08 Agustus 2008

Perkembangan MDGs di Kepulauan Nusa Tenggara, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsi-provinsi di Kepulauan Nusa Tenggara
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(14) Bali

Provinsi Bali merupakan provinsi yang relatif baik dalam pencapaian MDGs dari perspektif nasional, karena indikator MDGs di provinsi ini selalu berada di atas angka nasional terkecuali dalam tiga hal yakni APM SD/MI, Rasio APM P/L SD/MI masing-masing ranking 17 dan 11 dari 33 Provinsi dan Penderita HIV/AIDS terbesar ke lima.

Provinsi Bali Sejak 2002 memiliki APM SD/MI di bawah tingkat rata-rata nasional, adapun besar capaiannya adalah 92,2 persen dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 93,3 persen. Berbeda halnya dengan tahun 1992 yang walaupun jumlah persentasenya lebih kecil namun berada di atas angka nasional di mana capaiannya sebesar 91,1 persen.

Provinsi Bali termasuk dalam kategori provinsi yang pencapaian Rasio APM P/L SD/MI pada tahun berada sedikit di bawah pencapaian nasional, yakni sebesar 99,0 persen. Meskipun demikian, berbeda dengan provinsi lainnya yang cenderung menurun pencapaiannya, dalam hal ini provinsi Bali menunjukan perbaikan terus menerus seperti terlihat dalam tabel yakni sebesar 97,7 persen pada tahun 1992 dan sedikit menurun 97,5 persen pada tahun 2002.

Bila di sektor pendidikan pencapaian target kesetaraan gender sudah baik, tidak demikian halnya dengan sektor produktif non pertanian, hal ini dapat dilihat dari rasio P/L rata-rata upah bulanan yang tertera pada februari 2007 sebesar 69,6 persen atau satu peringkat di bawah Nusa Tenggara Barat, rangking ke 4 terburuk. Kesenjangan rata-rata upah bulanan antara perempuan dan laki-laki di Provinsi ini masih cukup lebar.

Penderita penyakit menular HIV/AIDS di Provinsi Bali relatif tinggi, tercatat kasus sebesar 228 kasus atau menduduki rangking kelima pencapaian terparah secara nasional. Kenyataan ini lebih dipengaruhi oleh posisi Provinsi Bali sebagai daerah tujuan pariwisata, karena sebagai daerah terbuka sulit menghindarkan dari pergaulan dengan cara hidup yang membuka ruang bagi penyebaran penyakit HIV/AIDS.

(15) Nusa Tenggara Barat

Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang tingkat ketergantungan sebagian besar penduduknya pada curah hujan sangat tinggi, tidaklah mengherankan bila pada musim kemarau sering dilanda kelaparan. Sebagai daerah pertanian dengan areal pengairan tehnis lebih kecil, dan tingkat penduduk yang padat di Lombok, menyebabkan daerah ini dikenal sebagai daerah miskin baik indikator ekonomi maupun non ekonomis.

Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 1993 memiliki jumlah persentase penduduk miskin sebesar19,52 persen atau sekitar 692.400 jiwa (Po) yang kemudian meningkat menjadi 1.145.800 atau 28,01 persen pada tahun 2000. Data ini memperlihatkan bahwa krisis nasional berdampak besar pada Nusa Tenggara Barat karena proses pemulihan di Provinsi ini nampak berjalan lamban, selain tentunya pengaruh iklim panas yang patut diperhitungkan sebagai faktor yang menimbulkan kemarau berkepanjangan. Pada tahun 2006 persentase penduduk miskin di Nusa Tenggara Barat berkisar 23,04 persen yang berarti terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 3 persen selama kurun waktu 6 tahun terakhir.

Dampak kemiskinan dan kondisi iklim menjadi penghambat utama pencapaian target pengurangan kelaparan. Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 1989 memiliki jumlah balita kurang gizi atau gizi buruk, sebesar 43,98 persen. Satu decade kemudian yaitu tahun 2000 balita kurang gizi di Nusa Tenggara Barat mencapai 27,25 persen, turun cukup tinggi. Tetapi pada tahun 2006 kembali naik menjadi 33,39 persen. Sedangkan angka nasional balita dengan gizi kurang tahun 2006 sebesar 28,05 persen.

Kinerja Pencapaian Pendidikan Dasar relatif lebih baik, dalam hal ’Wajar 9 tahun’ angka capaiannnya di atas rata-rata nasional, selain peran pemerintah yang besar, tidak dapat dipungkiri peran pendidikan swasta cukup signifikan melalui pendidikan pesantren (madrassah ibtidaiyah dan tsanawiyah) maupun sekolah umum SD/MI dan SLTP/MT. Namun demimikian dalam hal kesetaraan gender di bidang pendidikan Povinsi Nusa Tenggara Barat menghadapi kendala karena pandangan stereo type, perempuan tidak perlu berpendidikan baik toh akhirnya bekerja di rumah. Pengaruhnya, capaian rasio perempuan dibandingkan laki-laki tingkat SLTP/MT di bawah angka nasional dan baru pada tahun 2006 angka rasio APM P/L SLTP/MT di atas 100 persen dan selalu berada di bawah angka nasional. Pada tahun 1992 rasio yang dicapai Nusa Tenggara Barat 98,8 persen dan tahun 2000 turun menjadi 98,5, dan pada tahun 2006 mencapai jumlah yang cukup signifikan yakni 137,5 persen, walau masih di bawah pencapaian nasional.

Target pencapaian kesetaraan gender bila dilihat dari perspektif pendidikan sudah baik. Namun di sektor ekonomi riel dalam hal ini pengupahan, nampak sekali adanya diskriminasi gender. Pada tahun 2007 ini, tingkat rasio P/L rata-rata upah bulanan sebesar 68,1 persen dan merupakan peringkat ke tiga terburuk. Jadi perempuan hanya menerima upah sekitar dua pertiga dari laki-laki.

Dampak kurang gizi Balita di Nusa Tenggara Barat sangat berpengaruh terhadap kehidupan Balita, apalagi di dukung oleh pola dan gaya hidup yang tidak sehat terutama perwatan masa kehamilan serta pola asuh dan makan semasa Balita. Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2003 memiliki Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 74 jiwa per 1000 kelahiran sedangkan pada tahun 2005 turun drastis menjadi sekitar 27 jiwa per 1000 kelahiran. Keberhasilan dalam menekan jumlah Angka Kematian Bayi tidak diiringi kesuksesan menekan Angka Kematian Balita (AKBA) yang nampak penanganannya tergolong masih lamban. Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2005 memiliki AKBA sekitar 93 jiwa meninggal dari 1000 kelahiran Angka ini dua kali lipat lebih besar dari angka nasional yang mencapai 40 jiwa per 1000 kelahiran, dan angka ini sudah lebih baik dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 103 jiwa.

Sejak dekade 1990-an Provinsi Nusa Tenggara Barat mulai mengembangkan sektor Pariwisatanya, dengan semakin banyaknya kunjungan wisman ke daerah ini. Seiring dengan itu, di Provinsi ini mulai terjangkiti HIV/AIDS. Pada tahun 2005 terdapat 16 kasus penderita HIV/AIDS. Meski demikian, dari sisi pengendaliannya dirasakan sulit adalah penularan yang berasal dari TKI/TKW yang bekerja di luar negeri. Sementara itu untuk penyakit malaria, Nusa Tenggara Barat termasuk daerah yang potensial dengan jumlah insiden malaria pada tahun 2006 sebanyak 20.510 kejadian.

Target pencapaian akses sanitasi layak merupakan hal yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2006 hanya mencapai 46,2 persen dan angka ini terbawah secara nasional, sekalipun demikian angka tersebut sudah menunjukkan adanya peningkatan dibanding tahun sebelumnya, misalnya tahun 1992 baru mencapai 17 persen penduduk yang menggunakan sanitasi layak, dan tahun 2000 meningkat menjadi 44,20 persen Jadi, masih terdapat separuh lebih penduduk Nusa Tenggara Barat yang hidupa dalam sanitasi buruk.

(16) Nusa Tenggara Timur

Nusa tenggara Timur merupakan daerah yang alamnya sangat tergantung pada hujan, bahkan dapat dikatakan lebih kritis dari Nusa Tenggara Barat dengan tiadanya bendungan besar di daerah ini. Karena penduduknya sebagian besar petani, maka sulit untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Oleh karena itu pencapaian target pengurangan kemiskinan di daerah ini terasa lamban. Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2006 memiliki persentase penduduk miskin sebesar 27,99 persen, atau sekitar 11,5 persen lebih tinggi dari angka nasional. Persentase tersebut sesungguhnya sudah menurun di bandingkan dengan data tahun 2000 yang 36,29 persen atau sama dengan 1.206.500 jiwa. Sedangkan pada tahun 1993 provinsi ini memiliki jumlah penduduk miskin sekitar 756.400 jiwa atau 21,84 persen. Jadi, dengan membandingkan angka pencapaian tahun 2000 dengan tahun 2006, menunjukkan persentase yang menurun, meskipun masih jauh di atas angka nasional sebesar 27,99 persen.

Dampak dari situasi kemiskinan yang nyata adalah kualitas kesehatan balita yang buruk. Pada tahun 1989 di Nusa Tenggara Timur prevalensi balita dengan berat badan kurang atau kurang gizi mencapai angka 45,41 persen, 13 tahun kemudian angka tersebut menurun menjadi 33,60 persen pada tahun 2000 dan kembali meningkat pada tahun 2006 yakni sebesar 41,07 persen. Sedangkan pencapaian angka nasional sebesar 28,05 persen. Realitas ini merupakan dampak terburuk dari perubahan iklim seperti el nino dengan kemaraunya yang berkepanjangan dan kebijakan nasional yang menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat.

Pencapaian target pendidikan dasar bagi semua dalam MDGs dan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun masih menghadapi kendala yang cukup serius di Nusa Tenggara Timur di mana APM SD/MI-nya berada diperingkat kedelapan dan terutama tingkat SLTP/MT APM-nya yang berada di peringkat pertama terburuk secara nasional.

Target pencapaian APM SD/MI di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2006 sebesar 91,6 persen, angka ini menunjukkan besarnya anak yang bersekolah SD/MI di usia sekolahnya. Arti sebaliknya, terdapat sekitar 8,4 persen yang tidak tertampung di sekolah. Pencapaian tahun 2006 lebih baik dari tahun 2000 (88,9 persen) dan jauh lebih baik dari tahun 1992 yang hanya mencapai 82,3 persen. Sebagai daerah dengan kondisi geografis kepulauan dan dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi baik ekonomi maupun non-ekonomi, maka prestasi ini merupakan pencapaian yang istimewa.

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi paling parah nomor satu dalam pencapaian target APM SLTP/MT di mana pada tahun 2006 memiliki APM SLTP/MT sebesar 47,2 persen. Suatu jumlah dengan selisih sebesar 19,3 persen bila dibandingkan dengan angka nasional (66,5 persen). Dibaca sebaliknya maka dengan pencapaian sebesar 47,2 persen pada tahun 2006, hal ini menunjukkan bahwa terdapat anak didik yang tidak melanjutkan sekolah SLTP/MT sebanyak 52,8 persen pada golongan usia belajar 13 sampai 15 tahun. Sebenarnya, pencapaian tahun 2006 tersebut sudah jauh lebih baik bila dibandingkan pencapaian tahun-tahun sebelumnya, yakni sebesar 34,2 persen pada tahun 2000 serta tahun 1992 yang hanya mencapai 20,9 persen.

Selain memiliki persoalan seperti di atas, hampir serupa dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat, terdapat fakta tingginya angka kematian anak dan ibu di wilayah provinsi Nusa Tenggara Timur. Banyak anak-anak yang tidak dapat menikmati ulang tahun kelimanya akibat berbagai sebab dan juga ibu-ibu yang beresiko tinggi disaat persalinannya. Dalam kaitan ini AKB Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2005 mencapai 15 jiwa per 1000 kelahiran hidup. Angka ini jauh lebih baik bila dibandingkan dengan tahun 2003 yang mencapai 59 jiwa. Pada tahun 2005 tersebut, rangking Nusa Tenggara Timur berada di peringkat tiga terburuk secara nasional karena nilai pencapaiannya hampir dua kali rata-rata angka kematian bayi secara nasional.

Dalam hal penurunan target angka kematian anak (AKB dan AKBA), Provinsi Nusa Tenggara Timur sudah dapat menekan AKB degan sangat baik sekalipun masih cukup tinggi dibandingkan angka nasional. Namun dalam hal AKBA masih terasa lamban. Masih tetap sebagai Provinsi terparah ketiga, tahun 2005 Nusa Tenggara Timur memiliki AKBA sebesar 60 jiwa per 1000 kelahiran hidup. Kondisi tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 2003 yang masih mencapai 73 jiwa. Beberapa penyebab kasus pada situasi di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur relatif sama, yaitu ditandai oleh persoalan kemiskinan, kelaparan dan iklim yang begitu dominan. Selain itu persoalan pelayanan publik dan struktur sosial merupakan persoalan struktural yang perlu ditangani serius di Provinsi ini.

Pencapaian target pengurangan penyakit menular dan berbahaya di Nusa Tenggara Timur membutuhkan penanganan khusus, selama bertahun tahun belum mampu mengisolasi penyakit malaria. Hingga saat ini provinsi ini selalu ditimpa KLB malaria dengan tingkat kejadian penyakit malaria yang paling tinggi, yakni sebesar 172.770 kasus.

Pencapaian target pengurangan penyakit menular dan berbahaya di Nusa Tenggara Timur membutuhkan penanganan khusus. Selama bertahun tahun daerah ini belum mampu mengisolasi penyakit malaria, terbukti dengan adanya kejadian luar biasa (KLB) malaria yang pada tahun 2005 mencapai 172770 kasus dan merupakan jumlah terbesar di tingkat nasional. Jumlah penderita penyakit HIV/AIDS di Provinsi ini berada peringkat 14 nasional yaitu 20 kasus.

Pencapaian target Sanitasi Layak pada Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2006 berada pada peringkat 19 terburuk atau di bawah rata-rata nasional dengan angka capaiannya sekitar 68,9 persen. Artinya masih terdapat sejumlah hampir sepertiga penduduk yang hidup dengan sanitasi buruk. Capaian sanitasi layak di Nusa Tenggara Timur mulai mengalami perbaikan pada dekade 1990-an dengan pencapaian sebesar 21,90 persen tahun 1992 berubah menjadi cukup signifikan menjadi 63,20 persen pada tahun 2000.

--ooOOoo--

Tidak ada komentar: