14 Desember 2008

Reformasi Pendidikan Menengah

Reformasi Pendidikan Menengah

Membiayai Pendidikan Menengah di Indonesia

Randy R. Wrihatnolo


I. Pengantar


Sebagai kelanjutan dari Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua tahun 1990, banyak negara berkembang telah berhasil meningkatkan angka partisipasi dan kelulusan pendidikan dasarnya. Namun pertumbuhan resultan jumlah calon siswa pendaftar pendidikan menengah tidak diimbangi dengan peningkatan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Angka partisipasi pendidikan menengah kebanyakan negara berkembang yang memiliki angka partisipasi kasar sekolah menengah (secondary school gross enrollment rate/GER2) kurang dari 40% tidak mengalami perubahan signifikan lebih dari sepuluh tahun terakhir ini. Di negara-negara dengan GER2 antara 40% sampai 70%, rata-rata angka partisipasi ini hanya meningkat sekitar 49-56%. Ini berarti bahwa meskipun terdapat peningkatan pesat dalam hal akses pendidikan dasar di negara-negara termiskin, jumlah absolut penduduk di negara-negara berkembang yang tidak memiliki akses kepada pendidikan menengah sesungguhnya juga meningkat.


Pertanyaan tentang investasi di tingkat pendidikan setelah pendidikan dasar perlu ditinjau kembali dengan seksama. Laju pertumbuhan ekonomi yang rendah dan negatif, ditambah dengan biaya tinggi dalam pelaksanaannya, telah menekan sumberdaya publik—yang pada dasarnya sudah terbatas jumlahnya—yang dapat digunakan untuk mengembangkan sistem pendidikan menengah publik di negara-negara berkembang. Lebih jauh lagi, hibah dan pinjaman internasional yang diberikan kepada negara-negara termiskin—yang cenderung juga memiliki andil dalam upaya menurunkan angka partisipasi sekolah menengah—lebih memilih pendidikan dasar sebagai fokusnya ketimbang pendidikan menengah. Tanpa pendalaman serius atas strategi-strategi yang diperlukan untuk meningkatkan partisipasi pendidikan menengah di negara-negara yang paling beresiko, partisipasi dan kualitas pendidikan menengah cenderung terus menurun sampai di bawah tingkat yang pada saat ini pun sudah tidak memadai.


II. Mengapa Perlu Investasi Lebih Banyak Pada Pendidikan Menengah?


Pendidikan menengah terbukti memiliki peran sangat penting dalam pembangunan. Namun negara-negara yang paling membutuhkan pembangunan cenderung memiliki angka partisipasi terendah dan sistem pendidikan menengah yang paling bermasalah. Data UNESCO membedakan 150 negara ke dalam empat kelompok: negara-negara dengan GER2 (1) 7-40%, (2) 41-70%, (3) 71-90%, dan (4) lebih dari 90%. Empat puluh empat negara berada kategori pertama; dua-per-tiganya berada di Afrika sub-Sahara, sementara sisanya berada di Amerika Tengah dan Selatan serta Asia. Negara-negara ini cenderung memiliki produk nasional bruto (PNB) per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang rendah atau negatif, serta laju pertumbuhan penduduk dan rasio ketergantungan populasi usia sekolah yang tinggi. Jika GER2 suatu negara kurang dari 40%, kadang-kadang timbul kasus bahwa kurang dari 10% dari jumlah angkatan kerjanya telah berhasil menyelesaikan pendidikan menengahnya. Hal ini menjadi pertanyaan penting dalam penentuan strategi pengembangan sumberdaya manusia, yang bergantung pada ketersediaan penduduk dengan pengetahuan dan keahlian yang diperoleh dari pendidikan di tingkat yang lebih tinggi dari pendidikan dasar.


Jelas bahwa negara-negara dengan GER2 terendah harus mengupayakan sesuatu untuk meningkatkan GER2-nya. Suatu negara tidak akan mampu bertumpu di lapangan usaha yang lebih tinggi dari pertanian subsitens, meningkatkan industri pengolahan dan industri jasa yang kompetitif, atau mengembangkan strategi perdagangan internasionalnya, jika angkatan kerjanya yang memiliki latar belakang pendidikan menengah hanya sebesar 5-10%.


Pendidikan menengah dapat mendorong pembangunan sumberdaya manusia yang ahli dan berpengetahuan serta memiliki akses tidak hanya kepada ekonomi nasional namun juga ekonomi global. Hal ini dikarenakan pendidikan menengah mendorong pengembangan kemampuan berpikir formal, mendorong kemampuan memecahkan masalah abstrak dan berpikir kritis, dan membekali peserta didik dengan muatan yang relevan dengan dunia kerja. Bank Dunia (1993) melaporkan bahwa pertumbuhan Jepang setelah tahun 1960 terutama dipengaruhi oleh keberhasilannya untuk mencapai angka partisipasi pendidikan menengah tinggi secara dini. Data longitudinal tentang pertumbuhan partisipasi sekolah menunjukkan bahwa partisipasi dalam pendidikan menengah saat ini merupakan faktor yang membedakan dalam pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia (Lewin, 1999). ’Kesenjangan digital’ yang makin meluas, perbedaan dalam pemanfaatan dampak dan asimilasi teknologi informasi dan komunikasi, dapat secara langsung terkait dengan rendahnya jumlah lulusan sekolah menengah di negara-negara berkembang. Semakin rendah jumlah ini, semakin sulit suatu negara menarik investasi asing, bergerak dalam kegiatan ekonomi yang berbasis pengetahuan, dan bersaing secara internasional.


III. Apakah Angka Partisipasi Sekolah Menengah Yang Lebih Tinggi Dapat Tercapai?


Sangat penting bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah menengahnya, namun keterbatasan sumberdaya membuat upaya tersebut sangat sulit dilaksanakan. Namun terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh oleh negara-negara berkembang untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah menengahnya sambil mempertimbangkan keterbatasan fiskal yang dihadapi oleh negara-negara tersebut.


Suatu negara dapat meningkatkan angka partisipasi sekolah menengah dengan: (1) memperbesar proporsi PNB yang dialokasikan untuk pendidikan secara umum dan pendidikan menengah secara khusus; (2) mengurangi biaya satuan; (3) meningkatkan efisiensi; (4) memanfaatkan berbagai kesempatan untuk mengembangkan skema cost-sharing; dan (5) mencari bantuan eksternal. Terdapat perbedaan strategis antara negara-negara yang memiliki kebutuhan utama untuk meningkatkan partisipasi keseluruhan dengan negara-negara yang terutama membutuhkan peningkatkan efisiensi internal. Di negara-negara yang ingin meningkatkan partisipasi keseluruhan, peningkatan akses membutuhkan peningkatan belanja negara secara pro-rata. Sementara itu, di negara-negara yang mengutamakan peningkatan efisiensi internal, peningkatan akses dapat dicapai dengan mengurangi timbulnya repetisi dan sumber-sumber ketidakefisienan lainnya (seperti sistem penempatan guru yang buruk dan beban mengajar yang sangat rendah) tanpa perlu meningkatkan biaya.


3.1. Tinjauan Biaya


Untuk mencapai angka partisipasi sekolah menengah yang lebih tinggi di negara-negara berkembang termiskin, strategi investasi dan struktur biaya mereka harus ditinjau ulang. Tingkat partisipasi di kebanyakan negara umumnya terkait dengan pemilihan kebijakan dan preferensi investasi ketimbang keterbatasan sumberdaya. Besar belanja publik untuk membiayai pendidikan menengah yang dinyatakan dalam persentase terhadap PNB dapat berkisar antara di bawah 0,5% sampai lebih dari 3%. Pada umumnya negara-negara dengan GER2 rendah mengalokasikan proporsi yang lebih kecil dari PNB mereka untuk membiayai pendidikan menengah dibandingkan negara-negara yang memiliki GER2 lebih tinggi (rata-rata 0,86% dibandingkan rata-rata 1,41%) dan biaya satuan yang dinyatakan sebagai proporsi PNB per kapita adalah lebih tinggi di negara-negara dengan GER2 rendah. Di negara-negara dengan angka partisipasi kasar sekolah dasar (GER1) sekitar 80%, angka untuk sekolah menengah selalu melampaui 30%. Di atas ambang ini, GER2 sangat bervariasi.


Strategi pembangunan nasional harus berfokus pada tugas berat untuk mengidentifikasi tingkat dan fokus investasi di tingkat pendidikan menengah mana yang paling dapat mempengaruhi pertumbuhan. Kebijakan yang diambil akan spesifik untuk setiap negara. Suatu model yang ditentukan oleh partisipasi (enrollment-driven) telah digunakan untuk melihat biaya dengan menstimulasi berbagai skenario dan menjalankan berbagai simulasi yang melihat sifat tingkat partisipasi dan biaya yang dibutuhkan dalam jangka waktu lima tahun untuk berbagai negara dengan GER2 di bawah 40% dan antara 40% dan 70%.


Jika struktur biaya saat ini dipertahankan, maka tampaknya negara-negara Afrika sub-Sahara perlu mengalokasikan sekitar hampir 4% dari PNB mereka untuk pendidikan menengah supaya mereka dapat mencapai GER2 60% dan lebih dari 5% PNB untuk mencapai GER2 sebesar 80%. Hal ini hampir tidak mungkin terjadi terutama jika ditambahkan jumlah dana yang dibutuhkan untuk mempertahankan GER1 pada tingkat 100%. Di luar negara-negara dengan GER2 terendah, angka untuk wilayah lain menunjukkan adanya harapan. Jika suatu negara memprioritaskan peningkatan GER2 mereka, mereka sangat mungkin dapat mencapainya.


3.2. Meningkatkan Belanja Publik untuk Pendidikan Menengah


Peningkatan proporsi PNB yang dialokasikan untuk ekspansi signifikan pendidikan menengah menjadi tidak realistis jika dilaksanakan oleh negara dengan GER2 rendah. Ketika lebih dari 5% PNB telah dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan secara keseluruhan, peningkatan substansial untuk pendidikan menengah cenderung tidak mungkin. Redistribusi untuk membiayai pendidikan menengah mungkin juga sulit ketika tujuan ”pendidikan dasar untuk semua” harus terpenuhi. Dalam kasus-kasus seperti ini, mengurangi biaya satuan, meningkatkan efisiensi dan menjajaki kemungkinan cost-sharing dan bantuan eksternal mungkin menjadi alternatif terbaik.

Beberapa negara dapat mengalokasikan lebih banyak uang pada pendidikan menengah. Beberapa negara ini menghabiskan lebih banyak uang pada pendidikan tinggi ketimbang pendidikan menengah. Negara-negara ini dapat melakukan perubahan kebijakan. Saat angka partisipasi sekolah dasar dan sekolah menengahnya masih rendah, sekolah menengah tidak boleh dibiayai dengan mengorbankan investasi di tingkat pendidikan dasar. Namun ketika tingkat partisipasi pendidikan dasar tinggi namun tingkat partisipasi pendidikan menengah rendah, usulan untuk mengalokasikan 5% atau 6% dari PNB untuk meningkatkan akses kepada pendidikan menengah—jika terdapat peningkatan alokasi keseluruhan—lebih dimungkinkan. Peningkatan akses pendidikan dasar harus tetap menjadi prioritas di negara-negara tersebut, namun peningkatan akses kepada pendidikan menengah dapat memberikan kontribusi marjinal yang lebih besar kepada pembangunan, dibandingkan dengan kontribusi oleh investasi yang didesain untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar. Lebih jauh lagi, memindahkan keseimbangan alokasi pendanaan untuk diberikan kepada mendidikan menengah mungkin menjadi tujuan kebijakan yang masuk akal jika di negara tersebut dana publik lebih banyak dialokasikan untuk membiayai pendidikan tinggi ketimbang pendidikan menengah (seperti Malawi, Costa Rica). Hal ini dapat membebaskan sumberdaya untuk mendukung peningkatan partisipasi pendidikan menengah. Cara yang perlu ditempuh oleh suatu negara akan bergantung pada kondisi atau nilai awal belanja publik untuk pendidikan menengah sebagai persentase dari PNB, proporsi PNB yang dialokasikan untuk pendidikan, dan justifikasi atas distribusi berjalan dana publik antar tingkatan pendidikan. Apakah ekonomi suatu negara tumbuh atau negatif tentu saja juga relevan untuk diperhitungkan.


Skema pembebasan utang juga dapat mengubah kondisi negara-negara yang paling terbebani oleh utang dan mampu membebaskan sumberdaya tambahan bagi mereka. Ini hanya dapat dimanfaatkan oleh pendidikan menengah jika strategi sektoral mengenali pentingnya pendekatan seimbang unuk pembiayaan pendidikan dasar dan menengah. Desentralisasi dapat memungkinkan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan.


Jika terdapat kasus yaitu suatu negara memiliki tingkat partisipasi sekolah menengah rendah atau di kisaran menengah, namun negara tersebut tampaknya memiliki kelebihan penawaran lulusan pendidikan menengah, hal ini bisa saja tidak disebabkan oleh adanya ekspansi tingkat partisipasi pendidikan menengah. Tingkat pengangguran terbuka yang tinggi dapat dikaitkan dengan rendahnya kualitas pendidikan menengah yang tidak terfokus pada pengetahuan dan keahlian yang paling relevan dengan pasar kerja. Tingginya tingkat pengangguran terbuka dapat pula menjadi dampak jangka pendek pelaksanaan program-program penyesuaian struktural (structural adjustment program) yang harus dilaksanakan akibat tidak layaknya kebijakan makroekonomi dan sosial yang diambil oleh suatu negara. Dalam kasus-kasus tersebut, kebijakan seharusnya berfokus pada isu-isu yang terkait dengan ketenagakerjaan dan reformasi pendidikan. Pasar kerja ketat mungkin saja dapat menaikkan permintaan akan lulusan sekolah menengah jika biaya kesempatan (opportunity cost) rendah. Tekanan politis dan sosial dapat pula mendorong peningkatan akses. Suatu negara perlu mendasarkan kebijakan pendidikannya pada laju pertumbuhan lapangan kerja yang mungkin terjadi di masa mendatang. Negara tersebut perlu berupaya untuk (1) melaksanakan reformasi peningkatan relevansi dan pemanfaatan pendidikan menengah dan (2) menjalankan strategi yang ditujukan untuk meningkatkan perolehan kembali biaya (cost-recovery)—bersamaan dengan usaha perlindungan (safeguard) yang didesain untuk memastikan adanya partisipasi yang seimbang dari seluruh siswa didik.


3.3. Mengurangi Biaya Satuan Sekolah Menengah


Semakin rendah tingkat partisipasi sekolah menengah di suatu negara, akan semakin mahal biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan menengah di negara tersebut. Di negara-negara dengan GER2 tinggi, rasio ini berkisar pada 1,3:1 dengan 1,3 adalah biaya untuk penyelenggaraan pendidikan menengah. Sementara itu, di negara-negara dengan GER2 yang sangat rendah, rasio ini berkisar pada 3,5:1.


Seberapa besar dana yang dialokasikan untuk setiap siswa (yang dinyatakan dalam satuan persentase PNB per kapita) terutama ditentukan oleh kombinasi rasio murid-guru, dan gaji guru yang dihubungkan dengan PNB per kapita. Ketika rasio murid-guru rendah dan masih dapat ditingkatkan, biaya satuan akan turun dan memberi kesempatan bagi lebih banyak murid untuk terdaftar di sekolah menengah dengan biaya yang sama. Sistem pendidikan menengah tidak memanfaatkan guru seintensif sistem pendidikan dasar. Data menunjukkan bahwa rasio murid-guru sekolah menengah lebih rendah 37% jika dibandingkan dengan rasio murid-guru sekolah dasar di negara-negara dengan GER2 rendah. Angka tersebut menjadi 18% di negara-negara dengan GER2 tinggi. Peningkatan rasio ini akan membantu menurunkan biaya pendidikan menengah.


Hasil yang sama dapat dicapai dengan mengurangi gaji rata-rata. Tentu saja, tingkat gaji harus dinilai berdasarkan kondisi pasar kerja nasional dan biaya hidup. Gaji ini—yang dinyatakan dalam satuan persentase PNB—sangat bervariasi antarnegara. Penurunan gaji guru yang signifikan dimungkinkan ketika gaji guru dinilai sudah berlebihan. Namun demikian, ketika gaji guru rendah, pengurangannya dapat menimbulkan konsekuensi negatif atas motivasi dan kinerja guru. Satu pendekatan yang mungkin adalah mengurangi biaya gaji rata-rata dengan menarik lebih banyak asisten guru dan dengan mempekerjakan lebih banyak guru muda—yang dapat mendukung pekerjaan para guru yang dibayar mahal, terlatih dengan baik dan berpengalaman. Pendekatan ini dapat mendorong lebih banyak partisipasi murid sekolah menengah dengan biaya yang sama.


Panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pendidikan menengah dan bagaimana waktu tersebut tersegmentasi ke dalam siklus terspesialisasi juga perlu ditinjau kembali. Kebijakan pemilihan kurikulum, pemilihan dan pencatatan siswa, dan spesialisasi bidang dapat menimbulkan implikasi pembiayaan yang mungkin memerlukan peninjauan kembali. Hal ini karena kebijakan baru tersebut dapat menciptakan kondisi baru sehingga tidak dapat jika hanya dikembangkan dari program-program pendidikan yang ada. Ketika sumberdaya yang ada tidak cukup untuk meningkatkan akses pendidikan, pilihan harus dibuat antara mempertahankan atau membesarkan program-program yang mahal dan mengurangi biaya melalui rasionalisasi pilihan dan membatasi angka partisipasi di bidang spesialisasi yang berbiaya tinggi. Sistem pengajaran alternatif yang menggunakan lebih banyak peer teaching, self-instruction dan metode kelas jauh (distance-learning) dapat mengurangi biaya satuan tanpa mengurangi kualitas. Sistem-sistem tersebut menawarkan strategi-strategi yang mungkin untuk meningkatkan akses bagi mereka yang masih berada di luar sekolah serta biaya satuan yang lebih rendah bagi mereka yang sudah berada di sistem sekolah.


Pilihan lain termasuk melihat skala keekonomian yang dapat timbul akibat naiknya besar sekolah rata-rata. Ketika angka ini rendah, kurangi biaya inap/asrama yang tidak perlu dan/atau mengasosiasikannya dengan cost recovery, dan menghemat biaya non-gaji yang tidak mengurangi pasokan material belajar.


3.4. Meningkatkan Efisiensi


Efisiensi dapat ditingkatkan di berbagai sistem pendidikan menengah. Ketika siswa putus sekolah, efisiensi akan terkena dampaknya karena kemampuan mereka yang tidak tuntas sekolah terkait dengan pendidikan menengah. Selanjutnya, jumlah tahun investasi yang diperlukan untuk menghasilkan lulusan sekolah menengah juga meningkat. Pengulangan (tidak naik kelas) juga tidak efisien (dan mungkin tidak adil) jika pengulangan tersebut menyebabkan tempat yang ditempati oleh mereka yang mengulang menjadi tidak bisa ditempati oleh mereka yang menunggu untuk masuk ke sekolah. Pada saat yang sama, tingkat pengulangan menjadi indikator efektivitas proses belajar mengajar. Tingkat pengulangan yang kadangkala dikendalikan oleh kebijakan pendidikan dapat ditekan dengan memastikan bahwa rasio murid-guru dan kelas-guru cukup layak, mengurangi ketidakhadiran guru, mengadopsi kurikulum dan menyesuaikannya dengan kondisi lokal, dan meningkatkan waktu yang dimanfaatkan oleh siswa untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah mereka.


Upaya juga perlu dilakukan untuk mengurangi guru ’hantu’ dari daftar gaji negara, memberikan insentif untuk meningkatkan hasil belajar dan aliran siswa melalui sistem pendidikan, dan memperbaiki sistem penempatan guru. Ketika guru dilatih untuk mengajar beberapa mata pelajaran, pemanfaatannya secara umum lebih tinggi jika dibandingkan dengan guru yang terspesialisasi untuk mengajar satu mata pelajaran. Pada kondisi tertentu sistem aplus ganda dapat diterapkan agar biaya dapat ditekan.


3.5. Meningkatkan Persamaan Hak


Pola pendidikan menengah harus berubah tidak hanya untuk meningkatkan efisiensi namun juga untuk mendorong persamaan hak. Mereplikasi institusi dan praktek-praktek yang ada dengan tujuan untuk mengakomodasi jumlah murid yang lebih banyak sesungguhnya tidak efektif dari segi biaya dan juga tidak adil. Di negara-negara berkembang yang lebih miskin yang memiliki angka partisipasi sekolah menengah rendah, siswa sering berasal dari daerah kaya dan dari rumah tangga di daerah perkotaan. Institusi-institusi ini berakar dari institusi pra-kemerdekaan yang didesain untuk melatih para elit pegawai pemerintahan. Institusi-institusi tersebut cenderung sangat selektif, dengan praktek belajar mengahar dan kurikulum yang mengakomodasi kaum elit dan cenderung menarik biaya yang cukup mahal. Jurang gender yang cenderung ke arah laki-laki pada umumnya lebih terlihat di tingkat pendidikan menengah jika dibandingkan dengan pendidikan dasar (di negara-negara dengan GER2 tinggi jurang gender cenderung ke arah perempuan). Di banyak negara berkembang, banyak sekali penduduk yang tidak memulai atau tidak menyelesaikan pendidikan menengahnya. Kebanyakan mereka yang bertahan di sekolah berasal dari lingkungan yang baik dan berkecukupan. Oleh karena itu, pola belanja publik cenderung mengarah pada siswa-siswa ini, sehingga cara banyak negara dalam membiayai pendidikan menengahnya cenderung memperparah ketimbang mengurangi ketidakseimbangan kelas masyarakat.


3.6. Cost-Sharing


Uang sekolah membantu sistem sekolah mendapatkan kembali biaya memperluas akses pendidikan menengah. Kebanyakan negara mengantisipasi sedikit kontribusi, biaya pendidikan menengah dibebankan kepada siswa dan keluarganya bervariasi dari negara satu ke negara lain; kebanyakan sistem sekolah hanya menarik sejumlah kecil ... dari seluruh biaya yang dikeluarkan. Jika pendapatan cukup tinggi untuk memungkinkan penarikan uang sekolah yang cukup besar, opsi ini perlu dipertimbangkan—bersamaan dengan, tentu saja, perlindungan akses bagi keluarga berpendapatan rendah. Ketika partisipasi pendidikan menengah rendah dan permintaan melebihi kapasitas sistem sekolah publik, pendekatan berbiaya rendah agar tingkat partisipasi nasional meningkat dapat berbentuk subsidi kepada sekolah swasta.


Sekolah dapat meminta keluarga untuk berkontribusi untuk mengurangi biaya material belajar mengajar, meskipun tentu saja mereka harus sensitif terhadap harga yang dikenakan. Jika mereka memiliki otonomi atas dana yang mereka hasilkan, mereka dapat mengurangi biaya operasi dengan meminta kontribusi untuk biaya makanan dan asrama. Mereka dapat juga memperoleh pendapatan dengan cara menyewakan fasilitas yang mereka punya. Cost sharing dengan masyarakat lokal juga merupakan pilihan yang mungkin dilakukan. Sumbangan keluarga dan masyarakat akan bergantung pada kemampuan untuk membayar; mereka akan lebih tidak mungkin ketika pertumbuhan ekonomi terbatas, kemiskinan meluas dan kesempatan untuk memperoleh pendapatan langka. Selanjutnya, tentu saja, beberapa komunitas masyarakat telah banyak terlibat dalam pembiayaan sistem pendidikan dasar.


3.7. Bantuan Eksternal


Bantuan pihak luar atau eksternal dapat meningkatkan sumberdaya yang tersedia untuk sistem pendidikan menengah di negara berkembang. Di negara-negara dengan GER2 paling rendah dan dengan prospek pembiayaan domestik terendah, pinjaman dan hibah luar negeri dapat mengurangi biaya. Pinjaman dan hibah dapat membantu pembiayaan konstruksi atau akuisisi bangunan, pembelian peralatan, pengembangan kurikulum, produksi dan distribusi buku teks dan material belajar mengajar, pendidikan guru, dan peninjauan dan manajemen sekolah dan sistem sekolah. Donor tidak terlalu tertarik dengan pendidikan menengah dalam sepuluh tahun terakhir ini. Upaya keras perlu dilakukan agar permintaan akan pendidikan sesudah pendidikan dasar telah menjadi missing link dalam strategi pengembangan sumber daya manusia.


IV. Kesimpulan


Isu kualitas dalam pendidikan menengah adalah isu yang tidak akan pernah selesai, karena kualitas bukanlah sesuatu yang berhenti pada satu titik, melainkan berkembang dari satu titik ke titik lain. Pendidikan yang berkualitas pada hari ini akan usang dalam waktu 1-2 tahun mendatang. Hal ini yang menjadikan proses peningkatan kualitas menjadi semakin challanging. Masalah yang dihadapi Indonesia adalah, selama ini kita banyak terjebak untuk melakukan langkah politis (seperti penaikan persentase pendidikan pada APBN) dan teknis (buku online) daripada langkah strategis, yaitu langkah yang terpadu, saling terkait, dan dapat saling mengangkat kualitas pendidikan sebagaimana yang diharapkan.


Keterbatasan sumber-sumber pendanaan agaknya merupakan persoalan tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan menengah di Indonesia pada khususnya dan pendidikan pada umumnya. Pendanaan dapat muncul menjadi persoalan tersendiri apabila ketentuan 20 persen minimal tidak dipenuhi oleh Pemerintah Pusat. Keith Lewin dan Françoise Caillods memberikan peta jalan keluar yang cukup baik untuk diadopasi oleh Indonesia. Mereka mengajukan dua pendekatan, yaitu menerapkan (1) pendekatan pilihan-pilihan yang dapat mengurangi harga satuan dalam penyelenggaraan pendidikan menengah; atau (2) pendekatan pilihan-pilihan yang dapat meningkatkan efisiensi di sekolah menengah.


--ooOOoo--