30 November 2009

Profil Kebijakan Pembangunan Prasarana Perdesaan di Indonesia

Profil Kebijakan Pembangunan Prasarana Perdesaan di Indonesia
(Tinjauan Wilayah Pulau Jawa)
Oleh:
Randy R. Wrihatnolo


Kebijakan pengembangan prasarana perdesaan secara komprehensif belum pernah dijalankan di Indonesia. Berdasarkan penelusuran dokumen kebijakan pembangunan resmi sejak tahun 1945 hingga 2009 ditemukan dua hal.

Pertama, kebijakan pembangunan sebelum tahun 1969 cenderung bersifat skala kecil dan tidak mencakup secara nasional. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan anggaran masa itu yang terbatas. Sebagai contoh, pelaksanaan Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun (GB-RPLT) yang kemudian diadaptasi menjadi Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan Tahun, meski mempunyai focus jelas yaitu pembangunan prasarana jalan, pertanian, dan industri kecil, namun dalam pelaksanaannya setiap tahun hanya menjangkau rata-rata 20 daerah swapraja (setingkat kabupaten/kota). Dibandingkan luas wilayah Indonesia, maka kapasitas pembangunan masa itu sangat jauh dari ideal.

Kedua, kebijakan pembangunan setelah tahun 1969 meski telah mulai mencakup seluruh wilayah Indonesia dalam rangka pemerataan pembangunan namun masih belum dilakukan secara sinergis. Sebagai contoh, meski sejak tahun 1969 telah berjalan Kebijakan Pembangunan Daerah Tingkat II (setara dengan kabupaten/kota) (mulai tahun 1978), Kebijakan Pembangunan Desa (mulai tahun 1982), dan Kebijakan Pembangunan Desa Tertinggal (mulai tahun 1993) di hampir seluruh kabupaten dan desa di Indonesia, namun pelaksanaan pembangunannya hanya bersifat fisik semata. Konsep pembangunannya meski telah komprehensif, namun belum mengarah pada model pengembangan perdesaan yang dingginkan, misalnya menjadikan desa sebagai kawasan produktif. Kalaupun pada masa itu ada beberapa program yang berjalan dengan pendekatan sinergi, namun skalanya masih bersifat proyek atau kegiatan berskala kecil.

Perkembangan konsep pembangunan terkini yang diperkenalkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional periode tahun 2004-2009 menyebutkan bahwa pelaksanaan pembangunan perdesaan betumpu pada berbagai program pembangunan yang dilakukan oleh beberapa kementerian/lembaga.

Dinyatakan dalam RPJMN 2004-2009 bahwa pembangunan perdesaan merupakan suatu investasi masa depan bagi peningkatan pembangunan nasional. Di tahun awal perumusan RPJMN 2004-2009 terdapat berbagai permasalahan yang menghambat tercapainya pembangunan di perdesaan. Kendala tersebut antara lain rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja, tingginya tingkat kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pembangunan di perdesaan, sehingga sasaran pembangunan perdesaan dalam RPJMN 2004-2009 dapat dicapai. Keberhasilan pembangunan di perdesaan tercermin dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan terutama yang berada di Jawa. Namun demikian, keberhasilan pembangunan perdesaan di Jawa ternyata belum diikuti dengan peningkatan pembangunan perdesaan di luar Jawa. Akibatnya, timbul kesenjangan yang cukup tinggi antara perkembangan desa di Jawa dan luar Jawa. Dengan capaian ini, secara umum, tidak terdapat masalah yang berarti dalam memenuhi target sasaran pembangunan perdesaan pada akhir 2009 nanti. Namun, ke depan upaya yang konsisiten dan intensif dalam mendukung berjalannya program harus terus dilakukan.

Pada akhirnya, pelaksanaan kebijakan pembangunan perdesaan yang komrehensif nyaris dilakukan sebatas konsep. Pelaksanaan kebijakan pembangunan perdesaan yang komrehensif pada kenyataannya tidak dilakukan secara sinergis. Pembangunan hanya sebatas dilakukan di desa secara definitive administratif namun belum dibangun dalam suatu pendekatan kawasan perdesaan sebagai disyaratkan dalam konsep-konsep pembangunan kawasan perdesaan. Pada tahun 2009 saja pembangunan prasarana perdesaan telah dilakukan di 421 kabupaten yang dilakukan oleh PNPM Perdesaan dan Program Infrastruktur Perdesaan. Namun hasil-hasil pelaksanaan pembangunannya belum menunjukkan sinergi. Sebaliknya, justru menciptakan mendorong kawasan perdesaan yang sebenarnya layak dipertahankan sebagai kawasan produktif dan konservasi ternyata justru cenderung bergeser menjadi daerah perkotaan. Pembangunan perdesaan selama ini diduga telah mematikan fungsi desa dan dengan demikian telah menjauhkan pembangunan perdesaan dari tujuan konseptual pembangunan perdesaan itu sendiri. Dalam kontreks demikian, apabila ditelusuri persoalan dasarnya, maka sebuah solusi kebijakan dapat disusun berdasarkan pengalaman pelaksanaan pembangunan perdesaan di seluruh Indonesia. Salah satu yang ditawarkan adalah konsep kebijakan pengembangan kawasan perdesaan dalam dimensi spasial.

Sebagai contoh, dengan menggunakan analisis kewilayahan dari hasil pelaksanaan pembangunan prasarana di wilayah Pulau Jawa antara kurun waktu 2005-2009 didapatkan kesimpulan bahwa pengembangan kawasan perdesaan di wilayah Pulau Jawa pada kurun waktu 2005-2009 didominasi oleh pembangunan prasarana perhubungan dan permukiman. Hampir seluruh kabupaten/kota di wilayah Pulau Jawa telah jenuh dengan pembangunan prasarana perhubungan dan permukiman. Hal ini tentu didorong oleh pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa yang sangat cepat. Di sisi lain, permintaan bahan pangan bagi kebutuhan penduduknya juga tinggi. Sehingga posisi Pulau Jawa sebagai lumbung pangan nasional tetap diminati, sehingga masih banyak ditemukan lahan pertanian produktif untuk tanaman pangan. Sayangnya, pengembangan prasarana dasar di wilayah Jawa kurang memperhatikan kebutuhan prasarana pendukung pertaniannya.

Berkenaan dengan kesimpulan tersebut, maka pengembangan kawasan perdesaan di wilayah Pulau Jawa sebaiknya diarahkan pada program-program sebagai berikut:

Pertama, melakukan konservasi lahan subur sebagai lahan pertanian dan perkebunan sehingga tetap menghasilkan secara dalam jangka panjang.

Kedua, mengembangkan prasarana dasar energi primer seperti pembangkit listrik tenaga air mini (microhydro power-plant) untuk memenuhi kebutuhan energi penduduk Pulau Jawa terutama di wilayah pelosok.

Ketiga, memprioritaskan pembangunan prasarana dasar pendukung pertanian di kawasan produktif pertanian seperti saluran irigasi teknis.

Keempat, menata-ulang wilayah permukiman agar tidak mengganggu lahan produktif serta mengendalikan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa secara ketat. Salah satunya dengan mengenakan kebijakan insentif penduduk produktif.

--ooOOoo--

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Pembangunan pedesaan sangat tepat untuk mewujudkan kesejahteraan penduduk desa. Tapat skali!

hardy mengatakan...

Pembangunan bukan kah harus dimulai dari manusia-nya? Bagaimana kenyataan berbentuk kebijakan untuk mengembangkan masyarakat perdesaan?

Randy R. Wrihatnolo mengatakan...

Kebijakan pembangunan di Indonesia seharusnya mempunyai karakter yang unik, berbeda dibandingkan dengan negara lainnya. Keunikannya terletak pada kenyataan bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar adalah petani. Dalam konteks ini, pembangunan yang unik tersebut menemukan eksistensinya. Yaitu membangun manusia Indonesia yang kebetulan sebagian besar adalah petani. Dan kebetulan pula --ini uniknya Indonesia-- para petani itu sebagian besar masih berada di perdesaan. Dan faktanya secara ekonomi, kebutuhan pangan tidak ada habisnya bagi Indonesia, dan bagi Indonesia keunggulannya justru menjadi produsen bahan pangan (dan tentu saja perlu lompatan besar untuk meningkatkan produktivitasnya). Jadi, kebijakan pembangunan di Indonesia seharusnya berlokasi di perdesaan, untuk "manusia" petani, dan betujuan untuk kesejahteraan rakyat.