuan seseorang untuk membiayai konsumsi kebutuhan hidup (kebutuhan pokok) sehari-hari dan juga ketidakmampuan seseorang untuk memiliki modal kerja .

Ketidakmerataan dapat diukur melalui konsep garis kemiskinan (GK). GK dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan non-makanan per kapita pada kelompok referensi (reference population) yang telah ditetapkan. Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marginal, yaitu mereka yang hidupnya dikategorikan berada sedikit di atas perkiraan awal GK. Perkiraan awal GK ini dihitung berdasarkan GK periode sebelumnya yang diinflate/dideflate dengan inflasi/deflasi. GK dibagi ke dalam dua bagian yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Jadi GK=GKM+GKNM. Batas kecukupan makanan (pangan) dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi 2100 kalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Sejak tahun 1993 penghitungan kecukupan kalori ini didasarkan pada 52 komoditi makanan terpilih yang telah disesuaikan dengan pola konsumsi penduduk. Batas kecukupan non-makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk non makanan yang memenuhi kebutuhan minimum seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain. Pemilihan jenis barang dan jasa non-makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di perdesaan .


Fenomena ketidakmerataan ini oleh Nurkse dikenal sebagai rantai setan kemiskinan. Rantai setan ini harus diputus dengan menyuntikkan subsidi kepada rakyat miskin. Hal ini merupakan dasar pemikiran dari adanya strategi menuntaskan ketidakmerataan. Tujuan strategi ini adalah meringankan beban konsumsi rumah tangga atau dengan kata lain mendapatkan tambahan pendapatan tidak langsung kepada unit rumah tangga dari kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau kelompok masyarakat miskin .

III. Kebijakan Publik, Subsidi dan Subsidi BBM

Kebijakan adalah sebuah landasan atau panduan bagi sebuah lembaga untuk bertindak sesuai dengan tugas dan fungsi serta peran yang telah ditetapkan . Proses kebijakan ialah upaya menata kepentingan para pelaku kebijakan sehingga aspirasi dapat terakomodasi dalam rancangan kebijakan . Subsidi merupakan bentuk instrumen kebijakan publik sebagai bentuk upaya pemerintah menyediakan barang publik. Barang publik sendiri adalah Barang publik adalah berbagai kemudahan yang disediakan pemerintah kepada masyarakat untuk menunjang kehidupan yang lebih baik. Barang publik sebagai milik publik sehingga tidak seorang dapat menguasainya sebab melawan kepentingan publik. Kadar manfaatnya diukur dari intensitas penggunaan yang memberi kepuasan kepada publik dan lembaga pengelolanya. Barang publik ini berupa prasarana dan sarana dibangun dari pajak dan retribusi serta sumber lainnya.

Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier menyatakan bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan adalah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujaun-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujaun-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu (1) tingkat kemudahan/kesulitan pengendalian terhadap masalah yang akan diselesaikan oleh suatu kebijakan, (2) tingkat kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasi kebijakan, dan (3) pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut. Ketiga elemen variabel tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan kebijakan. Salah satu jenis kebijakan yang akan ditelaah adalah kebijakan subsidi.

Subsidi merupakan instrument pemerintah dalam melakukan pemerataan pembangunan. Subsidi diwujudkan sebagai hasil dari suatu kebijakan public untuk memangkas harga yang diterima oleh produsen yang naik hingga di atas harga yang mampu dibayar oleh konsumen. Adanya subsidi akan membuat konsumen mampu membayar harga yang lebih rendah dari harga produsen. Suatu subsidi dapat dipandang sebagai suatu pajak negatif yang dibayarkan oleh pemerintah kepada warga negara, baik secara perorangan maupun per perusahaan. Subdidi tidak dimaksudkan untuk dibayarkan kepada seluruh lapisan warga negara .

Brahmantio Isdijoso menyatakan bahwa kebijakan harga BBM yang dianut Indonesia saat ini mengakibatkan munculnya sejumlah masalah, sehingga Indonesia memerlukan pengubahan kebijakan harga (pricing policy) BBM. Pengubahan kebijakan harga harus dilakukan dalam kerangka jangka panjang dan bertahap (long term pricing policy) dan mempertimbangkan situasi yang ada pada setiap dimensi waktu (existing condition). Berdasarkana alasan tersebut, maka pengubahan kebijakan harga dalam jangka panjang dapat dilakukan dalam empat tahap, yaitu:

Tahap pertama, yaitu harga tersubsidi dikurangi (subsidized price). Tahap ini merupakan tahap dimana subsidi BBM diturunkan hingga 20%, yang dilaksanakan tahun dalam jangka waktu 1-2 tahun.

Tahap kedua, yaitu subsidi dinolkan (zero subsidy). Pada tahap ini harga jual BBM merefleksikan biaya produksinya, yang berarti tidak ada lagi subsidi dari pemerintah. Dengan mempertimbangkan: (i) penyusunan anggaran pemerintah dan dunia usaha yang dilakukan secara tahunan, (ii) kegiatan sosialisasi rencana kebijakan zero subsidy, serta (iii) krisis multi dimesi yang masih dihadapi Indonesia, maka pelaksanaan tahap ini diperkirakan memerlukan waktu 2-3 tahun terhitung sejak tahap pertama diselesaikan.

Tahap ketiga, harga BBM disamakan dengan harga pasar (economic price). Pada tahap ini, harga BBM yang dihasilkan kilang di Indonesia relatif tidak berbeda dengan harga BBM di kilang yang menjadi benchmark perdagangan BBM di dunia, seperti kilang di Singapura atau Belanda, ditambah dengan biaya lain (misalnya biaya distribusi). Mempertimbangkan kebutuhan waktu bagi industri perminyakan di Indonesia dalam menemukan teknologi yang memungkinkan berlangsungnya diversifikasi atau fleksibilitas dari kegiatan pengilangan minyak mentah menjadi BBM, maka perkiraan pelaksanaan tahap ini sekitar 2-3 tahun sejak tahap II selesai.

Tahap keempat, yaitu harga BBM disesuaikan dengan harga pasar ditambah pajak pertambahan nilai (Economic Price and Tax). Tahap dimana harga BBM di mulut kilang menyamai harga pasar internasional dan ditambah dengan pajak BBM. Penggunaan instrumen pajak sangat tergantung pada proses legislasi. Dengan pertimbangan tersebut maka pelaksanaan tahap ini diperkirakan sekitar 2-3 tahun.

Konsep kebijakan pembangunan berbasis pemerataan dengan pertumbuhan diinstrumentasikan oleh subsidi BBM. Namun kebijakan subsidi BBM memerlukan kondisi ekonomi-makro berupa pertumbuhan ekonomi yang mantap, serta kondisi ekonomi-mikro berupa sektor riil yang sehat. Kebijakan subsidi BBM mengandung sejumlah kelemahan, oleh karena itu perlu dihapus. Sebagai gantinya perlu ada kebijakan kompensasi penghapusan subsidi harga BBM atau subsidi kompensasi kenaikan harga BBM (akibat subsidi dicabut maka harga BBM akan dinaik). Kebijakan ini diperlukan untuk meringankan beban pemerintah dan juga meringankan beban kelompok berpenghasilan rendah. Namun kebijakan ini sangat membutuhkan upaya menjamin ketepatan penyaluran bantuan serta menjamin kemanfaatan bantuan.

IV. Kesimpulan

Kebijakan penghapusan subsidi BBM secara bertahap dan menggantinya dengan kebijakan kompensasi penghapusan subsidi BBM diperlukan untuk tetap mempertahankan peningkatan pemerataan pendapatan bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Kebijakan penghapusan subsidi BBM secara bertahap dan menggantinya dengan kebijakan kompensasi penghapusan subsidi BBM diyakini dapat meningkatkan stabilitas keuangan negara. Kebijakan penghapusan subsidi BBM secara bertahap dan menggantinya dengan kebijakan kompensasi penghapusan subsidi BBM diduga dapat meminimalkan dampak negatif dari penghapusan subsidi BBM. Kebijakan kompensasi penghapusan subsidi BBM harus memperhatikan aspek ketepatan sasaran dalam pengalokasikan bantuan (delivery mechanism) bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang terkena dampak kenaikan harga BBM.

Daftar Pustaka

Departemen Keuangan, Nota Keuangan dan RAPBN 2004, Jakarta, 2004.
Bappenas, Penjelasan Tentang Kebijakan dan Rencana Kompensasi Subsidi BBM. Bappenas: Jakarta, 28 Februari 2005.
Budi Kussetiyono (2005). Alternatif Kebijakan Pencabutan Subsidi BBM, dalam Warta ISEI. Januari 2005, halaman 14-15.
Fashbir Noor Sidin (2005). Reposisi Kelembagaan Untuk Penguatan Peranserta Publik Dalam Proses Pembangunan Daerah. ISEI: Jakarta.
Erik Thorbecke et.al. (1992). Adjusment and Equity in Indonesia. Development Centre of the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD): Paris, halaman 50.
BPS (2004). Data dan Informasi Kemiskinan 2004: Buku I Provinsi. Badan Pusat Statistik: Jakarta, halaman 2.
Paul Procter (ed) (1978). Longman Dictionary of Contemporary English. Longman Group, Great Britain.
Hessel Nogi Tangkilisan (2003). Kebijakan Publik Untuk Pemimpin Berwawasan Internasional. Penerbit Balairung: Yogyakarta.
Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (para editor) (1981). Effective Policy Implementation. Lexington: Washington DC.
Asian Development Bank, 2002. Subsidy Design in the Power Sector. Conference on Infrastructure Development – Private Solutions for the Poor: The Asian Perspective – ADB, Manila.
Brahmantio Isdijoso (2000). Studi Dampak Penghapusan Subsidi BBM Terhadap Perekonomian, Efisiensi Dan Peluang Usaha Bagi Pertamina. Pertamina: Jakarta.

--ooOOoo--