08 Agustus 2008

Perkembangan MDGs di Kepulauan Maluku dan Papua, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsi-provinsi di Kepulauan Maluku dan Papua Tahun 1990-2007
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(25) Maluku dan Maluku Utara

Provinsi Maluku dalam rangka pencapaian tujuan pertama MDGs, pengurangan kemiskinan dan penghapusan kelaparan masih di bawah capaian rata-rata nasional, untuk target pengurangan kemiskinan angkanya masih cukup tinggi, hampir dua kali rata-rata nasional. Pada tahun 1993 Maluku masih meliputi Maluku Utara, karena masih belum pemekaran. Saat itu persentase penduduk miskinnya mencapai 23,93 persen atau sekitar 478.900 jiwa dan pada tahun 2002 sudah terjadi pemisahan Maluku Utara di mana persentase penduduk miskinnya menjadi 34,8 persen (2000) atau 418.800 jiwa yang kemudian di tahun 2006 menjadi sebesar 30,12 persen. Dengan demikian selama 4 tahun terjadi penurunan persentase kemiskinan sebesar 4,7 persen.

Target penghapusan kelaparan dengan indikator prevalensi balita yang memiliki berat badan kurang atau gizi kurang di wilayah provinsi Maluku tergolong ke dalam angka di bawah rata-rata nasional di mana secara berturut-turut pencapaiannya pada tahun 1989 sebesar 34,03 persen, tahun 2000 menjadi 26,04 persen dan pada tahun 2006 mencapai 33,66 persen. Artinya terjadi keadaan pencapaian yang turun naik atau fluktuatif diantara periode pra dan pasca krisis tahun 1997, dengan bayang-bayang tetap di bawah pencapaian angka nasional.

Baik Provinsi Maluku maupun Maluku Utara dalam upayanya mencapai target pendidikan dasar bagi semua masih di bawah rata-rata nasional. Bahkan untuk APM SD/MI Provinsi induknya yakni Maluku tingkat pencapaiannya (tahun 2006) lebih rendah dibandingkan Provinsi Maluku utara, yakni 92,2 persen dengan 93,1 persen. Hal ini bukan berarti bahwa kinerja provinsi pemekaran lebih baik ketimbang provinsi induknya, melainkan merupakan pertanda bahwa masih banyaknya penduduk miskin pada wilayah induknya dalam hal menjangkau pendidikan dasar.

Tetapi dalam hal APM SLTP/MT Provinsi Maluku Utara jauh tertinggal di mana Provinsi Maluku pada tahun 2006 capaian APM SLTP/MTnya sebesar 76,9 persen sedangkan provinsi Maluku Utara sebesar 65,3 persen. Tetapi pencapaian pada tahun 1992 ketika masih menjadi satu provinsi angka pencapaian APM SLTP/MT nya sebesar 41,4 persen (tahun 1992).

Target mempromosikan keadilan gender khususnya dengan indikator rasio APM P/L SD/MI dan SLTP/MT di kedua provinsi ini berbeda, capaian pada tingkat SD/MI Provinsi Maluku Utara memiliki angka di bawah nasional dan baru hendak mencapai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki karena di bawah 100 persen. Pencapaian provinsi Maluku Utara sebesar 97,5 persen dalam hal rasio APM sekolah dasar pada tahun 2006. Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan pencapaian bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yakni sebesar 95,8 (2001 dan 2002).

Bila Provinsi Maluku capaian rasio APM SD/MI berada di atas rata-rata nasional dan mendekati kesempurnaan, tidak demikian halnya dengan rasio APM SLTP/MT yang berada di bawah angka capaian nasional, walaupun indikasi kesetaraan sudah dicapai karena angkanya di atas 100 persen. Tingkat rasio APM P/L SLTP/MT di Maluku menunjukkan adanya kesetaraan gender, hal ini tercermin dari data yang ada misalnya tahun 1992 rasionya mencapai 110,1 persen tahun 2002 menurun menjadi 104,6 persen dan pada tahun 2006 menjadi 122,9 persen. Jadi jumlah perempuan lebih banyak partisipasinya sesuai jenjang umurnya.

Target Pengurangan kematian anak baik di Provinsi Maluku maupun di Maluku Utara, masih sama-sama di atas rata-rata nasional. Angka kematian anak Balita di Maluku masih cukup tinggi yakni 43 jiwa per 1000 kelahiran pada tahun 2005, namun ini lebih baik di bandingkan tahun-tahun sebelumnya. Prestasi yang luar biasa adalah penurunan AKB. Pada tahun 2005 mencapai satu jiwa lebih banyak dari pencapaian nasional atau tepatnya 9 jiwa per 1000 kelahiran. Prestasi yang sama diraih Provinsi Maluku Utara dalam menekan AKB, yaitu mencapai 12 jiwa per 1000 kelahiran pada tahun 2005. Sedangkan AKBA-nya masih terhitung tingi, Provinsi Maluku Utara pada tahun 2005 memiliki AKBA 53 jiwa per 1000 kelahiran.

Target penurunan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya di Provinsi ini perlu peningkatan kinerja. Di Provinsi Maluku pada tahun 2005 tercatat 33 kasus kasus penderita HIV/AIDS dan kejadian malaria mencapai 46.430 kejadian. Sedangkan di Provinsi Maluku Utara tercatat penderita HIV/AIDS hanya 1 kasus, dan kejadian malaria yang mencapai 72.440 kasus dan ini merupakan peringkat tiga nasional.

Kinerja Provinsi Maluku Utara untuk pencapaian akses air minum non-perpipaan terlindungi sudah cukup baik. Lebih dari separuh penduduknya telah memiliki akses terhadap air minum terlindungi. Pada tahun 2006 Provinsi Maluku Utara mencatat adanya rumah tangga yang memiliki akses air minum non-perpipaan terlindungi sebanyak 52,6 persen.

Pencapaian target akses terhadap sanitasi baik di Provinsi Maluku dan Maluku Utara masih memprihatinkan karena sampai tahun 2006 berada di bawah rata-rata nasional, adapun besar angka capaiannya adalah 52 persen untuk provinsi Maluku dan 58,3 persen merupakan capaian Maluku Utara. Angka tersebut jauh lebih baik di bandingkan dengan tahun 1992 yang baru mencapai 24 persen, atau separuhnya.

(26) Papua dan Irian Jaya Barat

Provinsi Irian Jaya Barat (sekarang: Provinsi Papua Barat) adalah pemekaran Provinsi Papua pada tahun 1999. Oleh karena itu sebagian data mengenai Provinsi Papua Barat sampai tahun 2005 masih termasuk di dalam data Provinsi Papua.

Kemiskinan di Papua ditandai oleh antara lain persentase penduduk miskin yang mencapai 24,16 persen (1993) atau sekitar 441.900 penduduk. Persentase kemiskinan nasional jauh di bawahnya yakni 13,67 persen. Pada tahun 2000 angka Po mencapai 45,96 persen dan angka Po nasional mencapai 18,95 persen. Namun pada tahun 2006 Po di Papua turun menjadi 39,26 persen, angka ini tidak termasuk Papua Barat. Sedangkan provinsi Papua Barat pada tahun 2006 menunjukkan persentase kemiskinan sebesar 33,01 persen, adan angka ini dua kali lipat angka persentase nasional yakni 16,58 persen.

Pada indikator lainnya, yakni balita kurang gizi baik karena gizi buruk atau gizi kurang, pencapaian Provinsi Papua setelah mengalami pemekaran yakni dengan dibentuknya Papua Barat sebesar 31,21 persen. Sedangkan sebelumnya pada tahun 2000 sebesar 30,14 persen, tahun 1992 sebanyak 29,50 persen dan jauh sebelumnya pada tahun 1989 45,77 persen. Walau data yang tersedia memperlihatkan dinamika balita kurang gizi yang cenderung menurun, namun beberapa peristiwa kelaparan yang melanda daerah pedalaman seperti yang pernah terjadi di Yahukimo sempat menjadi sorotan nasional. Salah satu sebab yang paling pokok ditengarai adalah terjadinya perubahan pola makan penduduk dari ’panganan lokal’ berupa umbi-umbian ke pangan nasi-beras. Padahal dalam kenyataannya ketersediaan padi-beras sangat terbatas di wilayah ini.

Provinsi Papua dengan bentang geografisnya yang berupa gunung dan hutan lebat serta tempat tinggal yang berpencar jauh, tidaklah mengejutkan bila APM SD/MI pada tahun 2006 menempati terburuk dengan angka 78,1 persen, sedangkan pada tahun sebelumnya tahun 2000 telah mencapai 81,8 persen dan pada tahun 1992 sebesar 71,6 persen. Terjadi keadaan pencapaian yang fluktuatif pada wilayah ini. Situasi ini diduga merupakan impact tidak langsung dari pemekaran wilayah. Hal ini dapat dilihat dari pencapaian provinsi baru Papua Barat yang relatif berada di atas pencapaian propnsi induknya, yakni sebesar 88,2 persen pada thaun 2006.

Provinsi Papua pada tahun 1992 memiliki APM SLTP/MT provinsi sebesar 42,7 persen sedikit di atas persentase angka nasional. Pada tahun 2000 angka APM SLTP/MT nampak menurun yakni mencapai 35,1 persen. Namun tahun 2006 APM SLTP/MT Provinsi Papua kembali menaik menjadi 47,4 persen. Dilain pihak, provinsi Papua Barat yang merupakan provinsi yang relatif baru buah dari pemekaran Papua, data tahun 2006 memperlihatkan capaian angka 53,9 persen. Sebuah capaian yang berada di atas capaian provinsi induknya dengan selisih sebesar 12 persen. Dengan demikian pada kedua provinsi ini masih banyak anak didik yang tidak tersentuh program wajib belajar 9 tahun.

Pencapaian provinsi Papua dalam hal rasio APM P/L SD/MI ini yakni sebesar 98,4 (2006) merupakan hasil yang cenderung menurun bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2000 rasio APM P/L SD/MI mencapai angka 102,2 persen dan tahun 1992 sebesar 99,5 persen. Kondisi yang cenderung menurun ini bukan merupakan gejala yang spesifik Papua, melainkan gejala umum sebagaimana provinsi lainnya dalam hal rasio jenis kelamin kepesertaan anak didik pada tingkat sekolah dasar.

Diskriminasi gender di Papua Barat semakin menampakkan wajahnya dengan melihat bagaimana sesungguhnya penilaian masyarakat terhadap produktivitas perempuan, pada tahun 2007 tingkat rasio P/L upah bulanan nampak posisi perempuan demikian lemah karena hanya menerima upah 72,4 persen dan angka ini berada di bawah rata-rata nasional atau peringkat 8 dengan selisih 0,4 persen dari angka nasional.

Provinsi Papua merupakan daerah yang paling buruk dalam menanggulangi kematian ibu (AKI) di mana pencapaiannya pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 647 jiwa per 100.000 kelahiran (Departemen Kesehatan, 2006). Faktor utamanya adalah tidak terjangkaunya sarana dan prasarana kesehatan, sehingga masa kehamilan hingga meninggal kurang memperoleh perawatan tenaga medis dan pelayanan kesehatan dasar lainnya. Kondisi geografisnya yang berupa pegunungan dan hutan serta tempat tinggal yang berpencaran merupakan penghambat utama dalam pengadaan infrastruktur kesehatan dan tenaga medis.

Target Pengurangan Penderita HIV/AIDS dan Penyakit Menular Berbahaya di Provinsi ini masih memprihatinkan, untk HIV/AIDS di Papua tercatat 797 kasus dan ini merupakan rangking kedua nasional sedangkan Papua Barat pada tahun yang sama 2005 masih belum tercatat. Penyakit Malaria, kembali Papua berada di rangking kedua dengan 73.690 kasus sedangkan Papua Barat juga belum ada catatan.

Provinsi Papua pada tahun 2006 memiliki rumah tangga pengguna air minum non-perpipaan terlindungi sekitar 38,7 persen, angka ini 18,5 persen di bawah angka nasional. Yang menarik justru pada tahun 1994 ketika masih menjadi satu provinsi angka pencapaiannya yakni sebesar 30,1 persen sudah berada di atas angka nasional yang merujuk pada nilai 16,2 persen. Artinya, terjadinya pemekaran wilayah provinsi ini tidak diikuti oleh perluasan penyediaan infrastruktur air minum bersih non-perpipaan.

Beda halnya dengan target peningkatan akses terhadap sanitasi layak, Papua Barat justru memiliki akses lebih rendah dibandingkan Papua. Di Papua Barat, pencapaian tahun 2006 sebesar 51 persen atau hampir separuh penduduk yang menikmati sanitasi layak. Sedangkan di Provinsi Papua yang menikmati sanitasi layak mencapai 54,7 persen. Tentu saja angka-angka tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan data tahun 1992 yang pada saat itu Papua (termasuk Papua Barat) baru mencapai 27,6 persen.

Box: Pengelolaan Hutan di Papua

Kebijakan Baru Gubernur Papua Barnabas Suebu dalam pengelolaan hutan di Papua, seperti penghentian total eksport kayu log dinilai TIME sebagai sebuah terobosan baru dalam menjaga eksistensi planet bumi. Gubernur Barnabas Suebu dinominasikan bersama nam-nama tenar lainnya seperti Michael Gorbachev, Al Gore (Penerima Nobel Perdamaian 2007), Pangeran Charles, Angela Merkel (PM Jerman), Robert Redford, dan lain-lain. Pengukuhan "Heroes of the Environment (HE) 2007" akan diselenggarakan tanggal 25 Oktober 2007 di Royal Court of Justice London. Berikut petikan liputannya dalam majalah TIME Edisi 29 Oktober 2007.

“… Barnabas Suebu comes as a welcome relief. The new Governor of Papua, which comprises the western half of New Guinea island, wants to protect the province's forests, home to fully half of Indonesia's native species. That means standing up to the deeply entrenched business and military interests that have richly profited from Papuan timber. "We have to save the forests before it is too late," says Suebu, 61. "If we do that, we can help save the planet and alleviate poverty at the same time."

Since taking office in July 2006, Suebu has made plans to declare a moratorium on log exports and recommended that no new logging concessions be granted to timber companies. The Papua native has also begun talks on trading carbon credits to help protect the province's forests, which extend over an area estimated at 77 million acres (31 million hectares). If a deal with the Australia-based company Carbon Conservation goes through, Suebu says Papua can generate far more revenue by trading credits on the Chicago Climate Exchange than it currently gets from logging. "Why would we cut down trees if people are going to pay us to protect them?" he asks. "We can prevent deforestation and also use the money to reforest the areas in critical condition." More money in public coffers would help improve education, health and sanitation for the province's 2 million people, 80% of whom live in poverty. Suebu, Papua's first directly elected Governor, has made easing their plight the main focus of his five-year term.

The Indonesian government in Jakarta, however, is keen to promote biofuel production, and it could require Papua to set aside 5 million acres (2 million hectares) of forest for palm-oil plantations. Suebu says that the legal autonomy the province has when it comes to resource management will help him take on Jakarta. "Pressure on our forests is coming from the forestry department because they are still operating with an old mindset," he explains. "They need to realize that there is a new paradigm now and we are not going to repeat the mistakes of the past." The challenges are endless, but so is the Governor's optimism — a commodity that until now has been in short supply in this corner of the globe. ....”

--ooOOoo--

1 komentar:

ente_walad mengatakan...

sangat bermanfaat bro, hanya saja akan lebih bisa dipertanggungjawabkan angka-angka yang dikutip disebutkan juga sumbernya.