08 Agustus 2008

Perkembangan MDGs di Pulau Kalimantan, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(17) Kalimantan Barat

Pencapaian target penanggulangan kemiskinan Provinsi Kalimantan Barat menunjukkan perkembangan yang baik. Pada tahun 1993, persentase penduduk miskin mencapai 25,05 persen, meningkat menjadi 29,28 persen pada tahun 2000, kemudian menurun menjadi hanya 15,50 persen pada tahun 2006. Persentase penduduk miskin provinsi ini pada tahun 1993 dan 2000 jauh berada di bawah rata-rata nasional, namun tahun 2006 angka ini menjadi di atas angka rata-rata nasional (16,58 persen) maupun rata-rata setiap provinsi (17,6 persen). Hal ini menunjukkan bahwa upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan di provinsi ini telah mampu menurunkan persentase penduduk miskin.

Indikator pencapaian target pengurangan kelaparan yaitu persentase balita yang mengalami kekurangan gizi juga menunjukkan perkembangan yang baik. Pada tahun 1992, balita yang kekurangan gizi mencapai 47,42 persen, menurun menjadi 29,17 persen tahun 2000, namun meningkat menjadi 32,71 persen pada tahun 2006. Angka tahun 2006 tersebut lebih buruk dari angka nasional (28,05 persen) dan angka rata-rata setiap provinsi (27,9 persen), meskipun persentase penduduk miskin provinsi ini tahun 2006 telah berada di bawah angka nasional.

Pencapaian target pendidikan dasar untuk semua yang ditunjukkan oleh indikator APM SD/MI di Kalimantan Barat menunjukkan perkembangan yang baik. APM SD/MI tahun 1992 hanya sebesar 71,6 persen dan berada di bawah rata-rata nasional (88,7 persen). Tahun 2000 APM SD/MI Kalimantan Barat meningkat menjadi 89,5 persen dan meningkat lagi menjadi 93,8 persen pada tahun 2006. Meskipun angka ini meningkat, namun persentasenya masih di bawah angka nasional. APM SLTP/MTs menunjukkan kecenderungan meningkat, dari 22,1 persen (1992) menjadi 60,9 persen (2006), namun secara umum masih berada di bawah angka nasional.

Pencapaian tujuan ketiga mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan untuk Provinsi Kalimantan Barat ditunjukkan oleh indikator rasio APM murid perempuan terhadap laki-laki (P/L) SD/MI dan SLTP/MT. Rasio APM P/L SD/MI pada tahun 1992 hanya sebesar 95,9. Angka ini meningkat menjadi 100,6 pada tahun 2006 dan berada di atas angka nasional (99,4). Sementara itu, rasio APM P/L SLTP/MT/MTs Kalimantan Barat pada tahun 1992 hanya sebesar 92,0 dan menurun menjadi 99,1 pada tahun 2006. Angka ini berada di bawah angka nasional (100,0). Partisipasi anak perempuan dalam pendidikan dasar di Kalimantan Barat telah menunjukkan perkembangan yang sangat baik, namun hal ini tidak tampak dalam pendidikan setingkat SLTP/MT. Kesetaraan gender juga dapat ditunjukkan dengan indikator rasio rata-rata upah per bulan antara perempuan dan laki-laki. Pada bulan Februari 2007 rasio tersebut mencapai 80,5 dan berada di atas angka nasional yang sebesar 74,8. Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di provinsi ini sejauh ini termasuk baik.

Tujuan keempat menurunkan angka kematian anak ditunjukkan oleh AKB dan AKBA. AKB Kalimantan Barat pada tahun 2005 mencapai 7,0 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan angka nasional (8,0) atau angka rata-rata setiap provinsi (8,5). AKBA Kalimantan Barat tahun 2005 sebesar 37 per 1.000 kelahiran hidup, sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan rata-rata nasional (40) atau angka rata-rata setiap provinsi (40,6).

Indikator jumlah penderita AIDS dan kejadian malaria mengindikasikan pencapaian tujuan keenam memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya. Untuk Provinsi Kalimantan Barat, jumlah penderita AIDS pada tahun 2005 cukup tinggi yaitu mencapai 228 orang, sementara kejadian malaria hanya 990 kejadian.

Luas lahan kawasan hutan, akses air minum, dan sanitasi merupakan indikator pencapaian tujuan ketujuh memastikan kelestarian lingkungan hidup. Luas peruntukan kawasan hutan di Kalimantan Barat cenderung tetap sejak 2001 sampai 2005. Jika dilihat berdasarkan penafsiran dari pencitraan Satelit Landsat ETM 7+ sampai tahun 2005, luas penutupan lahan dalam kawasan hutan Kalimantan Barat mencapai 8,943 juta hektar. Dari luas kawasan kutan tersebut, 5,665 juta hektar merupakan hutan, 3,257 juta hektar adalah non-hutan, dan sekitar 20 ribu hektar sisanya tidak terdata. Jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan rasio luas daratan peruntukan kawasan hutan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sementara itu, terkait dengan masalah kesehatan lingkungan, rumah tangga yang memiliki akses kepada air minum non-perpipaan terlindungi di provinsi ini pada tahun 2006 mencapai 55,1 persen, meningkat dari 48,3 persen pada tahun 1994 dan 51,8 persen tahun 2002. Persentase tahun 2006 tersebut masih berada di bawah angka nasional yang 57,2 persen namun berada di atas angka rata-rata setiap provinsi (53,9 persen). Kecilnya peningkatan akses kepada air minum non-perpipaan terlindungi dalam kurun waktu 8 tahun tersebut menandai stagnasinya kebiasaan rumah tangga terhadap penggunaan air bersih di Kalimantan Barat. Akses rumah tangga kepada sanitasi layak pada tahun 2006 mencapai 61,5 persen dan meningkat tajam dari kondisi pada tahun 1992 yang sebesar 21,30 persen. Peningkatan ini menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan pada budaya sanitasi rumah tangga Kalimantan Barat.

(18) Kalimantan Tengah

Pencapaian target pengurangan jumlah penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Tengah menunjukkan kecenderungan yang sangat baik. Upaya penanggulangan kemiskinan Provinsi Kalimantan Tengah telah mampu secara signifikan menurunkan jumlah penduduk miskin. Persentase penduduk miskin Kalimantan Tengah tahun 1993 mencapai 20,85 persen, lalu menurun menjadi 11,86 persen tahun 2000 dan menurun kembali menjadi 9,17 persen tahun 2006. Angka tahun 2006 ini jauh di bawah angka nasional (16,58 persen) atau angka rata-rata setiap provinsi (17,6 persen). Namun demikian, jika dikaitkan dengan target pengurangan kelaparan, kinerja provinsi ini cenderung tidak berubah dari tahun ke tahun. Persentase balita kekurangan gizi tahun 1989 adalah sebesar 35,02 persen, menurun menjadi 27,38 persen tahun 2006. Meskipun cenderung tetap, namun pada tahun 2006 persentase balita kekurangan gizi ini masih sedikit di atas rata-rata nasional (28,05).

Kinerja Provinsi Kalimantan Tengah untuk mencapai target pendidikan dasar untuk semua cukup positif. APM SD/MI tahun 1992 adalah sebesar 93,3 persen, meningkat menjadi 94,3 persen tahun 2000 dan 96,0 persen tahun 2006. APM SD/MI Kalimantan Tengah pada tahun-tahun tersebut selalu berada di atas angka nasional dan angka rata-rata setiap provinsi. Sementara itu, APM SLTP/MT/MTs juga meningkat dari tahun 1992 (39,7 persen) sampai tahun 2006 (67,7 persen). Angka tahun 2006 tersebut berada di atas angka nasional yang sebesar 66,5 persen.

Rasio APM murid perempuan terhadap laki-laki (P/L) yang merupakan salah satu indikator pencapaian target kesetaraan gender untuk Kalimantan Tengah menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan meskipun cenderung turun dalam kurun waktu 2000-2006. Rasio APM P/L SD/MI tahun 1992 adalah sebesar 98,5, meningkat menjadi 101,1, lalu menurun menjadi 99,9. Meskipun menurun namun angka ini masih sedikit berada di atas angka nasional (99,4). Rasio APM P/L SLTP/MT/MTs juga meningkat pada tahun 2000 (dari 95,9 pada 1992 menjadi 104,2 pada 2000) dan menurun menjadi 102,4 pada tahun 2006. Angka tahun 2006 tersebut masih di atas angka nasional (100,0). Sementara itu, perempuan Kalimantan Tengah menunjukkan partisipasi yang relatif baik pada pekerjaan upahan. Hal ini ditunjukkan oleh indikator rasio rata-rata upah per bulan antara perempuan dan laki-laki yang mencapai 78,8. Angka ini sedikit berada di atas rata-rata nasional (74,8), namun masih berada di bawah rasio rata-rata setiap provinsi yang sebesar 80,3.

Dalam kaitannya dengan pencapaian target penurunan angka kematian anak, Kalimantan Tengah menunjukkan prestasi yang menggembirakan. AKB pada tahun 2005 hanya 4 per 1.000 kelahiran hidup, sementara AKBA mencapai 25 per 1.000 kelahiran hidup. AKB dan AKBA Kalimantan Tengah tersebut jauh melampaui angka nasional yang sebesar 8 (AKB) dan 40 (AKBA). Menurunnya angka kematian bayi dan balita ini merupakan dampak pembangunan kesehatan yang diprioritaskan pada pelayanan kesehatan bagi bayi dan balita.

Terkait dengan pencapaian target pengurangan penderita HIV/AIDS dan malaria, kinerja Kalimantan Tengah cukup baik. Pada tahun 2005, jumlah penderita AIDS hanya dua orang, namun jumlah insiden malaria mencapai 12.160 kejadian. Tingginya kejadian malaria ini menunjukkan perlunya perhatian yang lebih serius pada upaya pengendalian vektor penyebab penyakit malaria.

Luas daratan kawasan hutan merupakan salah satu indikator untuk melihat pencapaian target memastikan kelestarian lingkungan hidup. Karena luas peruntukan kawasan hutan ditentukan berdasarkan keputusan Pemerintah, maka rasio luas daratan kawasan hutan adalah sama untuk tahun 2003 dan 2005, yaitu 69,9. Berdasarkan penafsiran citra Satelit Landsat 7 ETM+ sampai tahun 2005, luas penutupan lahan dalam kawasan hutan sebesar 15,155 juta hektar. Dari luas tersebut, kawasan berupa hutan 8,897 juta hektar, kawasan hutan yang non hutan 6,252 juta hektar, dan 5.500 hektar tidak terdata. Luas hasil citra satelit ini lebih kecil jika dibandingkan dengan luas peruntukan kawasan hutan yang ditetapkan Pemerintah berdasarkan paduserasi RTRWP-TGHK. Sementara itu, akses rumah tangga terhadap air minum non-perpipaan terlindungi menunjukkan peningkatan dari tahun 1994 (30,2 persen) ke tahun 2006 (41,6 persen). Persentase tahun 2006 masih di bawah angka nasional yang sebesar 57,2 persen atau angka rata-rata setiap provinsi 53,9 persen. Peningkatan akses rumah tangga pada sanitasi yang layak meningkat secara berarti. Tahun 1992, rumah tangga yang memiliki sanitasi layak hanya sebesar 16,70 persen. Jumlah tersebut meningkat cukup signifikan menjadi 52,0 persen pada tahun 2006. Namun demikian, angka tahun 2006 masih lebih kecil dibandingkan angka nasional (69,3 persen).

(19) Kalimantan Timur

Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas di Indonesia, dengan luas wilayah sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11 persen dari total luas wilayah Indonesia. Daerah ini memiliki sumberdaya alam yang melimpah, baik berupa pertambangan seperti emas, batubara, minyak dan gas bumi, juga hasil hutan. Meskipun Kalimantan Timur memiliki sumberdaya alam yang melimpah, persentase penduduk miskin di provinsi ini ternyata masih cukup tinggi. Pada tahun 1993, persentase penduduk miskin mencapai 13,75 persen, sedikit di atas angka nasional (13,67 persen). Angka ini sempat naik menjadi 16,15 persen pada tahun 2000, kemudian menurun menjadi 12,55 persen pada tahun 2006. Meskipun angka tahun 2006 sudah di bawah angka kemiskinan nasional (16,68 persen), persentase penduduk miskin Kalimantan Timur masih berada di peringkat 13 dalam urutan ranking persentase penduduk miskin provinsi-provinsi di Indonesia, setelah—antara lain—Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Jambi, dan Maluku Utara.

Sementara itu, terkait dengan pengurangan kelaparan, perkembangan angka balita yang kekurangan gizi di provinsi ini cukup baik. Dalam kurun waktu 1989-2006, persentase balita yang kekurangan gizi Kalimantan Timur selalu lebih baik jika dibandingkan dengan angka nasional, meskipun pada tahun 2006 angka ini mencapai 25,92 persen, naik dari angka tahun 2000 yang sebesar 22,88 persen.

Target pendidikan dasar untuk semua ditunjukkan oleh indikator APM SD/MI dan SLTP/MT/MTs. APM SD/MI di Kalimantan Timur sejak tahun 2000 yang sebesar 91,4 persen berada di bawah angka nasional (92,3 persen), meskipun pada tahun 1992 APM SD/MI Kalimantan Timur masih di atas angka nasional. Tahun 2006 capaian APM SD/MI adalah sebesar 92,9 persen dan masih di bawah angka nasional (94,7 persen). APM SLTP/MT/MTs Kalimantan Timur menunjukkan kecenderungan yang sama dengan perkembangan APM SD/MI. Tahun 1992 APM SLTP/MT/MTs Kalimantan Timur sebesar 51,6 persen, naik menjadi 60,4 persen tahun 2000, dan naik kembali menjadi 64,0 persen tahun 2006. Tahun 1992 APM SLTP/MT/MTs tersebut jauh di atas angka nasional, tahun 2000 sedikit di atas angka nasional, dan tahun 2006 angka tersebut sudah berada di bawah angka nasional. Dalam kurun waktu 1992-2006, APM SLTP/MT/MTs Kalimantan Timur menunjukkan kenaikan yang tinggi, namun laju kenaikannya lebih rendah jika dibandingkan dengan laju kenaikan APM SLTP/MT/MTs di tingkat nasional.

Terkait dengan pencapaian target kesetaraan gender, perkembangan rasio APM P/L SD/MI tergolong kurang baik. Tahun 1992 rasio APM P/L SD/MI Kalimantan Timur sebesar 95,5, tahun 2000 naik menjadi 101,5, namun pada tahun 2006 menurun signifikan menjadi 98,4. Peringkat rasio APM P/L SD/MI Kalimantan Timur ini merupakan rasio keenam terburuk di Indonesia, bersama-sama dengan Provinsi Papua. Rasio APM P/L SLTP/MT juga kurang baik. Tahun 1992 angka ini adalah sebesar 107,2, tahun 2000 turun menjadi 94,3, dan tahun 2006 meningkat kembali menjadi 100,2, satu tingkat di bawah angka nasional yang sebesar 100,0. Sementara itu, kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di Kalimantan Timur termasuk sangat buruk. Pada bulan Februari 2007, rasio upah pekerja perempuan terhadap pekerja laki-laki hanya sebesar 56,4. Artinya, untuk pekerjaan yang sama pekerja perempuan hanya memperoleh upah kira-kira separuh dari upah pekerja laki-laki. Untuk indikator ini, Kalimantan Timur menempati peringkat terbawah dari seluruh provinsi di Indonesia, bahkan selisih rasio antara Kalimantan Timur dengan provinsi berperingkat di atasnya mencapai 9,6 dan jika dibandingkan dengan rasio nasional (74,8), selisih rasionya menjadi 18,4. Kesetaraan gender yang berkaitan dengan partisipasi murid perempuan dalam pendidikan dan kontribusi upah pekerja perempuan dalam pekerjaan upahan di provinsi ini dapat dikatakan tergolong buruk.

Indikator untuk melihat pencapaian target menurunkan angka kematian anak adalah AKB dan AKBA. AKB Kalimantan Timur tahun 2005 mencapai 6 per 1.000 kelahiran hidup dan masih di bawah angka nasional (8). AKBA mencapai 32 per 1.000 kelahiran hidup, juga masih di bawah angka nasional (40). Sementara itu, indikator kesehatan lainnya yang terkait dengan pencapaian target memerangi penyakit menular menunjukkan kinerja sedang. Penderita AIDS pada tahun 2005 hanya lima orang, sementara insiden malaria cukup tinggi yaitu 8.830 kejadian.

Terkait dengan upaya pencapaian target memastikan kelestarian lingkungan, indikator yang digunakan adalah luas kawasan hutan, akses air minum non-perpiaan terlindungi, dan akses terhadap sanitasi layak. Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan Kalimantan Timur berdasarkan penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ sampai dengan tahun 2005 adalah sebesar 14,726 juta hektar. Dari luas tersebut, kawasan hutan seluas 9,896 juta hektar, kawasan hutan yang sudah menjadi non-hutan 2,990 juta hektar, dan data tidak lengkap seluas 1,840 juta hektar. Luas penutupan lahan berdasarkan citra satelit Landsat ini tidak berbeda jauh dengan kawasan peruntukan hutan yang ditentukan Pemerintah yaitu seluas 14,652 juta hektar. Selain itu, rumah tangga yang mempunyai akses air minum non-perpipaan terlindungi tergolong bagus. Tahun 1994 persentase rumah tangga dengan akses kepada air minum non-perpipaan terlindungi sebesar 53,2 persen, tahun 2002 menjadi 64,6 persen, dan tahun 2006 menjadi 66,9 persen. Semua angka provinsi tersebut berada di atas angka nasional. Hal ini berarti makin banyak rumah tangga yang menggunakan air bersih. Persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak juga tergolong baik. Tahun 1992 jumlah tersebut hanya 43,3 persen, tahun 2000 menjadi 68,4 persen, dan tahun 2006 menjadi 80,2 persen. Dalam kurun waktu 14 tahun, persentase rumah tangga yang memiliki akses kepada sanitasi layak selalu berada di atas angka nasional dan juga di atas angka rata-rata setiap provinsi.

(20) Kalimantan Selatan

Angka kemiskinan Kalimantan Selatan sangat baik. Pada tahun 1993, persentase penduduk miskin masih 18,61 persen dan di atas angka nasional (13,67 persen). Namun pada tahun 2000 angka tersebut turun menjadi hanya 12,97 persen (angka nasional 18,95 persen) dan turun lagi menjadi 7,66 persen pada tahun 2006 (angka nasional 16,58 persen). Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan upaya penanggulangan kemiskinan yang baik di Kalimantan Selatan telah memberikan dampak positif bagi pengurangan jumlah penduduk miskin. Namun demikian, keberhasilan penurunan angka kemiskinan ini tidak diimbangi dengan pengurangan angka kurang gizi bagi balita. Tahun 1992 persentase balita yang kurang gizi mencapai 38,75 persen. Jumlah ini menurun sedikit menjadi 35,78 persen pada tahun 2006. Angka ini masih jauh di bawah angka nasional yang sebesar 28,05 persen. Kalimantan Selatan untuk tahun 2006 berada di peringkat ketiga terburuk dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya.

Target pendidikan dasar untuk semua ditandai dengan indikator APM SD/MI dan APM SLTP/MT/MTs. Pada umumnya, APM SD/MI Kalimantan Selatan masih di atas APM SD/MI nasional. Tahun 1992 APM SD/MI sebesar 90,4 persen, tahun 2000 92,4 persen (sedikit di atas angka nasional yang 92,3 persen), dan tahun 2006 meningkat menjadi 93,3 persen. Selain itu, APM SLTP/MT/MTs Kalimantan Selatan, meskipun secara umum selalu di bawah angka nasional, menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi. Tahun 1992 APM SLTP/MT/MTs sebesar 33,3 persen, kemudian meningkat menjadi 51,8 persen dan meningkat kembali menjadi sebesar 62,1 persen.

Rasio APM antara murid perempuan terhadap murid laki-laki (P/L) SD/MI dan SLTP/MT merupakan beberapa indikator yang menunjukkan kesetaraan gender di bidang pendidikan dasar. Rasio APM P/L SD/MI tahun 2000 yang sebesar 100,7 dan tahun 2006 yang sebesar 100,2 menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan dasar setara dengan partisipasi murid laki-laki. Namun demikian, berlawanan dengan rasio APM P/L SD/MI, rasio APM P/L SLTP/MT juga tergolong kurang baik. Rasio APM P/L SLTP/MT Kalimantan Selatan tahun 2006 hanya sebesar 97,6 dan berada di peringkat 10 terburuk jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Indikator lainnya yang menunjukkan kesetaraan gender adalah rasio upah bulanan pekerja perempuan terhadap upah pekerja laki-laki. Pada bulan Februari 2007, rasio ini adalah sebesar 74,9, sedikit di atas angka nasional yang sebesar 74,8. Rasio tersebut menunjukkan bahwa masih terjadi ketimpangan yang cukup jauh antara upah pekerja perempuan terhadap upah pekerja laki-laki di bidang pekerjaan yang sama. Upah pekerja perempuan hanya sebesar sekitar 75 persen jika dibandingkan dengan upah pekerja laki-laki.

Terkait dengan angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian balita (AKBA), kinerja Provinsi Kalimantan Selatan dapat dikatakan buruk. Pada tahun 2005, AKB Kalimantan Selatan mencapai 12 per 1.000 kelahiran hidup dan AKBA mencapai 53 per 1.000 kelahiran hidup. Keduanya lebih buruk jika dibandingkan dengan angka rata-rata nasional yang sebesar 8 per 1.000 kelahiran hidup (AKB) dan 40 per 1.000 kelahiran hidup (AKBA). Selain itu, terkait dengan target memerangi penyakit menular, jumlah penderita AIDS hanya tiga orang dan jumlah insiden malaria mencapai sekitar 2.780 kejadian jauh di bawah rata-rata insiden malaria setiap provinsi yang sebesar 23.275 kejadian.

Sehubungan dengan tujuan memastikan kelestarian lingkungan hidup, indikator yang digunakan antara lain adalah luas kawasan hutan. Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan Kalimantan Selatan berdasarkan penafsiran citra Satelit Landsat 7 ETM+ sampai tahun 2005 adalah sebesar 1,793 juta hektar. Dari luas tersebut, kawasan hutan seluas 986 ribu hektar, kawasan non hutan 806 ribu hektar, dan tidak terdata 890 hektar. Luas kawasan hutan hasil pencitraan satelit ini berbeda cukup jauh dengan luas peruntukan kawasan hutan yang ditentukan Pemerintah yaitu seluas 1,839 juta hektar. Indikator lain yang dipergunakan adalah akses rumah tangga terhadap air minum non-perpipaan terlindungi dan akses terhadap sanitasi layak. Rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi di Kalimantan Selatan pada tahun 1994 adalah sekitar 41,5 persen dan meningkat menjadi 55,7 persen pada tahun 2006. Persentase tahun 2006 tersebut masih berada di bawah angka nasional yang sebesar 57,2 persen. Persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak masih di bawah angka nasional. Tahun 1992, hanya 28 persen rumah tangga yang memiliki sanitasi yang layak, sementara tahun 2006 jumlah tersebut menjadi 66,4 persen. Proporsi akses terhadap sanitasi layak di Kalimantan Selatan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, namun secara umum masih lebih rendah dibandingkan dengan angka nasional.

--ooOOoo--

Tidak ada komentar: