21 Juli 2008

Efektifkah Kebijakan Pro-Poor?

Opini:
Efektifkah Kebijakan Pro-Poor?
oleh: Randy R. Wrihatnolo

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009 menargetkan persentase penduduk miskin (P0) tahun 2009 pada level 8,19%. Artinya, dengan dasar garis kemiskinan tahun 2005 konstan dan pertumbuhan penduduk di kisaran 1,3% per tahun, maka jumlah penduduk miskin secara akumulatif harus berkurang minimal 13 juta jiwa.

Target RPJMN memacu Pemerintah meningkatkan pelayanan publik dan pembangunan kepada penduduk miskin (pro-poor policy). Program yang dianggap penanggulangan kemiskinan (PK) diindikasikan oleh program-program yang memihak rakyat miskin (pro-poor) seperti program stabilitas harga bahan kebutuhan pokok untuk rakyat miskin; program ekonomi produktif skala mikro; program pemberdayaan masyarakat; program perluasan akses masyarakat miskin kepada pelayanan dasar; serta program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin. Sayangnya, belanja publik untuk program-program PK belum mampu mencapai target P0 tahunan on-track.

Anggaran PK vs P0

RPJMN secara tahunan dijabarkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKP 2004 (tahun awal RPJMN) menganggarkan Rp 18 triliun untuk PK sehingga P0 membaik dari 16,7% menjadi 15,9%. Namun P0 2006 membengkak menjadi 17,8% meski anggaran PK dalam RKP 2005 meningkat menjadi Rp 23 triliun. Salah satu penyebabnya adalah kenaikan harga BBM di tahun 2005 yang mendorong inflasi sejumlah komoditas yang sensitif untuk orang miskin.

Pemerintah merespon P0 yang meninggi itu dengan menganggarkan Rp 42 triliun dalam RKP 2006 termasuk untuk program subsidi langsung tunai (SLT). P0 2007 pun berhasil turun menjadi 16,6%. Keberhasilan ini meyakinkan pemerintah dan menaikkan anggaran PK menjadi Rp 51 triliun dalam RKP 2007 dengan harapan P0 2008 turun menjadi 15%. Sementara itu untuk RKP 2008 telah dianggarkan sekitar Rp 59 triliun dan sekitar Rp 81 triliun untuk RKP 2009 dengan target P0 10%.

Artinya jumlah penduduk miskin per 2008 harus berkurang sekitar 3-4 juta orang (sekitar 2%). Hal ini tentu amat sulit karena status mereka sampai akhir 2008 harus dipertahankan agar tidak miskin. Apabila tidak dilakukan, maka mereka akan miskin lagi dan tetap menjadi beban tahun 2009. Sementara itu, untuk menurunkan P0 2009 menjadi 10%, maka 11 juta orang harus menjadi tidak miskin lagi sampai pertengahan tahun 2009. Beban target 2009 akan jauh lebih sulit dibanding tahun 2008. Beban bertambah berat bila persoalan kenaikan harga minyak mentah dan krisis pangan global berkepanjangan hingga akhir tahun 2008.

Evaluasi atas sejumlah program PK yang sedang berjalan menunjukkan adanya ketidakefektifan pelaksanaannya. Sehingga diduga, gelontoran anggaran dan berbagai program yang ada itu tidak efektif menurunkan jumlah penduduk miskin. Kebijakan PK dianggap tidak efektif karena kurang memperhitungkan faktor yang mampu menyebabkan peningkatan kesejahteraan orang miskin.

Penyebab Kebijakan PK Tidak Efektif

Ketidakefektifan kebijakan PK disebabkan enam persoalan utama. Pertama, adanya perbedaan penafsiran tentang PK. Tiap kementerian/lembaga (K/L) mempunyai konsep sendiri tentang PK yang menyebabkan tiap K/L mempunyai mekanisme dan sasaran masing-masing. Tidak ada kesatuan tujuan yang bermanfaat pada satu sasaran yang sama. Sehingga sulit diperkirakan berapa jumlah orang miskin yang terlayani program-program PK.

Kedua, tiadanya ketegasan lokasi kantong kemiskinan. Apabila kantong kemiskinan tidak ditetapkan dan disetujui K/L yang mempunyai program PK, maka dengan mudah terjadi ketidakfokusan pemanfaatan hasil pelaksanaan program oleh orang miskin. Penentuan lokasi dengan batas satuan wilayah terkecil (misalnya kecamatan) sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan PK. Ada kesan pengaplingan lokasi lebih menonjol daripada pembagian tugas sesuai tugas pokok dan fungsi tiap K/L.

Ketiga, kerancuan penentuan sasaran pemanfaat. Program PK di setiap K/L merupakan instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan orang miskin. Harus dijelaskan siapa orang miskin dimaksud dan apa unitnya sebagai sentral peningkatan kesejahteraan? Masyarakatkah, keluargakah, atau individukah? Paling tepat adalah keluarga (sebagai inti dari masyarakat suatu wilayah). Manfaat diukur dengan peningkatan kesejahteraan keluarga.

Keempat, ukuran output kebijakan PK sulit didefinisikan sebagai puncak piramida dari semua output program/proyek PK. Program-program PK yang tertera dalam RKP 2007 dan 2008 sangat jelas menggambarkan ketidaksatuan tujuan output kebijakan PK yang ingin dicapai.

Kelima, manfaat yang diperoleh orang miskin dari suatu program PK seringkali kurang dari ukuran garis kemiskinan di daerahnya. Terdapat program PK yang mendeliver manfaat kepada orang miskin dalam bentuk kegiatan kontruksi –misal pembangunan jalan—dimana upah yang diterima orang miskin itu selama masa konstruksi jauh di bawah garis kemiskinan apabila dihitung 1 tahun.

Keenam, terdapat beberapa program PK tidak memperhatikan ”daya tahan kesejahteraan” yang mampu dinikmati orang miskin yang pernah terlibat dalam suatu program PK. Artinya setelah program selesai, orang miskin kembali miskin. Perlu proses pendampingan untuk mendorong orang miskin agar selama pelaksanaan dan setelah program selesai dapat mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan dan tetap sejahtera.

--ooOOoo--

Tidak ada komentar: