22 Juli 2008

Penanggulangan Kemiskinan Daerah: Meminjam MDG's Sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan Pemerintah Daerah

Makalah Lama: Tulisan ini adalah bahan paparan "Workshop Penanggulangan Kemiskinan di Daerah" yang diselenggarakan pada Jumat 2 Mei 2008 di Hotel Peninsula Jakarta. Makalah sebagian dipublikasikan dalam jurnal ”Perencanaan Pembangunan” edisi Oktober/Desember 2007

Penanggulangan Kemiskinan Daerah:
Meminjam Millenium Development Goals (MDGs)
Sebagai Dasar Penyusunan Kebijakan Pemerintah Daerah

Randy R. Wrihatnolo

I. Pendahuluan

Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya. Kemiskinan telah menjadi masalah yang kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran. Lebih dari itu, kemiskinan merupakan masalah multidimensi, karena sebab dan akibatnya saling secara komprehensif dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kemiskinan juga meliputi masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Gejala kemiskinan dapat terjadi pada skala individu (seseorang), pada suatu komunitas/masyarakat, pada suatu daerah, bahkan pada suatu bangsa. Beberapa ciri kemiskinan yang menjadi isu-isu kemiskinan diuraikan berikut ini.

Pertama, kepemilikan aset yang rendah, terbatasnya akses terhadap modal dan faktor produksi, dan rendahnya kesempatan kerja merupakan penyebab kemiskinan dari segi ekonomi. Kondisi ini menyebabkan tidak dapat terserapnya tenaga kerja dengan baik sehingga pengangguran semakin meningkat. Pengangguran terbuka pada tahun 2003 mencapai 10,1 juta jiwa atau mencapai 10 persen dari angkatan kerja.

Kedua, terbatasnya akses masyarakat terhadap prasarana dan sarana dasar seperti transportasi, komunikasi, informasi, pasar, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan. Kurangnya sarana dan prasarana transportasi misalnya, menyebabkan banyak daerah terisolasi, sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya sistem perekonomian masyarakat.

Ketiga, kelompok miskin tidak berdaya dan diam karena tekanan faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya. Dari segi ekonomi, penyebab ketidakberdayaan dan keterdiaman ada tiga, yaitu: (a) terhambatnya mobilitas sosial ke atas; (b) rendahnya partisipasi dalam penentuan kebijakan publik; dan (c) rendahnya keterlibatan dalam kegiatan ekonomi. Terhambatnya mobilitas sosial terutama disebabkan oleh: (1) terbatasnya pengembangan potensi diri dan (2) keterasingan sosial. Terbatasnya pengembangan potensi diri disebabkan oleh: (a) kondisi kesehatan dan pendidikan rendah; (b) rendahnya motivasi pengembangan diri; dan (c) tertekannya kesadaran hak-hak dasar. Sedangkan keterasingan sosial disebabkan oleh: (a) melemahnya modal sosial; (b) menghilangnya kepercayaan sosial; dan (c) gagalnya fungsi kelembagaan lembaga sosial.

Keempat, rendahnya keterlibatan dalam kegiatan ekonomi produktif yang dipengaruhi oleh: (a) rendahnya kemampuan mengakses kesempatan berusaha; dan (b) berkurangnya kesempatan ekonomi/berusaha. Rendahnya kemampuan mengakses kesempatan berusaha disebabkan oleh: (1) terbatasnya kepemilikan produktif; (2) lemahnya sumberdaya modal usaha; (3) terbatasnya pasar dan informasi pasar kurang sempurna/asimetris; dan (4) rendahnya tingkat kewirausahaan sosial. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi berkurangnya kesempatan ekonomi/berusaha adalah: (1) kepincangan distribusi kekayaan; (2) kecurangan praktek bisnis dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Kelima, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik yang dipengaruhi oleh: (a) kurangnya representasi si miskin; dan (b) terbatasnya ruang publik. Kurangnya representasi si miskin disebabkan oleh: (1) lemahnya swa-organisasi; (2) kurang berkembangnya kepemimpinan kelompok; dan (3) lemahnya jejaring kaum miskin. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi terbatasnya ruang publik disebabkan oleh: (1) birokrasi terlalu berkuasa; (b) elit politik yang tidak responsif; dan (c) tata pemerintahan yang otokratis.

Keenam, sistem pemerintahan yang kurang baik telah mengakibatkan ketidakberdayaan dan pemiskinan, yang mempunyai dampak negatif berupa: (1) penguasaan sumberdaya alam oleh negara dan pemberian konsesi kepada pengusaha besar yang bukan dimanfaatkan untuk kemakmuran seluruh rakyat telah menggusur hak-hak masyarakat; (2) pembatasan ruang publik demi stabilisasi telah mempersempit kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam menetapkan kebijakan publik yang menyangkut hidup kelompok miskin; (3) peminggiran peran kelembagaan dan kearifan lokal demi mementingkan kesatuan daripada persatuan serta keragaman, berakibat membelenggu kretivitas dan daya inovasi masyarakat; (4) proses perencanaan dan penganggaran yang belum pro-miskin dan pro-pemberdayaan sangat menghambat kesempatan mobilitas sosial ke atas kelompok miskin; (5) berbagai kebijakan industri, perdagangan dan keuangan yang tidak didahului dnegan peningkatan kapabilitas serta kelembagaan kelompok ekonomi lemah, telah memarginalkan banyak petani, nelayan, buruh, dan UMK (usaha mikro/informal dan kecil).

Ketujuh, bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, kekeringan dan lain sebagainya. Demikian juga kerusuhan sosial baik yang bersifat horisontal dan vertikal yang terjadi di beberapa lokasi seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

Kedelapan, pelaksanaan otonomi daerah dalam masa transisi telah menyebabkan terjadinya mis-managament dan penyimpangan mulai dari aras nasional sampai di aras paling bawah sistem pemerintahan. Bahkan pada masa sekarang, mis-managament bukan hanya terjadi di kalangan eksekutif dan yudikatif namun juga telah menyebar di lembaga legislatif. Kondisi ini telah mengakibatkan terjadinya ketidakefisienan yang sangat luar biasa dalam anggaran pembangunan. Timbulnya mis-managament ini karena kurangnya pemahaman tentang praktek pembangunan, pengendalian pembangunan, dan penegakan hokum. Sistem pengendalian social oleh masyarakat juga belum berjalan karena masyarakat belum terwacanakan dengan baik tentang hakikat otonomi daerah dan pemerintahan daerah. Demokratisasi belum berjalan dengan semestinya.

Kesembilan, kebijakan pembangunan pada masa lalu dirasakan belum berpihak kepada kelompok miskin (pro-poor policy), khususnya dalam kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam maupun sistem keuangan. Kebijakan eksploitasi sumberdaya alam belum dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, karena hanya mengejar pertumbuhan ekonomi. Bahkan telah meminggirkan masyarakat yang berada di lokasi eksploitasi tersebut dan konsesinya hanya diberikan kepada pengusaha-pengusaha besar. Sistem kredit pada masa lalu juga kurang dapat menjangkau dan memberdayakan masyarakat banyak. Sistem kredit yang ada lebih membuka akses kepada pengusaha besar, sedangkan masyarakat miskin sebagian besar tidak dapat mengakses kredit. Kondisi ini bukan hanya telah memiskinkan masyarakat akan tetapi telah menimbulkan ketidakadilan serta kesenjangan antargolongan. Sebagai contoh, pengusaha besar mendapatkan kredit dalam jumlah besar tetapi dengan bunga kecil sekitar 17 persen per tahun, sedangkan pengusaha mikro dan kecil mendapatkan kredit dalam jumlah kecil tetapi bunganya mencapai 50 persen per tahun.

II. Evaluasi Atas Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan

Penanggulangan kemiskinan telah menjadi agenda dan prioritas utama pembangunan nasional sejak lama. Berbagai kebijakan, strategi, program dan proyek PK baik yang bersifat langsung (program khusus) maupun yang bersifat tidak langsung (program sektoral dan regional) telah diimplementasikan baik dalam skala nasional maupun lokal. Hasil yang dicapai dari berbagai upaya pemerintah tersebut secara statistik cukup menggembirakan yang terbukti dari berkurangnya jumlah penduduk miskin secara signifikan sampai dengan tahun 1996. Namun, kecenderungan menurunnya jumlah penduduk miskin tersebut tidak dapat bertahan lama dengan adanya krisis moneter pada pertengahan 1997. Krismon yang kemudian berkembang menjadi krisis politik pada gilirannya telah meluluh-lantakkan prestasi pembangunan dan perekonomian Indonesia. Dampak krisis ekonomi –yang masih dirasakan dampaknya sampai saat ini—secara empiris telah membawa konsekuensi kepada meningkatnya jumlah penduduk miskin sekaligus jumlah penganggur yang sangat besar.

Sebenarnya dalam sepuluh tahun terakhir telah banyak program-program yang pernah dilakukan dalam upaya mengurangi kemiskinan baik yang diluncurkan pemerintah, dunia usaha maupun oleh masyarakat sendiri. Program-program tersebut meliputi program-program di 11 departemen/lembaga pemerintah non-departemen, program-program perbankan umum dan perbankan perkreditan rakyat, dunia usaha, dan masyarakat sendiri.

Tabel 1.
Dana Untuk Mendongkrak Kesejahteraan Penduduk Miskin vs Jumlah Penduduk Miskin

No Tahun Anggaran Pemerintah
(Triliun) Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Jumlah Penduduk Miskin Kota (Juta) Jumlah Penduduk Miskin Desa (Juta)
1 2002 19,212 * 38,40 13,30 25,10
2 2003 22,182 * 37,40 12,30 25,10
3 2004 28,311 * 36,10 11,50 14,60
4 2005 32,812 * 41,12 ** 10,85 ** 30,27 **
Sumber: Depdagri, Depkeu dan BPS (berbagai tahun, diolah)
Catatan: *) Perkiraan, **) Proyeksi

Namun usaha-usaha tersebut belum secara drastis terlihat hasilnya. Bahkan masalah kemiskinan tersebut semakin akut seiring dengan terjadinya krisis pada pertengahan tahun 1997 yang sampai saat inipun masih terasa dampaknya. Kebijakan penanggulangan kemiskinan yang pernah dilakukan terkesan parsial karena setiap terjadi pergantian pemerintahan, konsep lama yang sebenarnya sudah berjalan diabaikan dan dirumuskan kembali kebijakan yang baru. Akibatnya setiap kebijakan belum bisa terlihat hasilnya dan cenderung menjadi komoditas politik untuk mem-presure pemerintahan yang dahulu berkuasa. Di sinilah terlihat bahwa semua kebijakan penanggulangan kemiskinan yang pernah dilakukan cenderung politis dan tidak mendasar. Disamping itu dalam struktur pemerintahan sendiri program yang dijalankan terkesan jalan sendiri-sendiri sehingga simpang siur, tidak fokus, dan membingungkan rakyat.

Secara umum, persoalan tidak efektifnya penyelenggaraan program-program peningkatan kesejahteraan adalah terletak pada minimnya akuntabilitas para pemangku kepentingan dan para pelaksana lapangan. Oleh karena itu, salah satu yang dapat ditawarkan adalah meningkatkan peran dana-mikro sebagai sumber pembiayaan kegiatan ekonomi pada level rumah tangga. Mengapa dana-mikro?, karena dana likuiditas yang tersedia di lembaga-lembaga keuangan sangat berlimpah.

Tabel 2.
Dana Likuiditas Lembaga Keuangan vs Pinjaman-Mikro

No Tahun Dana Likuiditas
(Triliun) Jumlah Pinjaman/Kredit Mikro (Triliun)
1 2002 118,21 * 4,22 **
2 2003 131,44 * 8,17 **
3 2004 148,69 * 13,55 **
4 2005 138,81 * 10,52 **
Sumber: Bank Indonesia dan Depkeu (berbagai tahun, diolah)
Catatan: *) Perkiraan, **) Proyeksi

Pada tahun 2005, Presiden mencanangkan Tahun Keuangan Mikro, sayangnya momen tersebut belum mendapatkan gayung bersambut dari Pemerintah Daerah dengan memanfaatkan peluang ketersediaan dana likuiditas yang besar itu. Banyak yang menyatakan bahwa persoalannya terletak pada ketidaktahuan masyarakat dan termasuk Pemerintah Daerah tentang bagaimana berhubungan dengan lembaga keuangan termasuk bank. Jika saja dana likuiditas tersebut mampu dimanfaatkan secara produktif 30% saja, maka tentu dana tersebut dapat memperbesar kapasitas ekonomi daerah dan mampu menggerakkan roda perekonomian para rumah tangga miskin, asalkan ada pihak yang mampu membina dan mendampingi mereka secara profesional. Sememangnya untuk meningkatkan efektivitas pemanfaatan pinjaman dana-mikro, kebutuhan dan kehadiran seorang pendamping profesional menjadi suatu keharusan, apapun bentuk dan asalnya. Sehingga sering dijumpai adanya sejumlah lembaga keuangan yang menyediakan dana-mikro juga menyediakan pula fasilitas pelayanan nasabah yang dikelola secara profesional.

Pemerintahan yang sedang berjalan sekarang menghadapi hal yang sama yaitu penanggulangan kemiskinan. Tentunya pemerintah harus belajar dari kesalahan para pendahulunya yaitu tidak membuat kebijakan baru sama sekali. Apalagi usia pemerintahan sendiri hanya sampai tahun 2008 sehingga diperlukan kebijakan yang cepat dan tepat. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah yang harus dipilih dan dilakukan oleh Indonesia, kebijakan seperti apa yang harus dikeluarkan, dan kapan seharusnya kebijaksanaan tersebut dilaksanakan dalam menanggulangi kemiskinan saat ini.

Dalam tulisan ini sedikit diulas kebijakan pemerintah untuk upaya penanggulangan kemiskinan. Tujuan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan Pemerintah pada tahun 2004 (sebagaimana tertuang dalam Perpres 7/2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009) adalah mempercepat kemandirian dan kesejahteraan masyarakat miskin yang diupayakan melalui kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah (working together to reduce poverty). Upaya tersebut dilakukan melalui cara-cara berikut: (1) peluasan kesempatan (promoting opportunity) yaitu strategi yang secara tidak langsung mengarah pada kelompok sasaran, tetapi menciptakan suasana dan lingkungan yan mendukung penanggulangan kemiskinan; (2) pemberdayaan masyarakat (community empowerment) sebagai strategi yang secara langsung mengarah pada kelompok masyarakat miskin, (3) perlindungan sosial (social protection) bagi keluarga miskin yang berada di wilayah terpencil melalui upaya khusus; dan (4) penguatan jaringan kerja daerah (regional networking) guna mengoptimalkan kemitraan antara pemerintah, swasta, masyarakat madani dalam membantu masyarakat miskin.

Cara-cara tersebut diterjemahkan dalam empat kelompok program, yaitu:

Pertama, kebijakan ekonomi dengan tujuan mengendalikan kebijakan ekonomi fiskal dan moneter, (i) kebijakan fiskal (fiscal) diarahkan untuk dapat menanggulangi kemiskinan dengan anggaran APBN-nya; dan kebijakan keuangan (moneter) yang diarahkan untuk terciptanya suasana kondusif bagi penciptaan lapangan usaha dan berkembangnya usaha kecil dan menengah; (ii) kebijakan di bidang investasi dan ketenagakerjaan (investment and employment) yang diarahkan untuk menarik investasi yang dapat berdampak pada peningkatan lapangan kerja bagi masyarakat luas sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat bawah (distribusi pendapatan).

Kedua, kebijakan Sosial dan Politik diarahkan untuk (i) peningkatan pelayanan publik (public service) kepada masyarakat dalam penyediaan prasarana/sarana yang dapat menunjang usaha ekonomi dan kegiatan social; (ii) mewujudkan good governance dalam pengelolaan sumber daya (resources management) dan penegakan hokum (law enforcement).

Ketiga, kebijakan usaha kecil dan menengah (small-medium enterprise) diarahkan pada income generating melalui penciptaan input produksi, proses produksi, output produksi dan pemasaran yang efektif dan efisien dan peningkatan kelembagaan ekonomi masyarakat.

Keempat, kebijakan pelayanan kebutuhan dasar (basic need service) meliputi bidang pangan, kesehatan, pendidikan, penyediaan prasarana/sarana berbasis masyarakat dan sistem perlindungan sosial.


III. Strategi Dasar (Yang Seharusnya)

Strategi dasar untuk penanggulangan kemiskinan harus kita kembalikan pada alasan mengapa manusia hidup, yaitu menjadi makhluk bermartabat. Makhluk bermartabat adalah makhluk yang makmur. Untuk itu manusia melakukan usaha (ikhtiar). Ada yang menyebut ikhtiar itu sebagai ibadah. Di Indonesia, alasan untuk membentuk bangsa dan negara Indonesia ini mestilah menjadi strategi dasar untuk mencapai bangsa Indonesia yang tidak miskin lagi, karena dalam UUD 1945 sudah tegas dan bulat menyatakan bahwa negara Indonesia dibentuk untuk melindungi bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan berperanserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam ukuran perencanaan, strategi dasar untuk penanggulangan kemiskinan ini dilakukan oleh upaya mengurangi beban pengeluaran penduduk miskin dan oleh upaya membantu meningkatkan pendapatan/kesejahteraan penduduk miskin.

Bagan 1
Penanggulangan Kemiskinan = Meningkatkan Pendapatan + Meringankan Beban

Pertama: Mengurangi Beban Pengeluaran. Strategi mengurangi beban pengeluaran penduduk miskin adalah segenap upaya pemerintah, swasta, dan masyarakat madani yang secara langsung melakukan campur tangan ke dalam beberapa bentuk kegiatan penduduk miskin dengan tujuan utama pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitan dengan aspek pendidikan, kesehatan, dan perbaikan kebutuhan dasar tertentu lainnya, serta pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia berkaitan dengan perbaikan aspek lingkungan, permukiman, perumahan, dan prasarana pendukungnya.

Kedua: Meningkatkan Pendapatan/Kesejahteraan. Strategi meningkatkan pendapatan penduduk miskin adalah segenap upaya pemerintah, swasta, dan masyarakat madani yang secara langsung melakukan campur tangan ke dalam beberapa bentuk kegiatan penduduk miskin dengan tujuan utama pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitan dengan aspek usaha, lapangan kerja, dan lain-klain yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk miskin.

Bagan 2
Penanggulangan Kemiskinan = Meningkatkan Kesejahteraan



Strategi dasar tersebut merupakan landasan awal pada saat kita memulai menyusun proyeksi pencapaian suatu penanggulangan kemiskinan. Agar dapat melaksanakan strategi itu, maka kita lima hal harus disiapkan, yaitu:

Pertama, mengubah paradigma penanggulangan kemiskinan kemiskinan bukan sebagai upaya memberantas kemiskinan, tapi meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin (rumah tangga miskin).

Kedua, pengarusutamaan peningkatan kesejahteraan keluarga miskin. Pilar ini merujuk pada pengharmonisasian sumber-sumber daya yang ada untuk menggerakkan kesejahteraan keluarga miskin. Pilar ini sederhana namanya, namun dalam realita membutuhkan komitmen yang kuat dari para pesertanya. Siapa mengerjakan apa di suatu kabupaten/kota dan kecamatan harus didefinisikan secara jelas. Apa yang dikerjakan boleh bermacam-macam cara, mulai dari menyediakan fasilitasi/pendampingan, pelayanan keuangan mikro, pelayanan umum dasar, dan seterusnya, namun tujuannya adalah satu, yaitu meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin.

Ketiga, kelembagaan penanggulangan kemiskinan daerah. Mengikuti implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, maka pemerintah daerah telah mempunyai kewenangan lebih dalam mengelola langsung keuangan daerahnya sendiri. Persoalannya terletak pada perhatian pemerintahan daerah (para pimpinan eksekutif maupun legislatif daerah) pada upaya penanggulanga kemiskinan. Untuk mengingatkan tugas dan fungsi meringankan beban dan meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin maka komponen masyarakat harus memperkuat kebersamaan. Dalam hal ini, peran dunia perguruan tinggi dan lembaga/kelompok swadaya masyarakat lokal sangat penting. Dalam menjalankan peran penguatan kelembagaan penanggulangan kemiskinan ini, dukungan dari dunia usaha (perbankan dan yang lainnya) sangat signifikan. Oleh karena itu, suatu forum kelembagaan penanggulangan kemiskinan daerah yang bersifat lintaspelaku (multi-stakeholder) sangat penting ada di daerah yang terutama banyak penduduk miskinnya.

Keempat, melibatkan masyarakat sipil. Bagaimanapun juga, upaya penanggulangan kemiskinan harus menjadi gerakan nasional. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat harus peduli pada upaya membantu penduduk miskin untuk menjadi lebih ringan bebannya dan menjadi sejahtera hidupnya.

Kelima, tersedianya data dasar yang solid. Saat ini telah tersedia Data Rumah Tangga Miskin yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai hasil Sensus Pendataan Sosial Ekonomi Rumah Tangga (PSE.05 RT). Data tersebut dapat menjadi acuan awal untuk menyusun kebutuhan dasar keluarga miskin. Kemudian menetapkan berapa satuan biayanya.


IV. Memanfaatkan Indikator MDGs sebagai Cara Menghitung Kebutuhan Dana Penanggulangan Kemiskinan

Indikator yang menjadi ukuran pencapaian target MDGs dapat melacak perkembangan siklus kehidupan ”manusia”. Manusia –dalam tanda petik—dapat mempunyai arti sebagai keluarga yang terdiri dari kepala keluarga dan anggota keluarganya. Merunut ukuran usianya, maka siklus kehidupan manusia dapat dimulai sejak sebelum kelahiran –berarti adalah ibu hamil--, kemudian dilanjutkan dengan masa kelahiran sejak hari kelahiran hingga usia balita, kemudian berlanjut ke usia anak-anak hingga menginjak masa produktif. Sejak usia produktif, maka ”individu” bersangkutan mempunyai hak untuk bekerja layak, dan selanjutnya hingga mencapai usia pensiun individu tersebut bersiap menikmati masa pensiun. Memasuki usia manula, individu siap melanjutkan siklus kehidupan berikutnya mempersiapkan generasi lebih lanjut. Indikator MDGs dapat mengukur kualitas hidup masing-masing konteks usia dalam siklus kehidupan manusia tersebut.

Bagan 3.
Siklus Kehidupan Manusia Menurut Kualitas Pencapaian MDGs.




MDGs secara tegas menekankan orientasi pada pembangunan manusia sebagai wujud konsep pertumbuhan yang berkualitas. Konsep pertumbuhan manusia dalam MDGs mempunyai ciri khas: (1) menekankan pada pemerataan, artinya MDGs menuntut hak dasar warga negara dapat dipenuhi secara layak oleh negara sehingga dapat mengangkat kesejahteraan penduduk atau membuktikan semakin luas penduduk yang dapat menikmati kesejahteraan sebagai hasil pembangunan; (2) karena semakin banyak penduduk yang meningkat kesejahteraannya, maka pada gilirannya akan lebih banyak lagi sumberdaya manusia yang dapat berkontribusi lebih luas dalam proses pembangunan; dan dengan demikian (3) orientasi pembangunan manusia sesungguhnya diabdikan pada meningkatkan kapasitas warga negara untuk lebih produktif dalam mendorong pertumbuhan yang tidak hanya menghasilkan berbagai bentuk kesenjangan.

Tujuan yang digariskan MDGs dapat dipakai sebagai acuan untuk merumuskan kebijakan pembangunan. Dalam konteks ini, pilihan yang paling baik dalam perencanaan pembangunan adalah dengan mengandalkan unit kabupaten/kota sebagai unit lokasi perencanaan pembangunan. Alasan pilihan ini terletak pada (1) pemerintah kabupaten/kota adalah unit kerja negara yang paling dekat warganya sehingga dianggap paling memahami kondisi warganya; (2) dalam sistem politik pemilihan kepala daerah secara langsung, maka komitmen pemerintah kabupaten/kota dapat dinilai secara langsung oleh warganya untuk jangka waktu lima tahunan.

Box 1
Indikator MDGs

MDGs merupakan kompilasi beberapa variabel dan indikator. Dalam dokumen aslinya berjudul Millenium Indicators Database menyebutkan masing-masing tujuannnya dengan target sebagai berikut:

(1) Tujuan 1 adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, dengan target (i) menurunkan proporsi penduduk miskin ingá 50% antara tahun 1990-2015 (Target 1) dan (ii) menurunkan proporsi penderita kelaparan hingga 50% antara tahun 1990-2015 (Target 2).
(2) Tujuan 2 adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua (education for all), dengan target memberikan kesempatan bagi semua anak laki dan perempuan di manapun untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasar hingga 100% pada tahun 2015 (Target 3).
(3) Tujuan 3 adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, dengan target mengurangi ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar hingga 0% pada tahun 2005 serta mengurangi ketimpangan gender di semua jenjang pendidikan menjadi 0% pada tahun 2015 (Target 4).
(4) Tujuan 4 adalah menurunkan Angka Kematian Anak, dengan target utama menurunkan angka kematian bayi dan balita hingga 2/3 (67%) antara tahun 1990-2015 (Target 5).
(5) Tujuan 5 adalah meningkatkan kesehatan ibu, dengan target utama menurunkan angka kematian ibu hingga ¾ (75%) antara tahun 1990-2015 (Target 6).
(6) Tujuan 6 adalah meredam HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, dengan target (i) mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan menekan jumlah kasus HIV/AIDS baru hingga tahun 2015 (Target 7); dan (ii) mengendalikan penyakit malaria dan penyakit menular berbahaya lainnya serta menekan jumlah kasus malaria dan penyakit menular berbahaya lainnya hingga tahun 2015 (Target 8).
(7) Tujuan 7 adalah memastikan kelestarian lingkungan hidup, dengan target (i) memadukan prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumberdaya lingkungan yang hilang (Target 9); (ii) menurunkan proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum hingga 50% pada tahun 2015 serta menurunkan proporsi penduduk tanpa akses fasilitas sanitasi dasar hingga 50% pada tahun 2015 (Target 10); (iii) memperbaiki kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh hingga tahun 2020 (Target 11).
(8) Tujuan 8 adalah membangun kemitraan global untuk pembangunan, dengan target (i) mengembangkan sistem keuangan dan perdagangan yang lebih terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi, dan tidak diskriminatif (Target 12); (ii) mengembangkan kerjasama global antara negara maju dan negara berkembang dan miskin dalam rangka memberikan kemudahan akses bebas tarif dan kuota eksport (Target 13); (iii) mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan aksesibilitas daerah deratan dan kepulauan kecil (Target 14); (iv) menanggulangi persoalan pinjaman luar negeri melalui upaya nasional maupun internasional dalam rangka pengelolaan pinjaman luar negeri yang berkesinambungan dalam jangka panjang (Target 15); (v) meningkatkan kerjasama antar-negara-negara berkembang dalam mengembangkan dan menerapkan strategi untuk menciptakan lapangan kerja yang layak dan produktif bagi penduduk usia muda (Target 16); (vi) mengembangkan kerjasama dengan perusahaan farmasi untuk menyediakan akses kepada obat-obatan dasar dengan harga terjangkau (Target 17); (vii) meningkatkan kerjasama dengan sektor swasta dalam memanfaatkan teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi (Target 18).

MDGs –meski merupakan produk berlabel Perserikatan Bangsa-Bangsa—bukanlah barang import. MDGs mempunyai kelebihan antara lain yang utama adalah dapat menjadi payung kebijakan pembangunan daerah, khususnya pembangunan kabupaten/kota, karena MDGs telah merangkum semua persoalan dan kebutuhan masyarakat lokal yang harus dihadirkan oleh Negara –yang diwakili oleh pemerintah kabupaten/kota. MDGs sejalan dengan konsep me-reinventing pemerintah kabupaten/kota, menghendaki target pembangunan dapat dicapai secara terukur. Sebagai payung kebijakan yang berisi program/proyek pembangunan dengan sasaran terukur, maka pelaksanaannya pun memerlukan sinergi yang harmonis antar-pelaksana lapangan dengan –tentu saja—melibatkan masyarakat sipil dan kelompok masyarakat setempat/desa sebagai penyelenggara pembangunan itu sendiri. Sehingga dapat menciptakan peluang ekonomi yang lebih luas dan merata bagi warga masyarakat di kabupaten/kota itu sendiri.

Proses menjadikan gagasan MDGs sebagai landasan penyusunan program/proyek pembangunan daerah ke dalam dokumen penganggaran dapat dilakukan melalui suatu siklus perencanaan dan penganggaran program pembangunan (di daerah) berdasarkan target MDGs. Siklus berdasarkan target MDGs ini --sejalan dengan Dunn -- dapat membuat suatu proyek pembangunan dapat dikukur dampaknya. Sehingga suatu kebijakan dapat dinilai efektivitasnya. Untuk lebih lanjut dievaluasi apakah perlu diteruskan atau tidak. Siklus ini dimulai dari proses perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan penilaian. Proses ini memerlukan data yang akurat. Siklus ini ditandai secara penting oleh proses penyusunan anggaran pembangunan yang tertuang dalam APBD. Proses ini memperlukan satuan biaya yang akurat untuk masing-masing pencapaian target MDGs. Kemudian yang menjadi kunci dari siklus ini adalah manajamen pelaksanaan pembangunannya. Hal ini memerlukan koordinasi yang kuat dari bupati/walikota (dalam tataran teknis dapat didelegasikan kepada wakil bupati/wakil walikota).

Bagan 4.
Siklus Perencanaan dan Penganggaran Program Pembangunan (di Daerah) Berdasarkan Target MDGs.




Perencanaan dan Penganggaran

Tujuan MDGs sebagai suatu payung kebijakan yang membumi dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan kabupaten/kota dapat disesuaikan menurut kebutuhan daerah bersangkutan. Sebelum ditentukan nilai anggaran yang dibutuhkan maka diperlukan perhitungan satuan biaya untuk mencapai masing-masing target. Sebagai contoh, satuan biaya untuk meningkatkan taraf pendapatan 1 rumah tangga miskin di Kabupaten X dalam 1 tahun adalah Rp N. Maka jika dalam kabupaten tersebut terdapat R rumah tangga maka diperlukan biaya N x R untuk 1 tahun.

Bagan 5
Contoh Tabel Isian untuk Alur Perencanaan dan Penganggaran

Target MDG Sasaran
(Unit)
(Data) Nama Kegiatan (Program) Output Kegiatan
(n+1) Nilai
Kegiatan Instansi Pelaksana Outcome
Program
(n+2) Impact
(n+3)
Target 1
Target 2
Target 3
Target 4
Target 5
Target 6
Target 7
Target 8
Target 9
Target 10
Target 11
Target 12
Target 15
Target 16
Target 18


Pengarusutamaan

Berangkat dari program pembangunan berbasis target MDGs, maka pemerintah kabupaten/kota dapat menentukan perangkat pelaksana program/proyek pembangunan daerah. Masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mempunyai tanggung-jawab khusus masing-masing sesuai tugas pokok dan fungsinya. Kelemahan dari pendekatan ini adalah adanya kemungkinan SKPD yang tidak mempunyai “tanggung-jawab”, maka SKPD tersebut tidak akan punya peran. Pembagian tugas mengikuti metode perencanaan daerah sesuai klasifikasi Glikson (1955) dapat digambarkan dalam Bagan 6 berikut.

Bagan 6.
Pembagian Tugas dalam Pelaksanaan Pembangunan Daerah Berdasarkan Target MDGs.

Unsur dan Komposisi Ciri-ciri dalam MDGs Pembagian Tugas
1 Folk (F) • Pendidikan.
• Kesehatan.
• Pengarusutamaan gender. • Dinas Pendidikan
• Dinas Kesehatan
• Dinas Pemberdayaan Perempuan
2 Folk / place (F/p) • Air minum.
• Sanitasi.
• Perumahan dan permukiman layak. • Dinas PU
3 Folk / work (F/w) • Kemitraan. • Dinas PMD
4 Place (P) • Perhubungan.
• Transportasi.
• Energi. • Dinas Perhubungan, Transportasi
• Departemen ESDM
5 Place / work (P/w) • Tata ruang wilayah. • Dinas PU
6 Place / folk (P/f) • Penyehatan lingkungan.
• Bebas penyakit menular berbahaya. • Dinas PU
• Dinas Kesehatan
7 Work (W) • Peningkatan konsumsi rumah tangga.
• Peningkatan pendapatan keluarga. • Dinas Tenaga Kerja
8 Work / folk (W/f) • mengembangkan sistem keuangan, akses pasar, aksesibilitas daerah terisolir, penyelesaian persoalan utang, penciptaan lapangan kerja yang layak dan produktif bagi penduduk usia muda, akses kepada obat-obatan dasar dengan harga terjangkau, pemanfaatan teknologi baru dalam mendukung aktivitas sosial-ekonomi. • Dinas Perdagangan
• Dinas Koperasi dan UKM

9 Work / place (W/p) • Konservasi hutan.
• Mencegah emisi gas karbon.
• Penggunaan energi ramah lingkungan. • Dinas Kehutanan
• Dinas Konservasi Lingkungan Hidup
Catatan:
(1) Pembagian tugas bersifat ilustratif dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kabupaten/kota.
(2) Kantor Wakil Walikota/Wakil Bupati dapat menjadi coordinator lintasprogram dan “kepala” lintas-SKPD di kabupaten/kota masing-masing.


V. Pendekatan Pengarusutamaan Kegiatan dan Program

Dalam perencanaan kebijakan pembangunan (baca: pembangunan daerah), sejumlah permasalahan muncul ketika menghadapi keterbatasan sumberdaya pendanaan; keterbatasan elemen pelaksanaan; dan keterbatasan elemen durasi pelaksanaan. Dalam rangka mengatasi pokok permasalahan tersebut maka dikembangkan pendekatan perencanaan daerah. Salah satu metode perencanaan daerah yang menarik untuk ditelaah adalah metode perencanaan daerah yang memberikan pengakuan pada daerah sebagai sistem hunian manusia (planning for habitability). Sistem hunian manusia dipahami sebagai kesatuan subsitem sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan hidup. Sistem ini kemudian diterjemahkan ke dalam variabel berikut:

Pertama, habitan atau elemen masyarakat (Folk=F), yang bermakna bahwa dalam perencanaan kebijakan harus memperhatikan faktor masyarakat. Faktor masyarakat merupakan variabel penting dalam perencanaan pembangunan, karena masyarakat merupakan subyek pembangunan. Pemanfaat hasil pembangunan pada akhirnya adalah masyarakat dan para anggota masyarakat.

Kedua, habitat atau elemen lokasi hunian (Place=P), yang bermakna bahwa dalam perencanaan kebijakan harus memperhatikan faktor lokasi hunian. Faktor lokasi hunian merupakan variabel penting yang lain, karena lokasi hunian harus mampu menyediakan kebutuhan masyarakat yang menghuninya. Persyaratan dasar agar lokasi hunian menjadi layak untuk mendukung masyarakat penghuninya adalah ketersediaan prasarana dan sarana fisik dalam lingkungan hunian tersebut.

Ketiga, ekosistem atau aktivitas ekonomi dari habitan (Work=W), yang bermakna bahwa dalam perencanaan kebijakan harus memperhatikan faktor ekonomi yang memberikan daya hidup kepada masyarakat dan lokasi huniannya. Variabel ekonomi menjadi penting karena tanpa adanya aktivitas ekonomi maka tidak mungkin suatu lokasi hunian menjadi hidup dalam arti yang memadai untuk dihuni oleh suatu masyarakat.

Setiap variabel satu sama lain saling berketerkaitan sehingga memunculkan ”komposisi” yang didominasi oleh unsur intinya. Komposisi variabel-variabel tersebut digambarkan sebagai berikut.

Bagan 7.
Komposisi Variabel Habitan, Habitat, dan Aktivitas Habitan.

F (1) F/p (4) F/w (5)
P/f (6) P (2) P/w (7)
W/f (8) W/p (9) W (3)

Diagram tersebut apabila diamati maka dapat memberikan gambaran tentang pemetaan peran dan fungsi tujuan MDGs dalam mengukur pencapaian pembangunan. Hal ini ditunjukkan oleh konsep:

(1) Pada tataran habitan: semakin meningkatnya pendapatan rumah tangga atau anggotanya maka akan semakin meningkatkan kesejahteraan kolektif masyarakat lokal. Kondisi ini ditunjukkan oleh menurunnya fenomena kemiskinan yang diindikasikan oleh semakin banyaknya perekonomian rumah tangga yang berada di atas garis kemiskinan. Disebutkan bahwa faktor masyarakat merupakan elemen penting dalam pembangunan daerah

(2) Pada tataran habitat: semakin meningkatnya kualitas lingkungan hunian masyarakat akan semakin menurunkan biaya yang harus dikeluarkan oleh rumah tangga atau anggotanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini diindikasikan oleh semakin tersedianya prasarana dan sarana yang memudahkan masyarakat melakukan kegiatan sosial-ekonominya. Kondisi ini diindikasikan antara lain oleh meningkatnya ketersediaan prasarana pendidikan, kesehatan, air minum, dan sanitasi. Dalam tararan ini, daya dukung lokasi hunian sangat dibatasi oleh pertumbuhan penduduk, oleh karena itu dalam situasi tertentu tetap harus memperhatikan pengendalian jumlah penduduk.

(3) Pada tataran aktivitas: semakin meningkatnya aktvitas masyarakat di lokasi hunian mereka akan semakin meningkatkan produktivitas wilayah. Pada situasi tertentu, aktivitas masyarakat dapat terus meningkat sejalan dengan meningkatnya pendidikan, kesehatan, dan peran perempuan dalam mewujudkan kebutuhan masyarakat lokal.

Apabila elemen tersebut disenyawakan, maka didapatkan komposisi yang menggambarkan bentuk kebijakan yang diperlukan untuk mengisi kebutuhan masyarakat (folk), jenis prasarana untuk mengidealkan hunia (place), dan menciptakan aktvitas yang menggerakkan kelangsungan hidup masyarakat dan daya dukung habitatnya.

Bagan 8.
Sifat Dominan pada Komposisi Habitan, Habitat, dan Aktivitas Habitan.

Unsur dan Komposisi Sifat Dominan Ciri-ciri dalam MDGs
1 Folk (F) Peningkatan kapasitas masyarakat. • Pendidikan.
• Kesehatan.
• Pengarusutamaan gender.
2 Folk / place (F/p) Pengembangan perumahan dan permukiman yang layak. • Air minum.
• Sanitasi.
• Perumahan dan permukiman layak.
3 Folk / work (F/w) Pembagian sumberdaya dan peran sosial-ekonomi. • Kemitraan.
4 Place (P) Pembangunan prasarana dan sarana pendukung. • Perhubungan.
• Transportasi.
• Energi.
5 Place / work (P/w) Penataan ruang dan pembangunan zona industri, pertanian, dan konservasi. • Tata ruang wilayah.
6 Place / folk (P/f) Pembangunan prasarana dan sarana pendukung lingkungan hunian dilakukan sejalan dengan penguatan modal sosial. • Penyehatan lingkungan.
• Bebas penyakit menular berbahaya.
7 Work (W) Pembangunan ekonomi dalam rangka menjamin pemenuhan kebutuhan hidup. • Peningkatan konsumsi rumah tangga.
• Peningkatan pendapatan keluarga.
8 Work / folk (W/f) Pembangunan ekonomi menghasilkan kebutuhan dasar yang paling dibutuhkan masyarakat dengan memperhatikan produktivitas dan efisiensi sumberdaya manusia. • mengembangkan sistem keuangan, akses pasar, aksesibilitas daerah terisolir, penyelesaian persoalan utang, penciptaan lapangan kerja yang layak dan produktif bagi penduduk usia muda, akses kepada obat-obatan dasar dengan harga terjangkau, pemanfaatan teknologi baru dalam mendukung aktivitas sosial-ekonomi.
9 Work / place (W/p) Bentuk pekerjaan harus menjaga daya dukung lokasi untuk menjamin keberlanjutan fungsi lingkungan (habitat) dalam menjamin pembangunan ekonomi. • Konservasi hutan.
• Mencegah emisi gas karbon.
• Penggunaan energi ramah lingkungan.



VI. Situasi Kritis Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, DPRD, dan Anggota DPD

Situasi Kritis Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, DPRD, dan Anggota DPD dalam pencapaoan kinerjnya pembangunan di daerah-nya digambarkan dalam hubungan antara sistem demokrasi dan pencapaian pembangunan daerah. Sistem kenegaraan di Indonesia yang demokratis merupakan sistem yang mampu merefleksikan pilihan warga negara. Sistem kenegaraan tersebut flesibel terhadap kebutuhan dan tuntutan warga negara. Hubungan antara demokrasi (adalam konteks daerah) yang diwakili oleh pemilihan langsung Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah (serta termasuk pemilihan DPRD dan pemilihan DPD) dengan pembangunan sangat erat, karena keberlangsungan kepemimpinan mereka dan semikian juga partai politik pengusungnya sangat ditentukan oleh kepuasan warga negara selama masa pemerintahan mereka. Kepuasaan warga negara tentu merupakan buah dari terwujudnya negara kesejahteraan. Sementara kesejahteraan sendiri dapat diwakili oleh indikator pembangunan yang diuraikan lebih lanjut. Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, DPRD, dan Anggota DPD yang gagal dalam mencapai indikator pembangunan yang dijanjikan secara memuaskan maka dalam pemilu (pilkada) berikutnya tidak akan dipilih kembali. Sebaliknya, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, DPRD, dan Anggota DPD yang mampu memuaskan rakyat, pasti akan dipilih kembali dalam pemilu (pilkada) berikutnya. Konteks demikian dapat dijelaskan dalam diagram yang disederhanakan sebagai berikut.

Bagan 9.
Keterkaitan Pilkada dan Pencapaian Pembangunan.


Catatan: RPJM = Rencana Pembangunan Jangka Menengah, RKP = Rencana Kerja Pemerintah, APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Perpres = Peraturan Presiden, UU = Undang-undang, Pemilu = pemilihan umum, parpol = partai politik.

VII. Kesimpulan: Peran Pemerintahan Daerah

Kunci keberhasilan pencapaian pembangunan terletak dari kemauan untuk melakukan perubahan. Jika selama ini pelaksanaan program/proyek pembangunan ada yang tidak diselenggarakan secara sinergi, jika selama ini suatu program/proyek pembangunan dirancang dengan tanpa mengindahkan kebutuhan masyarakat lokal –dan dengan demikian tentu saja tidak memerlukan data kependudukan yang akurat--, jika selama ini moneva hanya menjadi pelengkap pelaksanaan pembangunan –sehingga hasilnya tidak dapat menjadi acuan untuk memperbaiki disain dan pelaksanaan proyek berikutnya--, maka itulah tanda-tanda ketidakefektifan program/proyek pembangunan.

Pernyataan di atas senada dengan gagasan Riggs tentang pentingnya manajemen pembangunan dalam pengelolaan sumberdaya pembangunan, pelaksanaan pembangunan, dan mengendalikan pelaksanaannya untuk menjamin pencapaian secara efektif. Manajemen pemerintah kabupaten/kota harus profesional dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan pembangunan --karena dalam proses politik yang demokratis—tuntutan tanggung-jawab akan semakin besar. Seorang kepala daerah tidak saja menghadapi tuntutan DPRD, namun ia akan menghadapi tuntutan dari warganya. Sehingga ia harus bekerja secara profesional. Oleh karena itu, –bahkan-- jika perlu dilakukan upaya me“reinventing” pemerintah kabupaten/kota melalui jalan “privatisasi” , yaitu memberikan hak pembangunan yang selama berada di tangan satuan kerja perangkat daerah kepada kelompok masyarakat sipil dan kelompok masyarakat desa.

MDGs dapat menjadi dasar penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan yang tolok ukurnya didasarkan pada pencapaian target MDGs sesuai tipologi daerah masing-masing. Upaya ini dipandangf mempunyai kekuatan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan program pembangunan berbasis masyarakat lokal khususnya penduduk kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota dapat semakin menyempurnakan pencapaian tujuan pembangunan daerah. Berdasarkan MDGs, suatu kebijakan program dan proyek pembangunan dapat menjadi lebih sempurna, disain program/proyek pembangunan berskala kabupaten/kota dapat lebih tepat sasaran, pelaksanaan dapat lebih harmonis karena berada dalam satu payung universal yaitu payung MDGs, semakin meningkatnya peranserta masyarakat sipil lokal dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan moneva, serta dapat menjadi wahana peningkatan keberdayaan masyarakat lokal.

Pemerintah kabupaten/kota dapat melakukan: (1) mempersiapkan data populasi penduduk sebagai data dasar pembangunan; (2) mempersiapkan pelaksanaan program pembangunan yang sejalan dengan tujuan MDGs; (3) mempersiapkan proses monitoring dan evaluasi agar dapat menjaga program-program pembangunan berada dalam koridor yang benar untuk mencapai tujuan MDGs; dan (4) mempersiapkan koordinasi dan penyiapan program pembangunan berikutnya agar lebih mempercepat pencapaian MDGs. Implementasi kebijakan pembangunan daerah di kabupaten/kota dapat lebih berdaya guna apabila semua pihak terlibat di dalamnya. Empat langkah di atas, sesuai karakteristiknya dapat diperankan oleh lembaga eksekutif, parlemen (DPRD), dan masyarakat sipil (civil society) di wilayah kabupaten/kota untuk berpartisipasi dalam penciptaan kebijakan yang selaras dengan MDGs.

Pertama, data populasi penduduk sebagai data dasar pembangunan. Rancang bangun kebijakan yang berpihak kepada masyarakat lokal dan peka terhadap MDGs ditentukan oleh keberadaan data populasi penduduk secara akurat di level kabupaten/kota. Data yang akurat merupakan asumsi dasar yang harus dipenuhi untuk menyusun kebijakan pembangunan yang tepat. Pemerintah kabupaten/kota mudah memenuhi hal ini, karena hanya pemerintah kabupaten/kota-lah yang dapat memenuhi ketersediaan informasi dasar tersebut. Asumsi yang harus dipenuhi adalah (1) penyediaan data profil penduduk kabupaten/kota setempat yang berbasiskan nama dan alamat penduduk dalam satu rumah tangga . Profil memuat usia dan status para anggota keluarga seperti tingkat dan kesertaan dalam pendidikan, tingkat dan kesertaan dalam pelayanan kesehatan, jenis dan penghasilan rumah tangga, dan seterusnya; dan berikutnya adalah (2) verifikasi data dasar yang dilakukan secara rutin oleh kelompok pendataan partisipatif lokal. Kelompok ini dibentuk sendiri oleh beberapa rumah tangga (misalnya 200 rumah tangga) dengan mendapatkan failitas dari pemerintah kabupaten/kota setempat. Untuk melakukan upaya tersebut, suatu kerjasama sinergis antara pemerintah kabupaten/kota dengan kelompok masyarakat sipil/masyarakat madani di daerah masing-masing wajib dilakukan. Prinsip ini mengandung arti bahwa terdapat kesetaraan hak dan kewajiban antara pemerintah dan masyarakat. Bagi masyarakat sipil/masyarakat madani, dukungan dapat diberikan dengan memberikan bantuan teknis kepada pemerintah kabupaten/kota untuk memperkuat pendataan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan pembangunan. Bantuan teknis yang diberikan harus dilakukan secara intensif dan mendalam khususnya kepada pemerintah kabupaten/kota.

Kedua, dukungan terhadap pelaksanaan program pembangunan agar sejalan dengan MDGs. Dukungan dapat diberikan dalam bentuk fasilitasi kerjasama sinergis antara pemangku amanat rakyat di pemerintah kabupaten/kota dan masyarakat sipil untuk melaksanakan program pembangunan yang sejalan dengan MDGs. Tujuan program pembangunan akan dapat tercapai apabila dalam pelaksanaannya itu masyarakat memiliki kemampuan dan kekuatan membangun. Bagi masyarakat, kesadaran akan hak dan kewajibannya dalam pembangunan tidak akan pernah tercapai tanpa suatu proses pemberdayaan yang baik dan benar. Oleh karena dukungan pemberdayaan kepada masyarakat sangat diperlukan. Peran ini sesuai dengan karakter masyarakat sipil/masyarakat madani dalam peran pemberdayaan masyarakat.

Ketiga, dukungan untuk memperbaiki proses monitoring dan evaluasi. Dukungan untuk memperkuat pelaksanaan moneva harus dilakukan agar program-program pembangunan dapat selaras dengan pencapaian MDGs dan senantiasa berjalan dalam koridor tujuannya. Dukungan ini mampu memperbaiki proses pelaksanaan monitoring dan evaluasi. Dukungan harus melibatkan elemen masyarakat sipil/masyarakat madani sebagai pelaku pengendalian sosial (social control), serta melibatkan aparat pemerintah kabupaten/kota sebagai instrumen pembelajaran untuk memperbaiki proses monitoring dan evaluasi. Kemampuan monitoring dan evaluasi untuk menjaga dan menjamin pelaksanaan program-program yang selaras dengan pencapaian MDGs dapat dilakukan oleh masyarakat sipil khususnya mereka yang berpraktisi di dunia penelitian dan pengabdian masyarakat. Intinya, proses moneva harus dilakukan oleh pihak di luar struktur pemerintahan agar setiap elemen masyarakat lokal mendapatkan hak berkontribusi dalam pelaksanaan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Keempat, dukungan untuk memperbaiki koordinasi dan penyiapan program pembangunan berikutnya. Dukungan berikutnya adalah memperbaiki koordinasi dan penyiapan program pembangunan di masa mendatang, mengingat meskipun koordinasi antarpelaku sangat penting, namun masih menjadi kendala besar bagi sejumlah pemerintah kabupaten/kota. Peran koordinasi akan sangat baik dilakukan oleh DPRD, karena selain memiliki otoritas dan kekuasaan, DPRD juga merupakan representasi dari elemen-elemen masyarakat lokal. Apalagi jika dihadapkan dengan persoalan mempersiapkan program pembangunan berikutnya, maka DPRD pun harus dapat memahami dinamikan persoalan pembangunan kabupaten/kota. Penyiapan program pembangunan berskala kabupaten/kota sangat ditentukan oleh jumlah penduduknya, oleh karena itu prioritasnya pun harus ditentukan oleh jenis program pembangunan yang dirasakan oleh penduduk paling banyak. Penyempurnaan program pembangunan dapat dilakukan antara lain dengan menilai antara input yang menjadi sumberdaya pembangunan dengan output yang dihasilkan.



--ooOOoo--


Referensi

Arthur Glikson (1955). Regional Planning and Development. The Hague: Leiden.

Bappenas (2007): Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia tahun 2007. Jakarta (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).

Fred W. Riggs (1998). Administrasi Pembangunan. Rajawali: Jakarta.

Hadi Susastro dkk (Editor Kumpulan Tulisan) (2005): Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Kumpulan Tulisan Buku 5: 1997-2005). Penerbit Kanisius dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI): Jakarta.

Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho D (2006). Manajemen Pembangunan Indonesia. Gramedia/Elex Media Komputindo: Jakarta.

Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho D (2007). Manajemen Pemberdayaan. Gramedia/Elex Media Komputindo: Jakarta.

Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho D (2008). Manajemen Privatisasi BUMN. Gramedia/Elex Media Komputindo: Jakarta.

Randy R. Wrihatnolo (2007): Membumikan Millenium Development Goals (MDGs) Kedalam Kebijakan Pembangunan di Daerah, dalam jurnal Perencanaan Pembangunan, edisi Desember 2007.

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium PBB (A/RES/55/2 United Nations Millennium Declaration).

Riant Nugroho D. (2006). Reinventing Pemerintah Daerah. Gramedia/Elex Media Komputindo: Jakarta.

Riant Nugroho D. (2007). Analisis Kebijakan. Gramedia/Elex Media Komputindo: Jakarta.

United Nations Development Programme (UNDP) (2001): Human Development Report 2001. New York (Oxford University Press).

United Nations Development Programme (UNDP) (2008): Human Development Report 2007/2008: Fighting Climate Change (Human Solidarity in a Divided World). New York (Oxford University Press).

William N. Dunn (2006). Analisis Kebijakan Publik. GMU Press: Yogyakarta.

--ooOOoo—

“People’s Financial Institution”

Makalah Lama:
Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal "Perencanaan Pembangunan" Edisi 23 Tahun 2001.

“People’s Financial Institution”
(Perspectives of Regional Authority,Microfinance Institutions, Small-Medium Enterprises,
And Empowering Local Community)

Rendy R. Wrihatnolo

I. Introduction

The root of crisis problems are multidimensional. It has been hit us for about three months. Some analysts suggest that the root of crisis due to both internal problem (domestic) and external problem. Respectively, it is intertwined one another. We almost never know which the real roots are. However, recovering impacts of multidimensional crisis as well as eliminating sources are required immediately. It won’t stop the problem by having feud on the best recovery strategy for recent Indonesian.
Fundamental elements of economic recovery. Through this brief article I shall emphasize that national competitive strategy must prompts four fundamental elements as foundation of economic recovery, they are: national political commitment; law enforcement, national order and security; recovery of public trust to government; and securing basic needs of the people justly. They are to be fulfilled associated with national economic recovery.
Objectives of economic recovery. Short term objective of economic recovery is laying a solid foundation in implementing ordinary development to achieve long term objective to prosper people vertically and horizontally. I call the strategy “national competitive strategy.” Argument is to recover national economic we must improve our national competitive power and we perform it systematically. Therefore we need strategy which is considered as development vision for all development agents, either society –including business- and government- including local government.
Strategy Direction. National competitive strategy encompasses three directions: first, mobilize all domestic potent, resources, and domestic capacity for national economic interest. Second, creating self-supporting character among national economic agents. And, third, improving national competitive toward global competitive through democratic development mechanism upon people prosperity and national interest.
Based on those strategy I shall formulate five policy foundation of national competitive strategy, includes (1) to foster macro economic recovery ; (2) to foster cultivation of natural resources wisely ; (3) to foster real economic development ; (4) to foster supply and distribution of people basic needs justly ; and (5) to foster supporting instrument and infrastructure of economic activities . Five Yearly National Development Program/Program Pembangunan Nasional-lima tahun (Propenas) has accommodated the ideas.
Strategic Implementation. The strategy can be achieved through two development paths, they are regional-sector development path and national-sector development path. The implementation strategy emphasize on creating entrepreneurship among local agents to be self-supporting in developing their region. Therefore, regional-sector development, called regional development, is the very means in implementing national competitive strategy. Development through national-sector development path is to put government as facilitator of regional development which is performed by local government and local society including local entrepreneur. Local government is the key success of national development, is viewed as sector development in each region. Thus, the key success in improving national competitiveness is all regional components or society.
Regarding with regional authority, here are the explanation. Term “autonomous”, simply translated by Webster’s dictionary as “self-governing”, “of a self-governing state, organization, etc.”. In broader sense autonomous term refer to: “autonomous in adopting regional self-governing”. Hence terms regional autonomous (regional authority) springs. In some cases, term of autonomous is contested with term of centralized state management (centralization). Such, rise view that regional autonomous is opponent of centralized state management (centralization). But, some Indonesian scholars, simply interpreting autonomous as process of creating regional self-support, either government system or social order in achieving people prosperity upon national interest, within Negara Kesatuan Republik Indonesia. More precise assessment on it considers autonomous as regional government and regional society autonomous/ Regional authority. Regional society is viewed as development autonomous, that is development rooted on people potent, by people, and for the sake of the whole people.
Related with national banking, there are facts that national banking system is ruining it self which indicated by failure of banking role in anticipating economic crisis impact. National banking role in the coming of crisis has indeed distorted. National banking are considered and claimed incapable to function properly through it operation standard procedure. Such conditions are inevitable due to individual and non economic interest violation to the efficiency principle as a credo of business-minded institution. Bank functions either representing public interest “to serve the public” or representing individual “bank owner” become biased. Even bank represents interest beyond the two, interest beyond ordinary. Due to these distortion ordinary people become the victim, even the worst, national banking system can not afford crisis impact anymore.
Meanwhile, national banking system has not qualified to apply a true banking system by based on facts and long history of empirical experience of national economic. Now, we need a fundamental reformulation toward national banking system to be effective in developing conducive and constructive climate to develop economic activities which are directly performed by all regional society. Recently, national banking system adopts branch banking system. The system is applied in countries such as British, Australia, New Zealand, Canada, Hong Kong (England), and South Africa. In addition, there is unit banking system which is only applied in United States of America . Others countries, apply hybrid banking system, like Japan, German, India, and French . The main problem in adopting national banking system is the fact that almost all larger national bank have branches throughout Indonesia whose customer are almost all segments of society, which provides various financial services. So, as crisis hit Indonesia they (national banks) collapsed one by one. The impact is that all financial services halted. Regional economic activities cries out for funding problem. And regional economic activities –majority are small scale economic activity and small business –will fail to perform, respectively. .

II. Challenges in Developing Small Business

In the world where geographic boundary is not significant, national economic become integrated into global economic. Gradually, boundary and partition used to protect economic activity are melted. The turbulent and massive global economic activity enable the flow of people, goods, service and information become more advantageous in term of speed, quantity, quality and cost than before.
In this changing process, only those whose advanced economic that will grab economic opportunities. While the weak economic will stand still. In fact, small entrepreneur is the largest part of those with weak economic. Whereas, small entrepreneur with their business which is scattered throughout small villages and intensive in labour open chances to create rural economic activity that absorb unemployment and reduce poverty.
To pace with undergoing changes and on going development, small entrepreneur needs to be adaptive in efforts to improve their competitiveness. Small businesses, them selves, can not be adaptive. Due to lack of production assets and demand of higher competition invites government to support, protect and pay attention and make effort to empower small business.
Here improvement to production assets, particularly toward fund resources finds its important role. For small business, access to fund resources is initial motivator for economic capital building to improve production and income surplus to be used in capital accumulation. In other word, fund supply is basic for capital accumulation and it is foundation in expanding structural changes.
Small business in Indonesia is featured by some weaknesses as follow: first, lack of access toward fund resources, second, lack of technological skill and mastery, and third, lack of marketing strategy, fourth, not competitive business environment. These weaknesses bring about low production among small business. Low output resulting low income. Low income implies in declining productivity that affect quantity and quality product.
It is unsurprisingly that large number of small business only occupy few of production asset and less contribution to national production. BPS data in 1998 suggests that 61,1% of national production constituted only 0,2% relative to the whole company in Indonesia. This figure equal to 66.428 company. The rest of it, 98,8%, or 33,4 millions company in Indonesia only occupy 38,9% of national production. Group of 0,2% is group of large and larger business. While, 98,8% is group of small and smaller business. In addition, business world structure shows that small-micro business contributes 99,4% employment and absorbs up to 84% employment, but only contribute 14% of GDP.
The inequality shows imperfection in national business structure. Such condition is very fragile in facing competition toward foreign country. In globalisation era competition is not only supported by larger company but requires support from small qualified-company. These are our future challenges to foster small and middle industry hand in hand with larger industry to become a foundation for strong national development.

III. Ideas in Managing Small Business

Efforts to be formulated in managing and empower small business must be directed into three levels. First, direct action, whose direction, practice and effect directly related to small business. This action may directly solve internal problem faced by small business. Direct action, at least, includes: provide fund aid and stimulant capital aid, human resources improvement and training assistance, technological instrument and infrastructure assistance, assistance of information system and business information network, and assistance of people institution empowerment and apparatus in managing activity within circle of small business empowerment. Secondly, indirectly action, that is action whose direction, practice, and its impact indirectly related to the objective of forming effective and income generating small business. Including in these action are: providing assistance for physical development such as road network, bridges, dock, market, development of public transportation, development of basic social infrastructure like health and education facility, and development of public service infrastructure. However, indirect action is still important to support small business empowerment in its role as one of empowered national economic agent. And thirdly, specific action, that is action required refinement assistance in handling special case experienced by small business. Specific action is implemented into special assistance that co-ordinate various assistance for small business empowerment.
Three of them shall accommodate action in developing small business, to alleviate small business. Meanwhile, alleviating small business, must refer to the real problem which is faced by small business, upon direction of national development. They may include actions below: supporting for small business empowerment, creating access to fund resources for small business, linkages to larger business, and creating fair and healthy business environment and competition.
Empowerment toward small business is implemented through actions in improving skill and quality of small business. Related to that issue, the most important thing to do for small business is how to make them prepare with skill such as understanding business management, mastering in production technology, and marketing aspect. Having the skill, small business run their business efficiently, productive and based on market demand.
Meanwhile, at funding aspect, recent fact shows that few financial or fund institution which deliver their fund for small business credit in proportion. Proportional means that fund is allocated according to proportion of small, medium and large business, and the needs of fund to be lent must obey existing rule. In addition, fact shows that few financial institution which specialise on improvement and providing credit for small business. Formal financial institution, usually prefer to facilitate large business which meet technical bank criteria than small one.
On that ground, there is a need to identify the needs of financial institution for any kind business as well as way to implement and empower into cluster as follows:
First group, advanced economic agent, is one who capable to productively compete in the market. They have great access to production asset to support their economic activity to become large scale business. Advanced economic is grouped based on the capacity of business that is known as formal large business group. For the formal groups, particularly large one, formal financial institution including bank and non bank institution are available. They get business capital from banks.
The second group, transition economic agents, are those who are developing but government still need to facilitate them to improve their competitiveness in the market. This group is grouped according to business capacity, known as informal small business. For small business, particularly informal one, they need financial institution with appropriate business status and feasible loan terms for them. To informal group, however, availability various fund resources do not solve problem as they still need to have access to more formal institution for them not to be trapped to illegal creditor. Capital access for them must be promoted.
The third group, less developed economic agent which is indicated by their incapability to gain production access and economically not competitive. To be true, small business is less developed economic so that government must support them by siding with (targeting) and assistance from developed economic agent. Government is the right institution to facilitate the efforts into subsidy and tax policy. In brief, government has to function in retrieving tax from economic developed agent and distribute it to the less developed agent through subsidy. We must bear in mind that subsidy is only a stimulant. Thus, partnership between developed and less developed agent actually is a manifestation of co-operative facilitated by government.
To transition economic group who has higher chance to develop need to be endorsed to adopt micro credit provided by government, either through program scheme credit or regional development fund assistance scheme. Underdeveloped economic agent is facilitated with micro finance provided by government through block grant as continual grant associate with physical assistance projected by government to underdeveloped group.
One of requirement in improving small business has to do with creating business link to larger one. Linkage between small, medium and large business must be promoted into mutual relations. Ideally, the linkage is not patron-client (pity-based relations) since it is not favourable for the long term both for small business and “foster-parents/bapak angkat” company. In addition, to achieve effectiveness of partnership we need to develop partnership among all business level, business partnership among region, and partnership to improve human resources, knowledge and technology.
Problem facing by small business also concerning with external challenge, that is environment policy which not conducive yet for the growth of small business. Regard this small business is powerless economic group and lack of production quality and capacity compared to large group business. Therefore government and development agents must clearly and firmly take side with small business.
Siding with small business is interpreted by specific policy to protect one. The policy is precise, particularly, because often access small business to fund resources is not as big as large business, due to assumption that credit to them is high risk. However, this policy is not unlimited thing. At particular time, protection to small business must be sharpened through empowerment associated with the growth and of them. Some protection policies may be take form of Act on Small Business and Act of New Co-operative. Both has not been activated due to no details technical guidance yet. However, some operational through array of development programs have been released to promote small business.

IV. Pattern of Funding for Small Business

Direction of small business development is to improve productivity, competitiveness, and business scale of small business. Policy of small business development must be laid on awareness to develop and empower small business. The policy laid on some steps, particularly related to strengthen management and capital.
Thus, January Policy Package of 1990 (Paket Kebijaksanaan Januari 1990) enables small business to receive credit of small business (KUK), including 20% of credit which is distributed to each bank, excluding foreign bank. Other policy, i.e. development of public credit program (Kupedes) of Bank Rakyat Indonesia (BRI), either in form of investment credit or intensive capital credit, which since 1 May 1990 it’s credit ceiling has been increased from Rp.10 million to Rp.25 million per customer. Policy package and issuing law are first steps to enforce finance institution to serve small business.
Major problem of most small business is providing initial capital to start economic cycle. Therefore, capital service such as credit urgent to be launched in particular time. Credit provision which is launched temporarily is to increase production followed by increasing marketing and surplus as saving to start capital self-supported.
Capital service, substantially, must create business surplus and be managed properly and transparently which refer to the principles of: acceptable, easy to take and use; accountable, transparently manage and accountable; profitable, generate adequate income and educate people to manage activity economically; sustainable, product can be maintained and extended use by people; replicable, fund management and maintenance is done and develop by people in larger scale.
Now, there are various funding institutions either formal or informal finance institution adopting co-operative system and banking principle. Both services delivery system can be distinguished as follows:
First pattern which is included and mentioned in Banking Act as Old Fashioned BPR (BPR Gaya Lama). This pattern including finance institution that established before Pakto 1988 (October Package). BPR Gaya Lama consists of: Bank Desa (Rural Bank), Lumbung Desa (Village Saving), Bank Pasar (Market Bank), Lumbung Pitih Nagari (LPN) at Sumatera Barat, Lembaga Perkreditan Desa (Rural credit Institution) at Bali, BKPD at West Java, Badan Kredit Kecamatan (County Credit Body) at Central Java and Kalimantan.
Second is pattern of Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (HBK)/ Bank Communications and NGO. The pattern involves public banks as fund provider, Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM)/Agent for people’s self-developing as technical guidance for small business group, and small business group as economic agent. This pattern can be performed indirectly, either public bank delivers fund to group of small business through LPSM as developer of small business or directly, public bank delivers fund to group of entrepreneur without LPSM.
The third pattern is credit delivery through co-operative, such as Kredit Candak Kulak (KCK) which has been reformulated as Saving Centre/Tempat Pelayanan Simpan Pinjam KUD (TPSP-KUD), Kredit Usaha Tani (KUT)/Agriculture Business Credit, Kredit Pedesaan (Bukopin)/Rural Credit, Unit Simpan Pinjam (USP-KUD)/Credit-Saving Unit, and Koperasi Kredit dan Usaha Simpan Pinjam non-KUD/Non KUD Credit Co-operative and Credit-Saving Business.
Now, there are programs of credit scheme by finance institution into cooperative. Delivered fund is micro credit which most of them are used to fund agriculture development in rural area. Target for micro credit delivery is low-income society to support program of block grant in order to increase small business group’s income and profit. Program credit is banking credit which part of or the whole fund is supported by Credit of Bank Indonesia (KLBI).
Some micro credit for small business which is delivered through cooperative including Credit scheme Kredit Usaha Tani (KUT) , Kredit kepada Cooperative (KKop) , Credit to Primary Cooperative’s Members/ Kredit Kepada Koperasi untuk Anggotanya (KKPA) , Credit to Small and Micro Business/Kredit kepada Pengusaha Kecil dan Mikro (KPKM) , Kredit/Pembiayaan Modal Kerja kepada BPR/BPRS (KMK BPR/PMK BPRS) , and Proyek Kredit Mikro (PKM) .
The fourth pattern related to programs which are carried and managed by technical department aimed to develop particular group society such as Project in Improving Peasants/ Peningkatan Pendapatan Petani Kecil dan Nelayan (P4K) of Agriculture Department, Credit of People Education Kredit Pendidikan Masyarakat (Dikmas) of Department of Education and Culture, Efforts to Improve Members of Family Planning Household/ Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor Keluarga Berencana which is developed to become Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) of Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKN, dan Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP) of Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa, Departemen Dalam Negeri.
Fifth Pattern, development of capital venture in some areas that is carried out by Finance Department. Some characteristics of venture capital include: risk capital, active investment, temporarily investment, capacity in funding all level of business growth, and demanding capital gain upon investment.
The Sixth Pattern, Pawning. A pawning is finance institution that very popular among small businessmen. Customers borrow some money that is considered equal to value of the goods to be pawned. Customers is obliged to pay particular interest when due time for payback basic loan. Pawning pattern is something commonly used either by private and public institution. Public Enterprise of Pawning is finance institution adopting this pattern. Its existence is widely known throughout provinces.

V. Ideal Finance Institution

In those capital delivery we need an ideal finance institution that has social characteristics based on corporativeness, and economic feature by applying economic principle through procedure and banking criteria. Corporativeness begins with knowing each other, helping each other, and applying economic calculation. Economic principle encompasses four elements, they are favourable unit activities, simple but reliable accounting system to check and control, transaction accounting separated from other activity and autonomous in decision making.
At least they have meet four requirements follow: First, those institution meets legal and formal to have public legitimate for it’s existence. Second, they must be transparent, controllable and assessable by people. Third, they must benefit for all the people and for it own continuity. The fourth, they must be able to give finance service that is accessible for the people.
In funding small business, there are basic things to be considered to strengthen fund and credit institution:
First, agreement in perception among actor of development program/project of fund delivery to community. Agreement is upon the important of capital accumulation.
Second, by the same perception shall bring agreement to improve delivery system of various existing finance and credit for the small business to have optimum service.
Third, reformulation of delivery system is part of effort in integrating and matching development pattern among existing institution. Reformulation shall be associated with establishing finance institution that is particularly directed to serve small business based on readiness and aspiration of the people. Institution must have authority as intermediary agent that mediating development of informal finance institution to become formal one within national monetary system guidance.
Fourth, all above steps greatly depend on the role of central bank (Bank Indonesia). Bappenas as co-ordinator of national development, Finance Department as supervisor of finance institution, related technical department/institution as development program/project executor, public banks as technical supervisor for small entrepreneur, and NGO as small business assistance.

VI. Consolidating the Direction of Fund Current

The most important indicator that determine soundness of people empowerment is the naturally growth of structural changing process. This changing happened as regional skill improvement is sound enough to the continually-adequate improvement of people prosperity which indicated by increasing of capital accumulation at regional level. The Enhancing and building of the more various local economic activity will foster the increasing of money demand. That finance institution finds its important to define local creativity in mobilising regional economic activity.
In optimising fund management we may need Unit of Finance Management/Unit Pengelola Keuangan (UPK) at village and county level run by members local community. UPK functions as finance institution that accommodate and manage various assistance and fund deliver to society, is called social-economic institution in charge of fund delivery mechanism.
Local community skill in managing resources including capital resources at certain region is one of indicator to measure the effectiveness of rural finance institution system through local community UPK into income generating activity. Indicator of effectiveness can be measured to the increasing of capital accumulation through saving rate and fund delivery to the following community group who are going to enjoy access to capital resources. In this stage, strengthening of UPK’s role is aimed in consolidating community social-economic institution to perform development program/activity of and by the local community.
Initially UPK may be a finance institution of people economic activity funding that is consciously directed, organised and sustained by local community without bureaucratic intervention. Government is only stimulating a conducive climate in developing UPK through policy and rule that protect and free local community to do business. Local bureaucracy (particularly, element of village and county authority) must provide people with driving space to control UPK, and autonomous UPK as people’s finance institution/lembaga keuangan masyarakat (LKM) which is featured by: established/initiated and own by people, organised by people including in designing system applied in LKM based on agreement and interest of people, informal (not engaged to any legal-formal rule), and useful and favourable for all party.
In the next phase UPK may be developed as intermediary institution bridging between community (into community group) and bank institution. Initially institution status may be maintained as non bank finance institution and informal institution (in term of legality) and own by people (public share). To perform the role according to capacity and status, however, UPK must organised good financial management to provide accurate, complete an actual information on financial statement of local community at certain village or county. Therefore, in whenever needed the development of local economic and financial statement can be monitored at certain area and region.
LKM is a discussion forum to activate community social-economic activity, i.e. through directed, co-ordinated development planning which laid on community development within body of Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP)/Regional Development Unit at county. UPK is expected to improve planning, organising, monitoring, funding, maintaining, and developing various input or output of development programmes that are accessible by people. The improvement includes institution, human resources (both apparatus and community), instrument and infrastructure, and local income generating activity.
Activity cycle of economic activity in micro aspect that develop at village and county area, is expected to perform with continuity, integrated, and interrelated to macro aspect at higher level. Interrelation in micro and macro economic cycle, at last, is expected to create comprehensive integrated economic activity through process of bottom-up and top down development. We may draw conclusion that there will be integration and interrelation among economic activity from national level to province, regency/municipality, county, village, and individual.
Role consolidation and function of UPK in the next phase must be directed to create means of development fund management that flow to county to be used as stimulus fund for development at rural area. Such concept must represent features of Act no. 22 1999/ (UU Nomor 22 Tahun 1999) on Regional Government and Act No. 25 1999 (UU Nomor 25 Tahun 1999) on Budget Balancing between National and Regional Government (Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah). Both Acts mentioned that performing regional authority consolidation is directed toward people empowerment and empowerment of government apparatus to support people empowerment (UU 22/1999) based on capacity and regional needs (within certain territory/region) and local community (within community), is called principle of resources base development (UU 25/1999). Empowerment instrument is performed through strengthening local development institution (institutional strengthening), particularly by improving skill/training on mechanism of financial management for development. In local range that function is performed by community local financial institution and privately managed by local people.
Some prominent characteristics in strengthening the role of UPK are: first, UPK development is sustainable fund activities in nature, means that activity mechanism is only emphasis on facilitating local NGO activity which need fund as a “start up” and expected to be continued to achieve self-supporting in funding the activity (revolving fund).
Second, UPK activity is explorative toward local community potential in optimising either skill or power to generate local income (local resources base for job creation to generate local income).
Third, UPK activity is directed to improve financial management skill to generate local income, mediating between community group and banking institution (intermediary banking institution) and to support banking mission as the extended hand of local monetary authority and agent of development (micro finance activities and not micro credit scheme).
Fourth, UPK activity is expected to help market agent in meeting demand and supply transparently and directed to support the flow of market information which easily and directly accessed by local community (direct access to local market information).
Fifth, UPK activity is expected to improve local capacity, particularly at rural area to create entrepreneurship and enhance local community income (enhance capacity of small to medium scale entrepreneurship within local community).
Sixth, UPK activity is directed to be explored as alternative source of real local income and to support regional authority (increasing local government revenues towards sustainable income).
And seventh, UPK activity is directed as intermediary mechanism of social-economic activity of local community. As intermediary, UPK functions as co-ordinator in implementing development program of sector, regional, and cross-sector and cross-regional and capable to create rural-urban linkages development as an effort to enhance capacity of people and apparatus (capacity building and institution building) either the institution (institutional strengthening) or human resources (human resource development). Development linkages between rural-urban territory are implemented by developing agriculture business system. By UPK activity, development linkages which is mentioned in agribusiness system can be performed sustainability (increasing sustainable activities within agribusiness system).

VII. Principle in Managing Institution of Local Development Fund

Fund for each development program that is delivered to village, firstly, flowing to county and there is administered by UPK. The main role of UPK is to record, administer, and sustain fund for local generate income activity, through activity of accumulating, distributing, saving, and delivering fund to the needed community group. The sustainability of local generate income activity must be maintained, therefore we need fund delivery mechanism. This mechanism is viewed as guidance for the agent, both at village and county level.
Revolving mechanism is based on principle “of and by the people” performed by involved party in UPK by institutionalizing principle of “sustaining source of endowment fund.” Business capital fund within a development program (development aid) is directed to become an endowment fund that is accessible by poor people at village continually. Management of business capital fund revolving is performed by UPK and at county and village, respectively. (Tim Pengelola Keuangan/Financial Management Team) is a supporting unit.
Revolving of Fund Program is a process, including way of, sustaining and developing business capital fund from the return of basic credit plus credit-interest of generate income activity by community group. Revolving is performed by re-loan those business fund capital to community group, both that has achieved generate income activity or not yet.
Fund management which is performed by UPK and TPK based on agreement made in UDKP forum. People as fund shareholder uses UDKP forum at county level to make decision including fund revolving and at village as forum of decision making and development.
The Objective of revolving is to guarantee the return of basic credit plus payment of interest rate for community group to be re-loaned again to community group as business capital of generate income activity that is accessible by simple mechanism in managing UPK and decided in the UDKP forum. At village level, it is expected to have improvement of capacity of rural community through TPK organization and activity, in coordinated accumulation of business capital fund that has not been delivered to UPK at county level. Fund revolving is directed to improve sustainability prosperity. To achieve this, there must be a principle and direction in managing UPK and fund revolving.
Fund revolving is the most important element in performing UPK. UPK need to be prepared in order to manage all fund that flows to village coordinated by UDKP at county level. Therefore effectiveness in managing UPK to allocate (fund, facility, and infrastructure) must obey variables below:
First, variable of targeting, that is defining target must be properly aimed to the subject (receiver) (targeted to the poorest of the poor), properly targeted location (territory/area), properly targeted allocation (fund), and properly targeted activity (economic activity).
Second, variable of delivery (delivering). That is aid delivery must apply mechanism of quick disbursement, on time, direct grant, fully cash money, simple procedure, transparent, and accountability.
Third, variable of receiving (receiving). That is, aid must be received by all community group members and they are ready to receive and use it with cooperative within local community institution. Benefit and result of aid management (Use of) must be transparent and accountable.
Fourth, variable of revolving (revolving). That aid revolving must be performed based on local socio-cultural and economic condition. Aid must be considered as stimulus (initial capital) in funding generate income activity that creating and generating sustainable economic activities. Mainly, economic activity that backward and forward linkages.
Fifth, variable of monitoring and evaluation (monitoring and evaluation). Monitoring and evaluation must be performed to provide data and information that support decision making (decision support system) to measure effectiveness, reformulation, and refinement of on going implementation and next policy. Monitoring is aimed to community group, fund usage, and implementation must provide simple, measured and easy to evaluate record.
Based on those variables we draw indicators of revolving direction as follows: (1) creating fund accumulation as business capital at county and village level; (2) availability of endowment fund that is accessible by people, mainly for poorest of the poor, at county and village level; (3) development of generate economic activity among community group; (4) development of local generate economic activity; (5) improving people participation in decision making to use fund as business capital; (6) develop capacity of community at county and village level in managing financial; and (7) increasing of local demand toward money that enables UPK develop as intermediary institution that provide cheap fund for local community in developing and generate further local income economic activity.
Implementation of fund revolving follows principles below: first, principle of transparency, means that ways, procedure and decision in revolving business capital fund so that accountable to community at village and county, as the owner of business fund capital; and accessible by people regularly.
Second, principle of siding-with (targeting), means that every decision on business capital fund revolving must siding with the interest of less developed people in county scope; starting from villages that has already received fund aid and develop to others villages which is participated in UDKP forum.
Third, principle of simplicity, means that every decision on business capital fund revolving must be simplified to less developed people in proposing and receiving fund.
Fourth, principle of institution, means that ways and procedures in decision making to revolve business capital fund must be institutionalized, including matters related to the changing ways and procedures of revolving, to simplify people in monitoring and evaluating performance of UPK.
Fifth, principle of empowerment, means that fund revolving process and decision making on revolving must consider effort to grow and improve the capacity of larger scale community mainly in economics indicating by the increase in income, demand, saving, developing business activity, and capacity to access adequate basic education and health, mainly for group of less developed people.
Sixth, principle of competition, means that every fund revolving decision must motivate the development of a fair and healthy competition climate, individually or collectively, indicated, among others, by giving priority to village that percentage of return of initial credit relative to total credit are higher than other villages.
Seventh, principle development, means that every revolving decision of business capital fund must be able to motivate the development of business capital fund to generate income and county economic activity.

VIII. Closing Remark

Motivated by awareness to empower people’s economic by developing small entrepreneur, so finance institution that highly commit to community and small entrepreneur is urgently required. It is more urgent as we are facing the global economic which demanding high competitiveness in the global world.
Relating to economic self-supporting and capital accumulation, finance agents has been burdened with moral accountability to prepare small entrepreneur to access funding resources in opening chances in establishing or expanding business. The role which is played by finance agent including. First, preparing in creating business access and poor people to the funding. Second, preparing small entrepreneur to use fund effectively and efficiently, including improvement managerial skill, technology and marketing. And third, hand in hand with related government apparatus imposing positive understanding that any single amount of capital to be received from credit must generate business surplus, to be saved, and re-invested to develop business, and return to.
In addition, financial institution as part of development agent is required to improve their performance and professionally provide service and showing loyalty, faithfulness, accountability, fairness, discipline, controlled and matured, and dignity that shall produce the best public service, particularly for poor people.


References

Erna Ermawati Chotim, Juni Thamrin (editor). Pemberdayaan dan Replikasi Aspek Finansial Usaha Kecil di Indonesia. Yayasan Akatiga. Bandung. 1997.

Ginandjar Kartasasmita. Development for The People: Integrating the Growth and Distribution. First publishing. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. 1996.

Hasan Basri (editor). People’s Economic Development. Bina Rena Pariwara. Jakarta. 1999.

Mari Pangestu (editor). Small-Scale Business Development and Competitive Policy. First Edition. CSIS. Jakarta. 1996.

Roderick Brazier, Sahala Sianipar (editor). Indonesia’s Anti-Monopoly Law and Its Impact on Small and Medium Enterprises. The Asia Foundation and USAID. Jakarta. April 1999.

Shujiro Uratha. Policy Recommendation for SME Promotion in The Republic of Indonesia. Report to Coordination Minister of Economiy, Finance, and Industry. July 2000.

Sidqy L.P. Suyitno. Konsep Refomasi Perbankan Nasional serta Restrukturisasi dan Rekapitulasi Lembaga Keuangan Masyarakat (LKM) Dalam Rangka Pengembangan Sistem Ekonomi Kerakyatan. article was presented at Seminar on Development Micro Finance Institution, held by Kantor Menko Perekonomian, 24 Oktober 2000.


Magazine and Journal

Usaha Kecil Pada Masa Krisis Mampukah Bangkit? Journal Analisis Sosial. Vol.4. No.1. Januari 1999. The Asia Foundation and USAID.


Report and Proceeding

Bank Indonesia. Annual Report 1998/1999, Bank Indonesia, Jakarta, 1999.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan (MoIT). Industri Kecil Dalam Angka Tahun 2000. Jakarta. Februari 2000.

Konperensi Nasional Usaha Kecil. Meningkatkan Kontribusi Usaha Kecil dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Second Edition. ISEI-KADIN-The Asia Foundation. 1998.

OECD Documents. SMEs: Employment, Innovation and Growth. The Washington Workshop. 1996.

Tim Usaha Kecil. Studi Monitoring Dampak Krisis Terhadap Usaha Kecil. Final Report. AKATIGA-The Asia Foundation-USAID. Jakarta. 1999.


Manual and Guidelines

Manual Teknis (Implementation Manual). Program Pengembangan Kecamatan Tahun Anggaran 1999/2000, Tim Koordinasi Pengelolaan Bantuan PPK. 1999.

Panduan Program (Program Guidelines). Program Inpres Desa Tertinggal, Bappenas-Depdagri, Jakarta, March. 1994.

Pedoman Umum (Program Guidelines). Program Pengembangan Kecamatan Tahun Anggaran 1999/2000, Tim Koordinasi Pengelolaan Bantuan PPK. 1999.

Petunjuk Pelaksanaan (Implementation Manual). Program Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah serta Pedagang Kecil dan Menengah. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (MoIT). 1999.

Petunjuk Teknis (Technical Manual). Program Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah serta Pedagang Kecil dan Menengah. Departemen Perindustrian dan Perdagangan (MoIT). 1999.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Tanggapan atas Gagasan Desentralisasi BUMN

Tanggapan atas Gagasan Desentralisasi BUMN
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

Pada tanggal 7 Juli 2008 di website “inilah.com” Ichsan Loulembah menulis artikel berjudul "Desentralisasi" BUMN”. Artikel tersebut mencoba mengangkat kembali isu bertema yang sama yang pernah dimuat di harian umum Kompas 8 Juli 2005 berjudul “Melihat BUMN dari Sisi Lain: Memindahkan Kantor Pusat ke Daerah demi Pemerataan“ yang ditulis oleh Ignasius Jonan. Ichsan mengutip kembali ungkapan Ignatius upaya desentralisasi BUMN merupakan sebuah upaya bertujuan memeratakan pembangunan di daerah (di luar Jakarta) yang dinilai berjalan lambat dengan melalui suatu langkah terobosan. Salah satu yang dipersoalkan Ignatius adalah kenyataan di mana sebagian besar dana masyarakat dan kucuran kredit secara nasional masih tersentralisasi di Jakarta.

Menurut Ignatius, terdapat beberapa alasan untuk membuktikannya yaitu (1) perolehan pajak nasional sebagian besar masih dikontribusikan oleh kegiatan usaha di Jakarta; (2) berkembangnya pendekatan grouping (atau regrouping) dan memilih cara-cara cluster dalam kegiatan bisnis dan industrinya di berbagai negara baik secara alamiah maupun terencana; (3) sejumlah perusahaan (walau bukan state owned companies) yang dimiliki swasta menempatkan/memulai bisnisnya di lokasi (daerah) tertentu mengikuti sejarah industri dan akibat kebijakan pemerintah; dan (4) peredaran uang dan modal maupun pusat pengendalian bermacam sektor ekonomi berpusat di Jakarta dan daerah ahanya menjadi tempat produksi saja. Implikasinya secara ekonomi sangat luas, paling tidak data hingga tahun 2005 menyebutkan bahwa secara umum 52% dari Rp. 951 triliun dana masyarakat di bank umum tersentralisasi di Jakarta, dan sisanya 48% dana masyarakat terbagi untuk 29 provinsi lainnya.

Usulan Ignatius kemudian diangkat kembali oleh Ichsan Loulembah agar diperhatikan kembali dengan pertimbangan: pertama, Jakarta dan belakangan Surabaya telah semakin padat, baik dari segi kepadatan properti yang menjulang, terlampau panas dari segi peredaran uang. Menurut Ichsan hal ini tidak sehat bukan saja dari segi ekonomi,namun yang lebih penting secara sosial-politik, dalam jangka panjang. Juga akan membangkitkan berbagai sektor penyertanya. Kedua, upaya pemindahan berbagai kantor pusat BUMN itu juga memberi keseimbangan baru atas terserapnya' berbagai jagoan daerah sektor swasta ke Jakarta. Sampoerna, Djarum, Gudang Garam, misalnya. Walau industri rokok mereka tetap berada di daerah asal, namun kini mereka merambah ke berbagai sektor seperti perbankan, properti, dan kemudian berpusat di Jakarta. Begitu juga nama-nama besar di sektor lainnya. Berbagai pemain utama swasta kini, dulunya adalah pengusaha daerah. Baik itu karena generasi pertama pendiri kelompok usaha mereka berawal di daerah mereka. Sebut saja keluarga Kalla, Bakrie, Salim, Eka Tjipta, dsb. Menurut Ichsan, terserapnya “jagoan daerah” ke Jakarta lebih karena alasan pertumbuhan aneka sektor terlampau laju, peredaran uang amat besar, berbagai keputusan politik di bidang ekonomi belum sepenuhnya bernafas desentralistik yang berimplikasi pada persebaran ekonomi di berbagai daerah.

Gagasan Ignatius yang diangkat adan ditanggapi oleh Ichsan sangat perlu ditindaklanjuti, namun kita perlu menoleh kembali apa yang pernah dilakukan rezim pemerintahan sejak masa Soekarno hingga sekarang. Gagasan “Desentralisasi BUMN” sesungguhnya gagasan mendesentralisasikan BUMN adalah salah satu jawaban atas kerisauan terpusatnya perputaran uang di Jakarta. Dampak pemusatan uang (disengaja) ataupun terpusatnya uang (tanpa sengaja) ini menyebabkan melemahnya kapasitas moneter di wilayah yang semakin jauh dari Jakarta.

Agar kapasitas moneter di wilayah-wilayah di luar Jakarta, maka gagasan mendesentralisasikan BUMN, meski secara sederhana, mendapatkan justifikasinya. Gagasan ini, meskipun bukan sama sekali baru, karena sesungguhnya konsep ini pernah digagas sejak zaman Presiden Soekarno maupun pada zaman Presiden Soeharto, hanya kontennya saja yang berbeda.

Pada zaman Bung Karno, secara fisik dan operasional, BUMN diajak untuk direlokasi di daerah (kalau bahasa bang Ichsan Loulembah barangkali didesentralisasi) (baca konsep Penasbede 1958, Depernas 1958). Hasilnya beragam, misalnya pemindahan sebagian operasi Semen Gresik ke Padang (yang kelas menjadi embrio Semen Padang). Itu adalah salah satu hasil kebijakan "desentralisasi" BUMN tadi. Contoh-contoh lain sangat banyak. Relokasi BUMN ke wilayah-wilayah lain ke luar Jakarta pun sesungguhnya semakin marak. Sayang, secara fisik memang pindah, implikasinya banyak kesempatan kerja baru tercipta di seputar BUMN itu. Namun secara keuangan sebagian besar masih berkutat di Jakarta. hal ini disebabkan bank-bank mitra si BUMN itu berpusat di Jakarta.

Sementara itu pada era Suharto, desentralisasi BUMN memang didorong melalui pembentukan badan investasi daerah (BKMD) yang mendorong penanaman modal di daerah (selain di Jakarta). Sayang, meski mendapatkan dukungan politik yang besar dari Pak Harto, ternyata pelaku kebijakan belum dapat mencerna keinginan ini. Sebagian BKMD sekedar menjadi pencatat calon investor saja, tapi sedikit yang berhasil direalisasikan. Sedangkan upaya mendorong inisiatif pemerintah daerah untuk menjadikan anak perusahaan di daeerah untuk menjadi BUM-Daerah telah pula digagas. Dan hasilnya memang kurang memuaskan.

Pada masa Presiden Gus Dur dan Megawati, upaya yang dianggap "terobosan" dilakukan dengan membentuk Lembaga Ekonomi Desa dan Badan Usaha Milik Desa. Mereka dilatih untuk mengakses kepada BUMD maupun BUMN yang beroperasi di daerah tertentu. Namun upaya ini kurang efektiv menggiring perputaran uang di Jakarta agar pindah ke daerah.

Pengalaman tersebut secara sederhana (insting saja) memberikan pelajaran kepada kita, bahwa jika ingin meningkatkan kapasitas moneter daerah maka upaya yang dilakukan sesungguhnya dapat mencakup garis-garis besar sebagai berikut:

(1) menciptakan kerangka regulasi insentif kepada calon BUMN agar merelokasi usahanya di daerah. Insentif tersebut antara lain mempermudah iklim usaha (mudah dikatakan, tapi nyatanya tidak, banyak contohnya). Hal ini selain membutuhkan dukungan politik yang kuat, juga memerlukan kerangka teknokratik yang operasional. Salah satu kerangka teknokratik yang dibutuhkan antara lain memilih dahulu sektor ekonomi yang sesuai di daerah tersebut. Misalnya dalam konteks pembahasan ini adalah sektor pertanian di wilayah Kalimantan Selatan dan Tengah.

(2) menggiring BUMN Perbankan agar memindahkan kantor pusat, operasional, dan kegiatan fisiknya ke daerah, sekaligus mempertajam core-bussiness mereka pada bidang tertentu. Salah satu contoh: jika ingin menjadikan Kalimantan Selatan dan Tengah sebagai lumbung padi baru, maka pindahkan BUMN yang dapat membiayai usaha tani ke sana. Tentu hal ini membutuhakn perencanaan matang.

(3) memindahkan/merelokasi BUMN berbasis Industri Manufaktur ke luar Jawa. Misalnya (ingat hanya misalnya hlo) memindahkan operasional Petrokimia Gresik ke Kalimantan Selatan. Sehingga aktivitas usaha tani di sana dapat didukung oleh ketersediaan pupuknya.

(4) memperkuat sentra pelatihan bagi calon tenaga kerja agar sesuai dan layak sebagaimana diperlukan. Menggandeng perguruan tinggi berkualitas tinggi untuk menjadi pendamping bagi SMK-SMK di daerah. Misalnya menggandeng POLMAN Bandung sebagai pendamping untuk melatih siswa-siswa SMK di Banjarmasi dan Palangkaraya dalam pembuatan mesin-mesin pertanian dan pengolahan hasil pertanian.

(5) memindahkan BUMN Berbasis Jasa seperti pergudangan dan distribusi ke daerah. Jika pemindahan tidak dimungkinkan, maka pemda dapat diminta untuk menerjuni core-bussiness ini. Pergudangan dan distribusi sangat penting untuk menjamin ketersediaan saprotan atau menjamin stock padi untuk kebutuhan Kalimantan.

Pelaksanaan desentralisasi BUMN sesungguhnya merupakan langkah strategis untuk daya tarik tersendiri bagi suatu daerah. Kelak, pemindahan BUMN ke daerah dapat menggambarkan kekhasan daerah itu. Kalimantan khas dengan BUMN-BUMN Kluster Produksi Pertanian, Jawa Timur khas dengan BUMN Kluster Industri Perkapalan, Sulawesi khas dengan Kluster Industri Energi (PLTN??), dll.

Pendesentralisasian BUMN ke daerah pasti akan menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang baik bagi Jakarta maupun bagi "daerah yang baru" yang menjadi lokasi BUMN. Kebijakan ini pasti menimbulkan side-effect yang luas. Sehingga jauh-jauh hari perlu dikomunikasikan secara luas ke masyarakat.

--ooOrrwtOoo--