08 Agustus 2008

Perkembangan MDGs di Jawa, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsiporvinsi di Pulau Jawa Tahun 1990-2007
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(9) DKI Jakarta

Provinsi DKI Jakarta yang merupakan ibu kota negara dalam pencapaian MDGs relatif baik dibandingkan rata-rata nasional. Namun demikian ternyata tidak berlaku untuk semua indikator target MDGs. Dan yang paling menonjol dirasakan masih kurang adalah dalam bidang pendidikan, baik pada target pencapaian pendidikan dasar bagi semua maupun target pencapaian kesetaraan gender dengan indikator rasio APMnya. Pada tahun 2006 APM SD/MI DKI Jakarta mencapai 90,8 persen. Angka ini lebih jelek dibandingkan dengan pencapaian tahun 2000 yang mencapai 91,4 persen. Pencapaian APM SD/MI provinsi DKI yang terbaik berada pada tahun 1992 yang mencapai 94,2 persen, yang berada di atas angka nasional sebesar 88,7 persen pada saat itu. Dengan demikian, bagi provinsi DKI pencapaian APM SD/MI nya dalam rentang 14 tahun ini menunjukkan gejala yang semakin menurun, ditengah-tengah pencapaian APM nasional yang semakin membaik yakni mulai dari 88,7 persen pada tahun 1992, 92,3 persen di tahun 2000 dan puncaknya sebesar 94,7 persen pada tahun 2006.

Ada catatan penting bagi pencapaian angka nasional di tahun 2006 ini. Walau angka persentasenya dalam kurun waktu empat belas tahun ini, yakni dari tahun 1992 hingga tahun 2006, nampak meningkat tetapi jumlah provinsi yang pencapaiannya berada di bawah angka nasional nampak semakin banyak, bahkan hampir seluruh provinsi dari sejumlah 33 provinsi yang ada. Hanya ada 3 daerah provinsi yang pencapaian APM Snya berada di atas pencapaian nasional, yakni provinsi Banten, Naggroe Aceh Darussalam, serta Kalimantan Tengah.

Situasi pencapaian APM SD/MI yang berada di bawah pencapaian angka nasional pada hampir seluruh provinsi yang ada diduga merupakan imbas dari menurunya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Walaupun dalam hal ini sebenarnya pemerintah telah berupaya meminimalisir dampak dari kenaikkan harga BBM tersebut dengan berbagai program yang tertuang dalam program kompensasi pengurangan subisidi BBM (PKPS BBM), diantaranya berupa sumbangan langsung tunai (SLT) bagi masyarakat miskin dan hampir miskin (nearly poor).

Dalam hal keadilan gender di bidang pendidikan, Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara ternyata termasuk provinsi yang pencapaian rasio APM P/L SD/MI nya di bawah pencapaian nasional selama kurun waktu 14 tahun ini. Berturut-turut pencapaiannya adalah sebagai berikut; sebesar 99 persen pada tahun 1992 dengan angka nasional saat itu sebesar 100,6 persen. Pada tahun 2000 mencapai angka rasio APM SD/MI sebesar 100,4 persen dan angka nasional saat itu sebanyak 100,3 persen, serta sebesar 96,5 persen pada tahun 2006 dengan pencapaian nasional sebesar 99,4. Pencapaian ibukota negara ini bahkan amat mengejutkan bila dibandingkan dengan pencapaian yang diraih provinsi Irian Jaya Barat walaupun yang merupakan provinsi baru hasil pemekaran, sama-sama berada di bawah angka nasional. Hasil pencapaian provinsi Irian Jaya Barat tersebut sebesar 99,3 persen di tahun 2006.

DKI Jakarta sejak tahun 1992 memiliki angka rasio APM P/L SLTP/MT selalu di bawah angka nasional. Tahun 1992 angka rasio yang dicapai 100,2 persen dan turun menjadi 94,4 persen pada tahun 2000 serta tahun 2006 menurun lagi ke angka 90,7 persen padahal pencapaian angka nasional sendiri mencapai 100 persen. Tetapi tragisnya data tahun 2007 per bulan februari, berarti hanya berselang satu tahun kemudian, angka nasional drop menjadi 74,8 persen. Faktor-faktor penyebab dari keadaan demikian diduga kuat terkait dengan masalah buruh anak, perkawinan dini yang memandang anak perempuan sebagai komoditas yang pada titik ekstrimnya menjurus kepada masalah perdagangan haram manusia (human traficking).

Bila dilihat dari pendidikan dasar nampaknya Jakarta hampir dapat dikatakan termasuk bebas dari diskriminasi gender. Namun kenyataannya, bila dilihat dari struktur upah berdasarkan rasio P/L Upah bulanan, ternyata masih diketemukan sedikit ketimpangan dengan kenyataan rasio perempuan dan laki-laki sebesar 80 persen.

Menarik memperhatikan kondisi tingkat pengangguran yang melanda angkatan muda (usia 15-24 tahun) kita, khususnya mereka yang tinggal di daerah perkotaan ketimbang yang berada di perdesaan. Untuk daerah DKI Jakarta misalnya, nampak pada tahun 2007 capaiannya sekitar 85,4 persen dan merupakan rangking ke dua setelah kepulauan Riau, sementara angka nasional menunjukkan angka pengangguran sebesar 57,3 persen. secara nasional. Sementara kedua daerah tersebut dapat dikatakan merupakan daerah dengan tingkat industrialisasi yang cukup tinggi. Diantara jumlah pengangguran tersebut, nampak kaum perempuan menunjukkan persentase yang lebih besar dibanding laki-laki, yakni 89,2 persen berbanding 82,1 persen (tahun 2007 bulan Februari).

Tingkat pencapaian target MDGs terparah lainnya untuk provinsi DKI Jakarta ini adalah pada masalah HIV/AIDS. DKI Jakarta merupakan daerah yang memiliki penderita HIV/AIDS terbesar dengan 2.206 kasus pada tahun 2005.Situasi ini menggambarkan senyatanya bagaimana pola kehidupan kota besar di Indonesia saat ini dengan fenomena pergaulan bebasnya yang diiringi dengan tingkat pemakaian obat-obatan (tropika) yang cukup tinggi yang terbukti pemakaian jarum suntik diduga sebagai media utama terjadinya penularan penyakit ini.



(10) Jawa Barat dan Banten

Sebelum tahun 1999, Provinsi Jawa Barat meliputi juga daerah yang sekatang menjadi wilayah Provinsi Banten dan dengan demikian data tahun 1990-an masih merupakan satu kesatuan dengan data Provinsi Jawa Barat. Dalam hal target pengurangan kemiskinan dan penghapusan kelaparan tampaknya kedua propnsi ini memiliki angka yang relatif lebih baik dibandinglkan angka nasional. Yakni dengan persentase jumlah penduduk miskinnya sebesar 12,20 persen pada tahun 1993. Sedangkan angka nasional pada saat yang sama menunjukkan angka sebesar 13,67 persen. Begitupun, ketika provinsi Jawa Barat mengalami pemekaran dengan provinsi Banten sebagai provinsi barunya. Jumlah penduduk miskin yang terdapat di kedua wilayah ini tetap menunjukkan persentase di bawah persentase nasional.

Namun tidak demikian halnya dengan target pencapaian pendidikan dasar bagi semua, Provinsi Jawa Barat adalah satu-satunya provinsi di pulau Jawa yang masuk kategori di bawah persentase nasional (65,2 persen) untuk indikator APM SLTP/MT, dengan pencapaian pada tahun 2006 sebesar 62,1 persen. Demikian juga pada tahun 1992 maupun tahun 2000, angkanya selalu berada di bawah pencapaian angka nasional, yakni sebesar 35,3 persen pada tahun 1992 dan sebesar 57,7 persen pada tahun 2000 dengan angka nasionalnya pada masing-masing periode sebesar 41,9 persen dan 60,3 persen. Yang menarik justru provinsi pemekarannya, yakni Banten, justru sedikit lebih baik di atas pencapaian angka nasional dalam hal APM SLTP/MT ini.

Selain hal itu, angka kematian anak di provinsi Jawa Barat maupun Banten berada di di atas pencapaian angka rata-rata nasional (35 AKB per 1000 kelhiran hidup). Provinsi Jawa Barat pada tahun 2003 memiliki AKB sebesar 44 jiwa per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di provinsi Banten dijumpai angka AKB sebesar 38 jiwa per 1000 kelahiran hidup. Angka-angka pencapaian di kedua provinsi ini kemudian nampak menurun pada tahun 2005 di mana masing-masingnya menunjukkan pencapaian yang sama yakni sebesar 10 AKB per 1000 kelahiran hidup, dengan angka nasional pada saat itu sebesar 8 AKB per 1000 kelahiran hidup. Sebuah prestasi yang cukup membanggakan bagi kedua provinsi ini.

Begitupun untuk target pencapaian AKBA di mana kedua provinsi ini, Jawa barat dan Banten, menunjukkan prestasi dengan keberhasilannya menurunkan angka kematian balita (AKBA) walau dengan selisih angka yang tidak signifikan dan masih berada di atas angka nasional. Yakni dari 50 jiwa per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 47 jiwa AKBA pada tahun 2005, untuk provinsi Jawa Barat. Sedangkan untuk provinsi Banten, dari 56 jiwa AKBA pada tahun 2003 menjadi 45 jiwa per 1000 kelahiran hidup.

Provinsi Banten dalam pencapaian target peningkatan akses terhadap air minum aman dan sanitasi layak masih di bawah angka rata-rata nasional, artinya masih membutuhkan kerja keras. Rumah tangga yang memiliki akses air minum non-perpipaan terlindungi tahun 2006 di provinsi ini mencapai 48,5 persen, dan yang memiliki akses terhadap sanitasi layak 69 persen. Sedangkan Provinsi Jawa Barat sebelum dimekarkan dengan provinsi Banten, pada tahun 1992 memiliki rumah tangga pengguna air minum non-perpipaan terlindungi sebanyak 68,6 persen dan ketika terpisah, pada tahun 2006 angkanya menurun menjadi 51,0 persen. Sedangkan yang menikmati sanitasi layak sekitar 61,1 persen. Pencapaian tahun 29006 sudah lebih baik dari tahun 2000 yang mencapai 54 persen dan tahun 1992 yang baru 26,40 persen.

Target pengurangan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya relatif tinggi karena Jawa Barat memiliki penderita sebanyak 534 orang pada tahun 2005, sedangkan yang tercatat dalam kejadian malaria 1.110 kasus. Provinsi Banten relatif kecil, karena penderita HIV/AIDS hanya tercatat 6 orang dan kasus malaria hanya 10 kejadian untuk tahun 2005.

Tingkat pengangguran kaum muda di Propvinsi Jawa Barat cukup tinggi dan merupakan rangking ke empat dengan 73,1 persen. Angka tersebut terdiri dari 84,4 persen penganggur perempuan dan laki-laki hanya 66,8 persen. Dalam hal rasio upah perempuan dan laki-laki sebesar 78,9 persen. Sedangkan di Banten tingkat pengangguran kaum mudanya lebih tinggi, yaitu mencapai 78,5 persen per Februari 2007 dengan posisi sebagai rangking ketiga secara nasional. Perbandingan antara jumlah perempuan yang menganggur dibandingkan dengan yang laki-laki sebesar 85 persen berbanding 74,7 persen. Oleh karena itu mudah dipahami jika kemudian nampak rasio upah kaum perempuan nampak lebih rendah ketimbang laki-laki, yaitu 72,4 persen rata-rata upah per bulan P/L untuk Provinsi Banten dan sebesar 78,9 persen untuk Provinsi Jawa Barat. Kenyataan ini juga semakin menguatkan pendapat umum yang berkembang selama ini yang menyatakan bahwa posisi tawar pasar tenaga kerja kaum perempuan secara struktural lemah dibandingkan dengan pasar tenaga kerja laki-laki.

(11) Jawa Tengah

Pada tahun 1993 persentase penduduk miskin di provinsi Jawa Tengah mencapai 15,8 persen atau sekitar 4.618.700 jiwa dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 21,11 persen atau sekitar 7.308.300 jiwa. Sedangkan tahun 2006 persentasenya mencapai 20,17 persen. Keseluruhan pencapaian provinsi Jawa Tengah dalam upayanya mengurangi jumlah penduduk miskin memang nampak berada di atas jumlah penduduki miskin secara nasional, selama periode waktu-waktu tersebut.

Pencapaian rasio P/L SD/MI di Jawa Tengah pada tahun 2006 ini nampak menurun dibandingkan dengan pencapaian tahun 2000, yakni dari sebesar 99,8 persen menjadi 98,2 persen. Sedikit berbeda dengan pencapaian tahun 1993 yang berada pada posisi di atas pencapaian angka nasional (100,6), yakni sebesar 100,9. Selain berbagai sebab yang terkait dengan masalah-masalah pekerja anak dan masalah perkawinan dini yang melanda anak perempuan, secara spesifik, hal ini mencerminkan masih menguatnya kultur Jawa yang lebih mengedepankan anak laki mengenyam pendidikan.

Tetapi berbeda halnya dengan rasio P/L SLTP/MT di mana proinsi Jawa Tengah ini memperlihatkan kondisi keadilan gender dalam hal akses pendidikan SLTP/MT dengan pencapaiannya di atas rata-rata angka nasional, khususnya pada tahun 1992 dan tahun 2000, yakni masing-masing sebesar 101,7 dan 106,6. Tetapi mengalami penurunan pada tahun 2006 yakni sebesar 103,1, meskipun masih tetap berada di atas pencapaian angka nasional sebesar 100.

Dari sisi upah, rasio upah per bulan P/L hanya sekitar 66 persen artinya perempuan hanya memperoleh upah 66 persen dibandingkan laki-laki. Diskriminasi dalam pengupahan jelas merupakan cerminan di sektor riel, terutama terkait dengan semakin maraknya pola hubungan kerja yang bersifat sub-kontrak dan out-sourcing yang melemahkan kaum buruh, terutama buruh perempuan.

Provinsi Jawa Tengah dalam upaya pencapaian target penurunan penderita HIV/ADS dan Pengurangan Penderita Malaria masih harus waspada, karena penderita HIV/AIDS mencapai 143 kasus tahun 2005, sedangkan peristiwa malarian mencapai 150 kejadian.

Target pengurangan pengangguran usia muda (15-24 tahun) di provinsi Jawa Tengah masih tergolong rendah karena berada di atas angka rata-rata pengangguran di tingkat nasional (57,3) yang mana pada tahun 2007 mencapai 57,6 persen dan merupakan rangking 10 terburuk. Sedangkan bila ditinjau berdasarkan jenis kelamin maka nampak jumlah pengangguran perempuan lebih banyak ketimbang kaum laki-lakinya, yakni 65,8 persen berbanding 52,3 persen.

(12) Daerah Istimewa Yogyakarta

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dari sisi kualitas hidup memang relatif baik keadaan penduduknya dan merupakan daerah dengan indeks harapan hidup yang tertinggi. Namun demikian, persentase jumlah penduduk miskinnya sejak tahun 1993 yang mencapai 11,77 persen terus meningkat hingga tahun 2000 yang mencapai 33,32 persen. Dan barulah pada tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 20,32 persen tetapi dengan suatu kenyataan masih berada di atas jumlah rata-rata penduduk miskin secara nasional. Penurunan jumlah penduduk miskin pada tahun 2006 ini boleh jadi dikarenakan adanya intervensi program PKPS BBM yang memang diarahkan bagi penduduk miskin dan mendekati miskin dalam mempertahankan daya beli masyarakat (miskin) akibat adanya kebijakan menaikkan harga BBM yang diikuti dengan meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok penduduk.

Sebagaimana telah disebutkan di muka, pencapaian provinsi ini dalam hal rasio APM SD/MI ternyata mengalami penurun biola dibandingkan dengan pencapaian tahun 1992 maupun tahun 2002. Pencapaian tahun 1992 sebesar 101,3 persen, tahun 2002 sebesar 99,6 persen dan tahun 2006 sebesar 97,9 persen. Artinya terdapat kecenderungan yang konsisten dalam hal rasio APM SD/MI yang didasarkan atas perbandingan jenis kelamin perempuan dan laki-laki.

Rasio APM P/L SLTP/MT di Provinsi ini tahun 2006 mencapai 94,4 persen dan angka ini lebih buruk ketimbang pencapaian tahun 95,2 persen tetapi sedikit lebih baik dibandingkan pencapaian tahun 2000 sebesar 94,3 persen. Namun, sekalipun pencapaian tahun 2006 nampak menunjukkan persentase yang lebih baik, sesungguhnya masih berada di bawah pencapaian nasional atau masih berada di bawah prestasi pencapaian periode-periode tahun sebelumnya, tahun 1992 maupun tahun 2000. Secara keseluruhan memang, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, hampir semua provinsi di Indonesia dalam pencapaian target indikator APM SD/MI ini mengalami penurunan. Hanya terdapat di tiga daerah yang angka pencapaiannya berada di atas pencapaian angka nasional.

Target pengurangan penderita HIV/AIDS dan malaria di Yogyakarta relatif dapat dikendalikan, mengingat posisi kota ini yang terbuka dan daerah wisata. Terdapat 18 kasus penyakit HIV/AIDS dan tercatat 130 kejadian penyakit malaria di Provinsi ini pada tahun 2005.

Situasi pengangguran usia muda di Yogyakarta dapat dikategorikan relatif memprihatinkan, mengingat posisinya pada tahun 2007 ini berada di peringkat enam terburuk, dengan pencapaian sekitar 68,7 persen. Dari keadaan yang demikian, ternyata jumlah perempuan muda yang menganggur lebih banyak dari laki-laki, dengan perbandingan angka masing-masing sebesar 77,6 persen dan 61,2 persen atau sekitar 16,4 persen lebih banyak.

(13) Jawa Timur

Provinsi Jawa Timur pada tahun 2006 ini memiliki jumlah penduduk miskin sebesar 20,23 persen atau hampir seperlima penduduknya hidup dalam kemiskinan. Dari sisi persentase memang relatif kecil namun dari sisi jumlah absolut bisa meliputi beberapa provinsi. Pada tahun 2000 jumlah penduduk miskin daerah ini sekitar 22,72 persen atau berjumlah lebih dari 7,7 juta jiwa. Sedangkan pada tahun 1993 persentase jumlah penduduk miskinnya mencapai 13,25 persen. Bila jumlah penduduk miskin tahun 1993 tersebut dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin tahun 2006 maka terdapat perbedaan jumlah yang hampir dua kali lipat besarnya. Dalam satu dekade lebih telah terjadi penggandaan jumlah orang miskin yang diduga kuat sebagai akibat pengaruh krisis ekonomi pada tahun 1997/1998.

Pencapaian rasio APM P/L SD/MI di Jawa Timur pada tahun 2006 ini nampak menurun dibandingkan dengan pencapaian tahun-tahun sebelumnya, yakni 99 persen, dengan angka nasional sebesar 99,4 persen. Sedangkan rasio tahun 1992 sebesar 101 persen dan tahun 2000 turun menjadi 100,2 persen. Dengan semakin menurunnya pencapaian rasio APM P/L SD/MI ini maka dapat diartikan partisipasi peserta didik anak perempuan semakin menurun dibandingkan dengan anak laki-laki dalam hal mengenyam pendidikan dasar tingkat sekolah dasar.

Provinsi jawa Timur memiliki angka rasio APM P/L SLTP/MT yang terus meningkat dari 97,1 persen pada tahun 1992 dan menjadi 104,2 persen tahun 2000 yang menyamakan angka nasional. Kemudian pada tahun 2006 naik turun menjadi 101,4 persen tetapi berada di atas pencapaian angka nasional (100,0 persen)

Di sektor riel, terlihat indikasi adanya diskriminasi pengupahan. Rasio P/L upah bulanan tahun 2007 mencapai hanya 74,1 persen dan ini berada di bawah angka nasional yang merujuk pada angka 74,8 persen. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi perbedaan jumlah antara perempuan dan laki-laki dalam hal menerima upah bulanan. Kaum perempuan berada dalam jumlah yang lebih sedikit ketimbang yang laki-laki. Kondisi ini mencerminkan adanya perempuan yang bekerja di sektor informal menerima upah bulanan lebih kecil dibandingkan laki-laki yang notabene banyak bekerja di sektor formal.

Target pengurangan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya di Jawa Timur masih rawan. Hal ini dikarenakan tingginya pengidap (ODHA) HIV/AIDS yang mencapai 790 orang pada tahun 2005. Sedangkan kejadian Malaria mencapai 280 kasus.

--ooOOoo--

Tidak ada komentar: