21 Juli 2008

Refleksi Dampak Pemberdayaan Masyarakat Dalam Menanggulangi Kemiskinan

Refleksi Dampak Pemberdayaan Masyarakat Dalam Menanggulangi Kemiskinan
oleh: Randy R. Wrihatnolo

I. Pendahuluan

Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya. Kemiskinan telah menjadi masalah yang kronis karena berkaitan dengan kesenjangan dan pengangguran. Lebih dari itu, kemiskinan merupakan masalah multidimensi, karena sebab dan akibatnya saling secara komprehensif dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kemiskinan juga meliputi masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Gejala kemiskinan dapat terjadi pada skala individu (seseorang), pada suatu komunitas/masyarakat, pada suatu daerah, bahkan pada suatu bangsa.

Isu-isu kemiskinan sering disimbolisasikan dengan fenomena sosial. Meski terkadang fenomena itu tidak begitu tepat menggambarkan persoalan kemiskinan yang sesungguhnya. Namun apabila kita menelaah seluruh simbol kemiskinan, maka barangkali kita dapat menemukan arah persoalan kemiskinan yang ada. Persoalan kemiskinan digambarkan oleh fenomena (1) kepemilikan aset yang rendah; (2) terbatasnya akses masyarakat terhadap prasarana dan sarana dasar seperti transportasi, komunikasi, informasi, pasar, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan; (3) kelompok miskin tidak berdaya dan diam karena tekanan faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya; (4) rendahnya keterlibatan dalam kegiatan ekonomi produktif; (5) rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; (6) sistem pemerintahan yang kurang baik telah mengakibatkan ketidakberdayaan dan pemiskinan; (7) bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, kekeringan dan lain sebagainya; (8) pelaksanaan otonomi daerah dalam masa transisi telah menyebabkan terjadinya mis-managament dan penyimpangan mulai dari aras nasional sampai di aras paling bawah sistem pemerintahan; dan (9) kebijakan pembangunan pada masa lalu dirasakan belum berpihak kepada kelompok miskin (pro-poor policy), khususnya dalam kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam maupun sistem keuangan.

Isu-isu tersebut selalu ditanggapi dalam bentuk kebijakan, baik kebijakan baru maupun penyempurnaan atas kebijakan lama. Salah satu respon datang dari pasangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla yang menafsirkannya dalam bentuk kebijakan yang berpihak kepada rakyat miskin . Salah satu pilar kebijakan penanggulangan kemiskinan terpnting adalah pemberdayaan masyarakat. Kebijakan pemberdayaan masyarakat dianggap resep mujarab karena hasilnya dapat berlangsung lama. Isu-isu kemiskinan pun senantiasa cocok diselesaikan akar masalahnya melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat. Isu-isu tersebut bahkan dinyatakan dapat diatasi apabila intervensi pemerintah dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat.

Menurut Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007), ada tiga tahapan proses pemberdayaan. Proses pertama, penyadaran dengan target, yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka punya hak untuk mempunyai sesuatu. Prinsipnya, membuat target mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses pemberdayaan dimulai dari dalam diri mereka. Proses selanjutnya adalah diberikan daya kuasa yang bersangkutan agar mampu terlebih dahulu. Proses pembentukan kapasitas ini terdiri atas manusia, organisasi, dan sistem nilai. Selanjutnya, target diberi daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang. Sebagaimana dilakukan beberapa komunitas desa yang sukses memberdayakan diri sendiri, mereka aktif memanfaatkan peluang dan berdaya atas diri mereka sendiri tanpa bergantung pada pihak mana pun. Mereka berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan komunitas dan mempunyai perasaan bermasyarakat. Persoalannya, apakah kebijakan pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan itu telah efektif sesuai harapan?

II. Evaluasi Pelaksanaan Program-program Berbasis Pemberdayaan Masyarakat

Pada Senin 28 April 2008 di Jakarta berlangsung Temu Nasional Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. Acara yang diselenggarakan Kantor Menko Kesra dan dihadiri 1000-an undangan dari kalangan perumus dan pelaku kebijakan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah telah menyatakan bahwa berbagai program dan proyeknya dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat namun sasaran yang diberdayakan belum menunjukkan bahwa mereka telah berdaya. Proyek-proyek pemerintah berbasis pemberdayaan masyarakat ibarat proyek merpati, burung merpati tetap ada ketika jagung masih tersedia di hadapan mereka, namun ketika jagungnya habis, maka burung merpati akan terbang. Padahal proyek-proyek berbasis pemberdayaan masyarakat diciptakan agar setelah proyek atau kegiatannya selesai, pelaku proyeknya masih bersedia memelihara dan dapat memanfaatkan hasil proyek atau kegiatannya. Karena ada manfaatnya, maka pemanfaatnya diharapkan setelah itu tidak miskin lagi.

Apa yang sedang dan pernah dilakukan proyek-proyek itu seakan jauh panggang daripada api. Pada awalnya, proyek-proyek tersebut dicanangkan untuk menanggulangi kemiskinan, namun fakta menunjukkan bahwa program-program tersebut bukan satu-satunya yang mampu mengurangi kemiskinan. Hingga kini, masih banyak orang miskin di tengah gemuruh berbagai proyek PM. Tahun 2005 adalah tahun dimana tingkat kemiskinan (P0) di Indonesia yang terendah pasca krisis 1997, yakni 15,97 persen. Bahkan pada tahun 2006, P0 naik menjadi 17,8 persen. Sebagai gambaran saja, pada tahun 2005 dan 2006, pemerintah hanya menganggarkan kurang dari Rp 2 triliun untuk proyek-proyek PM. Namun ketika P0 meningkat di tahun 2006, pemerintah lalu menaikkan anggaran untuk proyek-proyek pemberdayaan masyarakat menjadi sekitar Rp 6 triliun untuk tahun 2007. Alih-alih mengejar P0 mendekati target RPJMN 2004-2009, pemerintah menganggarkan Rp 8 triliun untuk tahun 2008 dan sekitar Rp 13 triliun untuk tahun 2009.

Pemerintah sesungguhnya mempunyai pengalaman melaksanakan berbagai proyek pemberdayaan masyarakat yang telah digagas sejak tahun 1970-an seperti Program Intensifikasi Pertanian dan Perkebunan Inti Rakyat --yang mendasari pemikiran Proyek Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K) (1986)--, proyek Kelompok Usaha Bersama (KUBE) (1988) dan Program Tabungan/Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra/Kukesra) (1995). Program itu kemudian menjadi inspirasi untuk pelaksanaan program-program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK) (1998) dan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) (1999), dan banyak lagi program pemerintah dan swasta. Khusus untuk PPK dan P2KP saja, secara akumulatif lebih dari 10.000 tenaga pendamping masyarakat telah diterjunkan mulai tahun 1998 hingga 2007. Dua proyek itu saja telah hadir di sekitar 5.000 kecamatan dan 5.720 kecamatan di Indonesia akan dijangkau semua pada tahun 2009 dengan program berbasis pemberdayaan dengan label Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dimana 21 kementerian/lembaga (K/L) akan terlibat di dalamnya.

Pemberdayaan sendiri secara teoritik dianggap sebagai pendekatan yang situasional. Teori pemberdayaan telah berkembang dengan beraneka-ragam pijakan dalam 20 tahun terakhir ini. Pemberdayaan dapat berarti sebagai suatu proses, suatu mekanisme dimana individu, organisasi dan masyarakat menjadi ahli akan masalah yang mereka hadapi. Teori pemberdayaan mengasumsikan bahwa (1) pemberdayaan akan berbeda bentuk untuk orang yang berbeda; (2) pemberdayaan akan berbeda bentuk untuk konteks yang berbeda; (3) pemberdayaan akan berfluktuasi atau berubah sejalan dengan waktu. Seseorang dapat merasa terberdayakan pada suatu saat dan tidak terberdayakan pada waktu yang lain, bergantung pada kondisi yang mereka hadapi pada suatu waktu. Para akademisi teori pemberdayaan menyatakan bahwa konsep pemberdayaan berlaku tidak hanya bagi individu sebagai kelompok, organisasi dan masyarakat, namun juga bagi individu itu sendiri.

Implikasi konsep pemberdayaan sendiri dalam pelaksanaan proyek menunculkan banyak kendala karena proses pemberdayaan tidak mesti dapat membuat yang terlibat menjadi keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini memunculkan persepsi bahwa dalam proses pemberdayan yang tidak miskin boleh terlibat. Kita patut mempertanyakan berapa banyak orang-orang yang benar-benar miskin diajak ke dalam mekanisme proyek-proyek pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks Indonesia di tahun 2006 lalu, hasil kajian Papaneck (2006) menyebutkan bahwa alih-alih tidak ada jawaban yang memuaskan perihal berapa orang miskin yang terlibat dalam proses pemberdayaan masyarakat, maka diberikanlah solusi, setiap kecamatan akan mendapat Rp 3 miliar per tahun. Harapannya, agar yang miskin bisa kebagian.

Meski sebagian kalangan menganggap hal ini sebagai langkah pemihakan yang nyata kepada orang miskin, namun langkah ini tidak cukup. Karena kebijakan pemberdayaan masyarakat dibebani target menurunkan P0. Padahal kita masih menghadapi enam asumsi yang belum dapat dipenuhi oleh para perancang kebijakan pemberdayaan masyarakat, yakni:

Pertama, masih terjadi perbedaan penafsiran nilai-nilai yang terkandung dalam konsep pemberdayaan. Masing-masing K/L mempunyai konsep sendiri yang berbeda satu dengan yang lainnya. Tidak jarang perbedaan tersebut justru membawa keraguan akan manjurnya konsep pemberdayaan sebagai instrumen penanggulangan kemiskinan. Pada saat bersamaan, konsep pemberdayaan belum dipandang sebagai proses untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena hanya dipandang sekedar upaya menanggulangi kemiskinan. Hal ini berimplikasi pada kebingungan penentuan sasaran pemanfaat program. Yang tidak miskin pun berhak menerima manfaat proyek pemberdayaan masyarakat. Hal ini dapat terjadi akibat infomasi yang rendah perihal domisili masyarakat miskin.

Kedua, penentuan lokasi belum menegaskan kantong kemiskinan yang dituju. Meski secara persentase jumlah penduduk miskin di Papua misalnya lebih banyak, namun dari segi jumlah masih jauh lebih sedikit dari Jawa Timur meski persentase penduduk miskin di Jawa Timur lebih sedikit dari Papua. Persoalan ini masih belum dipahami bersama. Bahwa akar persoalan kemiskinan di Jawa Timur dan Papua adalah sangat berbeda. Apabila kantorng kemiskinan telah ditetapkan, maka akan mudah diikuti dengan identifikasi tentang tantangan masing-masing lokasi. Penentuan lokasi dengan batas satuan wilayah terkecil (baca: desa) sangat menentukan keberhasilan pemberdayaan masyarakat sebagai instrumen peningkatan kesejahteraan. Jelaslah bahwa kecamatan dengan populasi penduduk miskin terbanyak (dilingkari, contoh pada Gambar 1) akan ditangani berbeda dibandingkan kecamatan lain yang populasi penduduk miskinnya sedikit.



Ketiga, kerancuan dalam penentuan sasaran pemanfaat. Pemberdayaan apabila diinstrumentasikan sebagai upaya mencapai kesejahteraan masyarakat, maka harus ditentukan sebagai sentral dari peningkatan kesejahteraan itu? Masyarakatkah, keluarga, atau perseorangan? Jika ukuran pemberdayaan itu adalah kesejahteraan, maka yang paling tepat adalah keluarga. Dengan demikian dapat dipastikan, bahwa pembentukan kelompok berkenaan dengan kesejahteraan ini haruslah kumpulan dari beberapa keluarga yang berdomisili di suatu wilayah tertentu, misalnya wilayah kecamatan.

Keempat, output yang dihasilkan tidak dapat diukur. Output proses pemberdayaan masyarakat meski melalui skema proses pemberdayaan masyarakat yang jelas tidak selalu terukur. Hal ini disebabkan proyek pemberdayaan masyarakat di Indonesia mendapatkan beban berupa muatan kegiatan yang telah dipandu dalam pedoman umum. Akibatnya, masyarakat yang terlibat lebih menitikberatkan jadwal penyelesaian proyek ketimbang meningkatkan kualitas pemberdayaannya itu sendiri. Padahal manfaat langsung yang dapat dipetik hanyalah upaya semasa konstruksi. Upahnya sendiri jauh dari memadai untuk disebut tidak miskin. Output pemberdayaan masyarakat harus terukur yaitu meningkatnya pendapatan keluarga, sementara hasil fisiknya dapat diukur sebagai menurunnya beban konsumsi.

Kelima, konsep pendampingan sebagai ujung tombak pemberdayaan belum dipahami. Banyak yang menyangka bahwa biaya pemberdayaan masyarakat sangat mahal sebagai akibat dari membiayai para tenaga pendamping. Namun belum ada yang mengira, bahwa biaya tersebut terlalu murah untuk suatu hasil yang efektif. Pendamping merupakan fasilitator PM. Mereka berperan sebagai pendidik masyarakat. Jaringan mereka hamper indetik dengan birokrasi pemerintah sendiri. Bahkan jaringan pendamping yang efektif adalah apabila mereka mampu melekat pada birokrasi tapi bekerja langsung di lapangan bersama kelompok masyarakat.

Keenam, penyamarataan alokasi per desa atau per kecamatan. Hal ini terjadi, karena langkanya informasi akurat yang mampu mengukur kepadatan populasi penduduk miskin. Apabila informasi ini didapatkan, maka kepadatan populasi penduduk miskin di setiap wilayah (misalnya kecamatan) pasti berbeda, dan intervensinya pun seharusnya berbeda. Apabila disamakan, maka prosesnya tidak adapat berjalan sempurna, karena masih terdapat kesenjangan input per wilayah kecamatan.

Pada akhirnya, cara pandang kita sendiri harus diubah dalam mengenali konsep pemberdayaan masyarakat dalam konteks penanggulangan kemiskinan. pemberdayaan masyarakat adalah jalan pilihan demokratis yang ditentukan sendiri oleh pelaku proyek (masyarakat). pemberdayaan masyarakat merupakan awal mula dari penguatan proses pilihan publik yang digiring masyarakat sendiri dan merupakan modal awal terwujudnya kelanggengan modal sosial.

III. Persoalan Lokasi dan Model Penentuannya

Penentuan lokasi merupakan dasar efektivitas pemberdayaan masyarakat jika ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok rumah tangga miskin. Namun apabila dipelajari seksama, akan nampak, bahwa masih banyak ketidaksesuaian dalam penentuan lokasi. Kondisi memunculkan 3 Model ketika kita melakukan penilaian atas pelaksanaan program-program berbasis pemberdayaan masyarakat di tahun 2007. Penilaian dilakukan terhadap perilaku empat proyek yang tercakup dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

3.1. Model Berdasarkan Karakterisitik Wilayah

Model ini menekankan pembagian lokasi berdasarkan karakteristiknya, yaitu perdesaan dan perkotaan. Suatu proyek hanya boleh menangani suatu wilayah kecamatan atau suatu kabupaten/kota apabila proyek itu cocok dengan kondisi karakteristik kecamatan atau suatu kabupaten/kota yang ditanganinya. Hal ini menimbulkan implikasi berat pada pengaplingan wilayah operasional suatu proyek. Artinya, proyek PPK dijatah beroperasi di perdesaan, dan proyek P2KP dijatah beroperasi di perkotaan. Pedoman Umum (pedum) menyatakan pembagian “wilayah operasional proyek” berdasarkan karakteristik desa-kota itu.




Meski dalam pedum induk (pedum PNPM) telah dijelaskan aturan main yang seragam, namun dalam pelaksanaannya, masing-masing proyek berdiri sendiri (mempunyai DIPA sendiri, bukan DIPA induk, atau “DIPA koordinasi”), dan masing-masing proyek dapat mempunyai visi sendiri tentang apa yang disebut pemberdayaan masyarakat. Dalam Pedum disebutkan, bahwa koordinasi PNPM berada di tingkat Pemerintah Pusat dan setiap proyek dapat mempunyai item kegiatan yang sama. Artinya masing-masing proyek yang berbeda itu boleh mempunyai item-item kegiatan seperti penguatan kapasitas masyarakat, kapasitas masyarakat, kapasitas pemerintah daerah, prasarana fisik (prasik), modal usaha (simpan pinjam), bantuan sosial. Dalam Petunjuk Operasionalnya (PTO), setiap proyek mempunyai mekanisme masing-masing meskipun dalam 1 kabupaten/kota yang sama serta mempunyai pengaturan sendiri-sendiri perihal bagaimana masyarakat memanfaatkan dana proyek tertentu.

Implikasi pelaksanaan program berbasis pemberdayaan masyarakat di tahun 2007 adalah adanya tumpang tindih peran, dan karena adanya Pedum baru, maka pelaksana proyek dan masyarakat local peserta proyek membutuhkan waktu untuk penyesuaian dan mempelajari pedum dan PTO yang baru. Implikasi lain Model ini adalah adanya pengabaian pada tugas pokok dan fungsi yang sesungguhnya menjadi tanggung-jawabnya. Misal, Departemen Dalam Negeri menjadi mempunyai kegiatan bersifat “prasarana” disamping tupoksi aslinya sebagai “pembina wilayah”. Sementara itu Departemen Pekerjaan Umum mempunyai kegiatan bersifat “pembinaan wilayah” disamping tanggung-jawabnya “membangun prasarana dasar”. Bahkan baik Depdagri maupun Dep-PU mempunyai kegiatan yang sesungguhnya hanya cocok menjadi tanggung-jawab Departemen Koperasi dan UKM atau perbankan, yaitu menangani kredit usaha mikro (simpan pinjam dan pengelolaan dana bergulir).

3.2. Model Penguatan Koordinasi Kabupaten/Kota

Model ini menekankan adanya pembagian pekerjaan lokasi yang jelas bagi masing-masing proyek berdasarkan unit kecamatan pada satu wilayah kabupaten/kota tertentu. Pelaksanaan proyek-proyek dilakukan berdasarkan unit lokasi kabupaten/kota. Dalam satu kabupaten/kota apabila terdapat empat program inti dan bila memungkinkan ditambah/dilengkapi program-program lain, maka masing-masing proyek akan mendapatkan jatah lokasi kecamatannya. “Penjatahan” lokasi ditentukan di tingkat koordinasi kabupaten/kota . Setiap program akan mendapatkan kewenangan untuk menangani suatu wilayah kecamatan tertentu. Suatu proyek dapat mempunyai item-item kegiatan yang identik dengan proyek yang lain dalam satu wilayah kabupaten/kota yang sama.

Dalam pedum, dapat disebutkan bahwa koordinasi PNPM di Kabupaten/kota, setiap program dapat mempunyai item kegiatan yang sama, dan koordinator PNPM kabupaten/kota mempunyai kewenangan menentukan lokasi kecamatannya. Selain itu, pedum dapat mengatur mekanisme masing-masing proyek dalam 1 kabupaten/kota yang sama. Perbedaannya adalah pada pengaturan mekanisme pemanfaatan dana program. Implikasi Model ini adalah memungkinkan terjadinya tumpang tindih peran, membutuhkan waktu untuk penyesuaian dan belajar, memungkinkan adanya perbedaan pemanfataan bantuan dalam 1 kabupaten/kota.


3.3. Model Satu Program Satu Tupoksi

Model ini menekankan adanya pembagian pekerjaan yang jelas bagi masing-masing proyek yang bertanggung-jawab pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi) tertentunya. Model ini beranggapan bahwa dalam pedum disebutkan koordinasi antar-program dalam PNPM di tingkat Kabupaten/kota, setiap program mempunyai item kegiatan sesuai tupoksi, kabupaten/kota mempunyai kewenangan menentukan lokasi kecamatannya, pengaturan pembagian tugas untuk masing-masing proyek. Setiap proyek dapat mengatur mekanisme cara penggunaan bantuan masing-masing sepanjang sesuai tupoksinya. Pedum akan mengatur semua mekanisme pemanfaatan dana program. Implikasi model ini adalah berat untuk menyusun pedumnya, karena harus melibatkan banyak pihak. Namun model ini sangat konsisten dengan tugas pokok dan fungsi yang menjadi tanggung-jawab masing-masing kementerian/lembaga melalui instrument proyeknya masing-masing. Kelak, Depdagri melalui PPK-nya hanya akan menangani “penguatan kapasitas masyarakat”, Dep-PU melalui P2KP-nya akan hanya menangani “pembinaan prasarana fisik”, dan Departemen Pertanian melalui proyek Lumbung Usaha Ekonomi Pertanian (LUEP)-nya hanya akan menangani “pembinaan produksi pangan dan ketahanan pangan”, serta Depkop dan UKM hanya khusus menangani kredit usaha mikro atau kredit usaha rakyat.


IV. Rekomendasi

Sebagai penutup akan diperagakan rekomendasi untuk menyempurnakan kebijakan pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat. Strategi dasar dalam rekomendasi ini terdiri dari lima hal, yakni:

Pertama, mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dalam konteks penanggulangan kemiskinan bukan sebagai upaya memberantas kemiskinan, tapi meningkatkan kesejahteraan keluarga miskin. Dan dalam pendekatan pemberdayaan, berarti adalah kelompok rumah tangga miskin. Dalam kelompok tersebut, keikutsertaan warga yang tidak miskin harus dibatasi.

Kedua, tersedianya data dasar yang solid. Saat ini telah tersedia Data Rumah Tangga Miskin yang disusun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai hasil Sensus Pendataan Sosial Ekonomi Rumah Tangga (PSE.05 RT). Data tersebut dapat menjadi acuan awal untuk pembentukan kelompok miskin. Pembentukan kelompok harus dilakukan secara alami.

Ketiga, melibatkan masyarakat sipil. Bagaimanapun juga, upaya penanggulangan kemiskinan harus menjadi gerakan nasional. Oleh karena itu, semua elemen masyarakat harus peduli pada upaya membantu penduduk miskin untuk menjadi lebih ringan bebannya dan menjadi sejahtera hidupnya.

Keempat, pengarusutamaan pada peningkatan kesejahteraan kelompok keluarga miskin. Pilar ini merujuk pada pengharmonisasian sumber-sumber daya yang ada untuk menggerakkan kesejahteraan keluarga miskin. Pilar ini sederhana namanya, namun dalam realita membutuhkan komitmen yang kuat dari para pesertanya. Siapa mengerjakan apa di suatu kabupaten/kota dan kecamatan harus didefinisikan secara jelas. Apa yang dikerjakan boleh bermacam-macam cara, mulai dari menyediakan fasilitasi/pendampingan, pelayanan keuangan mikro, pelayanan umum dasar, dan seterusnya, namun tujuannya adalah satu, yaitu meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin.

Kelima, kelembagaan pemberdayaan lokal. Sebagian besar program/proyek pemerintah maupun swasta melalui dana tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) senantiasa melupakan “pembentukan” lembaga yang melestarikan hasil kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pembentukan lembaga pemberdayaan local diperlukan untuk mengelola asset yang timbul akibat proses kegiatan pembangunan lokal.

--ooOOoo--


Referensi

Arthur Glikson (1955). Regional Planning and Development. The Hague: Leiden.

Bappenas (2007): Laporan Perkembangan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia tahun 2007. Jakarta (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional).

Fred W. Riggs (1998). Administrasi Pembangunan. Rajawali: Jakarta.

Hadi Susastro dkk (Editor Kumpulan Tulisan) (2005): Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir (Kumpulan Tulisan Buku 5: 1997-2005). Penerbit Kanisius dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI): Jakarta.

Randy R. Wrihatnolo dan Riant Nugroho D (2007). Manajemen Pemberdayaan. Gramedia/Elex Media Komputindo: Jakarta.

Randy R. Wrihatnolo (2007): Membumikan Millenium Development Goals (MDGs) Kedalam Kebijakan Pembangunan di Daerah, dalam jurnal Perencanaan Pembangunan, edisi Desember 2007.

Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium PBB (A/RES/55/2 United Nations Millennium Declaration).

Riant Nugroho D. (2007). Analisis Kebijakan. Gramedia/Elex Media Komputindo: Jakarta.

United Nations Development Programme (UNDP) (2001): Human Development Report 2001. New York (Oxford University Press).

United Nations Development Programme (UNDP) (2008): Human Development Report 2007/2008: Fighting Climate Change (Human Solidarity in a Divided World). New York (Oxford University Press).

William N. Dunn (2006). Analisis Kebijakan Publik. GMU Press: Yogyakarta.

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut