08 Agustus 2008

Perkembangan MDGs di Pulau Sulawesi, 1990-2007

Perkembangan dan Pencapaian Target dan Tujuan MDGs
Provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi Tahun 1990-2007
Oleh: Randy R. Wrihatnolo

(21) Sulawesi Utara dan Gorontalo

Sulawesi Utara sejak tahun 2000 telah memekar menjadi Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Sebelum dimekarkan, Gorontalo merupakan suatu wilayah kabupaten di Sulawesi Utara.

Pada tahun 1993 persentase penduduk miskin di Sulawesi Utara mencapai 11,79 persen dan berada di bawah rata-rata nasional yang 13,67 persen. Setelah pemekaran pada tahun 2000, angka kemiskinan Sulawesi Utara menjadi 8,28 persen (peringkat ketiga terbaik), namun Gorontalo terpuruk dengan 24,04 persen penduduk miskin, jauh di bawah angka nasional (18,95 persen). Tahun 2006, angka kemiskinan Sulawesi Utara menjadi 14,51 persen dan masih di atas angka nasional yang 16,58 persen, sementara Gorontalo terpuruk lebih jauh ke peringkat ketiga terendah dengan penduduk miskin mencapai 31,54 persen.

Terkait angka kekurangan gizi balita, Sulawesi Utara menunjukkan kinerja yang baik antara tahun 1989-2000. Setelah provinsi ini dimekarkan, data tahun 2006 menunjukkan bahwa proporsi balita yang kekurangan gizi di Sulawesi Utara masih di atas angka nasional dan berperingkat kelima terbaik, yaitu 23,11 persen (dibandingkan dengan angka nasional yang sebesar 28,05 persen). Sementara itu, Gorontalo menjadi provinsi dengan peringkat terburuk. Proporsi balita kekurangan gizi di Gorontalo mencapai 41,48 persen.

APM SD/MI dan APM SLTP/MT/MTs merupakan indikator pencapaian target pendidikan dasar untuk semua. Meskipun menunjukkan kecenderungan meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2006 APM SD/MI Sulawesi Utara dan Gorontalo tidak berbeda jauh, yaitu masing-masing 90,4 persen dan 90,5 persen, dan keduanya masih di bawah angka nasional. Hal ini berarti perkembangan APM SD/MI di kedua provinsi lebih lamban dibandingkan laju peningkatan tingkat nasional. APM SLTP/MT/MTs Sulawesi Utara pada tahun 2006 adalah sebesar 66,0 persen, hanya sedikit di bawah rata-rata nasional (66,5 persen). Namun, APM SLTP/MT/MTs Gorontalo berada di peringkat ketiga terendah yaitu hanya sebesar 52,3 persen.

Kesetaraan gender antara lain ditunjukkan dengan indikator rasio APM murid perempuan terhadap murid laki-laki (P/L) di tingkat SD/MI dan SLTP/MT. APM P/L SD/MI Sulawesi Utara terus menurun selama kurun waktu 1992 sampai 2006—meskipun masih di atas angka nasional—yaitu dari sebesar 105,6 (1992), 100,8 (2000), dan turun menjadi 99,5 (2006). APM P/L SD/MI Gorontalo pada tahun 2006 lebih tinggi dibandingkan Sulawesi Utara, yaitu 101,4. Selain itu, APM P/L SLTP/MT Sulawesi Utara juga menunjukkan kecenderungan yang sama dengan APM P/L SD/MI yaitu menurun namun masih lebih baik dari angka nasional. APM P/L SLTP/MT Sulawesi Utara tahun 2006 hanya 109,5, meskipun tahun 1992 angka ini sempat menyentuh 123,8.

Partisipasi perempuan dalam pekerjaan upahan untuk kedua provinsi ini sangat baik, bahkan dapat dikatakan upah pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama lebih tinggi jika dibandingkan dengan upah pekerja laki-laki. Pada bulan Februari 2007, rasio upah pekerja perempuan terhadap pekerja laki-laki di Sulawesi Utara mencapai 110,2 dan di Gorontalo mencapai 115,6. Kedua provinsi ini merupakan dua provinsi berperingkat tertinggi jika dilihat dari sisi salah satu indikator kesetaraan gender ini.

Angka kematian bayi (AKB) Sulawesi Utara tahun 2005 sangat rendah, yaitu hanya 3 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini menempatkan Sulawesi Utara pada ranking teratas AKB provinsi, sejajar dengan tiga provinsi lainnya yaitu Kepulauan Riau, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta. Kondisi ini sangat berlawanan dengan Gorontalo. AKB Gorontalo tahun 2005 mencapai 17 per 1.000 kelahiran hidup dan berada di peringkat kedua terburuk setelah Nusa Tenggara Barat. Angka kematian balita (AKBA) Sulawesi Utara juga sangat rendah jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. AKBA Sulawesi Utara tahun 2005 sebesar 22 per 1.000 kelahiran hidup, bersama-sama Kepulauan Riau dan DI Yogyakarta berada di bawah provinsi dengan AKBA terendah (DKI Jakarta). Tidak berbeda jauh dengan AKB-nya, AKBA Gorontalo masih sangat tinggi, yaitu 67 per 1.000 kelahiran hidup. Dari sisi AKBA, Gorontalo juga bertengger di peringkat kedua terburuk.

Dalam rangka pencapaian target memerangi penyakit menular, kedua provinsi menunjukkan kinerja yang berbeda. Jumlah penderita AIDS Sulawesi Utara tahun 2005 tercatat sebanyak 54 orang, sementara Gorontalo hanya dua orang. Sementara itu, jumlah insiden malaria di Sulawesi Utara dan di Gorontalo tidak berbeda jauh. Insiden malaria di Sulawesi Utara sebanyak 14.930 kejadian dan di Gorontalo 14.850 kejadian.

Target memastikan kelestarian lingkungan dinyatakan dengan indikator luas kawasan hutan. Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan berdasarkan penafsiran citra Satelit Landsat 7 ETM+ sampai tahun 2005 untuk kedua provinsi adalah sebesar 1,570 juta hektar, tidak berbeda jauh dengan luas peruntukan kawasan hutan yang ditetapkan Pemerintah seluas 1,526 juta hektar. Dari luas tersebut, kawasan hutan Sulawesi Utara sekitar 731 ribu hektar dan Gorontalo 840 ribu hektar (termasuk kawasan hutan yang digolongkan non-hutan dan kawasan yang tidak lengkap datanya). Dari 1,570 juta hektar tersebut, luas kawasan hutan yang tergolong non hutan 310 ribu hektar dan tidak terdata 113 ribu hektar. Indikator lain adalah akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi dan akses terhadap sanitasi layak. Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi di Provinsi Sulawesi Utara terus meningkat dalam kurun waktu 1994-2006 dan berada di atas angka nasional. Tahun 1994 angka ini di Sulawesi Utara sebesar 46,5 persen, tahun 2002 naik menjadi 57,8 persen, dan tahun 2006 naik kembali menjadi 63,8 persen. Sementara itu, indikator akses terhadap air minum untuk Gorontalo tidak menunjukkan kondisi sebaik provinsi induknya. Tahun 2002, hanya 30,5 persen rumah tangga memiliki akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi dan menjadi provinsi dengan angka terendah. Tahun 2006 angka ini membaik menjadi 52,1 persen, namun tetap di bawah angka nasional yang sebesar 53,9 persen. Terkait dengan indikator akses terhadap sanitasi layak, kinerja Sulawesi Utara juga baik. Tahun 1992 hanya 33,5 persen rumah tangga memiliki akses terhadap sanitasi layak, tahun 2000 menjadi 73,2 persen, dan tahun 2006 membaik lagi menjadi 84,1 persen (terbaik ketiga setelah DKI Jakarta dan DI Yogyakarta). Kinerja Gorontalo yang terkait dengan indikator ini juga tidak sebaik kinerja Sulawesi Utara. Tahun 2006, Gorontalo hanya menempati peringkat ketujuh terburuk dengan persentase sebesar 52,0 persen dan lebih buruk dari angka nasional (69,3 persen).

(22) Sulawesi Tengah

Angka kemiskinan Sulawesi Tengah pada tahun 1993 hanya sebesar 10,5 persen. Tahun 2000 persentasenya meningkat menjadi 24,36 persen, kemudian turun sedikit menjadi 23,67 persen pada tahun 2006. Peningkatan angka kemiskinan yang cukup besar pada tahun 2000 (dibandingkan dengan tahun 1993) diduga selain dipicu oleh krisis ekonomi nasional, juga disebabkan oleh konflik sosial yang terjadi di Sulawesi Tengah khususnya Kota Poso yang mencapai puncaknya pada tahun 2000. Sementara itu, terkait dengan pengurangan kelaparan, persentase balita yang kekurangan gizi menunjukkan sedikit perbaikan dalam kurun waktu 1989-2006. Tahun 1989 Sulawesi Tengah memiliki balita kurang gizi sebesar 39,01 persen, menurun menjadi 25,37 persen tahun 2002, meningkat sedikit menjadi 25,67 persen tahun 2000, dan meningkat cukup jauh menjadi 31,32 persen pada tahun 2006. Secara umum, setiap tahunnya persentase balita kurang gizi lebih buruk dibandingkan dengan angka nasional, kecuali pada tahun 1992. Tingginya angka kemiskinan, buruknya pelayanan kesehatan dasar, dan adanya konflik Poso diduga menjadi penyebab timbulnya kondisi ini.

Tujuan memenuhi pendidikan dasar untuk semua ditunjukkan dengan APM SD/MI dan APM SLTP/MT/MTs. APM SD/MI Sulawesi Tengah sebesar 89,8 persen (1992), 91,1 persen (2000), dan 92,9 persen (2006). Angka-angka tersebut umumnya berada di bawah rata-rata nasional, kecuali tahun 1992. APM SLTP/MT/MTs cenderung meningkat dalam kurun waktu 1992-2006, yaitu sebesar 47,2 persen (1992), 48,5 persen (2000), 63,0 persen (2006). Sama seperti APM SD/MI, meskipun angkanya meningkat dari tahun ke tahun, APM SLTP/MT/MTs Sulawesi Tengah pada tahun 2000 dan 2006 berada cukup jauh di bawah angka nasional.

Keadilan gender di bidang pendidikan, yang merupakan salah satu upaya pencapaian tujuan mendorong kesetaraan gender, telah terlaksana cukup baik di Sulawesi Tengah. Tahun 1992, rasio APM murid perempuan terhadap murid laki-laki (P/L) SD/MI sebesar 100,0, meningkat menjadi 101,1 tahun 2000, lalu menurun sedikit menjadi 100,5 tahun 2006. Rasio APM SLTP/MT/MTs juga menunjukkan kinerja baik, meskipun sempat menurun tahun 2000. Rasio APM SLTP/MT/MTs Sulawesi Tengah adalah 103,9 1992, 99,4 2000, 104,7 2006. Rasio tahun 2006 berada di atas rata-rata nasional (100,0) dan menempatkan Sulawesi Tengah di posisi delapan terbaik dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Indikator kesetaraan gender di bidang selain pendidikan ditunjukkan oleh rasio rata-rata upah per bulan pekerja perempuan terhadap upah pekerja laki-laki. Bulan Februari 2007 rasio upah ini adalah sebesar 90,1. Meskipun telah berada di atas rata-rata nasional (74,8), angka tersebut masih menunjukkan adanya kesenjangan dalam partisipasi perempuan dalam pekerjaan upahan.

Angka Kematian Bayi (AKB) Sulawesi Tengah tahun 2006 mencapai angka 13 jiwa per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini masih berada di atas angka nasional (8 per 1.000 kelahiran hidup). Sementara itu, Angka Kematian Balita (AKBA) Sulawesi Tengah tahun 2005 mencapai 55 jiwa per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan pada tahun 2003 AKBA provinsi sekitar 71 jiwa. AKBA ini juga berada di atas angka rata-rata nasional. Tingginya AKB dan AKBA ini menunjukkan masih rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dasar bagi bayi dan balita. Terkait dengan tujuan memerangi penyakit menular, jumlah penderita AIDS di provinsi ini hanya dua orang (2005). Untuk tahun yang sama, jumlah insiden malaria masih cukup tinggi yaitu sebesar 27.280 kejadian.

Sehubungan dengan tujuan memastikan kelestarian lingkungan hidup, indikator yang digunakan antara lain adalah luas kawasan hutan. Luas penutupan lahan dalam kawasan hutan Sulawesi Tengah berdasarkan penafsiran citra Satelit Landsat 7 ETM+ sampai tahun 2005 adalah sebesar 4,105 juta hektar. Dari luas tersebut, kawasan hutan seluas 3,346 juta hektar, kawasan non hutan 391 ribu hektar, dan tidak terdata 368 ribu hektar. Luas kawasan hutan hasil pencitraan satelit ini tidak berbeda jauh dengan luas peruntukan kawasan hutan yang ditentukan Pemerintah yaitu seluas 4,395 juta hektar. Indikator lain yang dipergunakan adalah akses rumah tangga terhadap air minum non-perpipaan terlindungi dan akses terhadap sanitasi layak. Rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum non-perpipaan terlindungi di Sulawesi Tengah pada tahun 1994 adalah sekitar 27,3 persen dan meningkat menjadi 56,6 persen pada tahun 2006. Persentase tahun 2006 tersebut sedikit berada di bawah angka nasional yang sebesar 57,2 persen. Persentase rumah tangga yang memiliki sanitasi layak masih jauh di bawah angka nasional dan termasuk berperingkat rendah jika dibandingkan dengan provinsi lain. Tahun 1992, hanya 21,1 persen rumah tangga yang memiliki sanitasi yang layak (peringkat 4 terendah), sementara tahun 2006 jumlah tersebut menjadi 56,5 persen (peringkat 9 terendah). Proporsi akses rumah tangga terhadap sanitasi layak di Kalimantan Selatan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, namun secara umum masih lebih rendah dibandingkan dengan angka nasional.

(23) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat

Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan provinsi pemekaran dari Sulawesi Selatan, ternyata pada tahun 2006 memiliki jumlah penduduk miskin (Po) sekitar 18,64 persen, sedikit di atas angka nasional. Target pengurangan kemiskinan di daerah ini relatif lebih berat dari pada provinsi induknya yang berada di bawah rata-rata persentase nasional.

Pencapaian target pengurangan kemiskinan Sulawesi Selatan lebih baik dari Sulawesi Barat, namun dalam target penghapusan kelaparan yang diindikasikan dengan balita kurang gizi ternyata lebih buruk. Provinsi ini pada tahun 2006 memiliki angka persentase balita kurang gizi sebesar 30,16 persen, angka ini merupakan peningkatan dibandingkan tahun 2002 yang pada saat itu mencapai 29,50 persen. Bila dibandingkan tahun 1989 memang terjadi penurunan, karena pada saat itu mencapai 37,90 persen.

Pencapaian target pendidikan dasar bagi semua dengan indikator APM SD/MI dan APM SLTP/MT. Hal ini bersesuaian dengan program nasional wajib balajar sembilan tahun, kedua provinsi baik Sulawesi Selatan sebagi induk dan Sulawesi Barat sebagai pemekaran berada dalam kondisi yang masih mengkhawatirkan pencapaiannya terutama di tingkat SLTP/MT. Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2006 memiliki APM SD/MI sebesar 91,1 persen angka ini menunjukkan peningkatan di bandingkan dengan tahun 2002 yang mencapai 89,0 persen, dan di tahun 1992 provinsi ini baru memiliki APM SD/MI sebesar 80,8 persen. Jadi Provinsi ini selalu berada di bawah angka nasional, namun menunjukkan peningkatan persentase terus menerus hingga 2006. Dengan capaian di atas 90 persen sekalipun di bawah angka nasional, sudah cukup menggembirakan. Namun yang masih menyedihkan adalah APM SLTP/MT, karena masih banyak anak usia sekolah SLTP/MT yang tidak menikmati pendidikan tersebut. Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 1992 memiliki APM SLTP/MT sebesar 33,3 persen, kemudian meningkat menjadi 55,9 persen 10 tahun kemudian yakni tahun 2002, dan meningkat lagi di tahun 2006 menjadi 60,3 persen APM SLTP/MT Sulawesi Selatan. Peningkatan yang hampir dua kali dibanding 14 tahun sebelumnya, memang menggembirakan namun masih terdapat hampir 40 persen anak yang tidak dapat menikmati SLTP/MT di usianya.

Hampir sama dengan Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat untuk tingkat SD/MI sudah di atas 90 persen, bahkan lebih baik sedikit dari Provinsi induk, namun di tingkat SMP justru lebih buruk lagi. Pada tahun 2006, APM SD/MI Provinsi capaiannya sebesar 91,7 persen sedangkan APM SMP mencapai 55,2 persen atau 11,3 persen di bawah angka nasional. Hampir mencapai separuh anak usia SMP yang tidak dapat menikmati pendidikan SLTP/MT.

Sebagai konsekwensi memiliki angka balita kurang gizi yang buruk, Provinsi Sulawesi Selatan dalam mengurangi target kematian ana-anak masih cukup berat, sekalipun terjadi perkembangan yang cukup menggembirakan terutama dalam pengurangan AKB. Pada tahun 2005 AKB Provinsi Sulawesi Selatan sudah mencapai 10 jiwa per 1000 kelahiran, pada tahun 2003 AKB masih 47 jiwa per 1000 kelahiran. Keberhasilan menekan AKB yang cukup tinggi tidak serta merta mampu menekan AKBA sekalipun terjadi penurunan yang juga besar. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki penurunan AKBA yang cukup baik antara tahun 2003-2005 yaitu masing-masing 72 jiwa menjadi 46 jiwa per 1000 kelahiran hidup.

Target penurunan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya di Provinsi ini masih relatif sulit. Di Sulawesi Selatan pada tahun 2005 tercatat 143 kasus HIV/AIDS dan 2.400 kasus penyakit malaria. Sementara itu di Sulawesi Barat pada tahun 2005 tercatat 1.100 kasus malaria.

Target pencapaian akses air minum aman bagi penduduk di Sulawesi Barat terasa berat, setidaknya dengan idikator akses air minum non perpipaan terlindungi dapat dilihat masih tingginya penduduk yang memperoleh air minum yang tidak terlindungi. Di Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2006 rumah tangga pengguna air minum non perpipaan terlindungi mencapai 45,5, jadi di bawah angka nasional yang mencapai 57,2 persen.

Target akses terhadap sanitasi layak di Provinsi Sulawesi Barat masih buruk karena kurang dari separuh penduduk yang menikmatinya, pada tahun 2006 sekitar 47,5 persen yang memiliki akses. Sedangkan Provinsi induk yakni Sulawesi Selatan pada tahun yang sama memperoleh capaian sudah di atas rata-rata nasional yakni 70,5 persen demikian juga tahun-tahun sebelumnya.

(24) Sulawesi Tenggara

Target pengurangan kemiskinan (Po) di Sulawesi Tenggara masih terasa berat, karena pemiskinan yang terjadi cukup besar, pada tahun 1993 memiliki persentase penduduk miskin sebesar 10,8 persen atau 162.300 jiwa, angka ini merupakan angka di bawah rata-rata nasional, namun 10 tahun kemudian, setelah masa krisis, terjadi peningkatan menjadi 24,2 persen pada tahun 2002. Sedangkan pada tahun 2006 persentase penduduk miskin di Sulawesi Tenggara sebesar 22,89 persen, mengalami penurunan dibandingkan tahun 2002. Demikian halnya dengan penghapusan kelaparan dengan indikator prevalensi balita dengan berat badan kurang yang tingkat perkembangannya lebih rendah dari capaian nasional.

Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 1989 merupakan daerah yang persentase balita kurang gizi-nya di bawah angka nasional yakni 31,06 persen. Pada tahun 2002 persentasenya tidak mengalami perubahan berarti sekalipun menurun yakni 27,90. Namun angka tersebut sudah berada di bawah angka nasional. Pada tahun 2005 angkanya meningkat lagi menjadi 29,38 persen, jadi selama tiga tahun terakhir terjadi peningkatan balita kurang gizi di daerah tersebut.

Pencapaian target pendidikan dasar bagi semua di Sulawesi Tenggara relatif baik di tingkat SD/MI karena sudah mencapai di atas 90 persen sekalipun masih di bawah angka nasional. Provinsi Sulawesi Tenggara sejak 1992 memiliki APM SD/MI selalu di bawah rata-rata nasional, yaitu sebesar 84,2 persen pada tahun 1992 dan meningkat di tahun 2002 menjadi 89,7 persen, dan kemudian 2006 meningkat lagi menjadi 92,3 persen. Partisipasi murid usia sekolah dalam rangka wajib belajar sembilan tahun dari tahun ke tahun semakin baik, sekalipun masih harus mengejar ketertinggalan dari tingkat laju nasional. Sedangkan APM SLTP/MT sekalipun sudah di atas capaian nasional, namun masih rendah capaiannya mengingat APM SLTP/MT nasional masih sekitar 70 persen.

Dalam hal promosi kesetaraan gender di Sulawesi Tenggara bila dilihat dari akses perempuan yang bersekolah memang menggembirakan, namun kemajuan yang terbatas akibat masih banyaknya anak yang belum menikmati pendidikan dasar 9 tahun termasuk kaum perempuan kegembiraan tersebut harus dipendam. Target kesetaraan gender dengan indikator pendidikan sekalipun sudah baik, namun dibandingkan kemajuan di tingkat nasional rasio APM P/L SLTP/MT yang sudah di atas 100 persen berada di bawah angka nasional. Pada tahun 1992 Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki rasio APM P/L SLTP/MT 101,2 persen namun pada tahun 2002 menurun menjadi 97,3, jadi ada penurunan yang bahkan menunjukkan ketertinggalan perempuan, apalagi di tingkat nasional selama 10 tahun tersebut justru menunjukkan peningkatan sekalipun kecil (1,3 persen). Tetapi tidak lama kemudian tahun 2006 meningkat menjadi 122,9 persen, hal ini menggembirakan bagi perkembangan keadilan gender.

Target penguragan angka kematian anak di Sulawesi Tenggara menunjukkan perbaikan signifikan baik AKB maupun AKBA, sekalipun masih tertinggal di bandingkan dengan capaian angka persentase nasional. Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2005 memiliki AKB 11 jiwa per 1000 kelahiran, sedangkan pada tahun 2003 AKB yang dimiliki masih berkisar 67 jiwa per 1000 kelahiran. Kemajuan yang hampir sama, sekalipun dengan tingkat yang lebih lamban adalah penurunan AKBA. Pada tahun 2005 AKBA provinsi Sulawesi Tenggara mencapai 49 jiwa per 1000 kelahiran, angka ini merupakan prestasi yang sangat baik karena mampu menurunkan hampir separuh dari AKBA sebelumnya di tahun 2003 yang mencapai 92 jiwa per 1000 kelahiran.

Target penurunan penderita HIV/AIDS dan penyakit menular berbahaya di Provinsi Sulawesi Tenggara masih relatif terkendali. Tercatat hanya 2 jiwa penderita kasus HIV/AIDS baru di tahun 2005, sedangkan penyakit malaria mencapai 21.110 kejadian.

Target peningkatan akses untuk sanitasi layak di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2005 masih di bawah nasional dengan capaian sebesar 68,2 persen, sekalipun menunjukkan perkembangan kenaikan, namun penilaian dari rangking maka tahun 2005 jelas menurun karena tahun 2000 dan 1992 berada di atas rata-rata nasional sekalipun angkanya masing-masing adalah: 64,20 persen dan 37,10 persen.

Box: KREATIVITAS DAERAH: Kapal Terapung Melayani Anak Sekolah di Daerah Pesisir

Penuntasan wajib belajur sumbilan tahun di Sulawesi Tenggara masih mengadapi kendala, terutama untuk anak-anak usia belajar yang tinggal di daerah pesisir. Untuk itu, pembelajaran kreatif dengan menyelenggarakan kelas berjalan perahu terapung diharapkan bisa menarik minat anak-anak usia belajar menuntaskan pendidikan di jenjang SD/MI hingga SLTP/MT.

Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Tenggara Zalili Sailan di Kendari, Jumat (28/9), mengatakan bahwa penuntasan wajib belajar di Sulawesi Tenggara menghadapi kendala, terutarna karena penduduknya yang terpencar atau terpencil sehingga secara geografis sulit dijangkau. Hingga tahun ini, pencapaian angka partisipasi kasar (APK) masih 84,65 persen atau kurang 10,35 persen dari target minimal penuntasan wajib belajar yang ditetapkan pemerintah.

Sehubungan dengan kegiatan silaturahmi Ramadhan, Mendiknas Bambang Sudibyo yang berkunjung ke Kendari meresmikan penggunaan kapal terapung untuk melayani anak usia sekolah di daerah pesisir, terutama untuk menjangkau suku Bajo. Perahu kelas etnik Bajo itu singgah dari satu pulau ke pulau lain untuk menyelenggarakan pendidikan kesetaraan bagi anak-anak pesisir yang putus sekolah sebelum menuntaskan SLTP/MT.

Menangggpi kondisi penuntasan wajib belajar sembilan tahun di wilayah Indonesia yang menghadapi berbagai kendala, Mendiknas mengatakan, kondisi negara Indonesia yang berpulau-pulau dan berjenis suku ini memerlukan pendekatan pendidikan yang khas. Tujuannya untuk menjangkau masyarakat agar menyadari pentingnya pendidikan untuk pemberdayaan dan melepaskan diri dari kemiskinan.

“Seperti suku Bajo, mereka kan terbiasa hidup di laut. Katanya, kalau lama di darat pusing. Dengan pendidikan non-formal di perahu terapung, anak-anak bisa dilayani untuk mendapatkan pendidikan. Pendekatan serupa juga perlu dilakukan untuk suku-suku lain,” katanya. Kiranya pembelajaran yang dapat dipetik adalah perlunya Daerah untuk lebih kreatif menyelesaikan persoalan khas di daerah mereka dalam menuntaskan wajib belajar. [Kompas, Senin, 1 Oktober 2007]

--ooOOoo--

Tidak ada komentar: