05 September 2009

Analisis Kebijakan Pembangunan Perdesaan

Analisis Kebijakan Pembangunan Perdesaan
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

I. Pengantar

Pengalaman-pengalaman pelaksanaan sejumlah program pembangunan perdesaan yang pernah dan sedang dilakukan mengundang sejumlah pertanyaan mendasar tentang apa sesungguhnya pembangunan perdesaan itu, apakah program-program pembangunan perdesaan yang telah ada itu benar-benar dibutuhkan masyarakat, dan apakah hasil pelaksanaan berbagai program pembangunan perdesaan telah efektif mengubah taraf kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan perdesaan –dengan melihat pengertian umum tentang perdesaan—sesungguhnya merupakan bentuk implementasi kebijakan pembangunan yang tertua yang pernah dilakukan umat manusia. Pembangunan perdesaan dalam konteks Indonesia juga merupakan salah satu format pembangunan yang paling terdahulu yang pernah dilakukan di Indonesia.

II. Konteks Sejarah Pembangunan Perdesaan di Indonesia

Dalam sejarah pembangunan di Indonesia, pembangunan perdesaan merupakan salah satu kebijakan pembangunan yang dilakukan pada saat pemerintahan Presiden Soekarno melalui kebijakan pembangunan desa sebagaimana dilakukan melalui Rencana Hatta 1950-1955 dan kemudian disempurnakan dalam kebijakan “Pembangunan Masyarakat Desa” yang tertuang baik dalam Garis-garis Besar Rentjana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960 maupun dalam Rantjangan Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Semesta 1961-1969.

Kebijakan pembangunan perdesaan di masa pemerintahan Presiden Soekarno –sebagaimana pengalaman pelaksanaan pembangunan perdesaan di negara-negara Birma, Sailan, India dan Pakistan-- bersandar pada empat hal, yaitu: (1) pembangunan dilaksanakan di daerah-daerah tertentu –dengan daerah kerja seluas kawedanan (penyusun: dalam beberapa kabupaten/kota tetapi lebih sempit dibandingkan wilayah provinsi)-- dengan memperhatikan keterbatasan pendanaan dan sumberdaya manusia (dulu disebut sebagai sumber keuangan dan sumber tenaga terlatih); (2) sektor pembangunan meliputi segala lapangan penghidupan di desa, antara lain pertanian, kehewanan (baca: peternakan), pengairan, pendidikan (anak dan orang dewasa), kesehatan, perhubungan, perindustrian kecil, koperasi, dan perumahan yang dilaksanakan secara integral dan gotong-rojong; (3) sumber pendanaan dari Pemerintah bersifat stimulan --disalurkan melalui organisasi Pembangunan Masyarakat Desa (PMD)-- dan selebihnya merupakan gotong royong masyarakat; dan (4) pemilihan sektor pembangunan, obyek, dan cakupan yang akan dibangun ditentukan sendiri oleh masyarakat desa sesuai kebutuhan masing-masing desa.

Kebijakan pembangunan perdesaan, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, berbeda dengan yang pernah dilakukan di masa Presiden Soekarno, yaitu menitikberatkan pembangunan prasarana. Kebijakan pembangunan perdesaan di masa pemerintahan Presiden Soeharto mencakup lima pendekatan, yaitu: (1) “mendekatkan” desa-desa dengan pusat ekonomi daerah sehingga desa-desa yang menjadi orbit di lokasi-lokasi terpencil dapat ikut berkembang selaras dengan perkembangan ekonomi daerah; (2) meningkatkan produktivitas masyarakat perdesaan dengan memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat desa –dengan tetap memperhatikan pada mekanisme yang hidup di kalangan masyarakat desa yang dilandasi oleh suasana kehidupan yang sangat dipengaruhi oleh alam, adat istiadat, kepercayaan, kegotongroyongan, dan tata kerja tradisional; (3) menstimulasi pendirian lembaga-lembaga perkreditan di daerah-daerah perdesaan, sehingga dapat melayani kebutuhan-kebutuhan untuk produksi di perdesaan; (4) mengusahakan bantuan materiil kepada desa untuk menyem¬purnakan sarana-sarana produksi dan sarana-sarana sosial sehingga dapat mengintensifkan kegotongroyongan masyarakat desa; (5) mengefektifkan struktur pemerintahan desa dan lembaga-¬lembaga desa yang telah ada. Pendekatan-pendekatan tersebut melahirkan program-program pembangunan perdesaan yang mengarah pada pendekatan tersebut.

Pasca pemerintahan Presiden Soeharto, atau yang dikenal sebagai masa reformasi, dapat dikatakan bahwa pembangunan perdesaannya merupakan kelanjutan atau modifikasi adari berbagai kebijakan yang pernah dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Dalam tataran operasional, tidak ada program-program pembangunan untuk perdesaan yang bersifat pendekatan baru dibandingkan dengan apa yang pernah dilakukan pada masa-masa sebelumnya. Namun dalam tataran strategi terdapat beberapa inovasi baru sesuai dengan perkembangan ekonomi dan politik dalam negeri, misalnya yang paling penting adalah (1) cakupan pembangunan perdesaan yang dilakukan serentak secara nasional, tidak secara bertahap; dan (2) seiring dengan perkembangan demokrasi maka penentuan dan pelaksanaan kegiatan di tingkat desa ditentukan sendiri oleh masyarakat dengan dibantu oleh tim fasilitator setempat.

III. Apa Itu Desa?

Pembahasan mengenai “desa” dapat ditinjau dari perspektif legal, perspektif sosial dan budaya, dan perspektif ekosistem. Dari perspektif legal, pemahaman tentang desa dapat dilihat dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa yang mendeskripsikan desa dengan ciri-ciri sebagai berikut: “Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa untuk memenuhi ketentuan legal tersebut, suatu desa harus mempunyai institusi pelaksana pemerintahan desa sebagai berikut: (1) Pemerintahan desa yang terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa sebagai penyelenggara Pemerintahan Desa (Pasal 7); (2) Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan Perangkat Desa yang terdiri dari unsur pelayanan seperti Sekretariat Desa dan atau Tata Usaha; unsur pelaksana teknis lapangan; dan unsur Pembantu Kepala Desa di wilayah bagian Desa seperti Kepala Dusun (Pasal 7); (3) Badan Perwakilan Desa yang selanjutnya disebut BPD adalah sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa (Pasal 1); dan (4) Lembaga Kemasyarakatan Desa adalah Lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai kebutuhan Desa yang merupakan mitra Pemerintah Desa dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan (Pasal 1). Berdasarkan sudut pandang sosial dan budaya, desa merupakan unit lokasi permukiman masyarakat yang paling kecil yang mempunyai tata pemerintahan dan tata sosial sendiri. Desa merupakan wilayah otonom yang lebih tua daripada unit wilayah lain di atasnya.

Selain pemahaman tentang desa, dikenal juga pemahaman tentang kawasan dan kawasan perdesaan. Berdasarkan sudut pandang ekosistem, maka pemahaman tentang desa akan lebih tepat dijelaskan apabila menggunakan istilah kawasan perdesaan. Dengan demikian hubungan antara pemahaman desa ditinjau dari sudut pandang ekosistem dengan pemahaman tentang kawasan perdesaan akan menemukan benang merahnya. Desa merupakan suatu unit ekosistem yang paling kecil namun sangat kompleks. Suatu desa yang mempunyai ekosistem yang lengkap pada dasarnya merupakan suatu kawasan biologis yang mandiri, karena hal ini tidak terlepas dari faktor alasan pemilihan suatu desa menjadi tempat hunian (habitat) dari sekelompok masyarakat. Kehadiran manusia pada suatu lokasi dan kemudian memilihnya menjadi lokasi hunian sangat erat kaitannya dengan potensi dan dayadukung suatu tempat itu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang mendiami lokasi tersebut. Dengan demikian, desa pada awalnya merupakan tempat untuk hidup. Jika kemudian terdapat tata pemerintahan yang mengatur peri-kehidupan masyarakat desa, hal tersebut merupakan upaya untuk melestarikan potensi dan dayadukung suatu tempat agar layak dihuni.

Dalam cara pandang terhadap desa dari sudut pandang desa sebagai kawasan perdesaan, maka suatu desa dapat dicirikan sebagai berikut: (1) Desa merupakan tempat bersemainya sistem ekologi yang memungkinkan suatu area tertentu mempunyai sumberdaya yang dibutuhkan oleh penghuninya. Dalam aspek ini, penghuni suatu kawasan perdesaan sangat menggantungkan potensi alam yang terdapat dalam lokasi tersebut, seperti sumber air baik berupa mata air, sungai, atau danau. Oleh karena itu, aspek konservasi sumberdaya yang berada di suatu kawasan perdesaan menempati derajat kepentingan yang tinggi. Tanpa adanya konservasi, maka suatu kawasan perdesaan tidak akan lestari. (2) Desa menyediakan area yang memungkinkan penghuninya melakukan suatu kegiatan yang dapat memberikan penghuninya sarana kehidupan. Dalam aspek ini, penghuni suatu kawasan perdesaan melakukan kegiatan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan. Kegiatan bercocok tanam merupakan kegiatan utama yang menghiasi wajah kegiatan penghuni kawasan perdesaan. Tanpa kegiatan bercocok tanam sebagai kegiatan utama penghuni kawasan perdesaan, maka suatu kawasan perdesaan akan kehilangan karakternya sebagai kawasan perdesaan. (3) Penghuni kawasan perdesaan juga melakukan kegiatan lain yang masih berhubungan dengan urusan bercocok tanam, seperti mengatur saluran dan pembagian air, pemeliharaan lahan bercocok tanam, pengolahan hasil cocok tanam, penyimpanan hasil cocok tanam, dan seterusnya. Dengan kata lain, desa menjadi wahana bagi para penghuninya untuk melakukan kegiatan lain yang berhubungan dengan kegiatan utama di perdesaan. Hal ini mengharuskan para penghuni kawasan perdesaan menciptakan tata kelola desa yang merupakan embrio pemerintahan desa.

IV. Konsep Pembangunan Perdesaan: Masyarakat dan Infrastruktur

Pembangunan masyarakat desa yang sekarang disebut juga dengan nama pemberdayaan masyarakat desa pada dasarnya serupa dan setara dengan konsep pengembangan masyarakat (community development atau CD). Menurut Schlippe pada mulanya teori tentang pembangunan masyarakat desa ini tidak ada. Perkembangan teori pembangunan desa itu dimulai dari praktik, yaitu dari kebutuhan yang dirasakan di dalam masyarakat terutama dalam situasi social yang dihadapi didalam Negara-negara yang menghadapi perubahan sosial yang cepat. Secara teoritis, agar suatu desa berkembang dengan baik, maka teradapat tiga unsur yang merupakan suatu kesatuan, yaitu: (1) desa (dalam bentuk wadah); (2) masyarakat desa; dan (3) pemerintahan desa. Masyarakat desa, adalah penduduk yang merupakan kesatuan masyakarat yang tinggal pada unit pemerintahan terendah langsung dibawah camat. Sementara itu, pemerintah desa, adalah kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah yang dilaksanakan oleh organisasi pemerintah yang terendah langsung dibawah kepala desa.

Dalam upaya mengembangkan masyarakat di tingkat local, baik organisasi pemerintah maupun nonpemerintah, selain dibantu oleh tenaga pendamping (fieldworker atau fasilitator lapangan) biasanya dibantu oleh tanaga kader (indigenous worker). Kader diharapkan dapat menggantikan peranan petugas pembangunan desa dalam melanjutkan kegiatan-kegiatan pembangunan desa. Kader adalah orang-orang yang berasal dari masyarakat setempat yang dengan sukarela bersedia ikut serta dalam pelaksanaan berbagai kegiatan dalam program pembangunan desa. Kader dapat terdiri dari wanita atau pria, tua maupun muda, sudah bekerja ataupun belum bekerja, yang penting mereka merasa terpanggil, ada kesediaan dan kesadaran untuk ikut bertanggung jawab dalam usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lingkungannya.

Kader dapat melaksanakan kegiatan di bidang pertanian; peternakan; kesehatan; pendidikan; dan lain-lain, setelah memperoleh latihan secukupnya. Tugas seorang kader pada intinya adalah: (1) sebagai pelopor dalam melaksanakan kegiatan; (2) pelaksana dan pemelihara kegiatan program pembangunan desa; (3) menjaga terjadinya kelangsungan kegiatan; dan (4) membantu dan menghubungkan antara warga masyarakat dan lembaga-lembaga yang bekerja dalam bidang pembangunan desa.

Melakukan pembangunan perdesaan berarti mempersiapkan seluruh kebutuhan masyarakat yang diindikasikan oleh potensi masyarakat. Potensi masyarakat bersifat kompherehensif. Masyarakat lokal dalam perjalanan waktu harus mengembangkan suatu asset yang menjadi suatu sumberdaya ataupun potensi bagi komunitas tersebut dalam rangka menghadapi perubahan yang terjadi. Beberapa asset yang harus dimiliki masyarakat sebagai hasil dari pembangunan perdesaan dan pengembangan masyarakat mencakup aset yang diasumsikan terkait dengan upaya pengembangan modal fisik (physical capital), modal financial (financial capital), modal lingkungan (environmental capital), modal teknologi (technological capital), modal manusia (human capital), dan modal social (social capital).

Pembangunan infrastruktur perdesaan merupakan pendekatan terbaru dari beberapa konsep pembangunan perdesaan yang telah ada sebelumnya. Pembangunan infrastruktur perdesaan mempunyai beberapa karakteristrik. Pertama adalah adanya aktivitas proyek infrastruktur desa yang cukup positif dalam membantu aksesibilitas masyarakat di bidang sosial-ekonomi dan layak dikembangkan lebih lanjut dalam mendorong pertumbuhan wilayah perdesaan. Kedua, kehadiran infrastruktur perdesaan yang berbasiskan pada kebutuhan masyarakat harus mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan masyarakat perdesaan. Ketiga, infrastruktur perdesaan dibangun dengan memperhatikan nilai-nilai masyarakat yang hidup di perdesaan dan oleh karena itu pendekatan pengembangan masyarakat (community development) merupakan salah satu ciri melekat berikutnya yang harus terintegrasi dalam pembangunan infrastruktur perdesaan. Keempat adalah karakter terakhir pembangunan infrastruktur perdesaan yaitu melibatkan kelompok fasilitator pengembangan perdesaan yang mempunyai bisnis inti dalam pemberdayaan masyarakat. Biasanya kelompok-kelompok fasilitator pengembangan perdesaan ini adalah mereka yang bergiat dalam pemberdayaan masyarakat sebagai cara memaksimalkan proses, output dan outcome pembangunan perdesaan. Lembaga pengembangan swadaya masyarakat yang bersumberkan dari warga desa setempat seringkali merupakan pilihan dalam pelaksanaan sebagai mitra/fasilitator pembangunan perdesaan, dan bukan para kontraktor atau konsultan perusahaan besar.

Pembangunan infrastruktur perdesaan mempunyai cakupan fungsional dan kemasyarakatan yang tinggi, artinya bahwa infrastruktur perdesaan yang dibangun harus dibangun dengan memperhatikan kondisi sosiobudaya masyarakat. Jika masyarakat di suatu desa pola sosiobudayanya adalah masyarakat pertanian maka infrastruktur perdesaan harus mengikuti pola tersebut sebagai dan menjadi infrastruktur yang mendukung sektor pertanian sebagai kegiatan utama masyarakat perdesaan. Pembangunan infrastruktur perdesaan akan semakin efektif dalam mendorong pembangunan masyarakat dan wilayah pedesaan manakala diikuti dengan kegiatan penguatan kelembagaan masyarakat, peningkatan perekonomian rakyat untuk mendorong kesejahteraan, dan peningkatan aspek pengorganisasian masyarakat. Termasuk mulai memperhatikan program infrastruktur lingkungan di masyarakat seperti pengolahan limbah, perlindungan sumber air, dan sejenisnya.

V. Penutup

Konsep pembangunan infrastruktur perdesaan pada dasarnya mempunyai tujuan ganda yaitu melakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat (empowerment) dan sekaligus melakukan upaya-upaya penyediaan infrastruktur perdesaan (public utility infrastructures). Pembangunan infrastruktur perdesaan di beberapa negara berkembang seperti Brazil dan Peru termasuk Indonesia juga menambahkan komponen peningkatan tata kelola (governance) yang baik di tingkat daerah. Sehingga konsep pembangunan infrastruktur perdesaan tidak berdiri sendiri namun merupakan kombinasi dari konsep pemberdayaan dan tata-kelola yang baik. Para perencanaan pembangunan dan konsultan lembaga-lembaga donor seperti the World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB) berpandangan bahwa pembangunan perdesaan itu adalah pembangunan infrastrukturnya yang didasari oleh adanya kesenjangan kualitas infrastrukturnya antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Konsep-konsep tersebut sering kemudian diintegrasikan dan dikenal sebagai konsep pembangunan perdesaan.

Berdasarkan pengalaman pembangunan perdesaan di beberapa negara, terutama di Amerika Selatan, Asia Selatan, dan Cina didapati kesimpulan bahwa melakukan percepatan pembangunan perdesaan tidak cukup apabila hanya berorientasi pada pembangunan masyarakat perdesaannya saja dan berfokus pada pembangunan pertaniannya saja sebagai basis ekonomi kawasan perdesaan. Pembangunan perdesaan membutuhkan lebih dari pembangunan pertanian semata karena tradisi masyarakat perdesaan yang mempunyai kehidupan multisektor. Dan oleh karena itu pendekatan terkini adalah mengawinkan konsep pembangunan masyarakat, pengembangan pertanian, penyediaan infrastruktur perdesaan, serta penguatan tata kelola yang baik. Lebih dari itu para pakar perdesaan bahkan menawarkan konsep pengembangan wilayah pedesaan yang terintegrasi dalam pembangunan perdesaan itu sendiri. Hal ini didorong oleh kesadaran para pengonsep dan pelaku pembangunan tentang semakin pentingnya peran kawasan perdesaan sebagai penyangga ekonomi kawasan yang lebih luas. Konsep ini membutuhkan ruang lingkup lebih luas dari sekedar menghadirkan prasarana di desa, namun prasarana itu harus dirancang secara sengaja sebagai bagian dari pengembangan wilayah perdesaan. Oleh karena itu, dalam pembangunan perdesaan dengan pendekatan ini harus memberikan perhatian pada penyusunan rencana strategik pembangunan perdesaan, zonasi kawasan perdesaan, rencana aksi perdesaan, kerangka kerja legal perdesaan, rencana implementasi strategi perdesaan, penguatan kelembangaan perdesaan (good rural village governance), pembangunan infrastruktur perdesaan, dan pengembangan perekonomian masyarakat perdesaan.

--ooOOoo--