08 Agustus 2008

Perkembangan MDGs di Sumatera, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsi-provinsi di Pulau Sumatera Tahun 1990-2007
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(1) Nanggroe Aceh Darussalam

Pencapaian target menanggulangi kemiskinan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam cukup baik ditinjau dari kecenderungan persentase penduduk miskinnya (Po). Po Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 1993 mencapai 13,5 persen atau 496.700 jiwa. Persentase ini berada di bawah Po nasional 13,7 persen dan juga berada di bawah rata-rata provinsi 14,7 persen. Penduduk miskin Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2000 ternyata bertambah banyak atau meningkat persentasenya menjadi 29,8 persen. Po tahun 2006 menurun menjadi 28,7 persen. Situasi konflik dan ekonomi yang berkepanjangan sejak tahun 1990-an diduga menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan.

Kinerja target pengurangan kelaparan dapat dilihat dari indikator balita kurang gizi. Balita kurang gizi di Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 1989 mencapai 48,4 persen atau tertinggi kedua di Indonesia. Kejadian kurang gizi menurun terus dari tahun 1989 sampai tahun 2000 menjadi masing-masing 39,3 persen dan 38,6 persen.

APM SD/MI sebagai indikator pencapaian target pendidikan dasar untuk semua di Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan perkembangan yang baik. APM SD/MI tahun 1992 termasuk rendah meskipun di atas angka nasional (88,7 persen) maupun di atas rata-rata provinsi (87,2 persen). Kualitas pelayanan pendidikan yang membaik membuat semakin bertambahnya partisipasi sekolah pendidikan dasar yang ditandai meningkatnya APM SD/MI tahun 2006 menjadi 95,5 persen.

Keadilan gender di bidang pendidikan, sebagai bagian dari upaya mewujudkan tujuan ketiga mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan menunjukkan kecenderungan menurun. Rasio APM murid perempuan dibanding laki-laki (P/L) SD/MI tahun 1992 telah mencapai 99,9 namun menurun menjadi 96,4 pada tahun 2006. Sementara itu untuk rasio APM P/L SLTP/MT/MT menurun dari 111,4 pada tahun 1992 menjadi 99,3 pada tahun 2006. Angka ini berada di bawah angka nasional (100,0) dan di bawah rata-rata tiap provinsi (101,5). Kesetaraan gender untuk bidang selain pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam ditunjukkan antara lain oleh rasio rata-rata upah per bulan antara perempuan dan laki-laki. Pencapaian Provinsi ini termasuk tertinggi di antara 33 provinsi di tahun 2006 yaitu 84,8, jauh di atas rata-rata provinsi 84,7 maupun angka nasional 74,8. Dengan demikian, keseteraan gender di bidang pendidikan dan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di Nanggroe Aceh Darussalam belum berkembang baik. Pencapaian tahun 2006 sekaligus bermakna bahwa Provinsi ini sedang dalam masa pemulihan pasca konflik yang berkepanjangan.

Indikator berikutnya yang mengindikasikan pencapaian tujuan 4 menurunkan angka kematian anak adalah AKB dan AKBA. AKB per 1000 kelahiran hidup tahun 2005 (7,0) masih tergolong cukup baik dibandingkan angka nasional (8,0) maupun angka rata-rata tiap provinsi (8,5). Sementara itu AKBA per 1000 kelahiran hidup tahun 2005 (46,0) juga berada dalam kategori cukup baik dibandingkan angka nasional (40,0) dan angka rata-rata tiap provinsi (40,6). Pencapaian AKBA tahun 2005 ini menyamai pencapaian nasional tahun 2003. Pencapaian tahun 2005 jauh lebih baik dibandingkan tahun 1990.

Kinerja bidang kesehatan yang lain, khususnya terkait pencapaian tujuan 6 memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, ditunjukkan antara lain oleh jumlah penderita AIDS dan kejadian malaria. Penderita AIDS hanya satu orang pada tahun 2005, sementara insiden malaria tahun 2005 mencapai 2.170 kejadian.

Prestasi lain yang dicapai Provinsi ini adalah di pencapaian luas lahan kawasan hutan, akses air minum, dan sanitasi sebagai bagian dari upaya mencapai tujuan 7 memastikan kelestarian lingkungan hidup. Luas kawasan hutan di wilayah Provinsi ini cenderung tetap dari tahun 2001 sampai 2005, bahkan dibandingkan dengan penafsiran citra Satelit ETM 7 tahun 2000 juga relatif tetap. Selain itu, rumah Tangga yang memiliki akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi dari tahun ke tahun menunjukkan pengurangan, yaitu mencapai 24,1 persen pada tahun 1994 dan pada tahun 2006 menjadi 41,4 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa selama 16 tahun terjadi pergeseran akses rumah tangga terhadap penggunaan air bersih. Sementara itu akses rumah tangga kepada sanitasi layak juga meningkat tajam dari 25,1 persen di tahun 1992 menjadi 62,7 persen di tahun 2006.

Pekerjaan bagi kaum muda (rentang usia 15-24 tahun) di Nanggroe Aceh Darussalam nampaknya banyak dinikmati oleh kelompok laki-laki dibandingkan oleh kelompok perempuan. Per Februari 2007 terdapat sekitar 52,6 persen pengangguran usia muda kelompok laki-laki, sementara yang perempuan hanya 58,2 persen. Jumlah pengangguran usia muda secara akumulatif per Februari 2007 diperkirakan mencapai 493 ribu jiwa atau sekitar 54,9 persen. Angka kumulatif ini lebih baik dari pencapaian nasional per Februari 2007 yang cuma 57,3 persen.




(2) Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara mencatat awal yang baik dalam target menanggulangi kemiskinan di tahun 1993 dengan persentase penduduk miskin 12,3 persen. Angka ini di bawah Po Nasional (13,7 persen) maupun di bawah rata-rata tiap provinsi (14,7 persen). Pada tahun 2000, persentase penduduk miskin meningkat 13,0 persen. Meski demikian, angka tersebut masih di bawah Po Nasional maupun rata-rata tiap provinsi (20,5 persen). Perbaikan kualitas kebijakan dan pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan dalam waktu lima tahun terakhir nampaknya belum mampu menurunkan persentase penduduk miskin di Sumatera Utara yang di tahun 2006 mencapai 14,3 persen.

Prestasi mengurangi kelaparan yang ditandai indikator kurang gizi di Provinsi ini dari tahun 1989 hingga tahun 2006 secara umum fluktuatif. Pada tahun 1989 balita kurang gizi di Sumatera Utara mencapai 37,3 persen sedikit lebih baik dari angka nasional (37,5 persen). Gizi buruk pada tahun 1992 menurun mencapai 35,4 persen, kemudian pada tahun 2000 menjadi 26,5 persen. Meski antara tahun 1992 hingga 2000 mengalami kemajuan namun ternyata justru lebih buruk dari angka nasional 24,7 persen (tahun 2000). Pada tahun 2006 persentase kurang gizi meningkat menjadi 28,7 persen. Angka 2006 lebih buruk sedikit dari angka nasional (28,1 persen) maupun angka rata-rata tiap provinsi (27,9 persen).

Kisah pencapaian berbeda terjadi pada prestasi mencapai pendidikan dasar untuk semua yang berkembang sangat baik. APM SD/MI pada tahun 1992 mencapai 89,9 persen, lebih tinggi dari APM nasional (88,7 persen) maupun dari rata-rata tiap provinsi (87,2 persen). Pada tahun 2000 APM SD/MI meningkat pesat menjadi 94,2 persen dan menurun sedikit pada tahun 2006 menjadi 94,0 persen dan angka ini berada di bawah APM SD/MI nasional (94,7 persen). Sementara itu untuk APM SLTP/MT, prestasi Sumatera Utara senantiasa lebih baik dari angka nasional maupun rata-rata tiap provinsi dengan pencapaian berturut-turut 56,4 (1992), 67,2 (2000), dan 73,1 (2006). Pencapaian tahun 2006 merupakan tertinggi ketiga di Indonesia.

Kesetaraan gender bidang pendidikan di Sumatera Utara ditandai oleh rasio APM P/L SD/MI dan rasio APM P/L SLTP/MT. Rasio APM P/L SD/MI antara tahun 1992 hingga 2006 cenderung stagnan dari 99,5 (1992), 99,5 (2000), dan 98,5 (2006). Sementara itu rasio APM P/L SLTP/MT antara tahun 1992 sampai 2006 terus meningkat dari 99,4 (1992) menjadi 102,3 (2000), 103,3 (2002), dan 101,3 (2006). Perkembangan pencapaian yang luar biasa ini --khususnya di tingkat SLTP/MT-- menggambarkan keadilan gender yang meningkat sebagai dampak kebijakan yang memberikan peluang luas kepada perempuan untuk memperoleh fasilitas pendidikan. Rasio rata-rata upah per bulan antara perempuan dan laki-laki di Provinsi ini termasuk sedang yaitu 76,4 atau sedikit lebih baik dibandingkan dengan angka nasional 74,8, namun masih di bawah rata-rata tiap provinsi 80,3.

Pencapaian berikutnya adalah menurunkan angka kematian anak dengan indikator AKB dan AKBA. Keduanya memberikan gambaran prestasi yang baik. AKB antara tahun 1994 sampai 2005 berhasil menurun dari 42 persen antara tahun 1994-2003 menjadi 6 persen pada tahun 2005. Sementara itu prestasi AKBA terekam menurun dari 57 persen antara tahun 1994-2003 menjadi 32 persen pada tahun 2005. Baik AKB maupun AKBA tahun 2005 berada jauh lebih baik dari angka nasional (40) maupun rata-rata tiap provinsi (41). Keberhasilan menurunkan angka kematian merupakan dampak pembangunan kesehatan yang diprioritaskan pada penanganan anak-anak usia balita.

Sumatera Utara termasuk daerah dengan jumlah penyandang HIV/AIDS yang tinggi yaitu 188 pada tahun 2005. Pada tahun 2005 tercatat insiden malaria sebanyak 5.340 kejadian. Dengan demikian tantangan sangat berat masih menyertai Provinsi ini dalam memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya.

Memastikan kelestarian lingkungan hidup merupakan tugas yang berat bagi Provinsi ini terutama disebabkan menurunnya kualitas hutan yang ditandai oleh menurunnya rasio luas daratan kawasan hutan dari 53,7 pada tahun 2003 menjadi 52,2 pada tahun 2005. Akses rumah tangga terhadap air minum non-perpipaan terlindungi antara tahun 1994 hingga 2006 meningkat dari 39,6 persen (1994) menjadi 50,2 (2002), dan meningkat lagi menjadi 55,2 persen (2006). Akses rumah tangga pada sanitasi layak antara tahun 1992 sampai 2006 juga senantiasa membaik dari 41,1 persen (1992) meningkat menjadi 72,7 persen (2000) dan membaik lagi menjadi 76,7 persen (2006). Pencapaian 2006 lebih baik dari angka nasional (69,3 persen) maupun rata-rata tiap provinsi (66,8 persen).

Pengangguran usia muda (rentang 15-24 tahun) di Provinsi ini termasuk tinggi meskipun sedikit lebih baik dari angka nasional. Pengangguran usia muda kelompok laki-laki per Februari 2007 mencapai 52,4 persen, kelompok perempuan mencapai 64,2 persen, dan secara akumulatif mencapai 57,1 persen atau terdapat penganggur sebanyak 1,53 juta jiwa.



(3) Sumatera Barat

Prestasi Provinsi Sumatera Barat dalam penanggulangan kemiskinan cenderung stabil apabila dilihat dari persentase penduduk miskin yang menurun antara tahun 1993 hingga 2006 dari 14,47 persen (1993), 11,41 persen (2000), dan sedikit meningkat menjadi 11,61 (2006). Prestasi Provinsi ini senantiasa lebih baik dari angka nasional.

Pada persoalan mengurangi kelaparan, Provinsi ini pada tahun 1989 memiliki balita kurang gizi sebesar 37,22 persen kemudian menurun menjadi 30,86 persen (1992), menurun lagi menjadi 21,77 persen (2000) dan kembali meningkat menjadi 30,44 persen pada tahun 2006. Pencapaian tahun 2006 Priovinsi ini lebih rendah dari angka nasional (28,05 persen).

Target pendidikan dasar untuk semua senantiasa meningkat dari tahun 1992 hingga tahun 2006 baik untuk jenjang pendidikan SD/MI maupun jenjang pendidikan SLTP/MT. Kecenderungan peningkatan ditunjukkan oleh pencapaian APM SD/MI sebesar 90,2 persen (1992), 92,7 persen (2000), dan 94,2 persen (2006). Sedangkan APM SLTP/MT juga cenderung meningkat dari 53.2 persen (1992) menjadi 63,0 persen (2000) dan 67,8 persen (2006). Baik pencapaian APM SD/MI maupun SLTP/MT selalu lebih baik dari angka nasional maupun lebih baik dari rata-rata tiap provinsi.

Kesetaraan gender bidang pendidikan di Provinsi Sumatera Barat ditinjau dari rasio APM P/L SD/MI menurun dari 102,4 pada 1992 kemudian 99,6 pada tahun 2000 menjadi 99,2 pada tahun 2006. Pencapaian rasio APM P/L SD/MI tahun 2006 berada di bawah pencapaian nasional 99,4. Hal sama berlaku pada APM P/L SLTP/MT menurun dari 125,0 pada tahun 1992, menjadi 112,0 pada tahun 2000, dan menurun lagi menjadi 108,7 pada tahun 2006. Pencapaian rasio APM P/L SLTP/MT tahun 2006 lebih baik dari pencapaian nasional tahun yang sama (100.0). Data tersebut menginformasikan bahwa perempuan mempunyai akses pendidikan lebih rendah dibandingkan rekan laki-lakinya.

Permasalahan kesehatan menunjukkan prestasi yang baik dalam konteks pencapaian target menurunkan angka kematian anak. Jika antara tahun 1994 hingga 2003 secara akumulasi terdapat AKB sebesar 48 per 100 kelahiran hidup, maka untuk tahun 2005 saja AKB hanya 8 per 1000 kelahiran hidup. AKB tahun 2005 sama dengan angka nasional dan lebih baik dari rata-rata tiap provinsi. Sementara itu hanya terdapat 2 penderita AIDS di tahun 2005, jauh dari rata-rata tiap provinsi yang mencapai 186 penderita.

Pencapaian target mempertahankan kelestarian lingkungan hidup di Provinsi ini diindikasikan oleh perkembangan rasio luas daratan kawasan hutan yang meningkat sedikit dari 60,5 persen di tahun 2001 menjadi 61,5 persen di tahun 2005. Selain itu perkembangan pencapaian akses air minum non-perpipaan terlindungi dari 33,2 persen di tahun 1994 meningkat menjadi 47,0 persen di tahun 2002 dan terus membaik menjadi 53,6 persen di tahun 2006. Prestasi sama juga terjadi pada akses rumah tangga untuk memperoleh sanitasi layak yang senentiasa meningkat dari 19,8 persen di tahun tahun 1992 menjadi 41,3 persen di tahun 2000 dan terus membaik di tahun 2006 menjadi 49,8 persen. Meski terjadi peningkatan pada akses air minum dan sanitasi layak, namun pencapaianya masih di bawah angka nasional. Ketertinggalan tersebut memacu Provinsi ini senantiasa mengejar ketertinggalannya dari provinsi-provinsi lain.

Salah satu barometer pencapaian target kemitraan global yang penting adalah tingkat pengangguran usia muda (rentang usia 15-24 tahun). Pengangguran usia muda untuk kelompok laki-laki per Februari 2007 mencapai 50,5 persen atau lebih baik dari kondisi nasional yang mencapai 53,0 persen. Sementara itu untuk kelompok perempuan per Februari 2007 mencapai 62,4 persen yang juga lebih baik dari angka nasional 64,2 persen. Secara akumulatif, pengangguran usia muda per Februari 2007 hanya 55,0 persen.




(4) Riau dan Kepulauan Riau

Rasio APM P/L SLTP/MT tahun 1992 dan 2002 Provinsi Riau termasuk kondisi daerah yang sekarang disebut Provinsi Kepulauan Riau. Pada tahun 1992 angka rasio APM P/L SLTP/MT Provinsi Riau (termasuk Kepulauan Riau) baru mencapai 82,5 persen dan pada tahun 2002 Riau dan termasuk Kepulauan Riau memperoleh kemajuan hingga mencapai 100,8 persen. Pada tahun 2006, rasio APM P/L SLTP/MT Riau saja telah meningkat menjadi 130,0 persen. Pencapaian Riau masih di bawah angka nasional. Sementara itu rasio APM P/L SLTP/MT Kepulauan Riau saja pada tahun 2006 telah mencapai 129,3 persen. Berdasarkan informasi tersebut, bidang pendidikan tingkat SLTP/MT telah menunjukkan kesetaraan gender.

Rasio P/L Upah bulanan di Provinsi Riau pada tahun 2007 mencapai 73,4 persen. Selain masih berada di bawah angka nasional (74,8 persen), hal ini juga dapat diartikan masih terdapatnya masalah diskriminasi yang terkait dengan bidang pengupahan yang berlaku bagi kaum perempuan dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang menerima upah bulanan.

Air minum. Sementara itu berkenaan dengan akses rumah tangga ke air minum khususnya air minum non-perpipaan terlindungi, pencapaian Provinsi Riau menurun jika dibandingkan data tahun 1992 dan tahun 2006. Pada tahun 1992 jumlah rumah tangga dengan air minum non-perpipaan terlindungi di Provinsi Riau termasuk Kepulauan Riau mencapai 60,5 persen, sementara itu pada tahun 2006 untuk Provinsi Riau saja mencapai 46,6 persen rumah tangga dan untuk Kepulauan Riau mencapai 60,1 persen.

Target Penurunan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular malaria pada tahun 2005 di kedua provinsi, Riau maupun Riau Kepulauan, masih tercatat secara tunggal pada provinsi induknya, yakni provinsi Riau. Data yang ada memperlihatkan jumlah ODHA penderita HIV/AIDS mencapai 37 orang. Sementara itu penderita malaria mencapai 3.680 kejadian.

Target penurunan pengangguran kaum muda (15-24 tahun) di kedua provinsi nampaknya masih tergolong berat karena capaiannya masih berada di atas angka nasional. Data tahun 2007 memperlihatkan bahwa meskipun provinsi Kepulauan Riau dikenal sebagai kawasan industri dengan P Batam sebagai pusat pertumbuhannya, ternyata perkembangan kawasan ini masih belum mampu menyerap pasar tenaga kerja yang tersedia, khususnya tenaga kerja usia muda. Dengan persentase sebesar 87,4 persen maka provinsi Kepulauan Riau merupakan wilayah dengan tingkat pengangguran usia muda yang tertinggi di Indonesia. Sedangkan di provinsi Riau sendiri tingkat pengangguran tenaga kerja usia muda menunjukkan persentase sebesar 63 persen.





(5) Jambi

APM SD/MI di Provinsi Jambi pada tahun 2006 adalah 94,4 persen. Hal ini meperlihatkan kecenderungan yang semakin membaik jika melihat capaian tahun-tahun sebelumnya di mana pada tahun 1992 tingkat APM SD/MI nya masih sebesar 85,9 persen dan tahun 2000 sebesar 92,8 persen. Tetapi bila bila dibandingkan dengan capaian rata-rata angka nasional maka hanya perolehan pada tahun 2000 yang menempatkan provinsi ini berada di atas angka nasional yang saat itu berkisar pada angka 92,3 persen.

Rasio APM P/L SD/MI di Provinsi Jambi pada tahun 2006 mencapai 98,8 dan termasuk dalam kategori wilayah yang capaiannya paling buruk di luar Jawa. Provinsi ini mengalami penurunan pencapaian bila dibandingkan dengan pencapaian tahun-tahun sebelumnya di mana tahun 2000 perolehannya sebesar 100,6 persen dan pada tahun 1992 sebesar 101,5 persen. Dengan capaian yang dihasilkan pada tahun 1992 tersebut, provinsi Jambi masih tergolong sebagai daerah yang capaiannya di atas angka nasional (100,6 persen). Faktor budaya yang lebih mengedepankan anak laki-laki dalam meraih pendidikan dan kebiasaan perkawinan usia dini pada anak perempuan diduga menjadi penyebab terjadinya kekurang setaraan gender di provinsi Jambi.

Provinsi Jambi merupakan provinsi yang selama 16 tahun terakhir mengalami penurunan jumlah rumah tangga yang memiliki akses air minum non-perpipaan terlindungi, yakni dari 39,6 persen pada tahun 1994 menjadi 46,9 persen pada tahun 2006. Sedangkan data tahun 2002 menunjukkan hasil sebesar 50,3 persen yang menempatkan provinsi Jambi berada di atas capaian nasional (50,0 persen). Untuk akses terhadap sanitasi layak, provinisi Jambi pada tahun 2006 berada di posisi 11 terburuk dengan capaian sebesar 60,9 persen. Angka ini lebih baik dari capaian tahun 2000 yang sebesar 55,10 persen maupun capaian tahun 1992 yang baru mencapai 25 persen. Target peningkatan akses terhadap air minum aman dengan indikator non perpipaan terlindungi justru mengalami penurunan, sedangkan akses terhadap sanitasi layak di provinsi ini dari tahun ke tahun meningkat

Target penurunan penderita HIV/AIDS dan Penyakit Menular berbahaya di provinsi Jambi pada tahun 2005 gambaran umumnya sebagai berikut; Penderita HIV/AIDS yang tercatat sebanyak 9 kasus, sedangkan insiden malaria terjadi 24.400 kasus.




(6) Sumatera Selatan dan Bangka Belitung

Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2006 memiliki jumlah penduduk miskin sebesar 18,17 persen dan merupakan angka yang lebih tinggi dari angka nasional. Pada tahun 1993, angka kemiskinan di Sumatera Selatan (termasuk Bangka Belitung) masih 14,89 persen atau sekitar 1.023.900 jiwa. Sedangkan pada tahun 2000 dengan capaian sebesar 17,58 persen yang menempatkan provinsi Sumatera Selatan pada krun waktu itu berada di bawah rata-rata angka nasional dalam hal persentase jumlah penduduk miskinya (18,95 persen). Kendala infrastruktur seperti yang dicerminkan oleh kondisi jalur lintas timur Sumatera yang membelah daerah ini, yang dilaporkan secara intens di media massa misalnya, merupakan salah satu kendala yang menyebabkan semakin buruknya situasi penduduk miskin di wilayah ini.

APM SD/MI pada wilayah provinsi Bangka Belitung pada tahun 2006 mencapai nilai 91,5 persen. Sedangkan data tahun 1992 maupun data tahun 2000 sebagai pembanding, tidak tersedia data APM SD/MI maupun SLTP/MI karena provinsi ini masih menginduk pada provinsi induknya, yakni provinsi Sumatera Selatan. Untuk provinsi Sumatera Selatan sendiri capaian APM SD/MI nya pada tahun 1992 sebesar 87 persen, di mana pada waktu itu capaian angka nasional sebesar 88,7 persen. Dari tahun ke tahun capaian provinsi Sumatera Selatan nampak semakin membaik di mana hasiln tahun 2000 menunjukkan angka sebesar 92,3 persen dan tahun 2006 sebesar 93,0 persen. Sedangkan capaian indikator APM SLTP/MI yang diperoleh provinsi Bangka Belitung berkisar pada angka 93,0 persen pada tahun 2006.

Rasio P/L SD/MI. Pencapaian Provinsi Bangka Belitung dalam hal rasio kepesertaan pendidikan pada tingkat dasar yang didasarkan atas perbandingan perempuan dan laki-laki ini, menunjukkan gambaran yang baik. Rasio P/L SD/MI di Provinsi Bangka Belitung pada tahun 2006 mencapai 99,0 dan angka ini berada di atas DKI Jakarta (96,5), maupun kota-kota besar lainnya seperti Yogyakarta (97,9), Jawa Tengah (98,2) serta serupa dengan hasil yang dicapai oleh provinsi Jawa Timur (99,0). Sebagai sebuah provinsi baru tentunya keadaan ini amat kondusif bagi perkembangan provinsi ini ke depan, khususnya dalam hal mempersiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam kesetaraan gender.

APM P/L SLTP/MT di Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 1992 sebesar 40,2 persen dan pada tahun 2000 nampak menaik dengan angka sebesar 59,6 persen. Walau pada tahun 2000 tersebut capaiannya membaik tetapi dibandingkan dengan angka nasional (60,3 persen), masih menempatkan provinsi ini sebagai provinsi yang paling buruk dalam hal APM/PL SLTP/MT. Barulah kemudian pada tahun 2006 perolehannya sebesar 68,0 persen yang menempatkan provinsi ini berada di atas angka nasional (66,5 persen).

Rasio P/L Upah bulanan di kedua provinsi baik provinsi Bangka Belitung maupun Semutera Selatan pada tahun 2007 ini angkanya masih di bawah rata-rata nasional. Sebuah kondisi yang mencerminkan masih berlangsung situasi diskriminasi yang berbasiskan jenis kelamin. Dalam kaitan ini kaum perempuan pekerja usia muda yang menerima upah bulanan di wilayah provinsi Sumatera Selatan berada pada rasio upah 70,7. Sedangkan di provinsi Bangka Belitung rasionya sekitar 69,8 persen. Dengan demikian capaian kedua provinsi ini dalam hal rasio P/L upah bulanan, masih berada di bawah level nasional yang sebesar 74,8 persen di tahun 2007 (bulan Februari).

Target penurunan penderita HIV/AIDS dan penyakit Menular di Sumatra Selatan tahun 2005 masing-masing sekitar 25 orang penderita HIV/AIDS dan 8.040 kasus untuk kejadian malaria. Sedangkan di Provinsi Bangka Belitung tahun 2005 untuk penderita HIV/AIDS mencapai 18 orang sedangkan yang terkena kejadian malaria sekitar 18.680 kasus.

Air minum. Rumah tangga yang memiliki akses air minum non-perpipaan terlindungi di Provinsi Sumatera Selatan, termasuk Bangka Belitung yang masih satu kesatuan, pada tahun 1994 mencapai 32,1persen di mana capaian angka nasional saat itu masih sebesar 16,2 persen. Pada tahun 2006, akses air minum non-perpipaan terlindungi di provinsi Bangka Belitung telah mencapai 33,9 persen. Pencapaian ini masih berada di bawah pencapaian nasional yang sebesar 57,2 persen. Sedangkan ketersediaan sumber air minum non-perpipaan terlindungi di provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2006, berada pada kisaran sebesar 50,6 persen. Sebuah capaian yang juga masih menempatkan provinsi ini di bawah capaian nasional, tetapi sudah jauh lebih baik jika berkaca pada capaian tahun 2000 (41,3 persen).

Dalam hal akses akses terhadap sanitasi layak, data tahun 2006 memperlihatkan di mana capaian kedua provinsi masih berada di bawah pencapaian angka nasional (69,3 persen). Capaian provinsi Bangka Belitung sejumlah 67,4 persen dan provinsi Sumatera Selatan sebesar 69,1 persen dan dengan demikian menempatkannnya pada rangkin 21 terburuk. Sedangkan gambaran sebelum pemekaran yakni pada tahun 1994 dan tahun 2000, masing-masing pencapaiannya sebesar 29,30 persen dan 62,10 persen. Walau nampak menunjukkan arah yang sedikit membaik tetapi secara nasional tidak ada perubahan yang cukup signifikan dalam hal ketersediaan sanitasi layak di provinsi Sumatera Selatan ini.

Target pengurangan pengangguran kaum muda (perempuan-laki) di provinsi Bangka Belitung berada di atas angka nasional di mana capaiannya untuk tahun 2007 sekitar 59 persen. Dari jumlah tersebut jumlah perempuannya memang relatif lebih kecil yakni 51,3 persen dibandingkan pengangguran kaum muda laki-laki yang sebesar 62,9 persen. Meskipun demikian, bila data ini dihubungkan dengan data tentang rasio P/L rata-rata upah bulanan, maka terlihat di mana proporsi kaum perempuan yang menerima upah bulanan lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki. Secara implisit dapat dikatakan bahwa masih terdapat kondisi buruh murah termasuk di antaranya adalah buruh dari kalangan perempuan yang berada dalam posisi tawar relatif lebih rentan ketimbang buruh laki-laki.



(7) Bengkulu

Pada tahun 1993 Provinsi Bengkulu memiliki jumlah penduduk miskin sekitar 13,11 persen atau sekitar 173.100 jiwa. Angka ini di bawah pencapaian angka nasional yang sebesar 13,67 persen. Namun pada tahun 2000 jumlah penduduk miskin di provinsi ini bertambah menjadi 17,72 persen atau sekitar 372.400 jiwa, dan semakin menunjukkan persentase yang semakin esar pada tahun 2006 yang lalu, yakni sebanyak 20,90 persen.

Dengan capaian angka-angka target pengurangan penduduk miskin yang demikian maka dapat diartikan bahwa tidak ada upaya yang cukup dari pemerintah daerah provinsi Bengkulu dalam mengurangi penduduk miskin. Dalam kurun waktu antara tahun 1993 hingg tahun 2000, walaupun menunjukkan persentase yang membesar tapai capaiannya masih di bawah angka nasional saat itu, yakni 13,11 persen pada tahun 1993 dan 17,72 persen pada tahun 2000. Yang agak memprihatinkan adalah capaian tahun 2006 yang menempatkan provinsi ini berada di atas capaian nasional dengan persentase sebesar 16,58.

Target pengurangan angka kematian anak (AKB dan AKBA) yang dicapai pemerintah daerah provinsi Bengkulu sudah menunjukkan perkembangan ang cukup berarti, khususnya tingkat kematian bayi, yang pada tahun 2003 mencapai 53 jiwa per 1000 kelahiran, di mana kemudian pada tahun 2005 mengalami penurunan yang drastis yakni menjadi 10 jiwa KAB per 1000 kelahiran hidup. Begitupun untuk target indikator AKBA, walau masih berada di bawah capaian nasional, pemerintah daerah provinsi Bengkulu berhasil menurunkan AKBA dari 68 jiwa AKBA per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 45 jiwa AKBA per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2006.

Target peningkatan akses terhadap air minum aman dan sanitasi layak masih memprihatinkan sebagaimana ditunjukkan data berikut. Untuk akses terhadap air minum, rumah tangga pengguna air minum non perpipaan terlindungi pada tahun 2006 mencapai 36,5 persen. Sebuah pencapaian yang relatif konstan bila melihat data tahun 2000 yang merujuk pada angka sebesar 36,3 persen. Perbedaan yang cukup bermakna baru terjadi bila membandingkan antara data tahun 2006 maupun tahun 2000, dengan data tahun 1994 yang berada pada besaran 24,4 persen. Artinya terjadi perbaikan dengan besaran kurang lebih sebanyak 12 persen dalam kurun waktu 12 tahun.

Jumlah penderita HIV/AIDS di wilayah provinsi Bengkulu tergolong rendah dengan jumlah sebanyak 5 penderita (ODHA) pada tahun 2005. Tetapi, untuk penyakit Malaria ternyata wilayah provinsi Bengkulu termasuk wilayah yang tergolong endemik Malaria dengan jumlah kasus yang cukup besar, yakni sebanyak 56.910 kejadian di tahun 2005. Dengan jumlah kasus sebanyak itu, telah menempatkan provinsi Bengkulu berada pada urutan keempat sebagai provinsi yang paling buruk dalam hal penanggulangan penyakit Malaria. Tingginya kejadian malaria di wilayah ini kemungkinan besar terkait dengan letak geografis Provinsi ini yang sebagian besarnya merupakan daratan yang membujur mengikuti garis pantai bagian barat Sumatera. Selain itu, perilaku hidup sehat masyarakat agar memperhatikan lingkungan yang bersih belum membudaya. Kawasan pantai selama ini dikenal sebagai kawasan potensial terjangkiti penyakit malaria.



(8) Lampung

Provinsi Lampung pada tahun 2006 memiliki jumlah penduduk miskinnya sebesar 22,64 persen. Jumlah tersebut menunjukkan penurunan dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada tahun 2000 yang sebesar 30,32 persen atau sekitar 1.650.700 jiwa. Bila disimak lebih lanjut, angka-angka capaian tahun 2000, yang tidak hanya berlaku bagi provinsi Lampung, nampak menunjukkan persentase jumlah penduduk miskin yang tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya maupun sesudahnya. Data tahun 1993 misalnya menunjukkan di mana jumlah penduduk miskin di provinsi Lampung masih sebesar 11,70 persen. Gejala yang demikian itu mengindikasikan suatu hal bahwa krisis moneter pada tahun 1997/1998 yang terjadi di Indonesia nampaknya telah menimbulkan dampak yang luar biasa pada kehidupan ekonomi penduduk, khususnya penduduk miskin.

Pencapaian rasio APM P/L SD/MI pada tahun 2006 di Lampung adalah 98,9 dan tergolong provinsi dengan capaian yang buruk di luar Jawa. Provinsi ini mengalami penurunan pencapaian bila dibandingkan dengan pencapaian tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2000 misalnya, rasio APM P/L SD/MI provinsi Lampung mencapai nilai 99,2 dan pada tahun 1992, meski nampak menunjukkan persentase yang lebih besar yakni sebesar 101,8, tetapi posisinya berada di atas pencapaian nasional. Salah satu faktor penyebab dengan semakin berkurangnya proporsi rasio APM P/L SD/MI di provinsi Lampung ini, seperti juga daerah-daerah lainnya, antara lain adalah fakta anak masih dipandang sebagai ’asset’ tenaga kerja produktif yang dapat membantu ekonomi keluarga. Sektor pekerjaan yang fleksibel bagi anak perempuan dalam hal ini adalah sektor domestik sebagai pekerja rumah tangga (PRT).

Pencapaian provinsi Lampung dalam hal rasio APM P/L SLTP/MT sedikit berbeda dengan pencapaian rasio APM P/L SD/MI sebagaimana diuraikan sebelumnya. Dari data time series 1992-2007 terlihat pencapaian keseluruhannya secara konsisten berada di atas capaian angka nasional. Data berikut ini mencerminkan hal tersebut, yaitu; pencapaian tahun 2007-Feb sebesar 78,5 dengan angka nasional sebesar 74,8, tahun 2006 sebesar 106,2 dengan angka nasionalnya sebesar 100, dan tahun 2000 mencapai 108,5 dengan angka nasional sebesar 104,2., serta tahun 1992 sebesar 106,4 dengan angka nasional pada saat itu sebesar 101,3. Dari gambaran tersebut disimpulkan bahwa upaya provinsi Lampung dalam bidang pendidikan dasar dengan memajukan kesetaraan gender melalui indikator rasio APM P/L SLTP/MT ini, cukup berhasil.

Provinsi Lampung mengalami peningkatan pengguna air minum non perpipaan terlindungi yang pada tahun 1994 baru sekitar 18,9 persen, meningkat sebesar 39,6 persen pada tahun 2002 dan menjadi 43,9 persen pada tahun 2006. Meski akses pengguna air minum perpipaan terlindungi di provinsi Lampung ini menunjukan trend peningkatan tetapi nilai pencapaiannya masih berada di bawah angka rata-rata nasional.

Jumlah penderita (ODHA) HIV/AIDS di provinsi Lampung pada tahun 2005 masih kecil, yakni sebanyak 6 orang. Sebaliknya dengan jumlah insiden malaria yang mencapai jumlah 38.520 kejadian yang menempatkan provinsi berada diurutan ke 6 yang banyak mengalami kejadian malaria.

Mengingat provinsi Lampung merupakan wilayah yang terkenal sebagai tempat habitat Gajah yang tentunya dengan daya dukung kawasan hutan yang mencukupi, agak mengejutkan jika rasio luas daratan kawasan hutan di daerah ini tergolong sebagai wilayah yang nilai rasionya termasuk rendah dibandingkan dengan angka nasional. Berturut-turut data tahun 2001, 2003 dan tahun 2005 menunjukkan angka relatif sama berkisar pada 28,1 – 28, 4 persen. Sedangkan angka nasional menunjukkan angka sebesar 54,6 persen – 64,3 persen.

--ooOOoo--

Tidak ada komentar: