05 September 2009

Analisis Kebijakan Pra-Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia

Analisis Kebijakan Pra-Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

I. Latar Belakang

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) merupakan salah satu alternatif pekerjaan yang memberikan keuntungan ekonomi berganda bagi Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari paling tidak tiga fakta. Pertama, TKI memberikan kontribusi yang amat besar dalam perekonomian nasional. Kontribusi mereka dalam bentuk pengiriman uang ke kampung halaman (remitansi) mencapai USD 8,24 milyar (2008) atau berada dalam urutan pertama pada sektor jasa dan urutan ke-2 setelah penerimaan devisa migas .

Kedua, penempatan TKI ke luar negeri terus meningkat dalam 5 tahun terakhir dengan rata-rata per tahun mencapai 596.115 orang. Penempatan mereka di luar negeri menyumbang 38 persen peluang kerja di dalam negeri. Antara tahun 1997-2006, sebagian besar TKI, atau sekitar 85 persen, bekerja di Malaysia dan Saudi Arabia, sisanya ke negara lain seperti Uni Emirat Arab, Kuwait, Hongkong, Taiwan.

Ketiga, remintansi TKI menyumbang peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi bagi keluarga mereka di kampung halaman yang diperkirakan berjumlah 16 juta orang. Remitansi TKI mampu menghidupkan perekonomian perdesaan kampung halaman mereka. Berdasarkan daerah penerima remintansi TKI, Jawa Timur merupakan merupakan provinsi yang menerima remitansi TKI yang terbesar (62 persen) disusul Jakarta (15 persen), Jawa Tengah (11 persen), Nusa Tenggara Barat (5 persen), Kalimantan Timur (4 persen), Sulawesi Selatan (1 persen), dan provinsi-provinsi lain (2 persen).

Dampak perekonomian yang besar dari para TKI tersebut sayangnya belum disambut oleh pemerintah dalam bentuk pelayanan prima bagi mereka. Pada tahun 2006 saja, sekitar 80 persen TKI yang berangkat ke luar negeri adalah perempuan. Mereka yang berangkat sekitar 88 persennya bekerja di sektor informal. Sifat pekerjaan sektor informal ini biasanya didominasi oleh kelompok berpendidikan rendah. Hal ini menyebabkan persoalan tersendiri baik bagi TKI maupun bagi para pemangku kepentingan yang terkait dengan TKI. Persoalan terbesar yang berada di seputar isu TKI adalah ketidaktahuan TKI akan prosedur pengurusan dokumen yang diperlukan menyebabkan keluarnya biaya-biaya yang besar yang harus dibayarkan TKI baik secara resmi ataupun tidak-resmi.

TKI merupakan warga negara Indonesia yang juga mempunyai hak untuk dilayani secara baik oleh Pemerintah Indonesia. Namun pada kenyataannya, para TKI belum menerima pelayanan yang prima seperti belum mendapatkan kemudahan dalam pengurusan dokumen bagi TKI yang akan ditempatkan, dan belum mendapatkan perlindungan hukum yang memadai bagi TKI yang sudah ditempatkan. Kurangnya pembelaan (advokasi) bagi para TKI menyebabkan munculnya biaya-biaya yang sangat besar yang harus ditanggung TKI. Selain itu, para calon TKI dikenal mempunyai pendidikan yang kurang baik meski mereka pada umumnya mempunyai keinginan tinggi dalam membantu perekonomian keluarga. Mereka juga merupakan penopang perekonomian nasional dan lokal. Oleh karena itu, para calon TKI perlu mendapatkan advokasi dan fasilitasi. TKI juga perlu mendapatkan insentif agar mereka mempunyai kesiapan yang tinggi dalam masa pra-penempatan.

Oleh karena itu penulis merumuskan masalah bahwa para calon TKI perlu mendapatkan advokasi dan fasilitasi khusus dari Pemerintah. Persoalannya adalah bagaimana menentukan kebijakan operasional advokasi dan fasilitasi bagi calon TKI pada masa pra-penempatan itu.

II. Kerangka Kebijakan Pra-Penempatan Calon TKI di Masa Sekarang

Para TKI sesuai UU 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri harus mempunyai dokumen yang menjadi persyaratan penempatan mereka di luar negeri. Persyaratan minimal tersebut adalah: (1) memiliki pasport dari Kantor Imigrasi, (2) mempunyau surat hasil pemeriksaan kesehatan dari Depkes melalui klinik yang ditunjuk, (3) memiliki sertifikat kelulusan pelatihan dan uji kompetensi dari BNSP, dan (4) memperoleh visa kerja dari kedutaan besar negara tujuan kerja. Beberapa dokumen tersebut seharusnya tidak dikenakan biaya, namun biaya akan muncul pada saat pemrosesan dokumen yang biasanya dibayarkan kepada biro jasa pengurusan dokumen. Persoalan ini sulit dielakkan dalam realita keseharian pengurusan dokumen mengingat ketidaktahuan TKI dalam persoalan administratif seperti yang dipersyaratkan UU 39/2004.

Kerangka konsep yang akan diberlakukan dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan konstruksi teori-teori motivasi dan teori-teori pelayanan prima. Persoalan pelaksanaan kebijakan pra-penempatan calon TKI berdasarkan UU 39/2004 tersebut akan ditinjau dengan menggunakan pendekatan-pendekatan motivasi dan pelayanan prima. Hal ini dilakukan agar kerangka kebijakan baru yang lebih operasional dapat mengedepankan fungsi insentif, advokasi, dan fasilitasi bagi para calon TKI.

III. Motivasi

Motivasi merupakan pemegang peran terpenting dalam menentukan arah dan langkah-langkah yang akan diambil seseorang atau organisasi. Terdapat dua jenis motivasi yang dapat dijadikan rujukan dalam menilai seorang calon TKI, yaitu motivasi rendah dan motivasi tinggi. Motivasi rendah diindikasikan oleh (1) kecenderungan pengerahan calon TKI yang bersifat mobilisasi atau dibujuk oleh orang lain (oleh pihak ke-3), dan bukan oleh kemauan sendiri calon TKI; (2) kecenderungan calon TKI yang tidak memahami prosedur pelaksanaan pra-penempatan TKI yang menjadikan calon TKI mudah diperdayai oleh orang lain (pihak ke-3). Motivasi calon TKI yang rendah seringkali disebabkan oleh pendidikan calon TKI yang kurang baik, dan demikian sebaliknya, motivasi yang tinggi biasanya disebabkan oleh pendidikan calon TKI yang cukup baik. Motivasi harus ditumbuhkan melalui proses pendidikan. Salah satu pendekatan yang paling baik adalah memberikan advokasi dan fasilitasi kepada warga yang berkeinginan menjadi TKI di luar negeri.

Gambar 1. Peran Motivasi dalam Beban Biaya Pra-Penempatan TKI.

IV. Pelayanan Prima

Pelayanan prima merupakan dimensi baru dalam penyelenggaraan birokrasi yang memegang prinsip good governance. Pelayanan prima meski merupakan kewajiban yang harus diemban oleh birokrasi namun tidak jarang justru tidak dilakukan dengan jujur oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi memberikan pelayanan yang tidak prima kepada calon TKI dalam masa pra-penempatan. Pelayanan yang tidak prima atau buruk biasanya muncul ketika warga tidak peduli kepada peraturan dan prosedur yang ada. Akibatnya, aparat birokrasi yang merasa berat melaksanakan tugas-tugas pelayanan melakukan tindakan menarik keuntungan (rent seeker). Hal ini juga dapat menimbulkan munculnya potensi rantai birokrasi baru yang bersifat tidak resmi. Lebih jauh, juga menimbulkan potensi munculnya pihak-pihak non-pemerintah (pihak ke-3) yang menambah beban biaya bagi calon TKI. Salah satu cara untuk memotong rantai pelayanan birokrasi yang tidak prima adalah adalah dengan mengkompensasi beban biaya tidak resmi yang muncul dari pelayanan tidak prima tersebut dalam bentuk bantuan insentif langsung kepada calon TKI yang telah memenuhi persyaratan.

Gambar 2. Peran Pelayanan Prima dalam Beban Biaya Pra-Penempatan TKI.

V. Penentuan Kebijakan Pra-Penempatan Calon TKI di Dalam Negeri

Konteks penentuan kebijakan pra-penempatan calon TKI di dalam negeri dengan berdasarkan konsep motivasi dan pelayanan prima dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 3. Hubungan Antara Motivasi dan Pelayanan Prima

Tulisan ini menggambarkan elemen motivasi yang mendasari calon TKI dan elemen pelayanan prima yang mendasari pelayanan birokrasi dalam pelaksanaan pra-penempatan calon TKI. Kesenjangan antara motivasi dan pelayanan prima akan mengundang hadirnya jasa perantara dalam pelaksanaan pra-penempatan calon TKI. Oleh karena itu diperlukan suatu perbaikan kebijakan untuk menghindari adanya biaya yang lebih mahal dalam pelaksanaan pra-penempatan calon TKI.

Bentuk kebijakan untuk setiap kabupaten/kota ditentukan oleh dimana letak suatu kabupaten/kota dalam kuadran di atas. Beberapa kebijakan yang menjadi alternatif untuk diimplementasikan antara lain meliputi: (1) insentif langsung, dan (2) bantuan pelatihan swadaya (advokasi dan fasilitasi). Model pilihannya dapat dilakukan sebagai berikut.

Pertama, Kabupaten/kota dengan calon TKI yang bermotivasi tinggi dan dengan pelayanan birokrasi yang sangat prima dapat dilakukan kebijakan normal, yaitu tidak dikenakan pengaturan khusus di kabupaten/kota tersebut.

Kedua, Kabupaten/kota dengan calon TKI yang bermotivasi rendah dan dengan pelayanan birokrasi yang buruk, dapat dikenakan dua kebijakan sekaligus yaitu advokasi dan fasilitasi kepada para calon TKI serta pemberian insentif langsung kepada calon TKI apabila calon TKI memenuhi persyaratan pra-penempatan.

Ketiga, Kabupaten/kota dengan calon TKI yang bermotivasi rendah dan dengan pelayanan birokrasi yang prima, dapat dikenakan pengaturan khusus salah satu saja, yaitu hanya diberikan advokasi dan fasilitasi kepada para calon TKI.

Keempat, Kabupaten/kota dengan calon TKI yang bermotivasi tinggi dan dengan pelayanan birokrasi yang rendah, dapat dikenakan pengaturan khusus salah satu saja, yaitu hanya diberikan insentif langsung apabila calon TKI memenuhi persyaratan pra-penempatan.

Gambar 4. Alternatif Model Kebijakan dalam Masa Pra-Penempatan Calon TKI

VI. Konsep Bantuan Insentif Langsung Kepada Calon TKI

Pemerintah memberikan insentif pra-penempatan langsung (insentif langsung) kepada calon TKI yang telah memenuhi persyaratan. Tulisan ini mempunyai ruang lingkup persoalan memilih metode penyaluran insentif langsung kepada calon TKI ketika berada dalam proses pra-penempatan yang akan dilihat berdasarkan sudut pandang: (1) Tidak menimbulkan insentif negatif bagi calon TKI; (2) Tidak menimbulkan insentif negatif bagi biro jasa pengurusan dokumen dan perijinan; (3) Calon TKI mudah memahami konsep penyaluran insentif pra-penempatan; dan (4) Prosedur penyaluran insentif pra-penempatan adalah yang paling aman dan cepat.

Salah satu model penyaluran yang memeunhi kriteria di atas adalah dengan menggunakan jasa perbankan dalam penyaluran dana. Insentif dapat dicairkan oleh calon TKI untuk membantu biaya-biaya pengurusan dokumen yang diperlukan. Insentif dicairkan melalui bank-bank yang ditunjuk.

VII. Konsep Bantuan Pelatihan Swadaya Kepada Calon TKI

Pemerintah memberikan bantuan pelatihan dan pelaksanaan pengurusan dokumen. Pelaksanaan pelatihan dan pengurusan dokumen dibantu oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sudah teruji integritasnya sebagai bentuk bantuan pelatihan swadaya.

Tulisan ini mempunyai ruang lingkup persoalan memilih LSM yang akan melaksanakan bantuan pelatihan swadaya kepada calon TKI dalam masa pra-penempatan. Kriteria yang harus dipenuhi LSM tersebut adalah: (1) mempunyai integritas tinggi terutama kejujuran; (2) mempunyai pengalaman dalam advokasi dan fasilitasi kepada calon TKI; dan (3) diakui perannya oleh LSM-LSM lain yang mempunyai kredibilitas tinggi di tingkat nasional.

--ooOOoo--